Pemberian Indikasi Geografis untuk Produk Hayati Perlu Didorong

Indikasi geografis pada produk keanekaragaman hayati perlu didorong untuk memberikan nilai tambah. Selama ini, keanekaragaman hayati Indonesia banyak dimanfaatkan, termasuk oleh orang asing, namun negeri sendiri tak banyak menerima manfaat.

“Beberapa keanekaragaman hayati Indonesia sangat spesifik. Ini bisa berikan indikasi geografis, dipatenkan, memberikan nilai tambah,” kata Teguh Triono, Direktur Program Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati).

Sertifikat indikasi geografis bisa diberikan pada sumber daya alam hayati, hasil pertanian, pengolahan, bahkan hasil kerajinan tangan yang memiliki kekhasan dibandingkan produk dari wilayah lain.

“Sebagai contoh kopi, kopi yang dibudidayakan di Toba berbeda dengan yang di tempat lain sehingga bisa menerima indikasi geografis,” ungkap Teguh dalam diskusi “Keanekaragaman Hayati untuk Kesejahteraan Bangsa”, Selasa (20/1/2015).

Pemberian sertifikat indikasi geografis bisa mendorong masyarakat menjaga sekaligus membudidayakan keanekaragaman hayati secara maksimal. Di sisi lain, indikasi geografis juga bisa mencegah eksploitasi oleh asing tanpa memberikan manfaat bagi negeri sendiri.

Tahun 2010, terdapat kasus kopi Gayo yang lisensinya dipegang oleh Belanda. Setelah diperjuangkan, akhirnya kopi Gayo bisa memperoleh sertifikat indikasi geografis sehingga manfaat lebih besar dari pembudidayaannya berpeluang dirasakan petani.

Selain kopi Gayo, sertifikat indikasi geografis diantaranya juga diberikan hasil olahan kekayaan hayati Indonesia berupa gula kelapa Kulon Progo. Produk itu menerima sertifikat indikasi geografis pada tahun 2014 lalu.

Saat ini, baru sedikit produk hayati Indonesia yang menerima sertifikat indikasi geografis. “Bisa dilakukan survei untuk mendaftar (kekayaan yang pantas menerima sertifikat indikasi geografis),” kata Teguh.

Sertifikat indikasi geografis hanya salah satu cara untuk mengupayakan perlindungan sekaligus nilai tambah pada keanekaragaman hayati dan produk hasil olahannya. Perlu pula langkah lain.

MS Sembiring, Direktur Eksekutif Yayasan Kehati, mengungkapkan perlunya kreatifitas dalam pemanfaatan sumber daya alam hayati. Dia mengatakan, air saja bila dikemas menarik bisa mendatangkan keuntungan besar. Sumber daya alam hayati bila diolah berpotensi lebih besar.

“Jadi bagaimana kreatifitas kita dalam mengolah dan mengemas keanekaragaman hayati kita. Ituk itu juga perlu pemahaman soal keanekaragaman hayati itu sendiri,” ungkap MS Sembiring.

Untuk membangun pemahaman akan potensi hayati Tanah Air, Sembiring mengatakan perlunya komunikasi tentang keanekaragaman hayati dan potensinya. Media, katanya, memberikan peranan penting.

Sumber : klik di sini

Share Button

Wajib Electronic Procurement, Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kini Lebih Cepat

Dalam rangka percepatan pengadaan Barang/jasa Pemerintah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 16 Januari 2015 telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2015 tentang Percepatan Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Perpres Nomor 4 Tahun 2015 yang merupakan perubahan keempat atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 ini mewajibkan kementerian/lembaga/pemerintah daerah/institusi untuk melaksanakan pengadaan Barang/Jasa melalui e-procurement.

“Percepatan pelaksanaan e-tendering dan pemanfaatan e-purchasing melalui penguatan e-catalogue,” bunyi Perpres tersebut.

Dengan kebijakan baru dalam proses pengadaan barang/jasa tersebut, diharapkan terjadi percepatan dalam: a. Proses pelelangan umum/seleksi umum pascakualifikasi dari 20 hari menjadi 15 hari; b. Proses pelelangan umum/seleksi umum prakualifikasi dari 40 hari menjadi 31 hari; c. Proses pelelangan sederhana dari 12 hari menjadi 6 hari.

Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tersebut juga memberikan kepastian dalam keberlangsungan pelaksanaan pengadaan barang/jasa, terutama jasa konstruksi. Hal ini dapat terlihat dalam ketentuan mengenai pemberian kewenangan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk melakukan penunjukkan langsung terhadap penyedia pemenang berikutnya atau penyedia yang berkualitas dan mampu, guna melanjutkan pekerjaan dalam hal penyedia yang menjadi pemenang tidak mampu untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Adapun Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2015 intinya disiapkan dalam rangka mendorong kementerian/lembaga/ pemerintah daerah/instansi untuk melakukan percepatan pengadaan barang/jasa pemerintah, dengan menyelesaikan seluruh proses pengadaan barang/jasa, paling lambat bulan Maret pada Tahun Anggaran berjalan, khususnya untuk pengadaan jasa konstruksi yang dapat diselesaikan dalam waktu paling lama 1 tahun.

Secara umum penerbitan Perpres Nomor 4 Tahun 2015 dan Inpres Nomor 1 Tahun 2015 diharapkan dapat memberikan energi baru dalam percepatan pelaksanaan pengadaan barang/jasa Pemerintah, tanpa melupakan sisi akuntabilitas.

Share Button

Bukan Masalah Rumit, Presiden Jokowi Yakin Soal Kebakaran Hutan Bisa Kita Selesaikan

Setelah meresmikan Masjid Raya Mujahidin di Pontianak dan meletakkan batu pertama pembangunan irigasi tersier di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada hari pertama kunjungan kerjanya ke Kalimantan Barat (Kalbar), Selasa (20/1) petang,  memberikan briefing antisipasi kebakaran hutan di Desa Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya.

Dalam arahannya Presiden Jokowi mengatakan, begitu banyak organisasi yang terlibat untuk mengatasi kebakaran hutan. Ia menyebutkan, semua organisasi ada semuanya, dari Gubernur, Pangdam, TNI, Polda membawahi Porles sampai ke bawah, ditambah yang namanya Manggala Agni, ada polisi hutan.

Namun, Presiden Jokowi mempertanyakan organisasi yang besar ini tidak bisa menyelesaikan masalah kebakaran hutan yang sudah terjadi bertahun-tahun. “Ada yang salah tidak? Ada kemauan tidak? Itu saja kuncinya, mau tidak menyelesaikan masalah ini,” tuturnya.

Kepala Negara mengaku malu dengan warga dunia yang lain karena kebakaran hutan yang terus terjadi di sini, yang seolah-olah memberi kesan dipelihara.

Kita sendiri, lanjut Presiden Jokowi, juga sering lapangan terbang tidak bisa dipakai untuk turun maupun naik gara-gara asap. Negara yang lain juga kita asapi. Gas emisi juga menjadi kalkulasi dunia.

“Ada semua catatannya. Waktu di Asian Summit, Apec, G-20 dipaparkan. Kalau setiap tahun saya harus terima malu seperti itu saya tidak mau. Harus ada yang bertanggungjawab. Bekerja itu jelas, ada yang harus bertanggungjawab,” tegas Presiden Jokowi.

Untuk itu, Presiden Jokowi meminta semua pihak yang terlibat dalam pencegahan kebakaran hutan, agar api jangan dibiarkan sampai besar. Begitu ada titik langsung dikejar.

“Saya bekerja mengurusi api juga tidak sehari dua hari. Sudah di hutan pinus lebih sulit. Sebab itu saya mengerti. Saya berani ngomong karena saya mengerti,” ujar Jokowi.

Kepala Negara meyakini semua yang terlibat dalam pencegahan kebakaran hutan sudah tahu jurusnya seperti apa, kungfunya seperti apa.  “Jadi ini hanya masalah kemauan,” tukasnya.

Menurut Presiden Jokowi, begitu hujan ini sudah mulai hilang, masuk ke musim kemarau, ia akan melihat hariannya. Ia menyebutkan, beberapa daerah yang mendapatkan perhatiannya dalam pencegahan kebakaran hutan itu, yaitu di Kalimantan Barat, Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan, karena di daerah itu yang selalu mengkhawatirkan.

“Sekali lagi, saya minta tahun ini kita tidak mengulang lagi karena kebakaran yang menyebabkan persepsi, imej, masyarakat publik dunia, tetangga kita menjadi masalah gara-gara ini,” kata Presiden Jokowi .

Presiden smenyampaikan keyakinannya , jika kita punya kemauan bersama menyelesaikan masalah ini maka akan bisa diselesaikan. Menurut Presiden, masalah ini nampak di depan mata bukan sesuatu yang rumit dan sulit untuk dicari.

Tampak hadir dalam acara tersebut antara lain Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Sekretaris Kabinet Andi Wijayanto, dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto.

Sumber : Klik di sini

Share Button

Menteri LHK dan Kepala BNPB Koordinasi Kesiapan Penanganan Bencana Asap

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dr. Ir. Siti Nurbaya, M.Sc bersama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Prof,Dr. Syamsul Maarif, melakukan koordinasi dalam Rapat Kerja Eselon I sampai dengan IV jajaran BNPB pada hari Sabtu,17 Januari 2015 bertempat di Pusdiklat BNPB Cibinong. Langkah-langkah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dalam kesiapan menghadapi kebakaran hutan dan lahan terus dilakukan menjelang akhir Januari 2015. Setelah Rakor pada tingkat Provinsi Riau pada tanggal 8 Januari dan Sumatera Selatan tanggal 13 Januari, direncanakan rapat koordinasi akan dilaksanakan untuk Kalimantan Barat pada tanggal 20 Januari yang menurut rencana akan langsung dipimpin oleh Presiden disela-sela kunjungan kerja Presiden selama dua hari di Kalimantan Barat.

Menteri LHK menjelaskan bahwa beberapa jenis bencana yang terkait dengan Kementerian LHK secara umum adalah bencana ekologis yang meliputi kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, banjir, longsor, angin puting beliung, erupsi, defomasi kerak bumi atau gempa dan pencemaran sampah dan limbah. Dimaklumi bersama penyebab utama bencana yang bersumber dari bencana alam akibat cuaca, perubahan iklim dan kondisi lahan serta akibat ulah manusia. Disepakati juga tentang perlunya penguatan jaringan dan kolaborasi multipihak, penguatan kapasitas kelembagaan (Pusat dan Daerah) serta pendekatan untuk perubahan perilaku.

Menteri LHK menegaskan bahwa peran-peran yang dapat dilakukan oleh Kementerian LHK pada tiap tahapan penanganan bencana tersebut diantaranya meliputi: tahapan mitigasi berupa peran regulasi seperti PP gambut, pengaturan pola tanam heterogen dan mozaik land cover, serta langkah-langkah untuk emisi gas rumah kaca, karbon dioksida dan hidro kloro floro karbon. Dalam fase preparedness berupa pemantauan hotspot, menara api, peralatan, apel siaga, sekat bakar; sedangkan pada fase tanggap darurat berupa penanganan lapangan; dan pada fase rehabilitasi meliputi langsung kerja lapangan dan penataan sistem seperti sistem drainase gambut; serta akhirnya pada fase recovery dengan langkah-langkah regulasi dan penataan ulang kawasan, penyesuaian tanaman HTI.
Secara lebih khusus dibahas tentang kesiapan menghadapi bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Pembahasan meliputi kesiapan menghadapi potensi bencana kebakaran dengan prinsip kerja bersama, kolaboratif antara Kementerian LHK dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Hal ini sangat penting karena keunggulan lembaga BNPB yang fleksibel dalam akses dan fasilitas termasuk finansial (on call budget). Kedua pimpinan lembaga bersepakat untuk bekerja sama secara simultan dan pada tingkat teknis akan ditindak lanjuti di tataran teknis antara pejabat eselon I dan II Kementerian LHK dan BNPB. “Yang penting sudah ada kesepakatan-kesepakatan secara prinsip yang telah dicapai,“ demikian disampaikan Menteri LHK Siti Nurbaya dan Kepala BNPB Prof Syamsul Maarif secara kompak.

Share Button

Senyawa dari Biota Asli Indonesia Terbukti Mampu Lawan Kanker Payudara

Riset tim peneliti Pusat Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membuktikan bahwa senyawa antikanker dari sumber daya alam hayati Indonesia terbukti berkhasiat.

Keberhasilan memproduksi dan membuktikan khasiat senyawa antikanker pada bahan alam Indonesia itu mengantarkan tim penelitinya meraih Inventor Awards dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Tim peneliti yang terlibat riset ini antara lain Muhammad Hanafi yang juga profesor riset kimia organik LIPI, Linar Zalinar Udin, Leonardus Broto Sugeng Kardono, serta Andrianopsyah Mas Jaya Putra.

Peneliti awalnya melakukan screening pada mikroba tanah dan tumbuhan di wilayah Indonesia. Dari proses tersebut, peneliti bisa mengidentifikasi mikroba tanah dan tumbuhan berpotensi, yaituPseudomonas pycocyanea dan bintangur batu (Calophyllum teysmannii).

Riset pun dilanjutkan. P pycocynea dikulturkan di laboratorium. Lalu, proses fermentasi dilakukan. Dalam proses itu, mikroba dibiakkan pada suatu media hingga menghasilkan senyawa tertentu, sering disebut metabolit sekunder.

Proses fermentasi menghasilkan senyawa fenolilaktam-A. Peneliti kemudian melakukan proses sintesis untuk menghasilkan senyawa yang mirip (analog) zat kimia itu. Hasilnya adalah fenolilaktam B-F.

Uji secara in vitro mengungkap bahwa, baik fenolilaktam-A maupun B-F bisa menghambat pertumbuhan sel kanker leukimia. Uji pra-klinis (dengan hewan) belum bisa dilakukan karena kesulitan menginduksi leukimia.

Fenolilaktam-A juga diujikan untuk melawan kanker payudara. Berdasarkan uji pra-klinis, senyawa ini efektif. “Bisa menghambat pertumbuhan sel kanker hingga 40 persen,” kata Hanafi saat ditemui dalam acara penganugerahan Inventor Awards LIPI di Kebun Raya Bogor, Selasa (26/8/2014).

Sementara itu, screening juga menunjukkan adanya antikanker pada getah bintangur batu. Oleh tim riset, getah ini dianalisis secara kimia. Peneliti lalu menemukan kandungan kalanon yang bersifat antikanker.

Kalanon lalu diturunkan menjadi ester kalanon dan diuji efektivitasnya dalam menghambat kanker usus dan leukimia. Hasil uji secara in vitro cukup menggembirakan. “Ester kalanon lebih efektif 20 kali lipat daripada kalanon,” papar Hanafi.

Selain diuji untuk melawan sel kanker, ester kalanon dan Fenilolaktam-A diuji untuk melawan bakteri. Hasil secara in vitromengungkap bahwa senyawa itu berpotensi sebagai antibiotik untuk mengatasi ragam penyakit infeksi.

Zalinar mengungkapkan, penelitian senyawa antikanker dari bahan alam ini telah membuahkan dua paten, untuk proses dan senyawa yang dihasilkan.

Rangkaian proses fermentasi dan modifikasi senyawa belum pernah dipakai untuk menghasilkan antibiotik dan anti-kanker dari bahan alam. “Ini yang pertama di Indonesia. Di luar negeri, antibiotik juga tidak dibuat dengan cara ini,” kata Zalinar.

Hanafi dan Zalinar punya mimpi agar hasil risetnya dapat diwujudkan menjadi produk obat dan dikonsumsi oleh publik. Namun, untuk itu, uji klinis masih harus dilakukan. Peran serta industri diperlukan, misalnya dalam pendanaan.

Hanafi meminta industri farmasi punya minat untuk turut mengembangkan produk berbasis riset peneliti. Ia mengusulkan agar pemerintah punya kebijakan yang mendukung. “Misalnya kita ada Kimia Farma. Mereka bisa dilibatkan karena sama-sama milik negara,” ungkapnya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Indonesia Targetkan Peningkatan 10 Persen Populasi 25 Spesies Terancam Punah

Bambang Dahono Adji, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH), Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengatakan pihaknya menargetkan peningkatan populasi spesies hewan langka di Indonesia seperti  harimau sumatera (Phantera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), dan jalak bali(Leucopsar rothchildi).

“Kita targetkan peningkatan jumlah 25 spesies terancam punah sebesar 10 persen hingga tahun 2019. Untuk memenuhi target tersebut selain melalui kegiatan yang selama ini dilaksanakan seperti penangkaran dan pelepasliaran satwa, kebun binatang juga wajib hukumnya membangun breeding,” kata Bambang pada Seminar Nasional Konservasi Biodiversitas Sub Region Sumatera Bagian Selatan dengan tema Pengarusutamaan Nilai, Status, Monitoring Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem. Kegiatan yang digelar BIOCLIME-GIZ ini bekerja sama dengan BKSDA Sumsel dan Dinas Kehutanan Sumsel, Rabu-Kamis (14-15/01/2015) di Palembang.

Bambang dengan materi mengenai “Kebijakan Prioritas Konservasi Keanekaragaman Hayati di Sumsel,” mengatakan ancaman atas keanekaragaman hayati seperti punah dan berkurangnya populasi flora dan fauna di alam serta berkurangnya luasan wilayah hutan disebabkan oleh ulah manusia yang melakukan perambahan, perburuan liar, pembalakan liar, dan pembakaran hutan.

“Perambahan kawasan konservasi di Sumsel masih banyak terjadi, misalnya pertambakan udang yang berada di kawasan Taman Nasional Sembilang dan pembalakan liar di kawasan Hutan Harapan di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan (Sumsel),” kata Bambang.

Menurut Bambang, untuk mengatasi kerusakan lebih dari 10 juta kawasan hutan di Indonesia, pihaknya melaksanakan restorasi dengan melakukan penanaman di area seluas 100.000 hektar per tahun. Namun demikan, ia mengakui hal ini jauh dari memadai untuk menutupi kawasan dan hutan konservasi yang terlanjur rusak. “Kalau perambahan dan pembalakan liar terus terjadi, restorasi semakin tak ada gunanya. Perlu pelibatan masyarakat di sekitar kawasan konservasi serta pendekatan khusus kepada para perambah,” ujarnya.

25 spesies terancam punah yang diprioritaskan meningkat populasinya sebesar 10 persen tahun 2019 sesuai kondisi biologis dan ketersediaan habitat1. Harimau sumatera
2. Gajah sumatera
3. Badak jawa
4. Owa (Owa jawa, Bilou)
5. Banteng
6. Elang (elang jawa dan elang flores)
7. Jalak bali
8. Kakatua (kakatua jambul kuning, kakatua jingga, kakatua alba)
9. Orangutan (orangutan kalimantan dan orangutan sumatera)
10. Komodo
11. Bekantan
12. Anoa
13. Babirusa
14. Maleo
15. Macan tutul
16. Cendrawasih
17. Rusa bawean
18. Tarsius
19. Surili
20. Macaca maura
21. Julang sumba
22. Nuri kepala hitam
23. Kangguru pohon
24. Penyu (penyu sisik dan penyu belimbing)
25. Celepuk rinjani

Sumber: presentasi Bambang Dahono Aji, Direktur KKH, PHKA, Kementerian LHK

Pada seminar tersebut turut hadir Maheswar Dhakal, Direktur Taman Nasional dan Konservasi Satwa Liar, Kementerian Kehutanan dan Konservasi Tanah, Nepal. Dhakal dihadirkan untuk berbagi pengalaman mengenai keberhasilan menjaga populasi harimau benggala (Panthera tigris tigris).

Menurut Dhakal, persoalan yang dihadapi oleh Nepal tak jauh berbeda dengan yang dihadapi Indonesia. Nepal juga menghadapi perburuan liar, pembalakan liar, hingga persoalan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah lokal. Dhakal mengatakan, mereka berhasil menjaga hutan konservasi sebagai habitat utama harimau dengan memasang 500 camera trap di taman nasional dan melibatkan 250 ahli dalam kegiatan tersebut.

Sementara Zulfikar Ahmad, Sekretaris Dinas Kehutanan Propinsi Sumsel, mengatakan untuk mengatasi perambahan hutan dan perburuan satwa dilindungi di Sumsel perlu strategi dan pendekatan khusus dengan mencari akar persoalan dan menemukan solusi yang tepat.

“Kita tak bisa hanya mengatakan masyarakat telah merambah hutan produksi dan hutan. Kita tak bisa hanya mengatakan habitat harimau telah digusur oleh masyarakat. Perlu dicarikan solusi agar hal ini tak terjadi terus menerus,” ujarnya.

Menurut Zulfikar, tantangannya adalah bagaimana penataan dilakukan dan hal ini membutuhkan sinergi antara pengelola kawasan konservasi, pengelola kawasan hutan produksi, dan masyarakat sekitar kawasan.

Sumber : klik di sini

Share Button