Jenis-Jenis Tumbuhan dari Proses Regenerasi Alami di Lahan Bekas Tambang

Secara alami, proses suksesi mengembalikan ekosistem yang rusak, lahan bekas tambang misalnya, pada kondisi normal. Munculnya jenis-jenis perintis pada lahan bekas tambang menunjukkan ada keberhasilan proses reklamasi dan dapat dipercepat dengan kegiatan rehabilitasi.

Dengan pertimbangan adaptasi dan kesesuaian dengan ekosistem semula, pemilihan jenis-jenis perintis lokal sebagai tanaman utama kegiatan rehabilitasi menjadi poin penting dalam keberhasilan suksesi di lahan bekas tambang. Dengan memilih jenis perintis lokal yang cepat tumbuh dan pemilihan teknik pemeliharaan yang tepat, suksesi akan berlangsung dengan alami dan minim campurtangan manusia.

Sebagai pemandu pengenalan jenis perintis dilahan tambang, Balitek KSDA menerbitkan buku dengan judul Jenis-Jenis Tumbuhan dari Proses Regenerasi Alami di Lahan Bekas Tambang Batubara.“Buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitian Balai Penetian Teknologi KSDA (Balitek) Samboja dan dari hasil pengamatan langsung selama kunjungan lapangan di beberapa perusahaan pertambangan batubara khususnya di wilayah Kalimantan Timur”, kata Dr. Ishak Yassir, penulis buku ini.

“Buku ini menyajikan informasi tentang jenis-jenis tumbuhan pionir pada areal bekas tambang. Tumbuh bersama jenis-jenis cepat tumbuh yang menjadi tanaman utama, tak jarang mereka dianggap sebagai gulma pengganggu. Padahal, mereka adalah jenis-jenis utama yang telah semestinya hadir untuk membentuk ekosistem rusak kembali normal. Filosofi ini yang kemudian diserap sebagai bagian dari konsep Bersinergi dengan Alam“, imbuhnya.

Pengenalan yang tepat terhadap jenis tumbuhan pionir akan memberikan pemahaman yang berbeda dalam teknik pemeliharaan tanaman utama untuk membantu percepatan suksesi. Alih-alih penyiangan (weeding) disekitar tanaman utama, para praktisi diharapkan membiarkan jenis pionir lokal untuk tetap tumbuh dan mewarnai ekosistem yang menuju klimaks.

“Buku ini dilengkapi foto-foto dan deskripsi jenis yang praktis, diharapkan buku ini bermanfaat bagi para praktisi di lapangan”, ujar Bina Swasta Sitepu, S.hut penulis kedua buku ini. Menurut Bina, pengenalan jenis yang tepat, akan membantu pelaksana kegiatan rehabilitasi dalam melaksanakan dan mendukung keberhasilan proses rehabilitasi itu sendiri.

Penerbitan buku ini adalah salah satu upaya Balitek KSDA dalam menyebarluaskan hasil penelitian sebagai ilmu pengetahuan dan informasi teknik rehabilitasi lahan bekas tambang batubara. Buku yang terbit Desember 2014 ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para praktisi, akademisi, serta berbagai pihak yang membutuhkan. Selamat membaca!!

 

Share Button

Inovasi untuk Mendata Sumber Daya Alam

Serangkaian riset dengan menggunakan teknologi inventarisasi sumber daya alam diperlukan. Hal itu untuk mengetahui daya dukung lingkungan dan potensi sumber daya alam, sehingga pemanfaatannya sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan.

Pengembangan teknologi inventarisasi sumber daya alam (TISDA) di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sejak tahun 2010 menghasilkan 20 inovasi produk. ”Hampir semua produk itu diterapkan industri dan masyarakat, bersama kementerian terkait,” kata Direktur Pusat TISDA BPPT Muhamad Sadly dalam ”Peluncuran dan Diseminasi Produk Inovasi TISDA” di Jakarta, Senin (19/1).

Inovasi inventarisasi sumber daya kelautan dan perikanan meliputi, antara lain, perangkat lunak sistem pelacak keberadaan ikan disebut Sikbes-ikan (sistem penjejak ikan nan cerdas) dan sistem pelaporan pemantauan potensi ikan dinamai Belfos (BPPT’s Electronic Logbook for Fishery Observation System).

”Sikbes-ikan dan Belfos diaplikasikan untuk pemberdayaan nelayan di Kepulauan Banggai, Sulteng,” kata Sadly. Penerapan inovasi itu terwujud atas kerja sama BPPT-PT Donggi Senora LNG.

Selain itu, perangkat lunak ASAP (Akunting Sumberdaya Alam Pesisir) berbasis sistem kecerdasan buatan pada komputer dirancang. Dengan ASAP, menurut Kepala Bidang Teknologi Pemodelan Sumber Daya Alam BPPT Nani Hendiarti, dilakukan pemodelan spasial untuk pengaturan ruang pesisir dan laut, misalnya memilih lokasi budidaya rumput laut.

Untuk penentuan itu, data penginderaan jauh multisensor, pengukuran lapangan, dan model dinamika non-linier diintegrasikan, untuk mengetahui pola kemunculan klorofil di laut dan migrasi ikan tiap bulan. Itu membantu nelayan mencari lokasi penangkapan ikan.

Untuk mendata potensi sumber daya pertanian, ada perangkat lunak HyperSRISoft (model prediksi produktivitas padi berbasis teknologi penginderaan jauh-hiperspektral dan pembelajaran komputer).

sumber : klik di sini

Share Button

Pemberian Indikasi Geografis untuk Produk Hayati Perlu Didorong

Indikasi geografis pada produk keanekaragaman hayati perlu didorong untuk memberikan nilai tambah. Selama ini, keanekaragaman hayati Indonesia banyak dimanfaatkan, termasuk oleh orang asing, namun negeri sendiri tak banyak menerima manfaat.

“Beberapa keanekaragaman hayati Indonesia sangat spesifik. Ini bisa berikan indikasi geografis, dipatenkan, memberikan nilai tambah,” kata Teguh Triono, Direktur Program Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati).

Sertifikat indikasi geografis bisa diberikan pada sumber daya alam hayati, hasil pertanian, pengolahan, bahkan hasil kerajinan tangan yang memiliki kekhasan dibandingkan produk dari wilayah lain.

“Sebagai contoh kopi, kopi yang dibudidayakan di Toba berbeda dengan yang di tempat lain sehingga bisa menerima indikasi geografis,” ungkap Teguh dalam diskusi “Keanekaragaman Hayati untuk Kesejahteraan Bangsa”, Selasa (20/1/2015).

Pemberian sertifikat indikasi geografis bisa mendorong masyarakat menjaga sekaligus membudidayakan keanekaragaman hayati secara maksimal. Di sisi lain, indikasi geografis juga bisa mencegah eksploitasi oleh asing tanpa memberikan manfaat bagi negeri sendiri.

Tahun 2010, terdapat kasus kopi Gayo yang lisensinya dipegang oleh Belanda. Setelah diperjuangkan, akhirnya kopi Gayo bisa memperoleh sertifikat indikasi geografis sehingga manfaat lebih besar dari pembudidayaannya berpeluang dirasakan petani.

Selain kopi Gayo, sertifikat indikasi geografis diantaranya juga diberikan hasil olahan kekayaan hayati Indonesia berupa gula kelapa Kulon Progo. Produk itu menerima sertifikat indikasi geografis pada tahun 2014 lalu.

Saat ini, baru sedikit produk hayati Indonesia yang menerima sertifikat indikasi geografis. “Bisa dilakukan survei untuk mendaftar (kekayaan yang pantas menerima sertifikat indikasi geografis),” kata Teguh.

Sertifikat indikasi geografis hanya salah satu cara untuk mengupayakan perlindungan sekaligus nilai tambah pada keanekaragaman hayati dan produk hasil olahannya. Perlu pula langkah lain.

MS Sembiring, Direktur Eksekutif Yayasan Kehati, mengungkapkan perlunya kreatifitas dalam pemanfaatan sumber daya alam hayati. Dia mengatakan, air saja bila dikemas menarik bisa mendatangkan keuntungan besar. Sumber daya alam hayati bila diolah berpotensi lebih besar.

“Jadi bagaimana kreatifitas kita dalam mengolah dan mengemas keanekaragaman hayati kita. Ituk itu juga perlu pemahaman soal keanekaragaman hayati itu sendiri,” ungkap MS Sembiring.

Untuk membangun pemahaman akan potensi hayati Tanah Air, Sembiring mengatakan perlunya komunikasi tentang keanekaragaman hayati dan potensinya. Media, katanya, memberikan peranan penting.

Sumber : klik di sini

Share Button

Wajib Electronic Procurement, Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kini Lebih Cepat

Dalam rangka percepatan pengadaan Barang/jasa Pemerintah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 16 Januari 2015 telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2015 tentang Percepatan Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Perpres Nomor 4 Tahun 2015 yang merupakan perubahan keempat atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 ini mewajibkan kementerian/lembaga/pemerintah daerah/institusi untuk melaksanakan pengadaan Barang/Jasa melalui e-procurement.

“Percepatan pelaksanaan e-tendering dan pemanfaatan e-purchasing melalui penguatan e-catalogue,” bunyi Perpres tersebut.

Dengan kebijakan baru dalam proses pengadaan barang/jasa tersebut, diharapkan terjadi percepatan dalam: a. Proses pelelangan umum/seleksi umum pascakualifikasi dari 20 hari menjadi 15 hari; b. Proses pelelangan umum/seleksi umum prakualifikasi dari 40 hari menjadi 31 hari; c. Proses pelelangan sederhana dari 12 hari menjadi 6 hari.

Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tersebut juga memberikan kepastian dalam keberlangsungan pelaksanaan pengadaan barang/jasa, terutama jasa konstruksi. Hal ini dapat terlihat dalam ketentuan mengenai pemberian kewenangan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk melakukan penunjukkan langsung terhadap penyedia pemenang berikutnya atau penyedia yang berkualitas dan mampu, guna melanjutkan pekerjaan dalam hal penyedia yang menjadi pemenang tidak mampu untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Adapun Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2015 intinya disiapkan dalam rangka mendorong kementerian/lembaga/ pemerintah daerah/instansi untuk melakukan percepatan pengadaan barang/jasa pemerintah, dengan menyelesaikan seluruh proses pengadaan barang/jasa, paling lambat bulan Maret pada Tahun Anggaran berjalan, khususnya untuk pengadaan jasa konstruksi yang dapat diselesaikan dalam waktu paling lama 1 tahun.

Secara umum penerbitan Perpres Nomor 4 Tahun 2015 dan Inpres Nomor 1 Tahun 2015 diharapkan dapat memberikan energi baru dalam percepatan pelaksanaan pengadaan barang/jasa Pemerintah, tanpa melupakan sisi akuntabilitas.

Share Button

Bukan Masalah Rumit, Presiden Jokowi Yakin Soal Kebakaran Hutan Bisa Kita Selesaikan

Setelah meresmikan Masjid Raya Mujahidin di Pontianak dan meletakkan batu pertama pembangunan irigasi tersier di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada hari pertama kunjungan kerjanya ke Kalimantan Barat (Kalbar), Selasa (20/1) petang,  memberikan briefing antisipasi kebakaran hutan di Desa Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya.

Dalam arahannya Presiden Jokowi mengatakan, begitu banyak organisasi yang terlibat untuk mengatasi kebakaran hutan. Ia menyebutkan, semua organisasi ada semuanya, dari Gubernur, Pangdam, TNI, Polda membawahi Porles sampai ke bawah, ditambah yang namanya Manggala Agni, ada polisi hutan.

Namun, Presiden Jokowi mempertanyakan organisasi yang besar ini tidak bisa menyelesaikan masalah kebakaran hutan yang sudah terjadi bertahun-tahun. “Ada yang salah tidak? Ada kemauan tidak? Itu saja kuncinya, mau tidak menyelesaikan masalah ini,” tuturnya.

Kepala Negara mengaku malu dengan warga dunia yang lain karena kebakaran hutan yang terus terjadi di sini, yang seolah-olah memberi kesan dipelihara.

Kita sendiri, lanjut Presiden Jokowi, juga sering lapangan terbang tidak bisa dipakai untuk turun maupun naik gara-gara asap. Negara yang lain juga kita asapi. Gas emisi juga menjadi kalkulasi dunia.

“Ada semua catatannya. Waktu di Asian Summit, Apec, G-20 dipaparkan. Kalau setiap tahun saya harus terima malu seperti itu saya tidak mau. Harus ada yang bertanggungjawab. Bekerja itu jelas, ada yang harus bertanggungjawab,” tegas Presiden Jokowi.

Untuk itu, Presiden Jokowi meminta semua pihak yang terlibat dalam pencegahan kebakaran hutan, agar api jangan dibiarkan sampai besar. Begitu ada titik langsung dikejar.

“Saya bekerja mengurusi api juga tidak sehari dua hari. Sudah di hutan pinus lebih sulit. Sebab itu saya mengerti. Saya berani ngomong karena saya mengerti,” ujar Jokowi.

Kepala Negara meyakini semua yang terlibat dalam pencegahan kebakaran hutan sudah tahu jurusnya seperti apa, kungfunya seperti apa.  “Jadi ini hanya masalah kemauan,” tukasnya.

Menurut Presiden Jokowi, begitu hujan ini sudah mulai hilang, masuk ke musim kemarau, ia akan melihat hariannya. Ia menyebutkan, beberapa daerah yang mendapatkan perhatiannya dalam pencegahan kebakaran hutan itu, yaitu di Kalimantan Barat, Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan, karena di daerah itu yang selalu mengkhawatirkan.

“Sekali lagi, saya minta tahun ini kita tidak mengulang lagi karena kebakaran yang menyebabkan persepsi, imej, masyarakat publik dunia, tetangga kita menjadi masalah gara-gara ini,” kata Presiden Jokowi .

Presiden smenyampaikan keyakinannya , jika kita punya kemauan bersama menyelesaikan masalah ini maka akan bisa diselesaikan. Menurut Presiden, masalah ini nampak di depan mata bukan sesuatu yang rumit dan sulit untuk dicari.

Tampak hadir dalam acara tersebut antara lain Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Sekretaris Kabinet Andi Wijayanto, dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto.

Sumber : Klik di sini

Share Button

Menteri LHK dan Kepala BNPB Koordinasi Kesiapan Penanganan Bencana Asap

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dr. Ir. Siti Nurbaya, M.Sc bersama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Prof,Dr. Syamsul Maarif, melakukan koordinasi dalam Rapat Kerja Eselon I sampai dengan IV jajaran BNPB pada hari Sabtu,17 Januari 2015 bertempat di Pusdiklat BNPB Cibinong. Langkah-langkah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dalam kesiapan menghadapi kebakaran hutan dan lahan terus dilakukan menjelang akhir Januari 2015. Setelah Rakor pada tingkat Provinsi Riau pada tanggal 8 Januari dan Sumatera Selatan tanggal 13 Januari, direncanakan rapat koordinasi akan dilaksanakan untuk Kalimantan Barat pada tanggal 20 Januari yang menurut rencana akan langsung dipimpin oleh Presiden disela-sela kunjungan kerja Presiden selama dua hari di Kalimantan Barat.

Menteri LHK menjelaskan bahwa beberapa jenis bencana yang terkait dengan Kementerian LHK secara umum adalah bencana ekologis yang meliputi kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, banjir, longsor, angin puting beliung, erupsi, defomasi kerak bumi atau gempa dan pencemaran sampah dan limbah. Dimaklumi bersama penyebab utama bencana yang bersumber dari bencana alam akibat cuaca, perubahan iklim dan kondisi lahan serta akibat ulah manusia. Disepakati juga tentang perlunya penguatan jaringan dan kolaborasi multipihak, penguatan kapasitas kelembagaan (Pusat dan Daerah) serta pendekatan untuk perubahan perilaku.

Menteri LHK menegaskan bahwa peran-peran yang dapat dilakukan oleh Kementerian LHK pada tiap tahapan penanganan bencana tersebut diantaranya meliputi: tahapan mitigasi berupa peran regulasi seperti PP gambut, pengaturan pola tanam heterogen dan mozaik land cover, serta langkah-langkah untuk emisi gas rumah kaca, karbon dioksida dan hidro kloro floro karbon. Dalam fase preparedness berupa pemantauan hotspot, menara api, peralatan, apel siaga, sekat bakar; sedangkan pada fase tanggap darurat berupa penanganan lapangan; dan pada fase rehabilitasi meliputi langsung kerja lapangan dan penataan sistem seperti sistem drainase gambut; serta akhirnya pada fase recovery dengan langkah-langkah regulasi dan penataan ulang kawasan, penyesuaian tanaman HTI.
Secara lebih khusus dibahas tentang kesiapan menghadapi bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Pembahasan meliputi kesiapan menghadapi potensi bencana kebakaran dengan prinsip kerja bersama, kolaboratif antara Kementerian LHK dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Hal ini sangat penting karena keunggulan lembaga BNPB yang fleksibel dalam akses dan fasilitas termasuk finansial (on call budget). Kedua pimpinan lembaga bersepakat untuk bekerja sama secara simultan dan pada tingkat teknis akan ditindak lanjuti di tataran teknis antara pejabat eselon I dan II Kementerian LHK dan BNPB. “Yang penting sudah ada kesepakatan-kesepakatan secara prinsip yang telah dicapai,“ demikian disampaikan Menteri LHK Siti Nurbaya dan Kepala BNPB Prof Syamsul Maarif secara kompak.

Share Button