Manfaatkan Drone Untuk Pengelolaan KHDTK

Pemanfaatan teknologi mutakhir, seperti drone, sangat diperlukan dalam pengelolaan hutan.  Pemotretan kawasan hutan dengan pesawat tanpa awak tersebut menghasilkan citra dengan resolusi tinggi dan detail. Setelah diolah dengan software, hasil yang ditampilkan adalah foto tiga dimensi yang menggambarkan kondisi hutan sebenarnya. Dengan demikian, pengelolaan kawasan hutan dapat direncanakan dengan akurat dan detail.

Hal itu diungkapkan Graham Ushe, Lanscape Protection Specialist dari PanEco, dalam diskusi konservasi di ruang rapat Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (Balitek KSDA), Senin (9/01). Ia menyebutkan Hutan Lindung Sungai Wain di Kalimantan Timur dan Hutan Batang Toru di Sumatra Utara sebagai dua kawasan yang sudah memanfaatkan teknologi drone. Lebih jauh, Graham menjelaskan cara mengoperasikan drone dan pengolahan data hasil pemotretan.

Ahmad Gadang Pamungkas, Kepala Balitek KSDA menyambut baik pemanfaatan drone untuk pengelolaan hutan, utamanya Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Samboja yang dikelola oleh Balitek KSDA. Dukungan teknologi drone sangat diperlukan dalam menyusun perencanaan yang tepat untuk mengelola kawasan seluas 3.504 ha tersebut.

Manager Program PanEco, Gabriella Fredriksson yang akrab disapa Gaby, menegaskan bahwa hasil pemotretan dengan drone selain dimanfaatkan untuk basis data KHDTK juga harus dapat dimanfaatkan untuk penelitian. Ia bersama Graham juga berkomitmen untuk sharing peningkatan kemampuan staf Balitek KSDA dalam pengoperasian dan pemanfaatan teknologi canggih tersebut.

   20150209_160125Dalam diskusi konservasi yang dihadiri oleh peneliti dan pengelola KHDTK tersebut diperoleh  banyak masukan untuk kegiatan penelitian Balitek KSDA. Stanislav Lhota, dosen dan peneliti dari Czech University of Life Sciences, memberikan masukan terkait rencana penelitian pemanfaatan pulau-pulau kecil di Teluk Balikpapan untuk pelepasan orangutan yang sudah tidak dapat dilepasliarkan. “Pulau-pulau itu hampir semuanya ditumbuhi tegakan mangrove primer, sehingga harus dilindungi dan tidak cocok untuk habitat orangutan. Hanya Pulau Balang dan Pulau Kuanghang yang cukup potensial untuk pelepasan orangutan, namun keduanya sarat konflik,” ungkapnya.

Gaby  menambahkan bahwa isolasi 20150209_154031orangutan di pulau-pulau kecil dalam jumlah sedikit sudah dilakukan di Sumatra untuk tujuan pendidikan. Namun, bila jumlah orangutan cukup banyak, pelepasan semacam itu sulit dilakukan. Karena itu perlu dilakukan strategi lain yang lebih efektif.

Dalam kesempatan tersebut, Gaby mengungkapkan ketertarikannya untuk menjalin kerjasama dengan Balitek KSDA. Ia berharap, payung kerjasama yang kuat dengan lembaga penelitian dapat meningkatkan keberhasilan konservasi alam di Kalimantan Timur. (Emilf)

Share Button

Terkait Petisi Tutup Tambang Batubara Samarinda: Ibu Menteri Siti akan Temui Rahmawati

Rasa syukur itu diucap Rahmawati saat mendengar petisi yang dikirimnya keChange.org  mendapat tanggapan positif dari masyarakat luas. Sampai hari ini, Minggu (8/02/2015), petisi online tersebut telah ditandatangani sebanyak 8.873 pendukung.

Rahmawati (37), melalui Change.org, meminta keadilan atas kematian putranya Muhammad Raihan Saputra (10) pada 22 Desember 2014, di lubang bekas tambang batubara milik PT. Graha Benua Etam (GBE) di Sempaja Utara, Samarinda, Kalimantan Timur.

Petisi bertajuk “Tutup dan Hukum Perusahaan Pemilik Lubang Tambang Batubara Samarinda yang Membunuh Anak-anak” yang ia buat Jumat (23/01/2015) itu, ia tujukan langsung kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan Walikota Samarinda, Syaharie Jaang.

Sepuluh hari berselang, paska petisi tersebut dibuat, Denok Pratiwi, Communication Officer Change, yang didampingi Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Kaltim, mendatangi Rahmawati. Denok menyampaikan kabar baik bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya bersedia menerima Rahmawati di Jakarta. “Ibu Siti akan mendengarkan segala keluh kesah Rahmawati terkait musibah yang menimpanya serta kondisi lubang tambang yang ada di sekitar permukimannya. Dijadwalkan, pertemuannya sekitar pertengahan Februari 2015 ini,” ujar Denok.

Menurut Denok, sebagai open platform petisi publik, Change memandang petisi yang dikirim Rahmawati tersebut penting untuk ditindaklanjuti. Kejadian serupa, ketidakadilan yang menimpa masyarakat kecil terjadi di mana-mana, bukan hanya di Samarinda. Hanya saja, masyarakat kerap pasrah dan menganggap hilangnya nyawa sebagai musibah semata. “Kejadian yang menimpa Rahmawati kerap diselesaikan secara kekeluargaan, hanya diberi santunan dan selesai,” ujarnya

Dari lima kejadian tenggelamnya anak-anak di lubang bekas tambang di Samarinda, Rahmawati merupakan keluarga korban pertama yang secara tegas meminta lubang-lubang tambang ditutup dan para pihak yang terkait diberi hukuman. “Nyawa tidak bisa diganti dengan uang, berapapun jumlahnya,” kata Rahmawati, sembari menyebut ada utusan dari perusahaan yang memberikan uang sejumlah 15 juta rupiah.

 

Kondisi Kota Samarinda akibat pertambangan

 

Dukungan penuh

“Ini lubang tempat Raihan tenggelam,” kata Rahwati sambil menunjuk rekaman lokasi tambang yang ditunjukkan Merah Johansyah yang diambil oleh Jatam Kaltim melalui drone.

Dari rekaman video itu, terlihat ada tujuh lubang tambang yang airnya tampak menghijau. “Saya sudah lama tinggal di sini tapi tidak tahu kalau banyak lubang tambang,” ujar Rahmawati.

“Inilah wajah Kota Samarinda, lubang ada di mana-mana namun tidak banyak yang tahu karena tersembunyi di balik bukit. Padahal, letaknya tidak jauh dari permukiman,” kata Merah Johansyah.

Jatam Kaltim menilai penanganan kasus tenggelamnya anak-anak di Kota Samarinda terus berulang. Keluarga korban tidak pernah mendapat keadilan. “Padahal, perusahaan terbukti melanggar UU Lingkungan Hidup. Pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap perusahaan tambang yang wilayah operasinya dekat dengan pemukiman penduduk,” ujar Merah.

Atas sikap yang diambil Rahmawati, Jatam Kaltim dan Change memberikan dukungan  penuh seraya mengajak jejaring dan pihak-pihak lain yang bersimpati untuk memberi dukungan. “Rahmawati adalah inspirasi bagi kami,” ujar Dhenok.

Bagaimana Rahmawati? Menurutnya, ia siap bertemu Ibu Menteri Siti di Jakarta. “Demi kebaikan bersama. Semoga, kasus meninggalnya anak di lubang bekas tambang tidak terulang lagi,” jelasnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Sumber : klik di sini

Share Button

Perlu Persiapan Serius Jelang Pertemuan Perubahan Iklim di Paris

Indonesia perlu segera menyusun pesan yang kuat dalam Intended Nationally Determined Contribution (INDC) menjelang pertemuan United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang akan digelar pada November 2015 di Paris.

INDC akan menjadi dasar Indonesia dalam perundingan dunia yang bakal membentuk kesepakatan antar-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, mencegah kenaikan suhu Bumi sebesar 2 derajat Celsius.

“Harus ada strong position dari pemerintah Indonesia (dalam INDC),” ungkap Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform dalam temu media bersama Greenpeace, Rabu (4/2/2015).

Menurut Fabby, INDC yang diperkenalkan oleh Ad hoc Working Group on Durban Platform on Enhanced Action (ADP) yang dibentuk tahun 2011 selama pertemuan UNFCCC di Durban punya peran penting.

Sesuai isu “Common but Differentiated Responsibilities” di mana setiap negara entah miskin entah kaya harus berkontribusi melawan perubahan iklim, Indonesia perlu punya pesan jelas sehingga langkah penurunan emisi serta kebutuhannya dipahami.

Meski belum disepakati, INDC perlu memuat strategi mitigasi, adaptasi, serta dukungan dana yang diperlukan untuk mengurangi emisi. “Jadi termasuk dana yang dibutuhkan dari negara maju untuk mengurangi emisi,” katanya.

Penyusunan INDC Indonesia dipimpin oleh Bappenas. Tapi, stakeholder seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga punya peran penting. “Idenya Bappenas akan buat kelompok kerja. Ada dari sisi land based, KLHK akan masuk ke situ,” kata Fabby.

Dengan penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan serta peleburan Badan Pengelola Redd+ dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), penyusunan INDC punya tantangan.

Sebelumnya, penyusunan INDC melibatkan DNPI. Sementara, masalah Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN GRK), science center berada di Kementerian Lingkungan Hidup. “Dengan penggabungan bagaimana ini,” kata Fabby.

Pertemuan di Paris tahun ini penting sebab harus menghasilkan kesepakatan global menurunkan emisi gas rumah kaca. “Saya khawatir kalau kita tidak cepat bersiap-siap, kita tidak akan kuat untuk di Paris nanti,” jelas Fabby.

Selain punya peran internasional untuk negosiasi, Fabby merasa INDC juga penting untuk acuan pemerintah. “Dengan kondisi kita sekarang, kita perlu pressure untuk tidak hanya pro investasi tetapi juga pro lingkungan,” ucapnya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Menteri LHK Pastikan Agenda BP REDD Plus Dilanjutkan

Menyusul peleburan Badan pengelola REDD+ dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berdasarkan Peraturan Presiden No 16/2015, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar memastikan bahwa visi badan yang dilebur tetap dilanjutkan.

“Saya pastikan muatan BP REDD+ akan dilanjutkan,” kata Siti usai dialog Refleksi Kerja 100 Hari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diadakan Selasa (3/2/2015) di Jakarta.

“Saya senang sekali kalau petugas BP REDD+ tetap bersama kita. Agendanya sudah jelas dan sekarang sedang kita konsolidasikan,” imbuh Siti dalam dialog bertema “Semangat Baru Konservasi dalam Eksploitasi Sumber Daya Alam Indonesia” itu.

BP REDD+ dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No 62/2013. Tugas BP REDD+ adalah mengoordinasikan pelaksaan REDD+. Lembaga ini resmi dibubarkan sejak tanggal 21 Januari 2015 lalu.

Siti berjanji bahwa pihaknya akan tetap tetap menjalankan program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta agenda lainnya terkait masalah perubahan iklim.

Dengan peleburan BP REDD+, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) ke KLHK Siti memastikan bahwa pihaknya akan bekerja dengan kelembagaan yang kokoh. Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim akan diisi orang kompeten.

Sementara itu, terakit moratorium hutan dan lahan gambut yang akan berakhir pada Mei 2015 nanti, Siti mengungkapkan pihaknya belum bisa memutuskan. “Kita masih harus pertimbangkan,” katanya.

Sumber : Klik di sini

Share Button

100 Hari Siti Nurbaya, Masalah Lingkungan Hidup Masih Terlupakan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) perlu menaruh perhatian lebih besar pada isu lingkungan hidup yang lebih luas, bukan hanya kehutanan. Masalah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), pencemaran, dan lainnya menanti penyelesaian.

Hal itu mengemukan dalam dialog Refleksi Kerja 100 Hari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bertema “Semangat Baru Konservasi dalam Eksploitasi Sumber Daya Alam Indonesia” yang digelar Selasa (3/2/2014) di Jakarta.

Chalid Muhammad dari Institut Hijau Indonesia mengatakan, dalam 100 hari kerja, Siti Nurbaya Bakar yang menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah punya beberapa pencapaian.

Ia mengatakan, Siti telah membangun budaya kerja baru, membuka peluang pendekatan strategis untuk menyelesaikan beragam masalah lingkungan, serta membangun task force untuk menyelesaikan konflik.

Namun demikian, Chalid juga mengkritisi KLHK yang masih fokus pada masalah kehutanan saja. Padahal, dengan nama barunya, kementerian yang dipimpin Siti itu juga bertgas menyelesaikan masalah lingkungan hidup. “Isu coklantya belum terlihat,” kata Chalid.

“Isu coklat” mencakup masalah lingkungan hidup seperti pencemaran, limbah bahan berbahaya dan beracun, pemberian izin lingkungan, dan analisis mengenai dampak lingkungan. Dikenal pula “isu hijau” yang mencakup hutan, gambut, dan lainnya.

Chalid mengungkapkan, “Soal pencemaran itu perlu jadi perhatian. Penggunaan merkuri secara ilegal itu mencapai ratusan ton. Pencemaran sungai oleh limbah industri dan pencematan akibat industri pertambangan perlu dilihat.”

Menurut Chalid, KLHK perlu membuat satgas khusus di internal KLHK untuk menyelesaikan masalah lingkungan hidup di luar kehutanan. “Supaya sebelum strukturnya sefinitif bisa bergerak cepat menyelesaikan,” papar Chalid.

Anggota DPR RI Komisi 7, Satya Widyayuda, mengungkapkan, perhatian di luar sektor kehutanan penting dalam pengurangan emisi karbon. Emisi dari sektor energi mencapai 30 persen. “Jadi konsentrasinya jangan hutan terus,” cetusnya.

Sumber : Klik di sini

Share Button

Merawat Mangrove Segara Anakan, Menuai Rezeki Perikanan

Sebagai warga Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng), Slamet (54) merasakan betul dampak perubahan lingkungan di kawasan Segara Anakan itu. Karena di tengah Segara Anakan itulah Kecamatan Kampung Laut berada, dengan hanya terdiri dari empat desa yakni Klaces, Panikel, Ujung Alang dan Ujung Gagak berada. Kawasan Segara Anakan yang berhadapan langsung dengan Pulau Nusakambangan itu, harus dicapai dari Cilacap dengan menggunakan perahu compreng dengan waktu 2-3 jam.

Setiap tahun perubahan terjadi, karena kawasan yang berada di sekitar hutan mangrove dan laguna Segara Anakan menerima sedimen dari dua sungai besar yang bermuara di tempat itu, yakni Sungai Citanduy dan Cimeneng. Data dari Dinas Kelautan, Perikanan dan Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan Cilacap menyebutkan, setiap tahunnya ada 1 juta meter kubik lumpur yang masuk dari Sungai Citanduy dan Cimeneng. Dampaknya, muncullah tanah-tanah timbul di areal Segara Anakan.

“Kalau dulu, Segara Anakan masih luas membentang. Lama kelamaan, ternyata muncul tanah timbul. Bahkan, saat ini di sekitar Plawangan atau Kampung Laut yang berbatasan dengan laut lepas sudah mulai tampak daratan, terutama ketika surut. Banyak perahu yang kandas di wilayah setempat. Itu yang warga rasakan,”ujar Slamet.

Slamet dan warga lainnya merasakan betul, sedimentasi telah mengubah lingkungan di Kawasan Segara Anakan. Data Dinas Kelautan, Perikanan dan Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan Cilacap juga menyebutkan kalau sedimentasi telah membuat semakin sempitnya laguna.

Jika tahun 1903 silam, luas Segara Anakan masih mencapai 6.450 hektare. Pada 1984 tinggal 2.906 ha, dan luasnya menjadi 1.200 ha pada tahun 2000. Dan saat sekarang, luasannya tinggal 400 ha. Perubahan lingkungan itu juga dibarengi dengan kian menyempitnya luasan hutan mangrove. Tahun 1970, luas hutan mengrove tercatat masih 17 ribu ha. Namun, setelah 35 tahun kemudian, luasannya tinggal tersisa 6-7 ribu ha.

“Dengan perubahan lingkungan semacam itu, ternyata berdampak pada turunnya hasil tangkapan. Saya orang awam yang tidak tahu apakah perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi hasil tangkapan. Namun, yang kami rasakan adalah, semakin ke sini, hasil tangkapan kian sulit. Sekitar tahun 1990-an, untuk mendapatkan udang dan ikan sebanyak 20 kg per hari, tidak terlalu sulit. Tetapi kini, kian susah. Kadang malah tidak dapat. Maksimal hanya 5 kg saja,”ujarnya.

Ternyata benar, bahwa kondisi lingkungan mangrove dan Segara Anakan yang berubah sangat mempengaruhi perkembangbiakan biota laut. Hasil riset yang dilakukan Ristek dan Science for Protection of Indonesian Coastal Ecosystems(SPICE) menyatakan jika hutan mangrove erat kaitannya dengan potensi perikanan. Sebab, dalam riset tersebut disebutkan kalau potensi perikanan mencapai Rp17 juta dalam setiap hektar hutan mangrove. Sehingga kalau kini hutan mangrove di Cilacap telah menyusut 10 ribu ha, maka sudah ada potensi perikanan senilai Rp170 miliar yang hilang.

Dari berbagai penelitian mengungkapkan jika hutan mengrove merupakan kawasan asuhan (nursery ground) bagi biota yang hidup pada ekosisitem mengrove, juga tempat mencari makan (feeding ground). Sebab, mangrove merupakan produsen primer yang mampu menghasilkan sejumlah besar serasah dari daun dan dahan pohon mangrove sebagai makanan bagi biota di kawasan itu. Kawasan mangrove itu juga sebagai tempat pemijahan (spawning ground) bagi ikan-ikan tertentu agar terlindungi dari ikan predator, sekaligus mencari lingkungan yang optimal untuk memisah dan membesarkan anaknya. Mangrove juga menjadi pemasok larva udang, ikan dan biota lainnya.

Apalagi, dari hasil riiset yang dilakukan Ocean and Coastal Policy Program Duke University menyebutkan kalau serapan 1 ha hutan mangrove sama dengan penyerapan 3-5 hektar hutan tropis. Hutan mangrove yang dikategorikan ekosistem lahan basah mampu menyimpan 800-1.200 ton CO2 ekuivalen per hektar.

Camat Kampung Laut Ahmad Nurlaeli membenarkan bagaimana penduduk di kecamatan itu harus menyesuaikan dengan lingkungan tempat mereka hidup. “Sewaktu Segara Anakan dan hutan mangrove masih luas, maka penduduk dengan gampang mendapatkan ikan, udang dan kepiting. Mereka merasa beruntung bekerja sebagai nelayan. Namun, lambat laun, hasil tangkapan menurun. Hal itu seiring dengan sedimentasi yang semakin banyak masuk Segara Anakan dan menyusutnya luasan hutan mangrove,”katanya.

Di sisi lain, dengan semakin banyaknya “tanah timbul” akibat sedimentasi, warga setempat mulai belajar bertani. “Hal itu sesungguhnya bukanlah profesi mereka sejak awal. Sebab, selama puluhan bahkan ratusan tahun, mereka hidup sebagai nelayan. Tetapi, ada sebagian yang kini mulai menggarap lahan persawahan terutama yang berbatasan langsung dengan Pulau Nusakambangan,”katanya.

Data dari Kecamatan Kampung Laut menyebutkan, kini ada areal persawahan di kecamatan setempat seluas 2.500 ha. Namun demikian, kata Camat, hasilnya tetap masih jauh di bawah hasil sawah daratan. “Meski demikian, mereka tetap menangkap ikan dan udang. Karena kalau hanya dari hasil sawah, jelas tidak mampu mencukupi kebutuhan. Makanya, profesi nelayan tetap dipertahankan, meski hasilnya juga kurang maksimal,”tambah Camat.

 

Gerakan Lingkungan

Di tengah kegalauan penduduk Kampung Laut, ternyata ada warga yang mencoba bergerak untuk keluar dari kesulitan yang terjadi. Dialah Thomas Heri Wahyono. Warga asal Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang yang akrab dipanggil Wahyono itu memulai aksi “hijau” sejak tahun 2001 silam.

Hutan bakau untuk budidaya bandeng. Ternyata, usaha itu hanya beberapa tahun, karena setelah krisis tahun 1998, semuanya gulung tikar. Lokasi ditinggalkan begitu saja dan menyisakan lingkungan mangrove yang rusak parah,”katanya.

Kondisi itulah yang mengundang keprihatinan Wahyono. Ia mengajak keluarganya untuk menghijaukan mangrove kembali. “Ketika awal memulai, tujuan saya hanya menghijaukan saja. Sebab, kawasan yang dulunya hijau, kini menjadi panas akibat terbukanya hutan mangrove. Waktu itu, banyak juga yang mencibir. Ada yang mengatakan kalau saya kurang kerjaan, sehingga mau menghijaukan Segara Anakan. Tetapi, justru cibiran mereka membuat saya semakin kukuh untuk terus bekerja bersama keluarga,”ujar Wahyono.

Dalam perjalanannya, ia membuat kelompok Krida Wana Lestari karena ternyata gerakan itu mendapat respons dari masyarakat. “Sebab, dari mereka melihat, setelah mangrove mulai hidup, saya bisa membudidayakan kepiting dan bandeng. Sehingga mereka mulai sadar kalau ada manfaatnya ketika menghijaukan mangrove,”jelasnya.

Setelah hampir 8 tahun menghijaukan kawasan yang luasannya telah mencapai belasan hektare (ha), Wahyono seperti mendapat durian runtuh. Sebab, Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap melirik aksinya itu dan menjadikan kelompoknya sebagai mitra binaan. “Saya juga kaget, ternyata ada yang tertarik memberikan bantuan. Kelompok berubah nama menjadi Patra Krida Lestari. Terus terang, dengan adanya pembinaan, maka aksi penghijauan semakin luas dan kini telah mencapai 30 ha,” ujar Wahyono yang menjadi ketua kelompok tersebut.

 

Thomas Heri Wahyono, perintis gerakan penghijauan mangrove di Kawasan Segara Anakan, Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan

Ia mengungkapkan berdasarkan pengalamannya, ternyata membudidayakan kepiting dan ikan di lingkungan yang telah ditumbuhi mangrove lebih bagus. “Saya telah mencoba budidaya bandeng dan kepiting. Hasilnya sangat bagus. Untuk lahan 0,5 hektar, misalnya, mampu menghasilkan 3 kuintal ikan bandeng. Kalau dijual menghasilkan Rp4,8 juta. Padahal modalnya hanya kisaran Rp600 ribu. Demikian juga dengan kepiting, hasilnya lumayan dapat mencapai Rp3,5 juta. Kalau lingkungannya tidak dihijaukan dengan mangrove, mustahil bisa mendapatkan hasil seperti itu,”kata Wahyono yang mendapatkan penghargaan Perintis Lingkungan Hidup Jawa Tengah 2010dan Penyelamat Pesisir oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 lalu.

Kini, Wahyono tidak hanya mengajak masyarakat untuk budidaya di kawasan mangrove, tetapi ia berusaha menangkarkan seluruh jenis tanaman mangrove. Berdasarkan buku yang dibacanya, setidaknya ada 35 jenis spesies tanaman mangrove. Kini, ia telah mampu membuat bibit sebanyak 20 jenis mangrove. “Beruntung juga, pada pertengahan September silam, Pertamina RU IV Cilacap membangun Pusat Konservasi Mangrove dan Studi Plasma Nutfah Indonesia di desa ini, Ujung Alang dan diresmikan oleh Menteri Lingkungan Hidup waktu itu,”katanya.

Menurut Wahyono, tidak hanya kelompok Patra Krida Lestari saja yang berperan di situ, karena banyak ahli mangrove yang didatangkan baik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto dan Institut Pertanian Bogor (IPB). “Pusat konservasi ini saya harapkan akan semakin baik dampaknya, sehingga masyarakat di sekitar Ujung Alang dan Kampung Laut bakal menjaga kelestarian mangrove. Sebab, dengan mangrove yang lestari, ternyata mendatangkan rezeki. Karena kondisi lingkungan baik dapat menjadi tempat budidaya yang menghasilkan,”tambah Wahyono.

Camat Kampung Laut Ahmad Nurlaeli berharap dengan gerakan lingkungan di Kampung Laut, penduduk setempat juga akan meningkatkan derajat ekonominya. “Bukan dengan membabat mangrove untuk dijual, tetapi sebaliknya menghijaukan mangrove agar dapat digunakan untuk tempat budidaya. Selain itu, ke depannya, dengan adanya pusat studi mangrove, kami berharap akan menjadi pusat penelitian dan lokasi wisata pengetahuan,”tandasnya.

Sumber : Klik di sini

Share Button