Menjaga Mangrove di Tengah Keterancaman

Azhar Kasim, berkata lantang. Dia meminta pemerintah menindak tegas preman pengusaha sawit yang menekan kelompok pemulihan mangrove di Desa Lubuk Kertang, Langkat, Sumatera Utara.

“Preman-preman kebun sawit itu mengancam saya dengan senjata. Penegakan hukum pelaku perusakan hutan mangrove harus tegas,” katanya. Ucapan itu ditujukan kepada Hilman Nugroho, Dirjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada lokakarya pelestarian mangrove di Bali, pekan lalu.

Azhar mengatakan, ada kelompok warga mau merehabilitasi 1.200 hektar mangrove yang jadi kebun sawit.  Sejak 2009, katanya, bersama Kelompok Tani Mangrove Keluarga Bahari mencoba mengembalikan mangrove dengan menjebol beberapa tembok yang dibangun perusahaan sawit.

Setelah tembok jebol, aliran air laut bisa kembali masuk dan merusak kebun sawit. Sebelumnya, perusahaan sawit mematikan mangrove di sana.

Azhar menyebut baru 275 hektar dari 1.200an hektar lahan kembali jadi hutan mangrove. “Hasil melaut berkurang karena mangrove hilang. Saya besar dari penghasilan nelayan tradisional ini,” katanya.

Nelayan tradisional di areal mangrove ini disebut ambai. Mereka biasa membuat semacam perangkap, ketika air laut surut mendapat ikan– mayoritas udang yang banyak di ekosistem mangrove.

“Sebelum diubah jadi kebun sawit sebulan penghasilan bisa Rp2-3 juta, turun jadi Rp200.000-300.000 setelah mangrove mati,” kata Azhar.

Kelompok tani ini, merancang program ekowisata mangrove untuk menambah penghasilan nelayan setelah tanaman itu dihidupkan kembali dan berusia empat tahun.

Rehabilitasi mengutamakan akses nelayan lokal ini juga dilakukan Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Dia hadir di antara kelompok warga pelestari mangrove di Indonesia.

Menurut dia, tak mudah melawan praktik pemberian izin alih fungsi mangrove. Pada 1980, kawasan timur Surabaya nyaris habis. Pernah ada yang mencoba mengembalikan hutan mangrove lalu rusak lagi. Kala jadi walikota 2010,  dia mengeluarkan peraturan daerah menghentikan izin alih fungsi ini. Dari 3.600 hektar, bisa selamat 2.500 hektar menjadi ruang terbuka hijau kawasan konservasi.

“Kita akan bebaskan terus. Kawasan timur Surabaya lebih banyak terancam karena langsung berbatasan lautan lepas.”

Untuk menarik warga terlibat upaya konservasi, Risma membuat program pemberdayaan UKM lewat usaha pengolahan hasil bakau seperti tempe dan kerupuk mangrove.

Pemerintah kota juga mendorong spesialisasi tangkapan nelayan di pesisir utara. Tiap kampong punya spesifikasi hasil laut, seperti bandeng, kepiting, ikan. Risma melarang, akses air bersih dan listrik ke kawasan konservasi agar tak menarik alih fungsi lahan.

Di Bali, kondisi kebalikan. Kepala Dinas Kehutanan I Gusti Ngurah Wiranatha menyebut banyak proyek besar di kawasan hutan mangrove Ngurah Rai, misal jalan tol di perairan Teluk Benoa dan pelabuhan.

Pengelolaan hutan mangrove juga diberikan kepada investor, dan bermasalah karena dinilai sepihak dan tak trasparan dalam pemberian izin. Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali 2013, menggugat Gubernur Bali ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar karena mengeluarkan surat keputusan (SK) izin pemanfaatan Taman Hutan Rakyat Ngurah Rai  122,22 hektar ke PT. Tirta Rahmat Bahari (TRB). Investor membuat hiburan dan akomodasi dalam hutan mangrove ini.

Dia mengatakan, pemerintah merencanakan revitaliasi 100 hektar pendangkalan dan diklaim tak bisa ditanami mangrove. Karena itu, harus buat alur memudahkan aliran air laut. “Belum ada reklamasi. Masih pengkajian.”

Izin reklamasi untuk PT. TWBI yang ditentang sejumlah warga antara lain, ForBali yang menganggap revitalisasi dengan cara reklamasi bukan jalan keluar. Sebab, merusak lingkungan. Pemberian izinpun dinilai tak transparan.

Tahura Ngurah Rai luas.300an hektar. Memiliki 55 jenis mangrove, dikelompokkan dalam blok perlindungan 610 hektar, pemanfaatan 350 hektar, blok lain seperti pemulihan, khusus, dan religi 413 hektar.

Hilman Nugroho membaca sambutan Menteri Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, sekitar 29% atau lebih dari 1 juta hektar hutan mangrove di Indonesia, rusak.

Dari lebih 3 juta hektar, dalam kondisi baik dan sedang sekitar dua juta. Kerusakan mangrove karena alih fungsi, tambak, pemukiman, industri, infrastruktur, pencemaran limbah, dan lain-lain.

Prof Cecep Kusmana,  Guru Besar Kehutanan IPB meyakinkan mangrove meningkatkan kesuburan tanah. “Juga di pasir seperti Kepulauan Seribu. Harus dilindungi dan dikonservasi.”

Mangrove Cilacap, bisa mengurangi pencemaran dengan menyerap logam berat, intrusi air laut bisa dikurangi, di Pantai Jakarta dari satu km menjadi empat km setelah ada mangrove.

Semua bagian pohon seperti biji dan batang bermanfaat karena mengandung anti oksidan. Teknik rehabilitasi juga berkembang seperti Guludan, breakwater dan menanam di tambak.

Prof Tridoyo Kusumastanto dari IPB mengkritik kebijakan pemerintah dalam rehabilitasi mangrove. Pertama, salah menangkap isu. “Seperti kata Bu Risma, satu manusia berharga. Kalau konsep itu hilang, proses pengambilan kebijakan salah.”

Kedua, implementasi salah walau isu benar. “Implikasi luas kalau ada reklamasi, fungsi terganggu maka sulit mempertahankan keberlanjutan.”

Dwi Wahyu Daryoto, Direktur SDM dan Umum Pertamina memberikan bantuan dana sosial ke komunitas mangrove karena ingin berkontribusi ke masalah global lingkungan dan ketersediaan energi. Secara global, usaha kini harus berorientasi profit, people, dan planet.

Ratna dari Mangrove Action Project Makassar mengkritisi kebijakan pemerintah penganggaran dalam pembibitan. Anggaran, bisa hemat jika penanaman mangrove tepat. “Dari data,  keberhasilan penanaman  rendah. Berjuta mangrove ditanam, seringkali di tempat sama tapi gagal.” Menurut dia, acuan penanaman harus dievaluasi  hingga kegagalan tak berulang.

sumber:klik disini:

Share Button

Kerjasama Perdagangan Karbon Jepang-Indonesia Potensial Turunkan 200.000 Ton Karbon Per Tahun

Sejak tahun 2013, pemerintah Indonesia dan Jepang sepakat melakukan kerja sama di bidang perdagangan karbon dengan skema Joint Crediting Mechanism  (JCM)  atau  Mekanisme  Kredit  Bersama (MKB), dimana institusi  Jepang  dan Indonesia untuk berinvestasi dalam kegiatan pembangunan rendah karbon di Indonesia melalui  insentif  dari  Pemerintah  Jepang.

Selama dua tahun berlangsungya kerja sama, telah ada 96 proyek kegiatan yang telah dilakukan studi kelayakan (feasibility study / FS) di Indonesia. Dari jumlah tersebut, ada 12 proyek yang telah disetujui untuk dilaksanakan, yaitu tiga proyek ujicoba, 8 proyek model dan satu proyek yang telah didaftarkan ke sekretariat JCM internasional.

“Ada 75 studi kelayakan yang telah kami lakukan. Dalam pertemuan ini, akan dilaporkan 21 FS yang nantinya akan diseleksi untuk diimplementasikan. Sehingga total per Februari 2015, Indonesia sudah melakukan 96 FS. Sebanyak  75 FS sudah diseleksi mana yang layak untuk diimplementasikan,” kata Dicky Edwin Hindarto, dari Sekretariat JCM Indonesia dalam acara pertemuan pelaporan studi kelayakan proyek JCM Indonesia – Jepang, di Jakarta pada minggu kemarin.

Dari 75 FS pada kurun 2013-2014, telah diseleksi 13 proyek yang dilaksanakan. Dari 13 proyek tersebut, diproyeksikan ada lebih dari 200.000 ton ton CO2/tahun atau tepatnya 188.932 ton CO2/tahun, yang terdiri dari tiga proyek demonstrasi sebesar 62.833 ton CO2/tahun, 125.992 ton CO2 per tahun dari 8 proyek model, dan 107 ton ton CO2 per tahun dari satu proyek yang telah diregistrasi. Dari 8 proyek model, masih ada dua proyek yang dilakukan penghitungan ulang ekspektasi penurunan emisi karena mengalami desain ulang.

“Ada 13 proyek yang sudah diimplementasikan sampai dengan Februari 2015. Ada 3 dari 13 proyek yang sudah selesai dan beroperasi dengan bagus.  Proyek tersebut mulai dari efisiensi energi, energi terbarukan REDD+, transportasi,” jelas Dicky.

Selain  itu,  telah  dilakukan  ground  breaking  proyek  pembangkitan  listrik  dari  panas  buang  industri (Waste  Heat  Recovery  Utilization)  yang  dilakukan  di  PT  Semen  Indonesia  Tuban.  Proyek  ini merupakan  proyek terbesar di JCM saat ini dengan  nilai investasi mencapai  52 juta USD dan  akan menghasilkan  listrik  sebesar  30,4  MW  dengan  penurunan  emisi  diperkirakan  sebesar  122.000  ton CO2/tahun.

“Ada 2 subsektor proyek yang telah diimplementasikan yaitu efisiensi energi dan energi terbarukan.  Satu yang paling besar adalah kerjasama PT Semen Indonesia, dengan GFE Engineering Jepang, berlokasi di Tuban. Total nilai investasi 51juta USD, dimana 17 persennya atau setara 11 juta USD dibiayai dari proyek JCM. Proyek akan diselesaikan 2017,” katanya.

Sedangkan proyek Energy saving for air-conditioning and process cooling at textile factory  dari  Konsorsium Ebara Refrigeration Equipment & Systems, Nippon Koei, dan PT Primatexco) menjadi proyek JCM pertama yang didaftarkan di dunia. Dan bakal menjadi proyek pertama mendapatkan kredit pengurangan emisi (issued emission reduction credit).

Penurunan  emisi  yang dihasilkan   oleh   proyek   rendah   karbon   dari   proyek   JCM   akan   diukur   menggunakan   metode Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (Measurement, Reporting, and Verification/MRV) berstandar  internasional yang disetujui kedua negara. Besar penurunan emisi  (kredit karbon) akan dicatat dan dapat digunakan untuk memenuhi target penurunan emisi Indonesia dan Jepang sesuai pembagian yang disepakati.

Pada kesempatan yang sama,  Deputi Bidang Koordinasi Kerjasama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rizal Affandi Lukman, mengatakan kerja sama JCM Indonesia – Jepang merupakan bagian dari komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi GRK.

“Program JCM masih relevan bagi pemerintah saat ini.  Dengan kerjasama ini, Indonesia akan diuntungkan dengan lingkungan yang bersih, teknologi pabrik yang diperkenalkan dari Jepang dengan emisi yang lebih kecil,” kata Rizal.

Dia menjelaskan meskipun tidak dijelaskan secara gamblang tentang perubahan iklim dan perdagangan karbon dalam Nawacita,  dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) saat ini, disebutkan dalam rangka untuk menuju pertumbuhan ekonomi perlu keberlanjutan, perlu ditunjang dengan proteksi lingkungan hidup, untuk menjaga ketahanan pangan dan ketahanan energi dan kualitas lingkungan hidup.

“Dalam program JCM ini, tidak membebankan biaya kepada pemerintah Indonesia, misalnya untuk peremajaan teknologi dari Jepang di pabrik yang lebih ramah lingkungan dan emisi karbon yang lebih rendah,” katanya.

Keuntungan bagi Jepang dalam skema JCM ini, upaya yang mereka lakukan dengan memberikan bantuan keuangan bagi pihak swasta (melalui skema JCM) dengan terlibat penggantian penerapan teknologi, akan dicatat Jepang sebagai upaya menurukan emisi GRK mereka.

Sedangkan Takaaki Ito dari Kementerian Lingkungan Hidup Jepang mengatakan Indonesia merupakan satu dari 12 negara yang  telah menandatangani  perjanjian  kerja  sama  skema  JCM  dengan  Jepang. Sebelah negara lainnya yaitu Vietnam, Mongolia, Palau, Meksiko, Maladewa, Ethiopia, Kosta Rika, Laos, Kamboja, Kenya, dan Bangladesh.

Ito mengatakan sudah ada sembilan proyek di 12 negara yang disetujui untuk dilaksanakan, dan empat diantaranya berada di Indonesia.

sumber: klik disini:

 

Share Button

Burung di Indonesia, Bagaimana Kondisinya?

Potensi Indonesia sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman jenis burung liarnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Penemuan jenis baru atau jenis yang sebelumnya pernah tercatat menunjukkan bahwa alam Indonesia masih menyimpan “tabir” yang belum sepenuhnya tergali.

“Sebagai contoh, penemuan kembali dara-laut cina di Indonesia setelah lebih dari 100 tahun tidak terlihat merupakan hasil temuan para pengamat burung,” tutur Agus Budi Utomo, Direktur Eksekutif Burung Indonesia, pada acara Konferensi Nasional Peneliti dan Pemerhati Burung, di Kampus Dramaga Institut Pertanian Bogor, Sabtu (14/02/2015).

Dara-laut cina (Thalasseus bernsteini) merupakan jenis burung migran dari Tiongkok dan Jepang yang berdasarkan IUCN statusnya Kritis (Critically Endangered). Burung berukuran  sekitar 40 cm ini mengembara dengan menggunakan koridor daratan timur sebagai rute perjalanannya. Wilayah pengembaraannya pernah tercatat hingga ke perairan di sekitar Manila, Serawak, dan Halmahera. Secara global, jumlahnya kurang dari 50 individu dewasa.

Untuk Indonesia, burung yang menyukai laut terbuka ini pernah diketahui berada di wilayah Maluku Utara melalui spesimen tunggal yang ada di daerah Kao, Halmahera, pada 22 November 1861. Sejak saat itu, laporan mengenai terlihatnya jenis ini di Indonesia jarang sekali.

Begitu juga dengan serak seram (Tyto almae), salah satu jenis burung baru yang ditemukan pada 2013. Jenis ini ditemukan para peneliti di tempat yang jarang ditelaah yaitu di kawasan Taman Nasional Manusela, Pulau Seram, Maluku.

Menurut Agus, selain pemisahan jenis, temuan jenis dan catatan baru tersebut turut berkontribusi menambah kekayaan jenis burung di nusantara. Berdasarkan hasil studi literatur Burung Indonesia terhitung Januari—Oktober 2014, Indonesia saat ini memiliki 1.666 jenis burung atau bertambah 61 jenis dibanding tahun sebelumnya.

Dari 61 jenis tersebut, tiga di antaranya merupakan jenis baru dan sembilan jenis merupakan catatan baru untuk Indonesia. Jumlah jenis ini belum termasuk jenis-jenis burung pengicau (Passerine) yang saat ini masih dalam proses analisa.

“Dengan penambahan jenis baru ini, Indonesia berada di posisi keempat dunia dalam hal kekayaan total jenis burung. Sementara, dalam hal endemisitas, Indonesia tetap paling unggul dari negara-negara lainnya,” jelas Agus.

Agus melanjutkan, sebanyak 75% jenis baru yang diakui pada 2014 ini merupakan jenis endemis. “Kondisi ini makin memperkokoh posisi Indonesia sebagai negara dengan jenis burung endemis terbanyak di dunia yaitu 426 jenis atau bertambah 46 jenis dari tahun lalu.”

Ani Mardiastuti, Guru Besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor (IPB) menuturkan, keragaman jenis burung di Indonesia ini memang sudah sepatutnya digali karena potensi tersebut memang ada. Terlebih di wilayah Wallacea yang hingga kini masih terus dilakukan penelitian.

Terkait bertambahnya jumlah jenis burung di Indonesia baik dalam hal pemisahan jenis maupun temuan jenis baru, Ani menuturkan, yang jelas dari dulu hingga sekarang keragaman burung yang ada kemungkinan besar yang telah teridentifikasi sebelumnya. Hanya saja, adanya perbedaan sistem taksonomi, terutama morfologi, maka yang tadinya subspecies menjadi fullspecies.

Kondisi ini juga sebetulnya menimbulkan hal yang bertolak belakang. Maksudnya adalah para ornitologi (ahli perburungan) akan senang bila menemukan jenis burung baru. Walaupun tidak diberi nama atas nama mereka, namun penemuan tersebut akan membuat mereka “gembira” karena temuan jenis baru itu.

Sementara, untuk konservasi, dengan ditemukannya spesies baru maka akan ada permasalahan baru yang harus ditangani. Spesies baru yang ditemukan ini sudah dipastikan jumlahnya sedikit dan ditemukan di pulau-pulau yang terpencil. Atau juga, di tempat-tempat terisolir karena sistem evolusi yang mendukung spesies baru tersebut hidup.

“Nah, jenis baru yang berada di wilayah terpencil, endemis atau sebarannya terbatas, dan jumlahnya sedikit, tidak hanya burung tetapi juga primata, dipastikan berdasarkan IUCN akan dimasukkan dalam kategori Kritis,” jelas Ani.

Ani melanjutkan, bagi sebuah negara yang berdasarkan IUCN memiliki daftar spesies yang Kritis maka akan terus diawasi. Apakah sudah bagus atau nilai “raport” nya merah. “Nah, akan menjadi aib bagi Indonesia di mata internasional bila ada spesies yang Kritis itu dinyatakan punah.”

Inilah kontradiksi antara pertambahan jumlah jenis burung di Indonesia dengan perlindungannya. “Namun secara umum, kita harus bangga karena Indonesia kaya, tanpa harus melupakan menjaga kelestariannya,” terang Ani.

Komite

Dewi M. Prawiradilaga, dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, menyatakan bahwa upaya untuk melindungi satwa khususnya burung liar di Indonesia telah ada sejak 1931 oleh Pemerintah Belanda yang tercantum dalam Dierenbeschermings Ordonantie atau Perlindungan Binatang Liar. Dalam peraturan tersebut terlindungi sekitar 248 jenis dari 15 suku.

Meski awalnya peraturan tersebut digunakan Pemerintah Indonesia di tahun 1970, namun penyempurnaan dilakukan dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam pelaksanaannya, pengawetan jenis tumbuhan dan satwa termasuk burung liar diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 sedangkan pemanfaatannya diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999.

Menurut Dewi, berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 1999, saat ini telah ada 419 jenis burung dari 41 suku yang dilindungi. “Kriteria perlindungan tersebut adalah endemis, bermigrasi, populasinya sedikit, habitat spesifik, ancaman tinggi, peranannya di ekosistem.”

Meski begitu, menurut Dewi, dalam skup internasional, peraturan pemerintah ini belum secara menyeluruh dapat melindungi berbagai jenis burung yang oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature) dinyatakan Kritis. Atau juga jenis burung yang berdasarkan CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dilindungi dalam hal konvesndi perdagangan.

“LIPI berfungsi sebagai lembaga otoritas ilmiah, sedangkan yang mengeksekusi perlindungan berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kami hanya bisa mengusulkan jenis apa saja yang harus mendapatkan perlindungan berdasarkan data dan hasil penelitian yang lengkap dan shahih,” ujar Dewi.

Mengenai jumlah jenis burung di Indonesia yang terus bertambah, Prof. (Emeritus) S. Somadikarta, memberikan masukan agar kedepannya dibentuk sebuah komite di Indonesia yang khusus menangani pendataan jenis burung di Indonesia.

Menurut Soma, hal ini penting sebagai acuan, sehingga kita dapat dengan yakin menggunakan data yang dikeluarkan komite tersebut. Jadi, tidak sekadar berdasarkan publikasi semata. Harus hati-hati. Harus ada penelitian mendalam. “Komite ini sudah ada di Inggris, Amerika, maupun Belanda. Bagaimana bentuk komitenya dan siapa yang terlibat harus segera dibahas. Yang jelas, di komite tersebut seluruh ahli burung liar di Indonesia dikumpulkan,” ujarnya.

Dalam konferensi yang berlangsung dua hari itu (13-14 Februari 2015), para peneliti dan pemerhati burung sepakat menobatkan S. Somadikarta sebagai Bapak Ornitologi Indonesia.

Sumber : klik di sini

 

Share Button

Riau Kembali Membara, Perusahaan Diminta Tutup Kanal Besar

Sejak Januari 2015, titik api mulai menghampiri Riau. Hingga kini kebakaran melalap tak kurang 105 hektar hutan dan lahan di provinsi itu, terutama Bengkalis. Tim gabungan baru berhasil memadamkan sekitar 32 hektar di Pulau Rupat, Bengkalis. Sedangkan, upaya pencegahan kebakaran, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menginstruksikan perusahaan menutup atau menyekat kanal-kanal besar.

“Prinsipnya setiap ada titik api harus ditangani dan dimatikan. Beberapa hotspot terjadi, harus segera kendalikan. Di Riau, dari 105 hektar terbakar, 32 hektar sudah dipadamkan,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Minggu (15/2/15) di Jakarta.

Untuk memonitoring perkembangan kebakaran ini, Senin (16/2/15), dia bersama-sama beberapa unit di pusat bertolak ke Riau. Siti juga meminta Menteri Pertanian mewaspadai perkebunan-perkebunan di luar kawasan hutan.

“Karena sudah Lingkungan Hidup dan Kehutanan jadi tanggung jawab saya buat lihat di luar kawasan hutan. Karena beberapa aturan masih kaitkan Mentan, saya sudah minta Mentan agar Dirjen Perkebunan bekerja keras bersama-sama kami,” katanya.

Untuk kebakaran hutan dan lahan ini, katanya, ada empat provinsi yang menjadi prioritas penanganan, yakni, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Namun, kata Siti, kondisi Riau, memang paling parah. “Mengapa?  Riau, lahan gambut dan di lapangan beberapa hal terjadi.”

Di Riau, ucap Siti, sumber-sumber air gambut sudah tertoreh, masuk drainase dan gambut kering. Keadaan ini, jika tak hujan gambut menjadi sensitif. Kondisi tambah parah, kala di lapangan tercampur dengan area terbuka.

Ketika area terbuka, katanya, individual  bisa masuk,  seperti masyarakat denganbacking cukong dan menanam sawit.

Seperti kali ini, tim gabungan sudah mengamankan dua orang tengah menggali parit (kanal) di kawasan yang berdampingan dengan Suaka Masrgasatwa Giam Siak kecil. “Ada temukan eksavator, dua oknum tertangkap dan sudah dikasih ke polda.”

Siti meminta, Polda Riau, mengusut tuntas masalah ini tak berhenti hanya di dua orang yang tertangkap tetapi mengejar otak di balik mereka. “Memang tak mudah di lapangan. Semua pihak harus terlibat. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, TNI, Polri juga swasta,” ujar dia.

Libatkan dunia usaha

Realita di lapangan, katanya, penguasaan lahan terbagi-bagi, ada oleh masyarakat, pemerintah dan swasta. Untuk itu, dalam menangani kebakaran ini, kementerian juga melibatkan dunia usaha.

Kementerian, katanya, menginstruksikan dunia usaha melakukan beberapa hal, antara lain, pertama, membuat sekat dan menutup kanal-kanal lebar sampai 16 meter. Kedua, meminta dunia usaha yang memiliki daerah konflik dengan masyarakat harus diwaspadai dan diawasi terus menerus. Ketiga, meminta dunia usaha lakukan patroli, bisa bersama-sama brigade Manggala Agni, atau mereka sendiri.

Bambang Hendroyono, Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian LHK, mengatakan, penutupan atau penyekatan kanal ini, terutama perusahaan-perusahaan yang  beroperasi di lahan gambut dan rawan kebakaran. Di Riau, katanya, sudah ada hotspot dan ada kebakaran di luar areal perusahaan hingga mereka harus terlibat.

Perusahaan-perusahaan itu, kata Bambang, seperti di Bengkalis termasuk Pulau Rupat, Kabupaten Meranti, Palalawan dan kabupaten-kabupaten lain.

“Di Meranti ada sekitar delapan perusahaan, tiga perusahaan di Bengkalis.  Itu yang paling utama,  perusahaan-perusahaan mesti melakukan upaya.  Penyekatan atau penutupan kanal dan terpenting pemadaman kebakaran di titik-titik api itu.”

Mengenai proses penyekatan kanal, Kementerian LHK masih menyiapkan pedoman teknis dan segera selesai tahun ini. “Ini penanganan dalam jangka pendek agar air tertahan dan membasahi gambuit.”

Saat ini, kata Bambang, kementerian juga bekerja bersama   para pakar teknis untuk membuat konsep tata kelola gambut dalam satu kesatuan hidrologis.

Sumber : klik di sini

Share Button

Komisi Informasi Putuskan Data Shapefile Kementerian LHK Tertutup

Gugatan keterbukaan informasi publik oleh peneliti Citra Hartati, peneliti Indonesian Center of Environmental Law (ICEL) kepada Kementerian Kehutanan (kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dikabulkan sebagian. Sidang putusan dipimpin tiga majelis komisioner Komisi Informasi Pusat, John Fresly, Abdulhamid Dipo Pramono dan Rumadi Ahmad.

Ketua Majelis Komisioner KIP John Fresly dalam sidang putusan Jumat (13/2/15) itu mengatakan, informasi peta analisis satelit tutupan hutan di Aceh 2010-2013 dalam format JPEG terbuka. Begitu juga seluruh dokumen SK Menhut Penetapan IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT beserta lampiran peta format JPEG.

Namun, KIP tidak mengabulkan permohonan membuka data shapefile, hanya boleh data format JPEG. Alasannya, data shapefile bisa berubah-ubah dan belum mempunyai kekuatan hukum merujuk Pasal 45 junto  Pasal 62 UU Informasi Geospasial.

Shapefile terbuka jika ada teknologi bisa mengunci data agar tidak disalahgunakan. “Ada kekecewaan terhadap majelis komisioner. Kita sudah mencoba menyampaikan dari segi teknis dan substansi kenapa shapefile penting. Mereka hanya mempertimbangkan pasal 45,” kata Citra.

Akses peta dalam format shapefile sangat penting guna memonitoring moratorium deforestasi, illegal logging dan perubahan tutupan hutan.

“Segi efektivitas menyulitkan. Harus digitasi satu per satu peta dalam format JPEG.  Segi akurasi, format  JPEG resolusi buruk, akan menyulitkan digitasi ke format shapefile. Berdampak pada akurasi data.” Jika data JPEG dalam skala besar, katanya, ketika digitasi ke shapefile akan selisih berkilo-kilo meter.

Permohonan Citra didukung Koalisi Penyelamatan Hutan dan Iklim Global terdiri dari,Forest Watch Indonesia (FWI), Walhi, AMAN, Greenpeace Indonesia, HuMa, Debt Watch Indonesia, Bank Information Center, dan Civil Society  Forum for Climate Justice (CSF-CI).

Kritikan atas putusan ini datang dari aktivis koalisi Freedom of Information Network Indonesia (FOINI), Dessy Eko Prayitno. “Disayangkan putusan ini hanya mempertimbangkan satu aspek, yaitu potensi pemidanaan KLHK jika membuka peta format shapefile. Substansial kenapa shapefile harus dibuka sama sekali tidak dipertimbangkan.”

Putusan ini,  katanya, menunjukkan KIP belum memahami esensi dasar dan tujuan keterbukaan informasi, kemudahahan akses dan keutuhan informasi.

Banding ke PTUN

ICEL dan koalisi mempertimbangkan banding ke PTUN atas putusan KIP ini. “Masih dipikirkan tapi kemunginan besar banding. Perjuangan tidak berhenti sampai di sini,” kata Citra.

Pekan lalu, saksi ahli hadir dari Badan Registrasi Wilayah Adat, Kasmita Widodo.  Kasmita mengatakan, kalau data shapefile tidak terbuka, masyarakat akan mempunyai keterbatasan mengoreksi atau mengawasi.

“Pasal 1 ayat 4 UU Informasi Geospasial menyatakan, informasi geospasial untuk membantu merumuskan kebijakan berhubungan dengan tata ruang. Hingga konsekuensi dalam membuat kebijakan ada implikasi kepada masyarakat, termasuk penentuan kawasan hutan.”

Sedang Peneliti utama Badan Informasi Geospasial (BIG) Fahmi Amhar mengatakan, ada konsekuensi hukum jika data informasi geospasial belum sah disebarkan ke publik.

Informasi geoapasial, katanya, dalam bentuk shapefile bisa berubah-ubah. Sampai saat ini,  belum ada teknologi bisa mengunci supaya data tidak berkurang atau bergeser.

Gunardo Agung dari Planologi Kementerian LHK usai sidang mengatakan, data shapefile tertutup untuk menghindari penyalahgunaan. Kementerian sudah punya pengalaman soal itu. “Katakanlah peta kawasan hutan lindung. Tapi digandakan ataureview ulang seolah-olah bukan kawasan hutan dan mengadakan kegiatan di sana.” Namun, data lain tetap diberikan, hanya shapefile karena risiko terlalu besar.

Sumber : Klik di sini

Share Button

Kementerian LHK Tarik Sebagian Pelimpahan Izin ke BKPM

Pelimpahan perizinan sektor kehutanan dari 35 bidang ditarik sebagian menjadi 17 saja yang diserahkan ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Alasannya, karena beberapa kewenangan perizinan sudah di pemerintah daerah.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, yang ditarik itu perizinan yang sudah ditangani kabupaten atau provinsi. “Kalau ditarik lagi ke Jakartakan lucu. Contoh perizinan menarik orangutan, dari Taman Safari ke Lampung. Masa’BKPM ngurus begituan?” katanya, awal pekan lalu di Jakarta.

BKPM, katanya, hanya memproses administasi dan tata usaha, teknis tetap KLHK.  Kedua lembaga, katanya, terus berkoordinasi untuk menyederhanakan perizinan dan waktu. “Saran BKPM proses dokumen KLHK hanya 45 hari. Kita mau nawar dan sedang dalami urusan teknis.”

KLHK,  membutuhkan waktu cukup banyak untuk mengurus hal-hal teknis dalan proses perizinan. “Misal, dokumen, penilaian dan penelaahan itu berbeda. Proses normal 110 hari. Kita minta 60 hari. BKPM minta 45 hari. Sekarang sedang nego. Kita lihat uraian prosedur mana yang bisa dikurangi,” katanya.

Hal lain yang dibicarakan, katanya, soal administrasi perizinan. Ketika perizinan sudah ke BKPM, maka yang menandatangani bukan lagi menteri tetapi Kepala BKPM.

“Lalu nanti kop surat, penomoran dan lain-lain bagaimana? Jadi hal-hal teknis seperti itu yang kita rundingkan.”

Nanti, kata Siti, BKPM tiap enam bulan harus membuat laporan kepada KLHK. “Rata-rata izin prinsip ke definitif membutuhkan waktu dua tahun. Jadi BKPM minimal harus laporan empat kali.”

Kemudian,  dokumen-dokumen lama masuk tetapi belum selesai. Contoh, tukar menukar kawasan hutan, itu dokumen lama ada sudah izin prinsip 63 total 231. “Ada syarat tidak lengkap. Terus bagaimana mau diolah kalau tidak lengkap? Ini masih dibahas. Penting untuk kepastian.”

Siti menyangkal anggapan pelimpahan izin kehutanan pada BKPM, berisiko besar terhadap hutan Indonesia. Sebab, meskipun izin di BKPM, proses teknis masih ditangani KLHK.

“BKPM hanya administrasi. Ada empat orang petugas kami di BKPM. Mereka tahu detail. Kepada dirjen mana proses perizinan harus dibawa dan dikoordinasikan.”

Karena itu, katanya, bukan masalah kalau di BKPM ada tenaga ahli lingkungan atau tidak. Karena KLHK terlibat dalam proses perizinan. “Kalau terjadi apa-apa secara hukum, baik KLHK maupun BKPM menjadi tergugat. Juga menteri sektor bisa tergugat.”

Begitu juga dengan proses Amdal, di KLHK paling lama 105 hari tetapi BKPM minta jadi 45 hari. “Yang bikin lama sebenarnya dari pemrakarsa proyek. Konsultan kadang-kadang susah. Prosedur diringkas. Dari aspek esensial seperti pengamatan, laboratorium dan lain-lain sebenarnya bisa 45 hari.” Bagi dia, proses Amdal, singkat sekaligus mendidik yang punya proyek ketat. “Kalau soal kualitas analisis tidak berpengaruh.”

Franky Sibarani, Kepala BKPM mengatakan, intentitas masuk perizinan di KLHK cukup tinggi. “Kita harus terus berkoordinasi dan membahas ini untuk didahukukan. Tentu tidak sederhana,” katanya.

Setelah 26 Januari lalu BKPM  berhasil mengumpulkan semua perizinan dari 22 kementerian dalam sistem perizinan terpadu satu pintu (PTSP). BKPM duduk bersama dan berkoordinasi lintas kementerian guna menyepakati hal-hal teknis dalam perizinan. Terutama soal menyederhanakan administrasi dan mempercepat waktu.”Administasi harus sederhanakan. Prinsip hanya soal waktu.”

Franky mengatakan, prioritas utama percepatan perizinan untuk proyek pembangkit listrik, migas dan jalan.”Listrik sangat mendesak. Presiden memberikan waktu tiga bulan. Jadi kita dahulukan.”

Riskan

Forest Watch Indonesia (FWI) khawatir pelimpahan perizinan di KLHK membahayakan hutan Indonesia. Ketua board perkumpulan FWI Togu Manurung baru-baru ini mengatakan, jika fokus perizinan hanya dipercepat tetapi tidak memperhatikan aspek teknis akan makin membuat hutan babak belur.

“Perizinan itu harusnya instrumen pengendali. Supaya secara teknis siapa berinvestasi dan mendapatkan manfaat keuntungan dari hutan dengan baik dan benar. Tentu mengacu pada ilmu pengetahuan soal kehutanan. Bagaimana mengelola sumber daya hutan berkesinambungan dan lestari.”

Proses perizinan tetap harus tidak memperhatikan aspek teknis dengan kehati-hatian agar tidak menimbulkan dampak lingkungan kemudian hari. “Ujungnya makin menghancurkan sumber daya hutan.”

Dalam SK KLHK soal pelimpahan perizinan ke BKPM, memang tertulis kementerian terkait tetap melakukan kegiatan teknis. Namun, tidak bisa menjamin pengawasan berjalan baik.

“Selama ini pengawasan kementerian hanya formalitas. Fakta, bisnis konsesi HPH sedemikian hancur lebur. Pengawasan hingga kunjungan ke lapangan bisa ratusan kali. Tetapi pengawas diberi angpau,” katanya. Kondisi ini, membuat laporan atas kertas tertulis sudah benar padahal tak sesuai fakta.

Sumber : klik di sini

Share Button