Komisi Informasi Putuskan Data Shapefile Kementerian LHK Tertutup

Gugatan keterbukaan informasi publik oleh peneliti Citra Hartati, peneliti Indonesian Center of Environmental Law (ICEL) kepada Kementerian Kehutanan (kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dikabulkan sebagian. Sidang putusan dipimpin tiga majelis komisioner Komisi Informasi Pusat, John Fresly, Abdulhamid Dipo Pramono dan Rumadi Ahmad.

Ketua Majelis Komisioner KIP John Fresly dalam sidang putusan Jumat (13/2/15) itu mengatakan, informasi peta analisis satelit tutupan hutan di Aceh 2010-2013 dalam format JPEG terbuka. Begitu juga seluruh dokumen SK Menhut Penetapan IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT beserta lampiran peta format JPEG.

Namun, KIP tidak mengabulkan permohonan membuka data shapefile, hanya boleh data format JPEG. Alasannya, data shapefile bisa berubah-ubah dan belum mempunyai kekuatan hukum merujuk Pasal 45 junto  Pasal 62 UU Informasi Geospasial.

Shapefile terbuka jika ada teknologi bisa mengunci data agar tidak disalahgunakan. “Ada kekecewaan terhadap majelis komisioner. Kita sudah mencoba menyampaikan dari segi teknis dan substansi kenapa shapefile penting. Mereka hanya mempertimbangkan pasal 45,” kata Citra.

Akses peta dalam format shapefile sangat penting guna memonitoring moratorium deforestasi, illegal logging dan perubahan tutupan hutan.

“Segi efektivitas menyulitkan. Harus digitasi satu per satu peta dalam format JPEG.  Segi akurasi, format  JPEG resolusi buruk, akan menyulitkan digitasi ke format shapefile. Berdampak pada akurasi data.” Jika data JPEG dalam skala besar, katanya, ketika digitasi ke shapefile akan selisih berkilo-kilo meter.

Permohonan Citra didukung Koalisi Penyelamatan Hutan dan Iklim Global terdiri dari,Forest Watch Indonesia (FWI), Walhi, AMAN, Greenpeace Indonesia, HuMa, Debt Watch Indonesia, Bank Information Center, dan Civil Society  Forum for Climate Justice (CSF-CI).

Kritikan atas putusan ini datang dari aktivis koalisi Freedom of Information Network Indonesia (FOINI), Dessy Eko Prayitno. “Disayangkan putusan ini hanya mempertimbangkan satu aspek, yaitu potensi pemidanaan KLHK jika membuka peta format shapefile. Substansial kenapa shapefile harus dibuka sama sekali tidak dipertimbangkan.”

Putusan ini,  katanya, menunjukkan KIP belum memahami esensi dasar dan tujuan keterbukaan informasi, kemudahahan akses dan keutuhan informasi.

Banding ke PTUN

ICEL dan koalisi mempertimbangkan banding ke PTUN atas putusan KIP ini. “Masih dipikirkan tapi kemunginan besar banding. Perjuangan tidak berhenti sampai di sini,” kata Citra.

Pekan lalu, saksi ahli hadir dari Badan Registrasi Wilayah Adat, Kasmita Widodo.  Kasmita mengatakan, kalau data shapefile tidak terbuka, masyarakat akan mempunyai keterbatasan mengoreksi atau mengawasi.

“Pasal 1 ayat 4 UU Informasi Geospasial menyatakan, informasi geospasial untuk membantu merumuskan kebijakan berhubungan dengan tata ruang. Hingga konsekuensi dalam membuat kebijakan ada implikasi kepada masyarakat, termasuk penentuan kawasan hutan.”

Sedang Peneliti utama Badan Informasi Geospasial (BIG) Fahmi Amhar mengatakan, ada konsekuensi hukum jika data informasi geospasial belum sah disebarkan ke publik.

Informasi geoapasial, katanya, dalam bentuk shapefile bisa berubah-ubah. Sampai saat ini,  belum ada teknologi bisa mengunci supaya data tidak berkurang atau bergeser.

Gunardo Agung dari Planologi Kementerian LHK usai sidang mengatakan, data shapefile tertutup untuk menghindari penyalahgunaan. Kementerian sudah punya pengalaman soal itu. “Katakanlah peta kawasan hutan lindung. Tapi digandakan ataureview ulang seolah-olah bukan kawasan hutan dan mengadakan kegiatan di sana.” Namun, data lain tetap diberikan, hanya shapefile karena risiko terlalu besar.

Sumber : Klik di sini

Share Button

Kementerian LHK Tarik Sebagian Pelimpahan Izin ke BKPM

Pelimpahan perizinan sektor kehutanan dari 35 bidang ditarik sebagian menjadi 17 saja yang diserahkan ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Alasannya, karena beberapa kewenangan perizinan sudah di pemerintah daerah.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, yang ditarik itu perizinan yang sudah ditangani kabupaten atau provinsi. “Kalau ditarik lagi ke Jakartakan lucu. Contoh perizinan menarik orangutan, dari Taman Safari ke Lampung. Masa’BKPM ngurus begituan?” katanya, awal pekan lalu di Jakarta.

BKPM, katanya, hanya memproses administasi dan tata usaha, teknis tetap KLHK.  Kedua lembaga, katanya, terus berkoordinasi untuk menyederhanakan perizinan dan waktu. “Saran BKPM proses dokumen KLHK hanya 45 hari. Kita mau nawar dan sedang dalami urusan teknis.”

KLHK,  membutuhkan waktu cukup banyak untuk mengurus hal-hal teknis dalan proses perizinan. “Misal, dokumen, penilaian dan penelaahan itu berbeda. Proses normal 110 hari. Kita minta 60 hari. BKPM minta 45 hari. Sekarang sedang nego. Kita lihat uraian prosedur mana yang bisa dikurangi,” katanya.

Hal lain yang dibicarakan, katanya, soal administrasi perizinan. Ketika perizinan sudah ke BKPM, maka yang menandatangani bukan lagi menteri tetapi Kepala BKPM.

“Lalu nanti kop surat, penomoran dan lain-lain bagaimana? Jadi hal-hal teknis seperti itu yang kita rundingkan.”

Nanti, kata Siti, BKPM tiap enam bulan harus membuat laporan kepada KLHK. “Rata-rata izin prinsip ke definitif membutuhkan waktu dua tahun. Jadi BKPM minimal harus laporan empat kali.”

Kemudian,  dokumen-dokumen lama masuk tetapi belum selesai. Contoh, tukar menukar kawasan hutan, itu dokumen lama ada sudah izin prinsip 63 total 231. “Ada syarat tidak lengkap. Terus bagaimana mau diolah kalau tidak lengkap? Ini masih dibahas. Penting untuk kepastian.”

Siti menyangkal anggapan pelimpahan izin kehutanan pada BKPM, berisiko besar terhadap hutan Indonesia. Sebab, meskipun izin di BKPM, proses teknis masih ditangani KLHK.

“BKPM hanya administrasi. Ada empat orang petugas kami di BKPM. Mereka tahu detail. Kepada dirjen mana proses perizinan harus dibawa dan dikoordinasikan.”

Karena itu, katanya, bukan masalah kalau di BKPM ada tenaga ahli lingkungan atau tidak. Karena KLHK terlibat dalam proses perizinan. “Kalau terjadi apa-apa secara hukum, baik KLHK maupun BKPM menjadi tergugat. Juga menteri sektor bisa tergugat.”

Begitu juga dengan proses Amdal, di KLHK paling lama 105 hari tetapi BKPM minta jadi 45 hari. “Yang bikin lama sebenarnya dari pemrakarsa proyek. Konsultan kadang-kadang susah. Prosedur diringkas. Dari aspek esensial seperti pengamatan, laboratorium dan lain-lain sebenarnya bisa 45 hari.” Bagi dia, proses Amdal, singkat sekaligus mendidik yang punya proyek ketat. “Kalau soal kualitas analisis tidak berpengaruh.”

Franky Sibarani, Kepala BKPM mengatakan, intentitas masuk perizinan di KLHK cukup tinggi. “Kita harus terus berkoordinasi dan membahas ini untuk didahukukan. Tentu tidak sederhana,” katanya.

Setelah 26 Januari lalu BKPM  berhasil mengumpulkan semua perizinan dari 22 kementerian dalam sistem perizinan terpadu satu pintu (PTSP). BKPM duduk bersama dan berkoordinasi lintas kementerian guna menyepakati hal-hal teknis dalam perizinan. Terutama soal menyederhanakan administrasi dan mempercepat waktu.”Administasi harus sederhanakan. Prinsip hanya soal waktu.”

Franky mengatakan, prioritas utama percepatan perizinan untuk proyek pembangkit listrik, migas dan jalan.”Listrik sangat mendesak. Presiden memberikan waktu tiga bulan. Jadi kita dahulukan.”

Riskan

Forest Watch Indonesia (FWI) khawatir pelimpahan perizinan di KLHK membahayakan hutan Indonesia. Ketua board perkumpulan FWI Togu Manurung baru-baru ini mengatakan, jika fokus perizinan hanya dipercepat tetapi tidak memperhatikan aspek teknis akan makin membuat hutan babak belur.

“Perizinan itu harusnya instrumen pengendali. Supaya secara teknis siapa berinvestasi dan mendapatkan manfaat keuntungan dari hutan dengan baik dan benar. Tentu mengacu pada ilmu pengetahuan soal kehutanan. Bagaimana mengelola sumber daya hutan berkesinambungan dan lestari.”

Proses perizinan tetap harus tidak memperhatikan aspek teknis dengan kehati-hatian agar tidak menimbulkan dampak lingkungan kemudian hari. “Ujungnya makin menghancurkan sumber daya hutan.”

Dalam SK KLHK soal pelimpahan perizinan ke BKPM, memang tertulis kementerian terkait tetap melakukan kegiatan teknis. Namun, tidak bisa menjamin pengawasan berjalan baik.

“Selama ini pengawasan kementerian hanya formalitas. Fakta, bisnis konsesi HPH sedemikian hancur lebur. Pengawasan hingga kunjungan ke lapangan bisa ratusan kali. Tetapi pengawas diberi angpau,” katanya. Kondisi ini, membuat laporan atas kertas tertulis sudah benar padahal tak sesuai fakta.

Sumber : klik di sini

Share Button

Bakau, Fungsi Ekosistem yang Bernilai Ekonomi

Hutan bakau tidak hanya melindungi daratan dari abrasi, intrusi air laut, serta menahan gelombang, tetapi juga menjadi tempat berlindung satwa.

Banyak pihak tidak menyadari manfaat hutan bakau ketika pada tahun 1990-an hutan bakau dibabat habis untuk tambak udang. Akibatnya baru terasa ketika lingkungan pesisir rusak.

Abrasi parah tidak hanya menghilangkan daratan, tetapi juga penghidupan warga pesisir. Hutan bakau tidak hanya melindungi daratan dari abrasi, intrusi air laut, serta menahan gelombang, tetapi juga menjadi tempat berlindung berjenis satwa, terutama kelompok krustasea, seperti udang dan kepiting.

Bakau juga menyerap karbon dan logam berat sehingga membantu memulihkan kondisi air yang tercemar.

Fungsi-fungsi tersebut tidak tergantikan ekosistem tumbuhan lain. Karena itu, rehabilitasi terhadap bakau harus terus dilakukan.

Berdasarkan data dari Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah tahun 2013, seluas 8.594,89 hektare dari 11.732 hektare lahan bakau di pesisir Jawa Tengah, terutama di pesisir utara, rusak. Lahan pesisir yang terabrasi hingga tahun 2013 mencapai 5.235,74 hektare.

Akhir-akhir ini ada kesadaran masyarakat untuk menyelamatkan hutan bakau. Di Kota Semarang, misalnya, ada 10 kelompok masyarakat yang aktif menyelamatkan hutan bakau.

Di antaranya, kelompok mahasiswa Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang dan kelompok anak muda di Tapak, Desa Tugurejo, Kecamatan Tugu.

Daerah Tapak merupakan kawasan yang terkena abrasi paling parah di Kota Semarang. Puluhan hektar tambak di daerah ini yang dikembangkan dengan menebang hutan bakau, kini lenyap terkena abrasi.

Apa yang dilakukan para mahasiswa Undip tersebut bermula pada tahun 2001. Ketika menjalani perkuliahan di Teluk Awur, Jepara, mahasiswa Undip tersebut melihat kondisi pesisir rusak parah. Bakau berganti hamparan tambak yang terkikis abrasi. Mereka lalu berinisiatif memulai gerakan menanam bakau secara mandiri dengan menyisihkan uang saku. Dari kegiatan itu, terbentuklah Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur (KeSEMaT).

Di Tapak, Desa Tugurejo, juga di tahun 2001, sekelompok anak muda tergabung dalam komunitas Prenjak, yang aktif melakukan pembibitan dan penanaman mangrove. Menurut Ketua Komunitas Prenjak Arifin, komunitasnya didirikan untuk mengalihkan aktivitas anak muda dari hal negatif. Kegiatan ini diawali Abdul Roviq, anggota karang taruna. Dia menyemangati rekan-rekannya berbuat sesuatu ketimbang kumpul tanpa arah.

Mereka patungan membeli bibit bakau dan menanami tambak. Lama kelamaan, mereka pun membuat bibit bakau sendiri.

Berkembang KeSEMaT dan Prenjak sama-sama melihat manfaat hutan bakau bagi lingkungan maupun kehidupan. Sebagai organisasi mahasiswa, KeSEMaT bertujuan mengembangkan penelitian ekosistem bakau dan pelestarian lingkungan.

“Kami melihat banyak orang kehilangan penghidupan karena rusaknya hutan bakau,” kata Arief Marsudi Harjo, alumni dan anggota dewan kehormatan KeSEMaT, di Kota Semarang, Sabtu (7/2).

Kegiatan anak-anak muda itu ternyata berkembang. Di Teluk Awur, KeSEMaT telah menanami 6,4 hektare lahan dengan 17 jenis tanaman bakau dan kini menjadi habitat berbagai jenis hewan primata, burung, dan reptil.

Kelompok ini banyak mendampingi warga agar mendapat perhatian pemerintah. Mereka tergabung dalam kelompok kerja baku dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional. Kelompok ini mendapat penghargaan Tunas Lestari Kehati pada Januari lalu.

Para alumni KeSEMaT membentuk CV KeSEMaT Mangrove Indonesia (Kemangi) yang bergerak dari sisi bisnis, seperti menyediakan bibit bakau untuk pemerintah dan BUMN. Prenjak juga memproduksi bibit bakau yang ditawarkan kepada BUMN, pemerintah, maupun masyarakat. Lebih jauh lagi, Prenjak mengembangkan budidaya bandeng dan membuat alat penahan ombak.

“Tambak di daerah ini tercemar limbah pabrik yang dibuang ke sungai. Ukuran bandeng kian mengecil. Setelah bakau tumbuh besar dan banyak, ukuran bandeng membesar. Ternyata mangrove membantu mengembalikan kondisi air ke arah ideal,” jelas Arifin.

Ekowisata

Bukan hanya manfaat lingkungan, semangat para pemuda merehabilitasi bakau tumbuh terlebih karena mendapat manfaat ekonomi dari penjualan bibit, pengolahan bakau menjadi aneka penganan, hingga budidaya bandeng.

Bedul, wisata seru menyusuri hutan mangrove di Banyuwangi, Jawa Timur. | Ira Rachmawati/Kompas.com

Para pemuda ini bercita-cita menjadikan lokasi desa mereka sebagai tujuan ekowisata bakau. Namun, hal tersebut terganjal kepemilikan lahan sebuah perusahaan swasta.

Melalui Prenjak pula, banyak anak muda putus sekolah dapat melanjutkan sekolah hingga tingkat SMA. Meski upaya rehabilitasi hutan bakau telah dilakukan berbagai pihak, ternyata tetap tidak sebanding dengan laju kerusakan.

Kepala Bidang Pengendalian Kerusakan dan Konservasi Lingkungan Hidup Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jateng Wahjudi Djoko Marjanto menyebutkan, pembangunan sabuk pantai terus dilakukan tiap tahun, tetapi masih sangat kurang dari kebutuhan.

Sumber : klik di sini

Share Button

Atasi Banjir Datang, Menhut Janji Bedah Hulu Citarum dan Ciliwung

Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya Bakar mengungkapkan bahwa pihaknya akan menggencarkan kawasan tangkapan air di hulu sungai yang mengarah ke wilayah DKI Jakarta. Langkah itu merupakan bagian dari penanganan banjir yang masih rutin menyambangi wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.

Menurut Siti, lahan hijau di kawasan hulu sungai yang mengarah ke DKI perlu diperbanyak.  Terutama di hulu sungai Citarum dan Ciliwung. “Yang pasti Ciliwung kita akan bangun vegetasi dan penanaman kembali sekitar 500 hektar,” ujarnya usai mengikuti rapat di kantor presiden, Jakarta, Rabu, (11/2).

Selain itu, kata Siti, akan ada pembangunan unit penahan air yang jumlahnya 50 menit. Program lain yang akan digalakkan adalah pembangunan gully-plug atau cek dam di kawasan Cisarua dan Megamendung, Kabupaten Bogor.

“Kita akan bangun ada penahan 50 unit. Kita akan beresin gully-plug (cek dam) di Cisarua, Megamendung 150 unit,” sebutnya.

Siti menambahkan, wilayah yang cukup luas untuk ditanami dan dijadikan kawasan tangkapan air ada ri hulu Citarum. “Dana untuk penghijauan ini berbeda.  Untuk DAS Ciliwung Rp 3 miliar. Untuk Citarum Rp 5,5 miliar,” sebutnya.

Selain itu, kata Siti, program lainnya adalah membuat sumur resapan di pemukiman, taman, masjid, sekolah dan wilayah-wilayah rawan banjir. Untuk rencana ini, Kemenhut akan berkoordinasi dengan Pemda DKI dan KemenPU.

Sumber : klik di sini

Share Button

Korupsi Kehutanan, Gubernur Riau Nonaktif Didakwa Terima Suap Rp5,5 Miliar

Sidang perdana korupsi alihfungsi hutan melibatkan Gubernur Riau nonaktif Annas Maamun digelar di Pengadilan Tipikor Bandung, Rabu (11/2/15). Dalam sidang yang dipimpin ketua majelis hakim, Parulian Lumban Gaol ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mendakwa Annas menerima suap Rp5,5 miliar.

Dalam dakwaan, Annas dijerat dengan tiga pasal sekaligus UU Tindak Pidana Korupsi, yakni Pasal 11, 12a dan 12b dengan ancaman maksimal 20 tahun.

Dakwaan dibacakan bergantian empat JPU dengan ketua Irene Putrie, dan anggota,  Wawan Yunarwanto, Ariawan Agustiartono dan Taufiq Ibnugroho.

Dakwaan pertama Annas telah menerima suap US$166.100 setara Rp2 miliar dari pengusaha sawit, Gulat Medali Manurung pada 24 September 2014. “Uang itu diberikan karena terdakwa telah memasukkan kebun sawit Gulat dan Edison Marudut Marsadauli ke usulan revisi perubahan kawasan bukan hutan di Riau,” kata Irene.

Perkebunan sawit Gulat masuk usulan revisi seluas 1.188 hektar di Kabupaten Kuantan Sengingi dan 1.214 hektar di Bagan Sinembah, Rokan Hilir. Sedang kebun sawit Edison 120 hektar di Duri, Bengkalis.

Pada 21 September, Annas menghubungi Gulat melalui telepon selular meminta uang Rp2,9 miliar, sedianya akan diberikan kepada 60 anggota DPR untuk mempercepat pengesahan RTRW Riau.

Dalam RTRW usulan, terdapat revisi perubahan kawasan hutan menjadi perkebunan sawit Gulat dan Edison. “Namun Gulat dan Edison hanya mampu menyediakan US$166.100. Dengan perincian Rp1,5 miliar dari Edison dan Rp500 juta Gulat.”

Dakwaan kedua, Annas menerima uang Rp500 juta dari Edison melalui Gulat.”Uang diberikan agar Annas memberikan proyek di lingkungan Riau kepada Edison.”

Pada 2014, perusahaan Edison, PT Citra Hokiana Triutama memenangkan proyek dari Dinas Pekerjaan Umum Riau. Antara lain proyek peningkatan jalan Taluk Kuantan-Cerenti Rp18 miliar, peningkatan jalan Simpang Lago-Simpang Buatan Rp2,7miliar dan jalan Lubuk Jambi-Simpang Rp4,9 miliar.

“Ketiga, terdakwa menerima hadiah uang dalam bentuk dolar Singapura dari Surya Darmadi melalui Suherti Terta setara Rp3miliar dari janji Rp8 miliar.”

Pemberian uang ini, untuk memasukkan lahan PT Palma Satu, PT Panca Agro Lestari, PT Banyu Bening Utama dan PT Seberida Subur, anak usaha PT Darmex Agro di Indragiri Hulu dalam surat Gubernur Riau tentang revisi usulan jadi APL. Surat ini bagian usulan revisi SK Menhut nomor 673/menhut-II/2014 tertanggal 8 Agustus. “Padahal lokasi ini tidak termasuk yang diusulkan tim terpadu.”

Uang Rp3 miliar diberikan kepada Annas melalui Gulat. Gulat menerima Rp650 juta dari Suheri. Total suap diterima Annas Rp5,5 miliar. 

Menolak eksepsi

Mendengar dakwaan JPU, Annas berkomentar,”Saya tak pernah dimintai keterangan dan konfirmasi mengenai dakwaan kedua.”

Hakim Parulian menanyakan kepada Annas apakah akan membacakan eksepsi ? Annas berdiri menghampiri tim penasehat hukum. Beberapa saat menyatakan, tidak akan membacakan eksepsi.

Sumber : klik di sini

Share Button

Jerat Mafia Pemburu Gading Gajah dengan Pasal Berlapis

Ancaman hukuman untuk pemburu gajah menurut UU No 5 tahun 1990 adalah 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Namun juru bicara WWF Riau, Syamsidar, berharap pemburu gading gajah yang dibekuk Selasa (10/2/2015) bisa dihukum lebih berat.

“Saya harap bisa dijerat dengan pasal berlapis,” kata Syamsidar saat dihubungi Kompas.com, Kamis (12/1/2015)

Syamsidar mengungkapkan, dalam kurun waktu tahun 2004 – 2014, ada 145 gajah yang mati dibunuh. Namun, penangkapan pada pelaku yang ditindaklanjuti dengan proses hukum yang memberikan efek jera jarang sekali dilakukan.

Menurutnya, kasus penangkapan mafia pemburu gading gajah di Riau bisa menjadi momentum bagus untuk menunjukkan ketegasan hukum pada para pemburu satwa liar.

Syamsidar menuturkan, pemberlakuan pasal berlapis pada pemburu gajah pernah dilakukan pada tahun 2005 lalu. Pemburu dikenakan pasal melawan petugas, di mana 2 orang sampai harus ditembak hingga tewas di tempat, lalu juga penggunaan senjata api dan perburuan.

“Dengan pemberlakuan pasal berlapis itu akhirnya satu pelaku bisa dihukum hingga 12,5 tahun penjara,” katanya.

Dalam kasus perburuan gading gajah di Riau kali ini, kepolisian berhasil mengamankan barang bukti berupa senapan api, peluru, dan 8 gading gajah. Adanya barang bukti berupa senapan dan peluru bisa menjadi dasar pemberlakuan pasal penggunaan senjata api.

Syamsidar mengatakan, hukuman semaksimal mungkin pada pemburu gading gajah diperlukan. “Agar mereka takut, jera,” katanya.

Sumber : klik di sini

Berita terkait lainnya :

Share Button