1 Juta Hektar Lahan Pangan, Prioritaskan Warga dan Perhatikan Lingkungan

Bulan lalu, Menteri Pertanian meminta lahan satu juta hektar kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk pengembangan pangan, berupa palawija (pagi, kedelai dan jagung) dan tebu. Namun, ada indikasi pemerintah akan memberikan pengelolaan lahan itu kepada investor ataupun BUMN. Sikap ini mendapat tanggapan dari berbagai kalangan.

Tejo Wahyu Jatmiko, koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera mengatakan, pengelolaan lahan pangan mesti mengutamakan buat warga. “Jangan pernah menyerahkan kepada swasta,” katanya, baru-baru ini di Jakarta. Sebab, katanya, tidak ada hubungan antara kedaulatan pangan Indonesia dengan swasta.

Sifat swasta, yang ingin mendapatkan profit, kata Tejo, tidak pernah memikirkan kebutuhan pangan warga, kecuali harga pangan lebih tinggi dari luar negeri.

Indonesia, katanya, punya PP 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman sebagai turunan UU Sistem Budidaya Tanaman.  Dalam pasal-pasal di sana, tidak ada kewajiban investor memasarkan produksi ke dalam negeri. “Atau dengan kata lain tidak ada hubungan antara kebutuhan dalam negeri dan kewajiban memasok bagi pengusaha. Kewajiban hanya saat ada bencana alam atau kegagalan panen luar biasa.”

Meskipun begitu, katanya, permintaan satu juta hektar untuk 10 pabrik tebu dan kebun serta lahan padi dan palawija pada dasarnya wajar-wajar saja. Sebab, Indonesia memang memerlukan lahan untuk mencukupi kebutuhan pangan.

Namun, kata Tejo, ada beberapa hal perlu dicermati. Pertama, harus dipastikan tidak ada tumpang tindih kepemilikan, terutama dengan masyarakat adat dan tempatan.Kedua, menjadi tidak wajar apabila pembukaan hutan begitu luas terlebih dalam satu hamparan. “Ini akan membuat goncangan lingkungan. Jadi harus benar-benar diperhitungkan daya dukung dan tampung lingkungan suatu kawasan.”

Ketiga, proporsi harus jelas berapa persen untuk pabrik gula, berapa persen kebun dan padi atau palawija. Menurut dia, Indonesia,  lebih memerlukan lahan untuk menyediakan pangan rakyat. Keempat, prioritas pengelolaan harus untuk masyarakat adat dan lokal.

Beralih ke sawit

Kussaritano, Direktur Eksekutif Mitra Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah, merasa heran pemerintah berdalih sibuk mengembangan lahan buat tanaman pangan. Padahal, lahan pangan yang sudah ada tak terjaga hingga banyak beralih fungsi menjadi kebun sawit dan lain-lain.

Dia mencontohkan di Kalteng,  Desa Anjir Mambulau, Kabupaten Kapuas,  banyak memproduksi produk-produk pertanian, dari padi, sayur mayur sampai buah-buahan. Sayangnya, kawasan ini terancam ekspansi perkebunan sawit. “Harusnya pemerintah bisa menjaga lahan-lahan tani produktif itu agar tak berubah jadi fungsi lain,” ujar pria yang bisa dipanggil Itan ini.

Redistribusi tanah buat petani

Sedangkan, Rudi Cas Rudi, Ketua Rukun Tani Indonesia dan Anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sampai saat ini, Mentan belum melakukan gebrakan menangani masalah pangan di negeri ini.

Data BPS, pada April-Agustus 2014,  Indonesia impor beras 676.227 ton dengan biaya ratusan miliar. Angka impor ini tidak wajar karena Indonesia negara agraris dengan kesuburan tanah cukup bagus. Sepanjang 2014, impor beras dari lima negara, yaitu Vietnam, Thailand, Myanmar, India dan Pakistan.

Sebenarnya, kata Rudi, tak sulit menanggulangi impor beras. Pemerintah perlu mencetak sawah 150.272,6 hektar. Hasil panen petani dari satu hektar sawah sebanyak 4,5 ton dengan setahun tiga kali panen. “Ini total produksi beras selama satu tahun 2.030.853,6 ton. Dalam setahun sudah surplus beras.”

Menurut dia, beberapa faktor penyebab Indonesia menjadi pengimpor beras. Pertama, alih fungsi lahan pertanian berbasiskan tanaman pangan menjadi antara lain, perumahan, infrastruktur dan pabrik. Tidak terjamin ekonomi rumah tangga petani skala kecil, khusus di desa-desa membuat petani menjual tanah dan mencari pekerjaan lain untuk bertahan hidup.

Kedua, pembukaan lahan-lahan baru untuk pertanian tak untuk pengembangan pangan industri pangan, tetapi perkebunan komersil seperti sawit, dan karet.

Untuk itu, Rukun Tani Indonesia pun menyerukan kepada pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla melakukan beberapa hal. Pertama, memerintahkan Kementerian Agraria, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan dan kementerian lain meredistribusi tanah guna mencetak sawah.

Kedua, menjamin pasar produksi pertanian sehat dengan mengurangi impor dan meningkatkan produksi pertanian. Hingga kebutuhan beras tercukupi, bahkan memungkinkan swasembada pangan.

Ketiga, mengembangkan teknologi pertanian organik dalam pengolahan pertanian. “Khusus pertanian padi agar petani-petani tidak tergantung pupuk kimia.”

Sumber : klik di sini

Share Button

Minim Pemahaman Penyebab Penghalauan Gajah Memakan Korban Manusia

Minimnya pemahaman membuat upaya penghalauan gajah kerap memakan korban. Januari 2015 lalu, seorang warga dusun Lubukcengkeh, Musarapakat, Aceh, tewas dalam upaya penghalauan.

“Pengusiran kita lakukan malam. Waktu itu gajahnya kita kepung,” ungkap Suheri, Kepala Yayasan Penyelamatan Satwa Bener Meriah yang terlibat upaya penghalauan kepada Kompas.com di sela pelatihan penghalauan gajah Sumatera yang diselenggarakan WWF Indonesia di Takengon, Aceh, Selasa (17/2/2015).

Heri bercerita, gajah yang dikepung akhirnya bingung dan tidak menemukan jalan keluar. Ketika gajah akhirnya tidak berhasil dihalau, salah seorang anggota tim yang terlibat pengusiran justru mendekati gajah. Akhirnya, anggota tim tersebut justru menjadi korban amukan gajah dan tewas diserang.

Mengidentifikasi kesalahan dalam kasus tersebut, Heri mengatakan, “Kita tidak kompak.” Anggota tim yang mendekati gajah adalah tetua desa dan terkenal memiliki keberanian. Dari kasus tersebut, Heri sadar bahwa keberanian saja tidak cukup.

Syamsuardi, Koordinator Mitigasi Konflik Gajah-Harimau, mengungkapkan bahwa penghalauan gajah untuk mencegah konflik dengan warga dan perusakan lahan tidak cukup dengan kekuatan dan keberanian.

“Prinsip pengusiran tidak ada unsur pemaksaan. Kita tidak ingin bertengkar dengan gajah tetapi ingin dia menjauhi kita. Dalam mengusir gajah, tidak boleh ada korban, baik gajah ataupun manusia,” ungkap Syamsuardi.

Dari kasus pengusiran yang dilakukan tim Heri, pelajaran yang penting adalah memberikan pilihan bagi gajah untuk bergerak dalam upaya penghalauan, bukan mengepungnya. “Kita harus tahu ke mana gajah akan dihalau dan memberikan jalan ke sana,” jelasnya.

Syamsuardi menambahkan, dalam pengahalauan gajah, kuncinya adanya pemimpin, sikap tenang, memastikan gajah mengetahui keberadaan manusia, serta kekompakan. “Masing-masing menggadaikan nyawa,” jelasnya.

Ada pula beberapa pantangan seperti tidak mengusir gajah pada malam hari, tidak menghalau gajah yang sedang birahi, tidak mengusir gajah dengan cara yang mengagetkan, serta selalu berada di tempat yang lebih tinggi saat berhadapan.

Syamsuardi mengatakan, keahlian dalam menghalau gajah saat ini penting. Di Aceh, konflik dengan satwa liar semakin tinggi seiring semakin banyaknya pembukaan lahan untul kebun. Keahlian menghalau gajah akan meminimalkan kerugian dan konflik dengan satwa yang kian terancam tersebut.

Sumber : klik di sini

Share Button

Tanpa BP REDD+, Kalimantan Timur Tetap Jalankan Agenda Perubahan Iklim

Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak, menyatakan bahwa Kalimantan Timur tetap akan menjalankan agenda perubahan iklim. Pernyataan tersebut disampaikan Awang terkait Peraturan Presiden No.16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang telah melikuidasi BP REDD+, pada pertemuan yang diselenggarakan oleh Dewan Daerah Perubahan Ikllim di Samarinda, (Rabu/18/2/2014).

Awang menyatakan, Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) akan tetap dipertahankan dan bila perlu ditingkatkan dasar hukumnya. “DDPI merupakan salah satu best practice dari Kalimantan Timur, jadi harus dipertahankan dan kalau perlu landasan hukumnya bukan lagi SK Gubernur melainkan peraturan daerah,” ujar Awang.

Lebih lanjut, Awang meminta Ketua Harian DDPI Kalimantan Timur (Kaltim) untuk mempersiapkan pertemuan dengar pendapat dengan DPRD Provinsi Kaltim agar mendapatkan dukungan dan posisinya lebih kuat. “DDPI itu bukan gubernur, tapi kita semua termasuk LSM yang peduli dan punya komitmen terhadap perubahan iklim. DDPI adalah payung” tegas Awang.

Awang juga meminta LSM agar tidak apriori terhadap pemerintah provinsi. Menurutnya, Pemerintah Kaltim terbuka dan menghargai sikap kritis LSM. “Saya terbuka untuk berdiskusi dan mari kita selamatkan kekayaan sumber daya hayati Kalimantan Timur ,” himbaunya.

Pemerintah provinsi serius dalam menahan laju kerusakah hutan dan lahan di Kalimantan Timur. “Surat edaran  moratorium perizinan untuk tambang batubara, pembukaan lahan perkebunan, dan hak pengusahaan hutan akan saya tingkatkan menjadi peraturan gubernur,” pungkasnya.

Daddy Ruhiyat, Ketua Harian DDPI Kaltim, menegaskan bahwa DDPI memfokuskan kegiatan pada upaya koordinasi, pemantauan, dan evaluasi program yang berkaitan dengan perubahan iklim dengan mendorong implementasinya. “Kegiatan DDPI Kaltim dilaksanakan oleh tiga kelompok kerja (pokja), yaitu Pokja REDD+/LULUCF, Pokja Green Growth, dan Pokja MRV,” terangnya.

Wiwin Efendi, Koordinator WWF Indonesia-Kalimantan Timur, mendukung niat Gubernur Kaltim untuk mempertahankan DDPI. “DDPI telah dikenal di tingkat nasional dan internasional. Kami sepakat untuk tidak dibubarkan namun perlu direformulasi terkait dengan peraturan presiden yang telah diterbitkan presiden,” kata Wiwin.

Dukungan serupa disampaikan Deddy Hadriyanto, Direktur Pusat Kajian Iklim Universitas Mulawarman. Mengacu pada peraturan presiden dimana ada Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Deddy bahkan mengusulkan agar DDPI menjadi unit pelaksana teknis (UPT). “Dengan menjadi UPT yang berada langsung di bawah gubernur, kinerja DDPI akan lebih efektif dan mampu mengontrol seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang ada di Kaltim,” ujarnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Sumber : klik di sini

Share Button

Nanik, Gajah Sumatera di SM Padang Sugihan Sebokor, Melahirkan Anak Pertamanya

Jumat (30/01/2015) pagi, Nanik (45) “menjerit” kesakitan di bawah sebuah pohon gelam. Cairan terus membasahi kedua pahanya. Rahmad hanya memperhatikan sembari bersiaga. Sekitar pukul 08.05 WIB, akhirnya Nanik berhasil melahirkan anaknya. Seekor gajah jantan.

Nanik merupakan gajah betina keempat, dalam tiga tahun terakhir, yang melahirkan di Suaka Margasatwa (SM) Padang Sugihan Sebokor, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Sebelum Nanik, ada Adelia, Yeyen, dan Susi yang melahirkan di sana.

“Ini merupakan anak pertama Nanik. Anak ini hasil perkawinannya dengan Tulus (30),” kata Rahmad, pawang gajah yang merawat Nanik, saat mengajak Mongabay Indonesia melihat Nanik dan anaknya di padang rumput yang jaraknya sekitar lima kilometer dari Kantor Pusat Latihan Gajah Padang Sugihan, Banyuasin, Kamis (19/02/2015) siang. Gajah yang dilatih di Padang Sugihan ini ada sekitar 29 ekor.

Menurut Rahmad, saat ini ada empat anak gajah yang usianya dua tahun. “Kesehatannya belum stabil. Kalau sudah berusia tiga tahun, akan diberikan nama. Tapi yang memberikan orang kantor (BKSDA Sumsel),” kata Rahmad.

Rahmad mengaku sangat bahagia melihat Nanik melahirkan anak pertamanya, setelah hamil hampir dua tahun. Selama kehamilannya, Rahmad mengaku sangat cemas. Apalagi Nanik mengandung anak pertamanya.

“Saat anaknya dilahirkan dengan kondisi sehat, rasanya lega dan bahagia,” kata Rahmad.

Selama ini, banyak gajah hamil dari Air Sugihan dibawa ke daerah lainnya, termasuk ke Jawa dan Bali. “Saat mendengar mereka melahirkan dari pemberitaan, rasanya hati miris, sebab sejak kecil hingga hamil kami yang merawatnya. Jadi, ketika gajah yang kami rawat melahirkan di sini, rasanya bahagia sekali. Semua pawang di sini merasa bahagia,” ujarnya. Ada 30-an pawang yang bekerja di Pusat Latihan Gajah Padang Sugihan.

Objek wisata

Baru dalam setahun terakhir, keberadaan Pusat Latihan Gajah Padang Sugihan di Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor ini diketahui sebagian besar masyarakat Sumatera Selatan. Ini pun terungkap setelah adanya kunjungan sejumlah pejabat BP REDD+ (sebelum dibubarkan) ke lokasi tersebut. Padahal, pesisir timur Sumatera Selatan sejak dahulu dikenal sebagai wilayah gajah sumatera.

“Terus-terang keberadaan gajah di sini sebelumnya luput dari pantauan. Setelah diketahui, jelas ini merupakan potensi wisata yang cukup besar. Rencananya, ke depan lokasi ini akan dijadikan objek wisata lingkungan,” kata M. Ali Akbar, Staf Ahli Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Bidang Infrastruktur, saat mengunjungi Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor, Kamis (19/02/2015).

Objek wisata lingkungan berbasis sungai ini akan dijalankan sebelum penyelenggaraan Asian Games 2018 nanti. Ada pun rutenya, dimulai dari Plasa Benteng Kuto Besak. Dari sini wisatawan diajak mengunjungi Taman Purbakala Sriwijaya di Karanganyar, Gandus, Palembang.

“Di sini, para wisatawan akan melihat taman buah. Di sini juga para wisatawan diperbolehkan menanam pohon buah. Jadi, kondisinya seperti taman buah di masa Kerajaan Sriwijaya dulu,” kata Ali.

Selanjutnya, wisatawan diajak menuju Bagus Kuning yang berada di Plaju Palembang. Wisatawan akan menyaksikan ratusan monyet ekor panjang yang memiliki legenda yang cukup dikenal di Indonesia. Para wisatawan dapat memberikan makanan kepada ratusan monyet ekor panjang itu.

Perjalanan diteruskan menuju Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor. Di sini, para wisatawan dapat melihat langsung gajah sumatera yang tengah dilatih. Di lokasi ini wisatawan juga diperbolehkan melakukan penanaman.

Berikutnya, pulang ke arah Palembang menuju Pulau Kemarau. Di pulau ini selain berwisata reliji dan kuliner, para wisatawan juga dapat melakukan penanaman pohon di pulau yang terletak di tengah Sungai Musi itu.

Terakhir, wisatawan diajak ke Jakabaring, melihat taman, hutan wisata, dan berperahu di kanal, di lokasi yang dijadikan tempat penyelenggaraan Asian Games 2018 nanti.

“Guna menunjang kegiatan wisata tersebut, akan dilakukan pembangunan dan peneydiaan infrastruktur seperti dermaga, kapal cepat, pusat kuliner dan kerajinan. Intinya menyenangkan, hijau, dan mensejahterahkan masyarakat,” kata Ali.

Najib Asmani, Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Lingkungan Hidup, menjelaskan konsep wisata tersebut merupakan hasil pemikiran para staf ahli dari bidang lingkungan hidup, pariwisata dan kebudayaan, dan infrastruktur.

“Ini sesuai keinginan Gubernur Sumsel Alex Noerdin, agar ke depan Sumsel harus hijau, indah, dikunjungi wisatawan sehingga ekonomi rakyat meningkat, serta bebas kebakaran. Potensi Sumsel, khususnya Palembang, jika dibandingkan dengan Thailand, Malaysia, Vietnam, jauh lebih baik dan banyak. Semua ada di sini, dari wisata air, sejarah, hingga keindahan wilayah pegunungan,” ujarnya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Melestarikan Jasa Lingkungan Mangrove

Pantai Mertasari, Sanur Kauh, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, hari Jum’at (13/2) riuh. Pada tanah timbul yang dibelah Sungai Loloan, para pegiat mangrove, tua-muda, putera-puteri, menyeberangi sungai, dan menanam bibit mangrove.

Sebagian pohon mangrove pantai Mertasari telah meranggas mati, lantaran tak tersentuh air laut. Sedimentasi yang membentuk tanah timbul menghalangi air laut menyentuh sebagian hutan mangrove.

Berbagai macam sampah terkumpul di pantai, menutupi akar-akar pohon, makin mempercepat kematian pohon mangrove. Penanaman para pegiat mangrove itu bakal memperkaya dan menumbuhkan kembali mangrove di pantai Mertasari.

“Mangrove mempunyai peran spesifik lokal yang tidak bisa digantikan oleh hutan lain,” tutur Cecep Kusmana, pakar silvikultur Institut Pertanian Bogor dalam forum ‘Mangrove for Nation: Mangrove untuk Pembangunan Berkelanjutan’. Cecep menuturkan mangrove hanya bisa tumbuh di daerah pasang surut. “Di luar itu tidak bisa.”

Selain berperan secara ekologis, mangrove bermanfaat dalam pembangunan sebagai sumber pangan, papan, obat-obatan dan energi. Fungsi jasa lingkungan mangrove mencapai 95 persen. Namun, tanpa ada nilai 5 persen yang berupa kayu, jasa lingkungan 95 persen itu tidak akan ada.

“Mangrove berperan sebagai penyangga kehidupan untuk air, tanah dan udara. Di samping itu juga berfungsi sebagai penyerap karbon, tempat hidup ikan dan burung,” papar Hilman Nugroho, Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Menurut hasil penelitian, hutan mangrove selebar 200 meter, dengan kerapatan pohon 3.000 per hektare, dengan diameter rata-rata 15 cm bisa meredam tinggi gelombang hingga 50-60 persen, dan kecepatannya ombak 40-60 persen,” imbuh Cecep Kusmana. “Jadi, pohon-pohon mangrove memecah gelombang.”

Untuk itulah, papar Hilman, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menginisiasi peta Mangrove Nasional. “Dimulai dari Pulau Jawa dan Sumatra. Pada 2012-2013, telah dilakukan rehabilitasi sekitar 31.675 hektare hutan mangrove di 423 kabupaten/kota,” ungkap Hilman.

Pada forum yang diselenggarakan oleh Kompas dan Pertamina itu, Walikota Surabaya Tri Rismaharini mengutarakan upaya pemerintah kota dalam melestarikan hutan mangrove. Ia memaparkan bahwa Rencana Tata Ruang Kota Surabaya terus berubah dari 1978 hingga 2008. Padahal, dia menegaskan, perlindungan hutan mangrove sangat tergantung pada rencana tata ruang.

Dia memaparkan bahwa pemerintah kota telah menyelamatkan 2.500 hektare, dari 3.600 hektare mangrove, yang belum dibebani izin. “Tapi, ya, dengan penyesuaian, pelan-pelan. Seiring waktu, memang hutan mangrove telah banyak berubah, banyakmizin sudah dikeluarkan. Hutan yang diselamatkan itu dikembalikan menjadi kawasan konservasi mangrove pantai timur Surabaya (Pamurbaya).” Upaya pelestarian mangrove di Surabaya juga mengajak masyarakat terlibat.

“Siapa saja, siswa-siswi, pelajar, TNI-Polri dan seluruh LSM.” Namun, Tri Rismaharini menuturkan, tetap saja ada pihak yang ingin mendapatkan izin untuk melepas kawasan mangrove yang telah dilestarikan itu. “Mungkin ngetes saya…. Tapi tidak saya lepaskan kawasan itu. Sampai kapan pun tidak akan saya lepas.”

Forum Mangrove for Nation adalah untuk mempertemukan para pihak dalam melestarikan hutan mangrove. “Intinya, bumi itu hijau. Faktanya, ada masalah abrasi dan sebagainya, sehingga daratan menjadi berkurang. Maka, gerakan yang makin intensif adalah rehabilitasi mangrove, di samping menghijaukan bumi, juga menahan adanya abrasi,” papar Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto.

Tidak hanya di pantai Mertasari, upaya Pertamina merehabilitasi lahan-lahan pesisir yang kritis juga dilakukan di semua wilayah operasi Pertamina. “Yang paling dekat, nanti kita lakukan upaya yang sama di Semarang, Jawa Tengah.”

Dia menambahkan pelestarian lingkungan melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan terangkum dalam ‘Menabung 100 Juta Pohon’. “Ini sebagai kontribusi bagi bumi, serta bagi nusa dan bangsa.”

sumber: klik di sini

Share Button

AMAN: Segera Bentuk Satgas Khusus Masyarakat Adat

Hampir 70 tahun Indonesia merdeka. Namun, kemerdekaan itu tampaknya belum dirasakan masyarakat adat yang hidup dalam ketidakpastian, karena hak-hak mereka belum terpenuhi, termasuk soal wilayah adat. AMAN mendesak, pemerintah segera merealisasikan satgas khusus masyarakat adat.

“Hingga saat ini pemerintah tidak mempunyai data tentang masyarakat adat dan wilayahnya,” kata Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), di Jakarta, Senin (16/2/15).

Padahal, katanya,  keberadaan data memudahkan pemerintah dalam kebijakan seperti satu peta, putusan MK 35, dan UU Desa. Hal ini,  sejalan dengan komitmen presiden guna menghadirkan lembaga permanen bagi masyarakat adat.

“Ini juga mudah-mudahan tidak dilupakan. Sebenarnya, beberapa bulan belakangan kami bekerja sekretaris kabinet menyiapkan satu keputusan presiden tentang pembentukan satuan tugas presiden untuk masyarakat adat.”

Draf pembentukan satgas dan jadwal rapat ini, katanya, sebenarnya sudah siap. Namun, tersandung konstalasi politik yang memanas terkait konflik KPK vs Polri.

“Sekarang presiden sibuk mengurus urusan KPK dan Polri. Mudah-mudahan setelah gonjang-ganjing selesai pembuatan satgas berjalan,” ujar dia.

Tugas satgas, antara lain, menyiapkan kerangka pasti terhadap pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Termasuk pendaftaran dan pengakuan hukum wilayah.  ”Tidak ada sistem administrasi terhadap masyarakat dan wilayah adat. Ini tantangan besar.”

Hampir 75%, wilayah adat terbebani izin, baik HPH, tambang, HGU dan lain-lain. Pemberian izin, merupakan perampasan wilayah adat. Tak hanya itu, kerusakan lingkungan dan pencemaran terjadi. Celakanya,  kalau masyarakat protes, justru seringkali mengalami kriminalisasi.

“Bukan perusahaan yang kena. Baru-baru ini kami menyerahkan 166 nama dipenjara dan masih buronan kepada presiden lewat seskab.  Kami rekomendasikan mendapatkan grasi, abolisi, dan amnesti presiden. Ini tugas satgas yang nanti dibentuk.”

Menurut dia, mekanisme permanen dan UU perlindungan masyarakat adat belum ada, maka kebijakan transisi seperti pembentukan satgas menjadi penting.

“Ini kebijakan transisi supaya masyarakat adat tidak makin tertindas. Kebijakan transisi mungkin belum bisa memulihkan situasi, minimal tidak menambah masalah dan tidak membuat pelanggaran HAM masyarakat adat makin banyak,” ucap Abdon.

Tugas satgas, katanya, memastikan pengesahan RUU masyarakat adat  dengan peran serta pemerintah dan mempersiapkan lembaga permanen.

“Lembaga ini bisa karena dimandatkan RUU yang akan disahkan, atau juga langsung di bawah presiden. Seperti Badan Pengembangan Ekonomi Kreatif sekarang dibentuk, langsung di bawah presiden. Hingga jadi pekerjaan rutin pemerintahan.”

Satgas juga mendata dan menginventarisir korban-korban kriminalisasi dan memberikan rekomendasi kepada presiden.  “Mana yang dapat grasi, amnesti, abolisi maupun rehabilitasi.”

Maksud satgas ini, kata Abdon, memulai proses rekonsiliasi antara negara dengan masyarakat adat. “Ketika rekonsiliasi berjalan lanjutkan  dengan badan tetap.”

Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mengatakan, pendaftaran wilayah adat langkah awal menuju pengakuan masyarakat adat.

“Kejelasan data peta wilayah dan informasi sosial masyarakat adat dapat menggambarkan sejarah keberadaan, serta hubungan masyarakat dengan tanah, air dan ruang hidup.”

Sayangnya, hingga kini belum ada lembaga pemerintah resmi sebagai tempat pendaftaran wilayah adat di Indonesia. Padahal, pemetaan partisipatif oleh masyarakat adat sudah sejak 20 tahun lalu.  “Sudah banyak peta adat dihasilkan.”

Akhir 2014, BRWA bersama AMAN dan JKPP telah menyampaikan 517 peta adat seluas 4,8 juta hektar kepada BP REDD+ dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

RUU Masyarakat Hukum Adat tak masuk Prolegnas

Sementara itu, RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat  yang dibahas DPR periode lalu ternyata tak masuk prioritas prolegnas DPR 2015.

“Walaupun masuk ke kerangka kerja prolegnas lima tahun ke depan. Ini satu tantangan lagi,” kata Kasmita.

Abdon sangat kecewa karena tdak sesuai janji Presiden Joko Widodo saat kampanye.”Ketika Pak Jokowi calon presiden dan bertemu AMAN, memberikan komitmen menindaklanjuti berbagai usulan yang AMAN. Kita juga bisa lihat dokumen nawacita. Dia akan mengawal percepatan RUU masyarakat adat.”

“RUU itu sudah ada di DPR. Mungkin kurang koordinasi antarkabinet. Kami menemukan di dalam usulan pemerintah ke DPR baru-baru ini, RUU tidak masuk prioritas 2015. Sangat mengecewakan.”

Belajar dari Filipina

Kondisi di Indonesia,  sebenarnya berbanding terbalik dengan Filipina. Negara ini, masyarakat adat baru masuk konstitusi pada 1987 dan tindak lanjut cepat. Sedangkan, Indonesia, masyarakat adat masuk konstitusi sejak 1906 tetapi tak ada tindaklanjut.

Dalam kesempatan sama direktur National Commission of Indigenous People (NCIP) Marlea Munez menceritakan, hak masyarakat adat Filipina masuk konstitusi 1987. Hanya tempo 10 tahun ditindaklanjuti mengeluarkan UU tentang hak-hak masyarakat adat (Indigenous Peoples Right Act-IPRA).

Melalui IPRA, pemerintah membentuk NCIP khusus menangani masyarakat adat. Lembaga ini,  bertugas melayani kepentingan masyarakat adat. Termasuk pendaftaran wilayah adat.

NCIP bertugas mengeluarkan sertifikat hak wilayah adat dan sertifikat tanah leluhur. Ketika ada konflik tenurial masyarakat adat di Filipina, NCIP mendampingi hingga konflik selesai.

Meski begitu ada hal-hal yang membuat NICP tidak efektif. Bagi Abdon, hal itu sebagai pembelajaran agar lembaga di Indonesia, lebih baik dari Filipina.

“Salah satu yang membuat tidak efektif karena budget dan organisasi kecil. Budget kecil itu banyak untuk biaya operasional rutin seperti gaji pegawai. Kapasistas keseluruhan lemah. Ke depan lembaga ini tidak ingin seperti itu. Harus lebih kuat.” Hal ini penting mengingat masyarakat adat di Indonesia lebih besar dan wilayah lebih luas dari Filipina.

 

sumber : klik disini

Share Button