Bom Waktu Perusakan Hutan

Tiga hari sebelum pemerintahannya berakhir, Susilo Bambang Yudhoyono meletakkan ”bom waktu” yang secara pasti dan legal akan merusak bahkan akan menghabiskan kawasan hutan Indonesia.

Seluruh fungsi kawasan hutan yang telah dikukuhkan ataupun sedang dalam proses pengukuhan dapat dilegalkan untuk diberikan hak, atau diikutkan dalam program pemberdayaan masyarakat, kepada orang-orang atau masyarakat yang mendudukinya. Hutan segera hancur, seluruh fungsi hutan akan musnah atas nama program prorakyat.

Terbitnya Peraturan Bersama (Perber) Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 79/2014, No PB.3/Menhut-II/2014; No 17/PRT/M/2014; dan No 8/SKB/X/2014 tanggal 17 Oktober 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan dengan jelas menetapkan tata cara pemberian hak atas tanah bagi orang-orang atau kelompok masyarakat yang berada dan menguasai ataupun menggunakan tanah kawasan hutan tanpa batasan-batasan konservasif sekalipun. Satu hal yang menarik, KPK ikut mendorong dalam proses terbitnya Perber 17 Oktober 2014 tanpa menyadari masalah besar yang akan atau sudah ditimbulkannya.

Sekilas, perber di atas menampakkan empati normatif, yakni memberikan penghargaan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat atas tanah, khususnya di dalam kawasan hutan, dan dimaksudkan agar dapat dilakukan penanganan yang cepat secara terpadu. Bagi orang awam, terkesan merupakan good will pemerintah yang prorakyat dan semestinya wajib didukung masyarakat luas.

Perber yang merupakan hasil perjuangan kelompok masyarakat, terutama lembaga swadaya masyarakat Aliansi Masyarakat Adat Nasional, yang sebelumnya gagal mendorong pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat hingga berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014, akhirnya membuahkan terbitnya Perber 17 Oktober 2014, di saat injury time, sebelum presiden baru dilantik. Meski sekilas merupakan perjuangan tenurial yang jadi hak kerakyatan, ternyata perber ini melanggar hal-hal sangat prinsip, bahkan berpotensi pelanggaran pidana.

Sebagai gambaran, semua penguasaan lahan kawasan hutan di semua fungsi hutan, termasuk hutan lindung dan konservasi, akan diakomodasi dalam bentuk penegasan hak dan pengakuan hak atas tanah, ataupun pemberian program pemberdayaan masyarakat di dalam/di sekitar kawasan hutan (Bab III Pasal 8) dengan syarat relatif ringan. Prosedur pelepasan kawasan hutan maupun alih fungsi yang mestinya melibatkan DPR diabaikan.

Hal utama lain, perber ini melihat obyek hukum ”hutan” yang dianggap sama saja dengan tanah lainnya, bukan ”hutan” yang memiliki fungsi khusus, apalagi yang telah dikukuhkan.

Titik rawan

Perber 17 Oktober 2014 pada Bab II mengatur pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah yang berada di kawasan hutan tersebut dimulai dengan membentuk Tim IP4T (inventarisasi, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah). Tim dipimpin kepala BPN setempat yang selama ini diketahui sebagai pihak yang selalu ”berseteru” dengan pihak kehutanan.

Dalam pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah yang berada di kawasan hutan secara terpadu tersebut, pihak kehutanan (Dirjen Planologi Kehutanan) tampak berada pada posisi yang ”kalah” dan ”wajib” menerima hasil Tim IP4T. Juga ”harus” memerintahkan pelaksanaan tata batas kawasan hutan di lapangan dalam waktu 14 hari (Bab IV Pasal 12), sebagai dasar penerbitan SK Perubahan Batas Kawasan Hutan. SK ini digunakan sebagai landasan untuk diterbitkannya sertifikat hak atas tanah bagi masyarakat terkait.

Titik-titik rawan dalam proses penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan tersebut dapat dirasakan pada Bab III Pasal 8 Ayat (1) dan (2), bahwa seluruh tanah kawasan hutan yang ”dikuasai dan dimanfaatkan” oleh masyarakat selama 20 tahun secara berturut-turut atau lebih (di dalam peraturan BPN sendiri disebutkan 30 tahun), dan bahkan apabila kurang dari 20 tahun dalam rangka reforma agraria, dapat dilepaskan dari kawasan hutan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak sulit.

Dalam hal bidang tanah yang dikuasai tak memenuhi syarat/ kriteria di atas pun tetap diberi hak kelola melalui program/kegiatan pemberdayaan masyarakat di dalam/di sekitar kawasan hutan. Artinya, seluruh masyarakat yang telah melakukan aktivitas ”ilegal” sekalipun akan diakomodasi untuk tetap berada di dalam dan menguasai/menggunakan kawasan hutan. Proses yang diatur dalam Perber 17 Oktober tersebut juga memberikan peluang yang—setelah penguasaan dan penggunaan lahan hutan mencapai lebih dari 20 tahun atau kurang (melalui program reforma agraria)—otomatis dapat diajukan proses pelepasan dan perolehan hak atas tanahnya.

Perber tersebut akan mengundang euforia perambahan baru kawasan hutan, sebab pada saatnya nanti, sesuai Bab II Pasal 4, bisa diajukan permohonan melalui IP4T untuk disahkan. Sebuah fenomena kebijakan politik yang secara pasti mengancam rusaknya sumber daya hutan, mengundang bencana alam, menghambat kemajuan ekonomi bangsa.

Praktik di lapangan

Di saat masyarakat masih terperangah oleh huru-hara politik kenegaraan kini, dengan cepat Petunjuk Pelaksanaan IP4T sudah diterbitkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN (ditandatangani Januari 2015). Namun, sampai tiga hari menjelang sosialisasi Juklak IP4T, 9 Februari 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkesan belum tahu. Bahkan ada informasi bahwa BPN telah menerbitkan 167 sertifikat tanah komunal, yang diduga terkait Perber 17 Oktober 2014.

Sebagai gambaran, khusus di Kalimantan Tengah saja sedang terjadi dorongan kepada masyarakat untuk mengukur tanah hutan masing-masing 5 hektar dalam proses pelaksanaan perber tersebut. Kepala demang yang merupakan kepala adat tingkat kecamatan malah menyatakan akan menerbitkan surat keterangan tanah adat bagi masyarakat.

Pemerintahan Joko Widodo harus segera mengambil langkah pengamanan hutan dengan memperbaiki Perber 17 Oktober 2014 dengan mencantumkan pembatasan yang tak mengabaikan fungsi pokok hutan dan kehutanan. Penyelesaian masalah tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat sosial lainnya yang berhak hutan patut tetap dijamin serta dilancarkan.

Masalah pembatasan proses pemberian hak atas tanah bagi masyarakat dalam fungsi-fungsi hutan tertentu juga harus jelas mengatur perlindungan terhadap kawasan hutan lindung dan konservasi, yang berfungsi mengendalikan kerusakan alam, bencana lingkungan, perlindungan tata air, pengendali erosi, banjir, dan kekeringan, konservasi biodiversitas, perlindungan plasma nutfah serta pengendalian pemanasan global dan perubahan iklim. Demikian pula terhadap lahan kawasan hutan yang memiliki ciri khas tertentu, misalnya cagar budaya, cagar alam, suaka margasatwa, dan fungsi konservasi lainnya yang seharusnya dilindungi sebagai kawasan hutan tetap.

Pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta DPR layak cemas dengan terbitnya Perber 17 Oktober 2014 tersebut. KPK juga memiliki beban moril untuk bersama-sama ikut mendorong penyelamatan fungsi hutan sebagai inti lingkungan hidup dengan mendorong merevisi perber tersebut.

Terkait penghargaan terhadap hak masyarakat atas kehidupannya dari tanah hutan, bukankah pemerintah dalam pelaksanaan tata batas untuk pengukuhan kawasan hutan selalu diikuti dengan menetapkan adanya enklave lahan/permukiman masyarakat, yang sebelumnya telah diidentifikasi menggunakan dasar Peraturan Menhut No P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.

Di sisi lain, pemerintah juga telah berjanji akan memberikan lahan kawasan hutan seluas 12,7 juta hektar kepada rakyat, di samping ketentuan kepada pemegang hak izin usaha kehutanan untuk memberikan minimal 20 persen lahan usaha bagi kepentingan usaha rakyat, juga kegiatan hutan kemasyarakatan yang kini baru terealisasi sekitar 600.000 hektar.

Sumber : Klik di sini

Share Button

Aparat Sita 14 Jenis Satwa Dilindungi Dari Penggerebegan Pedagang Ini

Tim dari Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse dan Kriminal (Tipiter Bareskrim) Markas Besar Polri dibantu Centre for Orangutan Protection (COP) dan Jakarta Animal Aid Network (JAAN) menggrebek pedagang satwa liar dilindungi di Garut, Jawa Barat, pada Sabtu siang (21/02/2015).

Dalam operasi tersebut tim berhasil mengamankan barang bukti 14 jenis satwa dilindungi yang berjumlah 34 ekor. Adapun daftar jenis satwa yang diamankan dari tangan pedagang yakni kuskus papua (1 ekor), kasturi (1 ekor), kakatua maluku (1 ekor), nuri kepala hitam (1 ekor), beruang madu (1 ekor), kucing hutan (1 ekor), orangutan (1 individu), tarsius (2 ekor), kakatua jambul putih (2 ekor), macaca heki (3 ekor), nuri bayan (3 ekor), kakatua raja (3 ekor), kakatua jambul kuning ( 5 ekor) dan rangkong (8 ekor).

Hery Susanto, kordinator Animal Rescue COP mengatakan, pedagang merupakan pemain lama yang sudah terpantau oleh tim karena aktivitasnya memperjualbelikan satwa lewat jejaring sosial. Pedagang itu memiliki jaringan cukup luas, karena satwa yang diperjualbelikan banyak satwa endemik dari luar Jawa. Namun pedagang ini bisa mendapatkanya, menjual dan jumlahnya  sangat banyak.  Dia menampung satwa dirumah tinggalnya di Kampung Balong Kadungora, Garut.

“Pedagang memilki jaringan cukup besar karena bisa mendatangkan satwa berasal dari Sumatera, Sulawesi, Papua dan pulau lainnya dari Indonesia Timur. Satwa yang menjadi barang daganganya juga tergolong mahal karena masuk kategori satwa yang sangat langka,” kata Hery.

Ia menambahkan, kejahatan ini akan terus terjadi manakala masih banyak permintaan dari pembeli. Dampaknya adalah banyak satwa diperjualbelikan untuk memenuhi permintaan dari para pembeli yang juga penghobi pemelihara satwa liar. Untuk memenuhi kebutuhan para penghobi,  pedagang bahkan mendatangkan satwa dari luar Jawa seperti orangutan dari Sumatera, kasturi, kuskus beruang, kakatua raja dari Papua bahkan primata terkecil di dunia yang sangat langka tarsius dari Sulawesi juga menjadi komoditas perdagangan ilegal ini.

“Saatnya peran serta masyarakat di mulai dengan tidak membeli satwa liar yang tentunya akan memotong mata rantai kejahatan ini dari diri sendiri,” katanya.

Selain itu, Heri mengatakan perkiraan jumlah satwa yang diselamatkan ini bernilai lebih dari Rp250.000.000. Angka ini tentunya akan lebih besar jika merunut banyaknya  satwa yang telah diperdagangkan oleh tersangka. Dan saat ini tersangka sudah diamankan oleh pihak Direktorat Bareskrim Mabes Polri. Sedangkan satwa barang bukti dititipkan di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga sambil menunggu proses hukum berjalan.

“Kita berharap pembongkaran kasus pedagang satwa di Garut ini menjadi momentum perlawanan kejahatan perdagangan satwa liar. Dan hukuman tegas akan didapatkan oleh tersangka dengan hukuman kurungan maksimal agar efek jera dan penerapan hukum terhadap kejahatan satwa liar tegas ditegakkan,“ kata Hery.

Sementara itu, AKBP. Sugeng selaku Kanit Reskrim Tipiter yang juga komandan lapangan penggerebekan dihubungi Mongabay mengatakan, penggerebekan ini awalnya berdasarkan laporan masyarakat yang memberitahukan adanya perdagangan online lewat media sosial facebook, berkisar dua minggu lalu.

Tim kemudian mengembangkan informasi itu, dengan masuk dan dan berkenalan dengan akun tersebut dan berkomunikasi dengan pelaku, lalu bertemu pelaku di lokasi penggerebekan pada Jumat (20/02/2015).  “Kami melihat benar ada satwa liar dlilindungi diperjual belikan, baru lakukan penindakan,” kata Sugeng.

Ia menambahkan, Jumat pagi setelah petugas/informan kami melihat di TKP, Sabtu siang penindakan. Pelaku tertangkap di rumahnya dan barang bukti satwa liar dilindungi. Pelaku dikenakan pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, junto pasal pasal 40 ayat 2 menyatakan: “Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

“Tersangka terancam hukuman penjara lima tahun dan denda 100 juta. Statusnya dalam penahanan penyidik untuk 20 hari kedepan,” tambah Sugeng.

Hery menambahkan penggerebekan ini merupakan kasus kedua pada tahun 2015. “Sebelumnya bulan Januari, Polri menggagalkan pengiriman kura-kura moncong babi yang merupakan endemik Papua,” kata Hery.

Pengiriman dilakukan melalui argo udara dan diklaim sebagai pengiriman hasil laut berupa kepiting yang akan dikirim ke China menggunakan pesawat Singapure Airline. Ketika dicek ditemukan kura-kura moncong.

Heru mencatat aparat penegak hukum makin giat melakukan penindakan. Para pedagang semakin mencari celah-celah untuk melakukan modus perdagangannya dengan segala cara, baik bersifat konvensional maupun menggunakan perangkat internet. Terjadi juga cara berkamuflase, seperti mendirikan komunitas penyayang/pecinta satwa, namun di dalamnya ada kegiatan jual beli satwa yang dilindungi.

Sumber : klik di sini

 

Share Button

1 Juta Hektar Lahan Pangan, Prioritaskan Warga dan Perhatikan Lingkungan

Bulan lalu, Menteri Pertanian meminta lahan satu juta hektar kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk pengembangan pangan, berupa palawija (pagi, kedelai dan jagung) dan tebu. Namun, ada indikasi pemerintah akan memberikan pengelolaan lahan itu kepada investor ataupun BUMN. Sikap ini mendapat tanggapan dari berbagai kalangan.

Tejo Wahyu Jatmiko, koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera mengatakan, pengelolaan lahan pangan mesti mengutamakan buat warga. “Jangan pernah menyerahkan kepada swasta,” katanya, baru-baru ini di Jakarta. Sebab, katanya, tidak ada hubungan antara kedaulatan pangan Indonesia dengan swasta.

Sifat swasta, yang ingin mendapatkan profit, kata Tejo, tidak pernah memikirkan kebutuhan pangan warga, kecuali harga pangan lebih tinggi dari luar negeri.

Indonesia, katanya, punya PP 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman sebagai turunan UU Sistem Budidaya Tanaman.  Dalam pasal-pasal di sana, tidak ada kewajiban investor memasarkan produksi ke dalam negeri. “Atau dengan kata lain tidak ada hubungan antara kebutuhan dalam negeri dan kewajiban memasok bagi pengusaha. Kewajiban hanya saat ada bencana alam atau kegagalan panen luar biasa.”

Meskipun begitu, katanya, permintaan satu juta hektar untuk 10 pabrik tebu dan kebun serta lahan padi dan palawija pada dasarnya wajar-wajar saja. Sebab, Indonesia memang memerlukan lahan untuk mencukupi kebutuhan pangan.

Namun, kata Tejo, ada beberapa hal perlu dicermati. Pertama, harus dipastikan tidak ada tumpang tindih kepemilikan, terutama dengan masyarakat adat dan tempatan.Kedua, menjadi tidak wajar apabila pembukaan hutan begitu luas terlebih dalam satu hamparan. “Ini akan membuat goncangan lingkungan. Jadi harus benar-benar diperhitungkan daya dukung dan tampung lingkungan suatu kawasan.”

Ketiga, proporsi harus jelas berapa persen untuk pabrik gula, berapa persen kebun dan padi atau palawija. Menurut dia, Indonesia,  lebih memerlukan lahan untuk menyediakan pangan rakyat. Keempat, prioritas pengelolaan harus untuk masyarakat adat dan lokal.

Beralih ke sawit

Kussaritano, Direktur Eksekutif Mitra Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah, merasa heran pemerintah berdalih sibuk mengembangan lahan buat tanaman pangan. Padahal, lahan pangan yang sudah ada tak terjaga hingga banyak beralih fungsi menjadi kebun sawit dan lain-lain.

Dia mencontohkan di Kalteng,  Desa Anjir Mambulau, Kabupaten Kapuas,  banyak memproduksi produk-produk pertanian, dari padi, sayur mayur sampai buah-buahan. Sayangnya, kawasan ini terancam ekspansi perkebunan sawit. “Harusnya pemerintah bisa menjaga lahan-lahan tani produktif itu agar tak berubah jadi fungsi lain,” ujar pria yang bisa dipanggil Itan ini.

Redistribusi tanah buat petani

Sedangkan, Rudi Cas Rudi, Ketua Rukun Tani Indonesia dan Anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sampai saat ini, Mentan belum melakukan gebrakan menangani masalah pangan di negeri ini.

Data BPS, pada April-Agustus 2014,  Indonesia impor beras 676.227 ton dengan biaya ratusan miliar. Angka impor ini tidak wajar karena Indonesia negara agraris dengan kesuburan tanah cukup bagus. Sepanjang 2014, impor beras dari lima negara, yaitu Vietnam, Thailand, Myanmar, India dan Pakistan.

Sebenarnya, kata Rudi, tak sulit menanggulangi impor beras. Pemerintah perlu mencetak sawah 150.272,6 hektar. Hasil panen petani dari satu hektar sawah sebanyak 4,5 ton dengan setahun tiga kali panen. “Ini total produksi beras selama satu tahun 2.030.853,6 ton. Dalam setahun sudah surplus beras.”

Menurut dia, beberapa faktor penyebab Indonesia menjadi pengimpor beras. Pertama, alih fungsi lahan pertanian berbasiskan tanaman pangan menjadi antara lain, perumahan, infrastruktur dan pabrik. Tidak terjamin ekonomi rumah tangga petani skala kecil, khusus di desa-desa membuat petani menjual tanah dan mencari pekerjaan lain untuk bertahan hidup.

Kedua, pembukaan lahan-lahan baru untuk pertanian tak untuk pengembangan pangan industri pangan, tetapi perkebunan komersil seperti sawit, dan karet.

Untuk itu, Rukun Tani Indonesia pun menyerukan kepada pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla melakukan beberapa hal. Pertama, memerintahkan Kementerian Agraria, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan dan kementerian lain meredistribusi tanah guna mencetak sawah.

Kedua, menjamin pasar produksi pertanian sehat dengan mengurangi impor dan meningkatkan produksi pertanian. Hingga kebutuhan beras tercukupi, bahkan memungkinkan swasembada pangan.

Ketiga, mengembangkan teknologi pertanian organik dalam pengolahan pertanian. “Khusus pertanian padi agar petani-petani tidak tergantung pupuk kimia.”

Sumber : klik di sini

Share Button

Minim Pemahaman Penyebab Penghalauan Gajah Memakan Korban Manusia

Minimnya pemahaman membuat upaya penghalauan gajah kerap memakan korban. Januari 2015 lalu, seorang warga dusun Lubukcengkeh, Musarapakat, Aceh, tewas dalam upaya penghalauan.

“Pengusiran kita lakukan malam. Waktu itu gajahnya kita kepung,” ungkap Suheri, Kepala Yayasan Penyelamatan Satwa Bener Meriah yang terlibat upaya penghalauan kepada Kompas.com di sela pelatihan penghalauan gajah Sumatera yang diselenggarakan WWF Indonesia di Takengon, Aceh, Selasa (17/2/2015).

Heri bercerita, gajah yang dikepung akhirnya bingung dan tidak menemukan jalan keluar. Ketika gajah akhirnya tidak berhasil dihalau, salah seorang anggota tim yang terlibat pengusiran justru mendekati gajah. Akhirnya, anggota tim tersebut justru menjadi korban amukan gajah dan tewas diserang.

Mengidentifikasi kesalahan dalam kasus tersebut, Heri mengatakan, “Kita tidak kompak.” Anggota tim yang mendekati gajah adalah tetua desa dan terkenal memiliki keberanian. Dari kasus tersebut, Heri sadar bahwa keberanian saja tidak cukup.

Syamsuardi, Koordinator Mitigasi Konflik Gajah-Harimau, mengungkapkan bahwa penghalauan gajah untuk mencegah konflik dengan warga dan perusakan lahan tidak cukup dengan kekuatan dan keberanian.

“Prinsip pengusiran tidak ada unsur pemaksaan. Kita tidak ingin bertengkar dengan gajah tetapi ingin dia menjauhi kita. Dalam mengusir gajah, tidak boleh ada korban, baik gajah ataupun manusia,” ungkap Syamsuardi.

Dari kasus pengusiran yang dilakukan tim Heri, pelajaran yang penting adalah memberikan pilihan bagi gajah untuk bergerak dalam upaya penghalauan, bukan mengepungnya. “Kita harus tahu ke mana gajah akan dihalau dan memberikan jalan ke sana,” jelasnya.

Syamsuardi menambahkan, dalam pengahalauan gajah, kuncinya adanya pemimpin, sikap tenang, memastikan gajah mengetahui keberadaan manusia, serta kekompakan. “Masing-masing menggadaikan nyawa,” jelasnya.

Ada pula beberapa pantangan seperti tidak mengusir gajah pada malam hari, tidak menghalau gajah yang sedang birahi, tidak mengusir gajah dengan cara yang mengagetkan, serta selalu berada di tempat yang lebih tinggi saat berhadapan.

Syamsuardi mengatakan, keahlian dalam menghalau gajah saat ini penting. Di Aceh, konflik dengan satwa liar semakin tinggi seiring semakin banyaknya pembukaan lahan untul kebun. Keahlian menghalau gajah akan meminimalkan kerugian dan konflik dengan satwa yang kian terancam tersebut.

Sumber : klik di sini

Share Button

Tanpa BP REDD+, Kalimantan Timur Tetap Jalankan Agenda Perubahan Iklim

Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak, menyatakan bahwa Kalimantan Timur tetap akan menjalankan agenda perubahan iklim. Pernyataan tersebut disampaikan Awang terkait Peraturan Presiden No.16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang telah melikuidasi BP REDD+, pada pertemuan yang diselenggarakan oleh Dewan Daerah Perubahan Ikllim di Samarinda, (Rabu/18/2/2014).

Awang menyatakan, Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) akan tetap dipertahankan dan bila perlu ditingkatkan dasar hukumnya. “DDPI merupakan salah satu best practice dari Kalimantan Timur, jadi harus dipertahankan dan kalau perlu landasan hukumnya bukan lagi SK Gubernur melainkan peraturan daerah,” ujar Awang.

Lebih lanjut, Awang meminta Ketua Harian DDPI Kalimantan Timur (Kaltim) untuk mempersiapkan pertemuan dengar pendapat dengan DPRD Provinsi Kaltim agar mendapatkan dukungan dan posisinya lebih kuat. “DDPI itu bukan gubernur, tapi kita semua termasuk LSM yang peduli dan punya komitmen terhadap perubahan iklim. DDPI adalah payung” tegas Awang.

Awang juga meminta LSM agar tidak apriori terhadap pemerintah provinsi. Menurutnya, Pemerintah Kaltim terbuka dan menghargai sikap kritis LSM. “Saya terbuka untuk berdiskusi dan mari kita selamatkan kekayaan sumber daya hayati Kalimantan Timur ,” himbaunya.

Pemerintah provinsi serius dalam menahan laju kerusakah hutan dan lahan di Kalimantan Timur. “Surat edaran  moratorium perizinan untuk tambang batubara, pembukaan lahan perkebunan, dan hak pengusahaan hutan akan saya tingkatkan menjadi peraturan gubernur,” pungkasnya.

Daddy Ruhiyat, Ketua Harian DDPI Kaltim, menegaskan bahwa DDPI memfokuskan kegiatan pada upaya koordinasi, pemantauan, dan evaluasi program yang berkaitan dengan perubahan iklim dengan mendorong implementasinya. “Kegiatan DDPI Kaltim dilaksanakan oleh tiga kelompok kerja (pokja), yaitu Pokja REDD+/LULUCF, Pokja Green Growth, dan Pokja MRV,” terangnya.

Wiwin Efendi, Koordinator WWF Indonesia-Kalimantan Timur, mendukung niat Gubernur Kaltim untuk mempertahankan DDPI. “DDPI telah dikenal di tingkat nasional dan internasional. Kami sepakat untuk tidak dibubarkan namun perlu direformulasi terkait dengan peraturan presiden yang telah diterbitkan presiden,” kata Wiwin.

Dukungan serupa disampaikan Deddy Hadriyanto, Direktur Pusat Kajian Iklim Universitas Mulawarman. Mengacu pada peraturan presiden dimana ada Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Deddy bahkan mengusulkan agar DDPI menjadi unit pelaksana teknis (UPT). “Dengan menjadi UPT yang berada langsung di bawah gubernur, kinerja DDPI akan lebih efektif dan mampu mengontrol seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang ada di Kaltim,” ujarnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Sumber : klik di sini

Share Button

Nanik, Gajah Sumatera di SM Padang Sugihan Sebokor, Melahirkan Anak Pertamanya

Jumat (30/01/2015) pagi, Nanik (45) “menjerit” kesakitan di bawah sebuah pohon gelam. Cairan terus membasahi kedua pahanya. Rahmad hanya memperhatikan sembari bersiaga. Sekitar pukul 08.05 WIB, akhirnya Nanik berhasil melahirkan anaknya. Seekor gajah jantan.

Nanik merupakan gajah betina keempat, dalam tiga tahun terakhir, yang melahirkan di Suaka Margasatwa (SM) Padang Sugihan Sebokor, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Sebelum Nanik, ada Adelia, Yeyen, dan Susi yang melahirkan di sana.

“Ini merupakan anak pertama Nanik. Anak ini hasil perkawinannya dengan Tulus (30),” kata Rahmad, pawang gajah yang merawat Nanik, saat mengajak Mongabay Indonesia melihat Nanik dan anaknya di padang rumput yang jaraknya sekitar lima kilometer dari Kantor Pusat Latihan Gajah Padang Sugihan, Banyuasin, Kamis (19/02/2015) siang. Gajah yang dilatih di Padang Sugihan ini ada sekitar 29 ekor.

Menurut Rahmad, saat ini ada empat anak gajah yang usianya dua tahun. “Kesehatannya belum stabil. Kalau sudah berusia tiga tahun, akan diberikan nama. Tapi yang memberikan orang kantor (BKSDA Sumsel),” kata Rahmad.

Rahmad mengaku sangat bahagia melihat Nanik melahirkan anak pertamanya, setelah hamil hampir dua tahun. Selama kehamilannya, Rahmad mengaku sangat cemas. Apalagi Nanik mengandung anak pertamanya.

“Saat anaknya dilahirkan dengan kondisi sehat, rasanya lega dan bahagia,” kata Rahmad.

Selama ini, banyak gajah hamil dari Air Sugihan dibawa ke daerah lainnya, termasuk ke Jawa dan Bali. “Saat mendengar mereka melahirkan dari pemberitaan, rasanya hati miris, sebab sejak kecil hingga hamil kami yang merawatnya. Jadi, ketika gajah yang kami rawat melahirkan di sini, rasanya bahagia sekali. Semua pawang di sini merasa bahagia,” ujarnya. Ada 30-an pawang yang bekerja di Pusat Latihan Gajah Padang Sugihan.

Objek wisata

Baru dalam setahun terakhir, keberadaan Pusat Latihan Gajah Padang Sugihan di Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor ini diketahui sebagian besar masyarakat Sumatera Selatan. Ini pun terungkap setelah adanya kunjungan sejumlah pejabat BP REDD+ (sebelum dibubarkan) ke lokasi tersebut. Padahal, pesisir timur Sumatera Selatan sejak dahulu dikenal sebagai wilayah gajah sumatera.

“Terus-terang keberadaan gajah di sini sebelumnya luput dari pantauan. Setelah diketahui, jelas ini merupakan potensi wisata yang cukup besar. Rencananya, ke depan lokasi ini akan dijadikan objek wisata lingkungan,” kata M. Ali Akbar, Staf Ahli Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Bidang Infrastruktur, saat mengunjungi Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor, Kamis (19/02/2015).

Objek wisata lingkungan berbasis sungai ini akan dijalankan sebelum penyelenggaraan Asian Games 2018 nanti. Ada pun rutenya, dimulai dari Plasa Benteng Kuto Besak. Dari sini wisatawan diajak mengunjungi Taman Purbakala Sriwijaya di Karanganyar, Gandus, Palembang.

“Di sini, para wisatawan akan melihat taman buah. Di sini juga para wisatawan diperbolehkan menanam pohon buah. Jadi, kondisinya seperti taman buah di masa Kerajaan Sriwijaya dulu,” kata Ali.

Selanjutnya, wisatawan diajak menuju Bagus Kuning yang berada di Plaju Palembang. Wisatawan akan menyaksikan ratusan monyet ekor panjang yang memiliki legenda yang cukup dikenal di Indonesia. Para wisatawan dapat memberikan makanan kepada ratusan monyet ekor panjang itu.

Perjalanan diteruskan menuju Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor. Di sini, para wisatawan dapat melihat langsung gajah sumatera yang tengah dilatih. Di lokasi ini wisatawan juga diperbolehkan melakukan penanaman.

Berikutnya, pulang ke arah Palembang menuju Pulau Kemarau. Di pulau ini selain berwisata reliji dan kuliner, para wisatawan juga dapat melakukan penanaman pohon di pulau yang terletak di tengah Sungai Musi itu.

Terakhir, wisatawan diajak ke Jakabaring, melihat taman, hutan wisata, dan berperahu di kanal, di lokasi yang dijadikan tempat penyelenggaraan Asian Games 2018 nanti.

“Guna menunjang kegiatan wisata tersebut, akan dilakukan pembangunan dan peneydiaan infrastruktur seperti dermaga, kapal cepat, pusat kuliner dan kerajinan. Intinya menyenangkan, hijau, dan mensejahterahkan masyarakat,” kata Ali.

Najib Asmani, Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Lingkungan Hidup, menjelaskan konsep wisata tersebut merupakan hasil pemikiran para staf ahli dari bidang lingkungan hidup, pariwisata dan kebudayaan, dan infrastruktur.

“Ini sesuai keinginan Gubernur Sumsel Alex Noerdin, agar ke depan Sumsel harus hijau, indah, dikunjungi wisatawan sehingga ekonomi rakyat meningkat, serta bebas kebakaran. Potensi Sumsel, khususnya Palembang, jika dibandingkan dengan Thailand, Malaysia, Vietnam, jauh lebih baik dan banyak. Semua ada di sini, dari wisata air, sejarah, hingga keindahan wilayah pegunungan,” ujarnya.

Sumber : klik di sini

Share Button