Bayi Badak Langka Lahir di Taman Safari Indonesia

Bayi badak putih (Ceratotherium simum) lahir di Taman Safari Indonesia (TSI) pada 10 Februari 2015 pukul 17.30 WIB lalu. Lahir dengan berat 75 kilogram, mamalia terbesar kedua setelah gajah itu menjadi badak putih kedua yang lahir di TSI sejak 2003 lalu.

Bayi badak itu merupakan buah cinta dari Rimba dan Merdeka, badak putih pertama yang lahir di TSI pada 15 Agustus 2003 silam. Pada 14 September 2013, Rimba dan Merdeka tepergok sedang bercinta.

Saat masa birahi yang berlangsung selama seminggu, Rimba yang merupakan badak putih betina berusia 13 tahun dan Merdeka yang jantan bercinta sehari penuh, memakan waktu rata-rata 30 menit tiap sesinya.

Dua bulan setelah perkawinan, pemeriksaan dilakukan dengan bantuan  ultrasonografi. Terlibat dalam pemeriksaan adalah staf riset, dokter hewan dari TSI, serta drh Agil dari Institut Pertanian Bogor (IPB).

Setelah menunggu setahun lebih, bayi badak putih buah cinta Rimba dan Merdeka pun lahir. Saat ini, CCTV masih dipasang untuk memantau kondisi sang bayi badak. Setiap 30 menit sekali, bayi yang berjenis kelamin jantan masih menyusu pada induknya.

Direktur TSI Jansen Manangsang mengungkapkan dalam rilis yang diterima Kompas.com, Selasa (3/3/2015), kelahiran bayi badak langka ini diharapkan menjadi kebanggaan Indonesia dan dunia. Spesies itu kini kian terancam oleh perburuan.

Kelahiran bayi badak itu juga menjadi kebanggaan tersendiri bagi Poniran, penjaga badak putih di TSI. Hingga kini, ia masih tekun memberi makan bayi badak dengan pisang, wortel, kacang-kacangan, dan rumput gajah sebanyak 100 kilogram per harinya.

Sumber : Klik di sini

Share Button

Karbon Terkurangi Dari Strategi Pembangunan Berkelanjutan Di 8 Kabupaten. Dimana Sajakah?

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dan 41 persen bila mendapat bantuan dari luar negeri. Sebagai salah satu sektor pengemisi utama, pemerintah berusaha menurunkan emisi dari sektor kehutanan, dengan melakukan tata kelola dan konservasi hutan dan lahan gambut yang mempunyai bernilai tinggi.

Komitmen penurunan emisi tersebut, tidak akan berhasil bila pemerintah daerah tidak ikut berperan aktif dalam pengelolaan wilayah dan hutan mereka.  Untuk itu, delapan wilayah kabupaten di Indonesia dengan dibantu pemerintah Amerika Serikat melalui proyek USAID Indonesia Forestry and Climate Support (IFACS) melakukan review tata ruang wilayah yang lebih baik dengan mengintegrasikan konservasi hutan dan lahan gambut yang mendukung pengelolaan hutan yang berkelanjutan agar tercipta strategi pembangunan yang rendah emisi (low emission development strategies / LEDS).

“IFACS membuat program yang ambisius di daerah kawasan stok karbon dan hutan agar tetap terjaga di Indonesia. Dan kita mulai di pusatnya, yaitu di KLHK. Tentu saja kita berhubungan dengan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup, dan berhubungan dengan beberapa propinsi,” kata John Hansen, Direktur Kantor Lingkungan Hidup USAID Indonesia, disela-sela acara Lokakarya KLHS-SPRE dan Penyiapan Proyek Karbon Bersama Masyarakat, di Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, pada minggu kemarin.

Delapan kawasan strategis itu berada di tiga pulau besar di Indonesia, dimana masih terdapat hutan primer dan stok karbon yang besar, yaitu di Sumatera, Kalimantan dan Papua.  Di Sumatera dilakukan di Aceh Selatan, Aceh Tenggara. Sedangkan di Kalimantan Barat yaitu di Ketapang, Kayong Utara dan Malawi, serta di Kalimantan Tengah yaitu di Katingan. Sedangkan di Papua yaitu di Sarmi, Mamberamo, Mimika dan Asmat.

Proyek IFACS di 8 daerah tersebut diharapkan dapat menyimpan 6 juta ton ekuivalen karbon melalui perbaikan tata kelola sumber daya alam dan pengelolaan hutan yang berdampak pada pengurangan tingkat deforestasi dan degradasi lingkungan pada kawasan luas sekitar 11 juta hektar.

Dengan sinergi pemerintah daerah, masyarakat lokal dengan proyek IFACS, diharapkan dapat dikelola  dengan baik sekitar 3 juta hektar hutan tropis dan lahan gambut alami, dengan  1,7 juta hektar merupakan habitat utama orangutan.

Selain itu, 12 daerah yang telah memiliki skema rencana tata ruang diharapkan dapat melaksanakan rekomendasi dari Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) . Dan 12.000 pihak penerima manfaat hutan memperoleh keuntungan ekonomi dari kegiatan-kegiatan rendah emisi yang diselenggarakan di dalam wilayah program IFACS.

“Program lima tahun dari IFACS telah memperoleh hasil dan perkembangan yang baik, dan perkembangan yang bisa dilihat adalah sekitar 2000 hektar pada hutan bernilai konservasi tinggi yang sekarang dilindungi dan itu melalui proses perencanaan tata ruang. IFACS membantu dalam proses tersebut, dengan kriteria pembangunan rendah emisi yang diinginkan oleh pemerintah daerah seperti RAN GRK dan RAD GRK, anggaran pembangunan dan proses strategis dengan kerjasama dengan bupati dan masyarakat di daerah itu dengan memperhatikan keuntungan dari konservasi  yang diselaraskan dengan pertumbuhan ekonomi meski dengan melindungi lingkungan,” kata Hansen.

Penurunan emisi tersebut diperoleh dari delapan proyek karbon dengan skema pembayaran untuk jasa lingkungan (payment for environmental services / PES) seperti skema REDD+, skema mekanisme pembangunan bersih, atau skema perdagangan karbon lainnya.

Proyek karbon tersebut antara lain penguatan konservasi hutan desa di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, dengan pengendalian kebakaran dan produksi karet di wilayah sekitar 17.432 hektar.  Potensi reduksi gas rumah kaca sebesar 13.303 ton setara karbon selama dua tahun pertama.

Proyek pengelolaan kawasan ekosistem bakau seluas 345.713 hektar sebagai kawasan penangkapan dan penyimpanan karbon di Mimika, Papua dengan potensi reduksi emisi sebesar 227.245 ton setara karbon selama dua tahun pertama.

Ada juga proyek skema ekoturisme dan patroli bersama warga di Karidor Rimba Trumon seluas 2.700 hektar untuk mengurangi deforestasi di Aceh Selatan, dengan potensi reduksi emisi sekitar 5.345 ton setara karbon selama dua tahun pertama.

Juga proyek pengelolaan daerah penyangga Taman Nasional Gunung Palung di Kayong Utara, Kalimantan Barat seluas 12.000 hektar, dengan potensi pengurangan emisi sebesar 25.761 ton setara karbon selama dua tahun pertama.

Meski demikian, ada beberapa hambatan, antara lain kurangnya pemahaman dan keahlian yang diperlukan untuk pengembangan proyek karbon, kurangnya kemauan politik untuk mengembangkan mekanisme yang berkelanjutan, dan kegiatan yang terlalu fokus pada proyek karbon berbasis pasar daripada skema penanggulanan emisi berskala wilayah.

Untuk itu, USAID IFACS dengan mitra lokal melakukan program bantuan teknis untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan bagi pemangku kepentingan setempat untuk mengembangkan proyek karbon di wilayah kerja IFACS. Selain itu didorong pengembangan invoasi proyek karbon pragmatis dan didorong kepemilikan program pengembangan karbon di wilayah setempat.

Menggandeng Perusahaan Swasta

Hambatan lain dari proyek ini adalah nilai tukar karbon dalam pasar karbon sukarela masih dalam posisi nol USD atau nol rupiah. Oleh karena itu, USAID IFACS menggandeng berbagai perusahaan swasta untuk ikut berperan dan berinvestasi dalam proyek karbon.

“Ada momentum global dengan tumbuhnya perdagangan karbon.  Dan mengenai harga karbon nol dolar dalam pasar karbon sukarela, itu benar. Pendapat pribadi saya, ada kekecewaan besar ketika nilai tukar karbon di pasar karbon tidak tumbuh untuk menghasilkan pendanaan bagi program konservasi.  Banyak pegiat konservasi yang kecewa terhadap ini,” kata Hansen. “Banyak perusahaan yang berinvestasi kepada beberapa program yang mempunyai nilai karbon tinggi pada skema pasar karbon sukarela,” lanjutnya.

Dia menjelaskan sudah ada 13 perusahaan swasta, sebagian besar perusahaan konsesi HPH, yang berkomitmen untuk membantu dalam investasi dan pembelian kredit karbon dari proyek tersebut. Meski, perusahaan tersebut belum menyatakan nominal pendanaan dalam perdagangan karbon di proyek tersebut.

Sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyambut baik proyek dari USAID IFACS tersebut.  “Bentuk-bentuk inisiatif yang konstruktif akan menjadi penguatan apabila dihubungkan dengan apa yang harus kita lakukan. Kalau kita kembalikan kepada undang-undangn No.32/2009 yang sebetulnya amanahnya juga untuk mengatasi perubahan iklim, didalamnya ada ketentuan mengenai KLHS. Dan KLHS tidak berdiri sendiri, tentu bicara tentang RPPLH, Amdal, izin lingkungan, tata ruang, dan . macam-macam,” kata Arief Yuwono,  Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim KLHK.

Dia mengatakan penguatan dan pengayaan sektor kehutanan tersebut akan berpengaruh dan berdampak pada kebijakan dan implementasi di lapangan.

Sumber : klik di sini

Share Button

Gerbang Utama Menuju Transparansi Tata Kelola Hutan dan Lahan

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat menilai transparansi pengelolaan sumberdaya alam di Kalimantan Barat masih sebatas mimpi. Jaminan keterbukaan dalam mengakses informasi terkait dokumen tata kelola hutan dan lahan kerapkali tersandung. Kendati, mayoritas daerah sudah menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).

Hal ini terungkap dari hasil diskusi Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada 27-28 Februari 2015 di Pontianak. “Ada angin segar ketika geburnur, bupati, dan wali kota menunjuk PPID. Ini mengindikasikan bahwa roda pemerintahan sudah mulai berjalan ke arah perbaikan tata kelola hutan dan lahan,” kata Faisal Riza dari Jari Indonesia Borneo Barat, Jumat (27/2/2015).

Namun demikian, Faisal juga mengakui masih ada daerah di Kalimantan Barat (Kalbar) yang belum sama sekali menunjuk PPID hingga saat ini. Alasan paling dominan adalah penunjukan PPID sedang dalam proses administrasi dan kendala penganggaran.

Di Provinsi Kalimantan Barat, ada empat kabupaten yang belum menunjuk PPID. Mereka adalah Kabupaten Sintang, Sanggau, Landak, dan Mempawah. Provinsi Kalimantan Barat, Kota Pontianak, Kota Singkawang, Kabupaten Kubu Raya, Kayong Utara, Ketapang, Sambas, Bengkayang, Sekadau, Melawi, dan Kabupaten Kapuas Hulu sudah menunjuk PPID.

Faisal mengatakan, penunjukan PPID ini hanya sebuah langkah awal keterbukaan. Masih banyak upaya yang musti dilakukan setelah pejabatnya ditunjuk. Di antaranya, PPID mesti membuat kategorisasi informasi yang mereka miliki. Kemudian, membuat mekanisme pelayanan informasi, dan mekanisme penyelesaian sengketa informasi di tingkat internal.

“Sesungguhnya jalan untuk mencapai semangat keterbukaan informasi publik ini masih panjang. Tapi, apapun alasannya, jalan itu harus ditempuh karena dia adalah amanat Undang-Undang No 14 Tahun 2008,” ucap Faisal.

Jari Indonesia Borneo Barat juga sudah mengidentifikasi sejumlah kasus yang berkaitan dengan kurangnya akses informasi bagi masyarakat. Di antaranya, permukiman masyarakat masuk dalam kawasan hutan lindung, lahan masyarakat yang dirampas perusahaan, konflik lahan di tingkat masyarakat, dan berbagai contoh kasus lainnya.

Masyarakat berhak tahu

Dalam diskusi terbatas tersebut, Mongabay Indonesia juga menghadirkan aktor utama sengketa informasi di Kabupaten Ketapang. Dia adalah Syamsul Rusdi dari Lingkaran Advokasi dan Riset (Link-AR) Borneo.

“Uji akses yang kita lakukan di Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Ketapang akan menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak dalam menangani kasus yang berkaitan dengan sengketa informasi di Kalbar. Padahal, saya hanya ingin mengetahui lampiran peta dalam Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) perusahaan tambang di Ketapang. Kalau hanya dokumennya saja untuk apa kita minta. Kita butuh lampirannya supaya tahu duduk

Namun demikian, kata Syamsul, pihak Distamben Ketapang melalui Putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) menyebut lampiran peta dalam dokumen Amdal perusahaan tambang adalah bukan dokumen publik, dan tidak bisa dibuka kepada khalayak ramai. Alasannya, informasi tersebut bisa berpotensi jadi persaingan usaha yang tidak sehat dan melanggar hak atas kekayaan intelektual.

“Saya keberatan dengan Putusan KIP itu dan menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pontianak pada tanggal 4 Juni 2014. Empat bulan kemudian, gugatan saya dikabulkan PTUN setelah lima kali masa persidangan. Namun, pihak Distamben Ketapang keberatan dengan putusan PTUN Pontianak. Dan, mereka kasasi,” urai Syamsul.

Denni Nurdwiansyah dari Perkumpulan Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan mengatakan apa yang dilakukan Syamsul Rusdi hanya satu contoh kasus sengketa informasi di Kalbar. “Saya kira masih banyak sengketa informasi yang belum berjawab hingga kini,” katanya.

Menurut Denni, langkah lanjutan sebuah daerah yang sudah memiliki PPID adalah menyusun standar operasional prosedur (SOP) dan daftar informasi publik (DIP). Artinya, PPID segera menyusun informasi apa yang boleh diakses publik dan mana informasi yang dikecualikan.

“Kalau hanya sebatas menujuk PPID saja, saya kira pejabatnya tidak akan bisa bekerja. Kendala sekarang di Kalbar kan seperti itu. SOP dan DIP tidak ada. Jika sudah demikian, PPID-nya mau kerja apa?” ucap Denni.

Hal ini diamini Muhammad Lutharif dari Kontak Rakyat Borneo. Menurutnya, tidak ada pilihan lain kecuali menguatkan posisi PPID dan Komisi Informasi Daerah (KID). “PPID penting untuk membuat SOP informasi dan klasifikasi informasi. Mana informasi yang tersedia setiap saat dan mana yang dikecualikan,” ucapnya.

Persoalan lain menurut pria yang akrab disapa Anong ini adalah mekanisme memperoleh informasi yang wajib disosialisasikan. “Mekanisme seperti ini harus diperkuat tidak hanya ditingkatan masyarakat, tapi juga harus menyasar hingga ke badan publik,” ucapnya.

Jalan menuju keterbukaan informasi publik yang masih panjang ini membuat Rheinardho Sinaga dari Perkumpulan Kensurai pun angkat bicara. “Melihat dari alur diskusi kita, saya kira kehadiran PPID di daerah belum menjamin adanya transparansi. Lebih khusus lagi di bidang pengelolaan sumber daya alam,” katanya.

Rheinardo menegaskan bahwa masyarakat berhak tahu jika kampung halaman mereka ternyata sudah dikuasai izin konsesi perusahaan ekstraktif. “Kenapa masyarakat berhak tahu? Tujuannya supaya tidak terjadi konflik sosial di kemudian hari. Obatnya cuma satu. Dokumen Amdal beserta lampirannya harus bisa diakses publik. Kalau tidak, maka kita pasti akan kembali berjalan dalam kegelapan informasi. Konflik membukit, korupsi sumber daya alam meroket,” pungkasnya.

Sumber : Klik di sini

Share Button

Menyelamatkan Lingkungan, Berawal dari Revolusi Mental

Dalam hidupnya, manusia akan selalu berhadapan dengan tantangan dan perubahan. Yang sering terjadi, sebagian besar bukanlah kesulitan itu sendiri, namun reaksi pikiran kita. Bayangkan jika Anda adalah seseorang yang tidak bisa berenang. Suatu hari, tiba-tiba ada rekan mengajak Anda menyelam di kawasan Raja Ampat, Papua Barat yang keindahan bawah lautnya sudah sangat terkenal di dunia.

Jika menyukai tantangan, anda akan berkata, “Oke. Beri saya waktu belajar berenang dan menyelam. Saya pasti bisa, tapi tolong beri waktu.” Kemungkinan kedua, nyali Anda langsung ciut karena sudah berpikir macam-macam: berenang saja tidak bisa, apalagi menyelam. Bisa mati tenggelam aku! Jadi Anda akan menjawab, “Kamu gila ya ngajak saya nyelam? Berenang saja nggak bisa!”

Bukankah ini yang sering kita alami dalam mengarungi tantangan yang datang dalam kehidupan?

Hal yang sama berlaku saat Anda disodori tawaran meminimalisasi pemanasan global. “Kita perlu beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Cuaca dan iklim makin tak tentu. Lakukan sesuatu untuk menguranginya. Yuk, naik angkutan umum, hemat energi, jaga hutan, atau apapun…” Bagaimana reaksi Anda jika ada tawaran semacam ini? Tidak peduli atau malah tertawa terbahak-bahak?

Mungkin Anda berpikir bahwa ide mengurangi dampak perubahan iklim adalah ide filosofis yang tak terjangkau. Mungkin pula Anda berpikir tidak mungkin karena dampak perubahan iklim sudah tak dapat dicegah. Kemacetan saja sudah mengesalkan karena pekerjaan terganggu, apalagi harus memikirkan cara mencegah perubahan iklim. Lagipula, belum tentu banjir disebabkan perubahan iklim. Bisa saja karena tingginya curah hujan yang berlangsung berhari-hari tanpa henti.

Manusia memang memiliki pilihan bebas. Yang perlu dicatat, kita tidak perlu berpikirmuluk untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Semua dapat dilakukan sesuai dengan bidang Anda masing-masing.

Jika Anda adalah musisi, buatlah musik-musik yang menginspirasi orang lain untuk peduli pada isu perubahan iklim. Jika Anda adalah pengusaha, jadilah pengusaha yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Jika Anda adalah arsitek, rancanglah desain bangunan yang ramah lingkungan. Jika Anda adalah chef, buatlah masakan sehat yang tidak merusak lingkungan. Jika Anda adalah orang tua, berikan contoh yang baik pada anak-anak bagaimana caranya merawat dan menjaga lingkungan

Percayalah bahwa jika masing-masing pihak menjalankan tugas masing-masing sesuai fungsinya, “harmoni” akan tercipta. Sebuah blender atau juicer dapat menghasilkan jus yang nikmat jika listrik menyala dan setiap fungsi mesin berjalan sempurna. Salah satunya rusak akan menghambat yang lain. Demikian pula dengan perubahan iklim.

Jika hanya ilmuwan atau seniman yang bergerak tanpa dukungan pemerintah, penanganan dampak melambat. Tantangan baru dapat teratasi jika seluruh pihak yang terlibat mau bergerak bersama. Sebelum kerjasama terjadi, perlu keinginan bersama meski bukan merupakan hal mudah.

Berita baiknya, tantangan membuat karakter kita makin teruji.

Jika Jepang tak sering dilanda gempa, kecil kemungkinan daya inovasi mereka dalam merancang struktur bangunan yang kokoh teruji. Kecil kemungkinan mereka menjadi bangsa yang tahan banting. Tsunami hebat yang kerap menerjang Jepang justru melahirkan daya cipta yang hebat. Keamanan nuklir mereka makin teruji. Ego tereduksi, kedisiplinan dan kerja keras pun makin terasah.

Dampak perubahan iklim yang sedang terjadi di negara kita mungkin tak seheboh tsunami Jepang. Para ilmuwan telah sepakat bahwa penyebab perubahan iklim adalah manusia itu sendiri. Artinya, potensi bencana dapat kita minimalisir meski terkadang tak dapat kita hindari.

Barang bukti begitu nyata seperti fenomena cuaca ekstrim yang telah kita alami. Bagi Anda yang tinggal di ibukota, cuaca awal tahun 2015 mungkin menjadi momok mengerikan. Banjir dan kemacetan parah tak terhindarkan bahkan istana presiden ikut terendam air.

Saat bersamaan, banjir juga juga melanda seantero tanah air hingga menyebabkan tanah longsor yang merobohkan sejumlah rumah dan menewaskan warga. Para turis yang sekadar ingin berlibur pun terpaksa harus gigit jari.

Pertanyaannya, apakah aneka tantangan ini menjadikan kita sebagai bangsa dan individu yang makin tangguh seperti Jepang atau malah menciptakan pesimisme? Apakah tantangan merupakan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas atau justru membuat nyali ciut dan kemudian menyerah begitu saja sebelum bertanding?

Selama ego belum disingkirkan jauh-jauh, seruan untuk sesegera mungkin mengatasi perubahan iklim hanya menjadi angin lalu.

Itu sebabnya upaya dunia menyatukan suara dalam mengurangi dampak perubahan iklim seringkali menemui jalan buntu, terutama pada level pemerintah. Kepentingan “nasional” masih menjadi alasan utama meski tak ada yang menampik bahwa mencegah dampak buruk perubahan iklim sesungguhnya menjadi kepentingan negara manapun. Bagaimanapun, kita hidup dalam satu bola dunia yang sama.

Lakukanlah apa yang dapat Anda lakukan.

Tulisan dengan contoh kasus perubahan iklim ini tak bertujuan melemparkan kritik pedas dan tajam pada siapapun namun untuk menggerakan kesadaran setiap pembaca: kita semua. Kita tidak dapat memaksa orang lain melakukan apa yang kita ingin mereka lakukan, namun kita dapat memaksa diri melakukan apa yang seharusnya kita lakukan.

Jika tidak ingin melihat Indonesia terpuruk, jelas bahwa akar pertama yang perlu kita benahi adalah pola pikir seluruh lapisan masyarakat yang kuncinya datang melalui pendidikan dibarengi teladan para pimpinan, pendidik, politikus, anggota dewan perwakilan rakyat, dan seluruh elit yang duduk sebagai pemimpin bangsa ini. Tanpa disertai teladan, apa yang diajarkan hanya menjadi pepesan kosong. Ia tak lebih dari retorika atau perkataan motivasi yang belum tentu berkuasa mengubah keadaan.

Bayangkan jika saat ini pemerintah menggalakkan aktivitas pelestarian lingkungan hidup tapi pada saat bersamaan memberikan ijin bagi pengusaha untuk membuka lahan-lahan baru secara tidak bertanggung jawab. Bayangkan pula jika kita mengaku sebagai aktivis lingkungan hidup yang aktif membuat kegiatan dimana-mana, namun dalam keseharian masih membuang sampah sembarangan tanpa merasa bersalah.

Para pendidik perlu memberi teladan untuk melahirkan generasi muda yang cinta lingkungan. Para pengusaha perlu memberi teladan dengan tidak mengeksploitasi lingkungan demi profit semata. Para aparatur negara perlu memberi teladan sebagai pelayan masyarakat. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat perlu memberi teladan nyata lewat tindakan dan keseharian.

Inilah hakikat ‘Etika Lingkungan‘ dalam spektrum bernegara: sederhana tapi butuh perjuangan kuat dan komitmen terus menerus buat mewujudkannya.

Etika Lingkungan artinya revolusi mental yang datang dari mentalitas diri kita. Artinya, seharusnya datang dari diri sendiri, bukan karena program pemerintah semata. Jika mental kita sudah terevolusi, tugas selanjutnya adalah menjadi inspirasi bagi orang lain agar mereka pun mengalami revolusi serupa. Menginspirasi artinya memberi contoh melalui perbuatan, bukan perkataan semata.

Pilihan untuk mewujudkan Etika Lingkungan kini ada di tangan Anda.

Sumber : klik di sini

Share Button

Masyarakat Desa Bisa Kelola 37,2 Juta Hektar Hutan

Menteri Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT) Marwan Jafar menyambut gembira program pemerintah yang akan segera menyerahkan pengelolaan lahan hutan negara seluas 37,2 juta hektar kepada masyarakat sekitar hutan.

Marwan menilai, jika program tersebut terealisasi, akan berdampak positif terhadap pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan. Itu juga sejalan dengan program Nawa Cita.

“Saya akan segera berkordinasi dengan instansi terkait untuk membahas realisasi program strategis ini. Karena bisa kita kembangkan menjadi lahan yang dimanfaatkan masyarakat desa hutan secara produktif untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat,” ujarnya, Kamis (26/2).

Desa yang berada di pinggiran hutan lindung mencapai lima ribu di seluruh Indonesia. Sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup pada sumberdaya lahan yang ada di areal hutan desa. Baik untuk bertani, berkebun, berternak, empang ikan, budidaya madu lebah atau mengambil getah kayu pohon hutan.

“Masyarakat hanya diberi akses mengelola dan mengusahakannya secara produktif sesuai kondisi lahan dan kemampuannya masing-masing. Tapi tetap menjaga kearifan lokal, kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya” tegas Marwan.

Sumber : klik di sini

Share Button

Polhut Bongkar Jaringan Pembalakan Liar di Leuser

Polisi Kehutanan (Polhut) Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Stabat, menangkap dua tersangka diduga jaringan illegal logging di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Dua tersangka, berinisial R (54) dan F (32) dari Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Sapto Aji Prabowo,  Kepala Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III-Balai Besar TNGL, mengatakan, kedua tersangka menguasai kayu, tanpa dokumen sah. Penangkapan di Kecamatan Sawit Sebrang, Langkat, pada Jumat (13/2/15).

Dari tangan tersangka, mengamankan barang bukti 1.050 gagang cangkul berbahan meranti batu, diduga dari TNGL. Polhut juga mengamankan, seperti satu Mitsubishi Pick–Up L300 sebagai pengangkut gagang cangkul.

“Kita juga mengamankan satu lembar foto copy tanda nomor kendaraan bermotor, buku uji kenderaan Nomor: C 345309. Satu lembar surat keterangan ketua koperasi Indonesia Produksi Pipa Makmur dan delapan buah jerigen,” katanya Jumat (20/2/15).

Penangkapan ini saat operasi rutin. Dari keterangan, tersangka telah dilakukan mengirimkan sekitar 10 kali dengan jumlah beragam, ada sampai 2.000 gagang cangkul.

Menurut Sapto, dari barang bukti 1.050 gagang cangkul yang diamankan ini, diperkirakan dari dua pohon besar meranti batu. Artinya, jika pengiriman 10 kali dengan 1.000 gagang, tidak kurang 20 pohon. “Kami masih mengembangkan guna membongkar pelaku lain yang belum tertangkap.”

Andi Basrul, Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, ketika dikonfirmasi menyatakan penangkapan 1.050 gagang cangkul ini merupakan penangkapan keempat dalam kurun waktu satu bulan terakhir.

Sebelumnya,  Polhut sudah pernah mengamankan satu truk bermuatan kayu, beserta tiga pelaku di Dusun Pantai Buaya, Desa Bukit Mas, Kecamatan Besitang, Stabat, Langkat, akhir bulan lalu. Kala itu,  disita satu minibus 48 batang kayu meranti dan damar, beserta pelaku mantan TNI. Penangkapan di Sawit Seberang, Langkat, akhir Januari.

Dari pengembangan kasus ini, Penyidik PNS Balai TNGL, dibantu Petugas POM, Subdenpom Binjai, juga menggeledah kilang kayu milik anggota TNI Koramil 04 Medan. Dari lokasi, menyita barang bukti kayu diduga dari TNGL.

“Kasus ini dilimpahkan kepada Subdenpom Binjai, karena diduga penadah anggota TNI Kodam I/BB. Ada beberapa lagi masih pengembangan. Semua kita sikat.”

Polhut juga mengamankan satu truk bermuatan kayu olahan, berupa kusen dan daun pintu, beserta dua pelaku 10 Februari. “Selain anggota TNI yang ditangani Subdenpom Binjai , semua kasus ditangani Balai TNGL.”

Noviar Andayani, Country Director Wildlife Conservation Society (WCS) Program Indonesia, mengatakan, penangkapan ini upaya strategis menyelamatkan ekosistem Leuser.  “Taman Nasional bekerja sama dan membentuk unit-unit patroli bertugas mengawasi kawasan oleh WCS dan TNGL.”

Munawar Kholis, Manager Program WCS-Indonesia Program lansekap Sumut, menyatakan, hasil patroli bersama TNGL sejak 2011, tim mengidentifikasi lokasi-lokasi rentan perburuan dan pembukaan hutan. “Ini makin tinggi bahkan terus terjadi.”

Sumber : klik di sini

Share Button