Workshop Pengelolaan Data dan Informasi

FORDA (Bogor, 09/04/2015)_Dalam rangka meningkatkan pelayanan publik yang lebih baik di lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen-LHK), Badan Litbang Kehutanan/ Forestry Research Development Agency (FORDA) bekerjasama dengan The Center for International Forestry Research (CIFOR) mengadakan Workshop Pengembangan Pengelolaan Data dan Informasi, di Ruang Rapat Bulungan, CIFOR, Bogor (Kamis, 09/04).

Workshop yang dihadiri oleh sekitar 25 orang dari semua perwakilan seluruh Eselon 1 Kemen-LHK tersebut bertujuan untuk sharing ilmu, wawasan dan pengalaman dalam mengelola data dan informasi, terutama pengelolaan website di instansi masing-masing.

“Ini adalah suatu cara, bagaimana mengintegrasikan semua data di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan bisa dipublish dalam satu media yang sama,” kata Drs. Teguh Prio Adi Sulistyo, M.Si., Kepala Bagian Data dan Informasi, Biro Perencanaan.

Lebih lanjut, Teguh menyatakan bahwa selama ini pengelolaan data dan informasi di Kemen-LHK masih berjalan tersebar dengan koordinasi yang kurang sehingga menyebabkan sistem informasi yang terkotak-kotak dan sulit untuk diintegrasikan.

Oleh karena itu, Menteri LHK berharap akan dibuatkan satu ruangan khusus yang berisikan semua data online dan terkini sehingga bisa dilihat oleh Menteri setiap saat. “Informasi LHK bisa diakses oleh siapapun!, “kata Teguh menirukan harapan Menteri LHK.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut adalah mempublikasikan informasi secara online, melalui media website yang interaktif maupun media sosial.

Hal ini juga didukung oleh John Colmey, Director of Communication and External Relation, CIFOR. Colmey menyatakan bahwa dengan internet atau website, Cifor telah memberikan dampak yang sangat bagus dalam menyebarkan informasi maupun kegiatan di CIFOR. Sebelum menggunakan website, informasi tersebar secara terbatas. Tetapi setelah menggunakan website atau online, Informasi bisa tersebar mencapai 2-3 juta orang dan diseluruh dunia.

“Komunikasi secara digital merupakan sistem pengiriman yang sangat canggih,” kata Colmey.

Lebh lanjut, Colmey menjelasakan bahwa penyebaran informasi di CIFOR juga dilakukan melalui media sosial baik facebook, twitter, you tube, flicker, slideshare maupun blog.

Namun demikian, Colmey mengingatkan bahwa dalam membangun website haruslah menarik dan pengunjung muda merupakan target utama. Selain itu, konten website sebaiknya mudah dicari oleh mesin pencari dan selalu update.

Sedangkan Ir. Nugroho S.P, M.Sc, Kabag Evaluasi, Diseminasi dan Perpustakaan, Sekretariat Badan Litbanghut dalam paparannya mengatakan bahwa pembelajaran yang di dapat dalam pengelolaan data dan informasi, khususnya website yaitu perubahan  mindset  pelaksanaan kegiatan dan pendayagunaan tools yang ada.

Lebih lanjut Nugroho mengatakan bahwa dalam pengelolaan website beberapa aspek yang diperlukan agar website populer yaitu ; 1) adanya launching; 2) Updating periodik; 3) Promoting dengan berbagai media; dan 4) Managing.

Di sisi lain, Ir. Tri Joko Mulyono, MM, Sekretaris Badan Litbang kehutanan (Sekbadan) menyatakan bahwa pembangunan website FORDA merupakan salah satu alat diseminasi Badan Litbang Kehutanan. “Litbang tanpa diseminasi tidak ada artinya!, “ tegas Sekbadan.

Lebih lanjut Sekbadan berharap bahwa workshop ini bisa saling menguatkan dan mendelegasikan sesuatu yang lebih sempurna sehingga bisa meningkatkan pelayanan publik .

“ Tugas kita adalah bagaimana menyakinkan informasi kepada publik dengan sebaik-baiknya. Paling tidak Kemen-LHK berkontribusi dalam e-goverment yang menjadi strategi nasional kita,” kata Sekbadan.***THS

Materi terkait silahkan klik pada link berikut:

  1. Communicating science at Cifor : A Partnership for impact
  2. Pengelolaan Data dan Informasi Kehutanan
  3. Pengelolaan Data dan Informasi di Badan Litbang Kehutanan
  4. Library as a Research Partner
  5. Cifor TV
  6. How CIFOR Manages Publication Process
  7. Website Management
  8. Pengelolaan Website FORDA dan REDD-I

 

http://www.forda-mof.org atau www.litbang.dephut.go.id

#Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

#Forestry Research and Development Agency

#FORDA

Share Button

Riset Harus Berkesinambungan dan Bersinergi

FORDA (Serpong, 13/04/2015)_Permasalahan dalam pembangunan di Indonesia, terutama di bidang pangan, energi serta transportasi seharusnya dapat diselesaikan dengan penelitian atau riset yang baik. Untuk itu, diharapkan penelitian itu seharusnya berkesinambungan dan bersinergi antar lembaga riset. Hal ini disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, saat memberikan sambutan pada acara National Innovation Forum (NIF) 2015, di Graha widya Bhakti,  Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong-Banten (Senin, 13/04).

“Penelitian itu harusnya selalu ada kesinambungan. Artinya antara basic research, play research serta Innovation reserach betul-betul ada kesinambungan. Kalau tidak ekonomis secara matematis, harus diteliti secara ekonomis itu seperti apa, sehingga bisa menemukan produk penelitian dan dapat bergandengan dengan industri,” kata Presiden sambil mengingatkan banyak penelitian yang sudah dilakukan tetapi sudah tidak ada kabarnya, seperti penelitian di bidang energi (jarak).

Pada kesempatan tersebut, Presiden juga mengingatkan bahwa berbagai hasil penelitian yang ada saat ini hanya terbatas pada lahan atau pemakaian yang sempit, tidak dilakukan pada lahan yang luas. Seperti keberhasilan tumpang sari tanaman jagung pada perkebunan jati yang dilakukan di Perum Perhutani.

“Kenapa keberhasilan tersebut tidak diimplementasikan di kebun sawit,” Kata Presiden yang menyadari bahwa perkebunan sawit di Indonesia lebih luas daripada perkebunan jati.

Selain itu, Presiden juga mengingatkan bahwa dalam implementasi hasil penelitian harus selalu didampingi sehingga akan membuahkan hasil sesuai yang diharapkan.

“Keputusan-keputusan tersebut yang harus kita lakukan. Tidak hanya pada lahan sempit tetapi harus dilakukan secara nasional dan adanya pendampingan,” kata Presiden.

Presiden menyadari bahwa dukungan pemerintah dalam hal anggaran memang tidak terlalu besar. Tetapi, presiden berharap bahwa peneliti bisa bijaksana dengan anggaran tersebut. Peneliti harus fokus pada tujuan yang hendak dicapai serta berkesinambungan.

“Kalau penelitian kita masih parsial, tidak fokus serta tidak ada kesinambungan, maka anggaran yang sedikit tersebut akan lari kemana-mana dan tidak menghasilkan apa-apa,” kata Presiden.

Oleh karena itu, Presiden berharap bahwa adanya sinergi antar lembaga riset, perguruan tinggi (PT), dunia industri serta dunia usaha. Tujuanya kemana harus disinkronkan sehingga bisa terwujud kerjasama yang jelas dan konkrit antara peneliti, dunia usaha serta PT sehingga menghasilkan produk yang bermanfaat bagi rakyat.

Sedangkan untuk manipulasi anggaran serta tunjangan jabatan peneliti, perekayasa serta pengawas radiasi yang kurang besar, Presiden menyarankan adanya sharing antara perusahaan dengan peneliti atau fungsional lainnya tersebut.

“Banyak skema yang bisa dilakukan, sehingga peneliti bisa mendapatkan share income dari perusahaan” kata Presiden.

Disisi lain, Budi Santoso, Direktur Utama PT. Dirgantara Indonesia, menyatakan bahwa dunia usaha selalu bertumpu pada pasar dan didukung oleh teknologi. Dunia usaha akan lebih bisa bersaing dengan luar apabila didukung denga inovasi yang menghasilkan produk dan teknologi yang tepat.

Lebih lanjut, Budi menyatakan bahwa perusahaan tidak mungkin melakukan semuanya dari penelitiann dasar sampai dengan pengembangan. Diharapkan PT dan lembaga riset untuk selalu memulai penelitian dasar sampai menemukan core teknologi atau komponen, sehingga perusahaan bisa memulai dari core teknologi tersebut untuk menghasilkan produk yang bermanfaat.

“Kami berharap pemerintah bisa membimbing Kami untuk membuat suatu rencana sehingga semua penelitian dasar atau aplikasi yang telah dihasilkan tidak hanya selesai sampai paper yang disimpan dalam perpustakaan tetapi sampai pada Kami, sehingga Kami tidak meraba penelitian atau teknologi yang telah dihasilkan,”kata Budi.

Acara National Innovation Forum (NIF) 2015 yang dihadiri oleh kurang lebih 728 tamu undangan tersebut, merupakan salah satu forum yang berupaya untuk memperkuat program hilirisasi hasil riset ke dunia usaha atau industri.

Pada acara tersebut juga dipromosikan hasil-hasil riset dalam 40 stand pameran yang bertujuan untuk membangun komunikasi dan interaksi pelaku penelitian dengan dunia usaha, pengguna dan masyarakat serta pembuat kebijakan. Diharapkan dapat diketaui peran serta para aktor dalam mempercepat komersialisasi hasil-hasil penelitian.

Selain itu, pada acara tersebut juga dilaksanakan penandatanganan kerjasama tentang pemanfaatan teknologi sebyak 27 buah yang dikelompokkan dalam 7 bidang, yaitu: a). Pangan, b). Energi terbarukan, c). Teknologi informasi dan komunikasi, d). Pertahanan dan keamanan, e). Material maju,  f). Kesehatan dan g). Transportasi. ***THS

http://www.forda-mof.org atau www.litbang.dephut.go.id

#Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

#Forestry Research and Development Agency

#FORDA

Share Button

Rapat di Luar Kantor harus Selektif dan Akuntabel

Pemerintah tetap konsisten untuk melakukan penghematan keuangan negara, khususnya terkait dengan pembatasan rapat di luar kantor. Kebijakan yang semula dituangkan dalam Surat Edaran Menteri PANRB No. 11/2014, ditingkatkan menjadi Peraturan Menteri PANRB tentang Pedoman Pembatasan Pertemuan/Rapat di Luar Kantor dalam Rangka Peningkatan Efisiensi dan Efektivitas Kerja Aparatur.
Menteri  Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Yuddy Chrisnandi menegaskan, pedoman ini mengatur kriteria yang bersifat umum dan merupakan acuan bagi seluruh instansi penyelenggara pemerintahan. “Rapat di luar kantor dapat dilaksanakan secara selektif dan harus memenuhi berbagai kriteria. Selain itu, harus memenuhi ketentuan akuntabilitas serta dimonitor dan diawasi,” ujar Yuddy dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (01/03).
Kepada seluruh pimpinan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah, diminta menyusun petunjuk teknis beserta standar operasional prosedur (SOP) mengenai tata kelola kegiatan pertemuan/rapat di luar kantor serta evaluasi pelaksanaannya yang efektif dan efisien.
Dijelaskan, peraturan ini mengatur semua kegiatan pertemuan/rapat di luar kantor, baik yang dibiayai APBN maupun APBD. Kegiatan ini terbagi dalam dua kelompok, yakni yang bersifat internasional yang diselenggarakan di dalam negeri, dan yang non internasional.
Kegiatan itu meliputi konsinyering, focus group discussion (FGD), pertemuan, rapat koordinasi, rapat pimpinan, rapat kerja, rapat teknis, workshop, seminar, symposium, sosialisasi dan bimbingan teknis. Adapun kelompok kedua meliputi penyelenggaraan sidang, konvensi, konferensi internasional, workshop, seminar, symposium, sosialisasi, bimbingan teknis sarasehan berskala internasional yang diselenggarakan di dalam negeri.
Untuk rapat di luar kantor yang dibiayai APBN dapat dilaksanakan secara selektif apabila memenuhi setidaknya beberapa kriteria. Pertama, kegiatan dimaksud berskala internasional yang diselenggarakan di dalam negeri. Untuk pertemuan yang tidak berskala internasional,  harus memenuhi setidaknya satu kriteria sebagai berikut, yakni  memiliki urgensi tinggi terkait dengan pembahasan materi bersifat strategis atau memerlukan koordinasi lintas sektoral, memerlukan penyelesaian secara cepat, mendesak, dan terus menerus (simultan), sehingga memerlukan waktu penyelesaian di luar kantor.
Selain itu, tidak tersedia ruang rapat kantor milik sendiri /instansi pemerintah di wilayah tersebut, tidak tersedia sarana dan prasarana yang memadai, lokasi tempat penyelenggaraan pertemuan sulit dijangkau oleh peserta, baik transportasi maupun waktu perjalanan. “Untuk kegiatan non internasional ini, sekurang-kurangnya harus dihadiri oleh unsur unit kerja eselon I lain atau pemerintah daerah maupun masyarakat,” lanjut Yuddy.
Untuk kegiatan yang bersifat non internasional di luar kantor yang dibiayai dari APBD, dapat dilaksanakan jika tidak tersedia ruang rapat kantor milik sendiri/instansi pemerintah di wilayah tersebut, dan tidak tersedia sarana dan prasarana yang memadai. Selain itu, lokasi tempat penyelenggaraan pertemuan sulit dijangkau oleh peserta, baik sarana transportasi maupun waktu perjalanan.
Menteri Yuddy menambahkan, untuk mewujudkan akuntabilitas, setiap kegiatan tersebut diatas  maka perencanaan, pelaksanaan, pelaporan kegiatan harus disusun dan ditandatangani oleh penanggungjawab kegiatan dan disampaikan kepada unit pengawas internal.
Pertemuan atau kegiatan yang wajib dihadiri unsur eselon I lain, pemda atau masyarakat, harus dibuktikan dengan surat pernyataan keterbatasan sarana dan prasarana untuk penlenggaraan rapat di luar kantor, baik  milik sendiri maupun maupun milik instansi pmerintah lain dari penanggungjawab kegiatan. “Setiap kegiatan pertemuan/rapat di luar kantor harus memiliki output/hasil yang jelas. Hal itu dibuktikan dengan transkrip rapat, notulensi rapat dan/atau laporan, serta daftar hadir peserta rapat,” imbuhnya.
Untuk pemantauan dan evaluasi rapat di luar kantor yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga dan pemda, hasilnya harus disampaikan kepada unit pengawas internal masing-masing instansi yang dilengkapi dengan data-data pendukung. Hasil pemantauan dimaksud disampaikan setiap 6 bulan sekali kepada Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan Kementerian PANRB, yang selanjutnya disampaikan kepada Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk menunjang keberhasilan kegiatan pertemuan/rapat di luar kantor, maka Sekjen, Sesmen, Sestama, Sekda diminta menyusun petunjuk teknis beserta SOP mengenai tata kelola kegiatan pertemuan rapat di luar kantor yang efektif dan efisien. Sedangkan unit pengawasan internal masing-masing instansi diminta menyusun petunjuk teknis beserta SOP mengenai tata cara pengawasan dan evaluasinya. (ags/HUMAS MENPANRB)
Share Button

Perlindungan Gambut Terancam Diperlemah

Pemerintah hendak merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Revisi dititikberatkan pada pertimbangan ekonomi.

Rencana itu disesalkan sejumlah pihak karena menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah melindungi hutan gambut tersisa. “Pemerintah tak boleh mengeluarkan aturan mundur yang menurunkan standar perlindungan bagi lingkungan hidup,” kata Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Sabtu (11/4/2015), di Jakarta.

Rencana revisi PP Gambut itu terkait keberatan pengusaha hutan tanaman industri dan perkebunan, di antaranya soal pembatasan jarak permukaan gambut dengan air pada kanal, yakni 40 sentimeter. Kedalaman itu mematikan tanaman budidaya.

Pada berbagai pertemuan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan, rencana revisi dihasilkan dari rapat terbatas dengan Menteri Koordinator Perekonomian. “Kami akan siapkan naskah akademis dari sisi ekonominya,” katanya.

Dikonfirmasi perkembangan itu, Deputi Menteri LHK Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Arief Yuwono mengatakan, pihaknya sedang mengagendakan pertemuan dengan ahli ekonomi. Selain sisi ekonomi, aspek penegakan hukum dalam PP Gambut juga akan dikritisi.

Ia berharap pertemuan-pertemuan itu juga membahas aspek konservasi. “Indonesia pernah punya gambut 25 juta hektar, kini tinggal 13 juta hektar. Itu jadi persoalan ketika dikaitkan kebakaran hutan dan lahan, emisi gas rumah kaca, dan biodiversitas yang hilang,” kata Arief, penanggung jawab program Pengendalian Perubahan Iklim di Kementerian LHK.

Masukan dari sisi ekonomi dibutuhkan agar PP Gambut bisa diterima semua pihak. Sayangnya, kata Arief, perhitungan dan pertimbangan sisi ekonomi dengan ekologi belum seirama.

Sementara, aturan PP Gambut lebih longgar dibandingkan sebelumnya. Pada PP No 150/2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa disebutkan, kriteria kerusakan lahan basah (gambut) pada batas muka air tanah 25 cm. “Esensi pembangunan berkelanjutan, aturan tak membuat nyaman semua pihak. Tetapi ini mendesak. Kebakaran hutan dan lahan lebih banyak di gambut daripada di tanah mineral,” kata Arief.

Henri menyayangkan revisi PP Gambut. Langkah tersebut dinilai tak lumrah karena baru berusia tujuh bulan dan belum tampak dampak penerapannya sudah hendak direvisi. (ICH)

Sumber : Klik disini

Share Button

Pentingnya Sistem Merit dalam Promosi Terbuka

Undang-Undang (UU) ASN nomor 5 tahun 2014 memuat banyak perubahan besar dalam dinamilka birokrasi di Indonesia. Salah satu yang cukup menonjol adalah penerapan sistem merit dalam promosi jabatan secara terbuka.

Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) Irham Dilmy dalam seminar bertajuk Mengawal Kebijakan, Implementasi melalui Keterlibatan Policy Communities dan Evidence Based Policy di kampus UI Depok, Kamis (02/04). “Sistem merit memiliki dua konsekuensi, yakni semua jabatan harus memiliki standar kompetensi dan seluruh pejabat harus memahami tugas dan target kerjanya,” ujarnya.

Dikatakan, standar kompetensi dalam hal ini adalah adanya kecakapan terkait jabatan yang direbutkan dalam agenda open recruitment. Sedangkan mengenai konsekuensi kedua, para calon pemangku jabatan diharapkan paham mengenai garis besar tugas kerja yang akan diembannya.

Kedua hal ini, menurut Irham, mutlak dipenuhi oleh calon pemangku jabatan agar tercipta profesionalitas. “Konsekuensi tentu akan menghasilkan implikasi, dan dalam kaitannya dengan manajemen kepegawaian, sistem merit mampu memberikan enam implikasi baik bagi instansi-instansi terkait,” tambah Irham.

Implikasi pertama adalah penataan jabatan yang lebih jelas sehingga kinerja instansi-instansi yang menaungi semakin efisien dan akuntabel. Selanjutnya, sistem merit akan menghasilkan implikasi berupa penyusunan kualifikasi dan standar kompetensi pemangku jabatan yang lebih terstruktur.

Sedangkan implikasi ketiga adalah terciptanya penerapan sistem penilaian yang kinerja pemangku jabatan yang lebih obyektif dan transparan. Adapun implikasi keempat adalah penyempurnaan sistem remunerasi agar terciptanya efisiensi biaya kinerja ASN.

Irham menggaris bawahi remunerasi sebagai salah satu masalah yang cukup pelik dalam reformasi birokrasi di bidang anggaran, karena kerap kali penetapan gaji tidak sesuai dengan tingkat kerja yang ditunjukkan oleh aparat pemangku jabatan terkait.Oleh sebab itu, sistem merit diharapkan mampu memilih kandidat yang tepat untuk mengisi jabatan-jabatan starategis di kementerian, lembaga negara, dan pemerintahan daerah.

Untuk implikasi yang kelima adalah mengenai penempatan pegawai, yang diharapkan dapat mengurangi kesenjangan penempatan PNS yang masih cukup sering dialami oleh banyak instansi di seluruh Indonesia. Sedangkan untuk implikasi terakhir yaitu penyusunan rencana pengembangan karir bagi ASN yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai diklat.

Menurut Irham, pengembangan karir sangatlah penting untuk meningkatkan motivasi dan potensi kerja ASN. “Konsep merit tidak akan berjalan dengan sempurna jika tidak dibarengi dengan pengawasan proses seleksi yang ketat sehingga Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) dapat terjamin kaulifikasi dan legalitasnya,” tukas Irham.

Untuk mencapai tujuan pengawasan tersebut, Irham menyebut empat tahapan yang harus dikerjakan dengan baik. Pertama adalah pelaksanaan sikap proaktif dan reaktif dalam menilai kandidat JPT. Hal itu harus diikuti tahapan kedua berupa pemberian peringatan dan reaksi terhadap proses dan metode yang terjadi dalam seleksi, jika ditemui kejanggalan.

Selanjutnya, pengawasan proses seleksi juga memberi wewenang untuk pemberian endorsement jika panitia terkait menolak hasil seleksi karena tidak memenuhi kualifikasi yang diharapkan. Adapun tahapan keempat adalah penggenapan legalitas yang dilakukan dengan menggandeng Sekretariat Kabinet dalam rapat pra-JPT. (hfu/ HUMAS MENPANRB)

Sumber : Klik disini

Share Button

Ketika Dayak Punan Siapkan “Senjata” Melawan Penghancuran Hutan Adat

Malam itu, 15 Juni 2013. Bunyi mesin mobil memecah kesunyian Desa Punan Adiu, Kecamatan Malinau Selatan Hilir, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Markus Ilun segera keluar rumah. Sorot lampu mobil membuat silau mata. Empat orang turun dari mobil.

Markus, sang ketua adat, mencari tahu siapa mereka. Piang Irang, Kepala Desa Punan Adiu mendekati Markus. Mereka memperhatikan tamu-tamu itu. Salah seorang tamu mereka kenal. Dia adalah Perminas, Camat Malinau Selatan Hilir.

“Silakan masuk, Pak Camat,” kata Markus.

“Saya datang ke sini membawa tamu dari perusahaan sawit,” jawab Perminas.

Markus dan Piang saling bertatap. Keduanya bisa menduga maksud kedatangan camat dan tiga orang perusahaan sawit itu. Markus dan Piang mengajak warga sama-sama bertemu dan mendengarkan penjelasan orang-orang ini.

Sekitar 20-an warga datang. Mereka berkumpul di rumah Markus. Duduk membentuk lingkaran. Markus Ilun dan Piang Irang menjadi juru bicara.

Dari pertemuan itu, terungkap, tiga orang itu membawa bendera perusahaan sawit PT. Putra Bangun Bersama, PT. Dulong Agro Plantation, dan PT. Borneo Dulong Agro Lestari. Mereka mengincar hutan adat Dayak Punan Adiu.

“Kalau menanam sawit, masyarakat akan sejahtera,” kata salah satu dari mereka.

Perminas selaku wakil pemerintah menjelaskan, hanya mengantarkan orang-orang itu ke Kampung Dayak Punan. Dia telah mendapat izin bupati.

“Mohon maaf, bapak-bapak. Saya tidak bisa terima perusahaan sawit masuk di hutan kami,” kata Markus.

Perusahaan terus membujuk. Mereka mengiming-imingi kehidupan nyaman dan sejahtera. Perusahaan merinci, tahun pertama, target menanam sawit di hutan Dayak Punan seluas 40 hektar. Berikutnya 2015,  target mereka 100 hektar, 2017 sebanyak 150 hektar, dan 2020 seluas 200 hektar.

“Biarpun masyarakat sejahtera, kayu di hutan kami habis dibabat,” kata Markus.

Markus tak goyah. Dia bersama warga menolak tawaran orang-orang perusahaan itu. Pertemuan berlangsung dari pukul 20.00 hingga 23.00 itu tak menghasilkan apa-apa. Rombongan pulang dengan tangan hampa. Malam itu, menjadi saksi penolakan warga Dayak Punan “mengusir” investasi sawit yang siap menghancurkan hutan adat mereka.

Truk berukuran besar memuat batubara, lalu-lalang memecah kesunyian hutan. Jalan tak mulus. Penuh batu dan berlubang. Debu beterbangan menutupi pepohonan. Bak awan, debu ini menghalangi pemandangan saya.

Tak jauh dari jalan itu, dua perusahaan batubara beroperasi, PT Kayan Prima Utama Coal dan PT Bara Dinamika Muda Sukses.

Jalan ini menuju Desa Punan Adiu. Dari ibukota kabupaten menuju Punan Adiu ditempuh sekitar satu setengah jam. Sebelum pemekaran, daerah ini masuk Kalimantan Timur.

Punan adalah salah satu sub suku Dayak di Kalimantan. Diaspora etnis ini hingga ke negeri seberang di Serawak, Malaysia. Ia menyebar hingga di belahan Kalimantan.

Di Punan Adiu, mereka ada 27 keluarga dengan 121 jiwa. Luas pemukiman berkisar empat hektar dengan hutan adat seluas 17.400 hektar.

“Hutan ini tempat lahir kami,” kata Markus, pada medio Februari 2015.

Untuk bertahan dari godaan perusahaan, masyarakat Dayak Punan punya senjata. Senjata itu bukanlah bedil berisikan peluru tajam tetapi selembar peta. Peta yang menegaskan pengakuan tanah adat mereka di Adiu.

Peta itu dibuat partisipatif difasilitasi Lembaga Pemerhati Pendayagunaan Punan di Malinau (LP3M), dan Simpul Layanan Pemetaan Pertisipatif Kalimantan Timur (SLPP). Mereka bekerja sama dengan Jaringan Kerja Pemetaan Pertisipatif (JKPP), dan Perkumpulan Padi Indonesia.

“Ketika Pak Camat dan tiga orang perusahaan itu datang, kami sedang proses pembuatan peta partisipatif,” kata Piang.

Piang Irang rajin mencatat. Ketika ada pertemuan dengan siapa saja, dia menjadi notulen. Detail-detail peristiwa dicatat. Dalam catatan Piang, di desa mereka seringkali datang orang survei batubara. Juga perusahaan hutan tanaman industri yang merayu warga menanam akasia. Perusahaan mengincar kayu log hutan adat.

“Sekarang dengan peta, masyarakat bisa menentukan sikap. Kami bisa menolak perusahaan-perusahaan yang ingin masuk ke hutan adat.”

Peta partisipatif masyarakat Punan Adiu baru selesai Januari 2015. Proses pembuatan memerlukan waktu panjang. Beberapa kali survei lapangan, dari Juni 2012 hingga 2014.

“Dalam peta ini tidak hanya bicara tata batas, juga tata ruang. Seperti di mana hutan adat, kebun, atau tempat warga berburu,” kata Ahmad Suudi Jawahir Asyami, Direktur Perkumpulan Padi Indonesia.

Bagi Among, panggilan akrab pria ini, peta adalah alat dan pengakuan diri masyarakat. Untuk pemerintah, katanya, sangat berguna karena dengan peta partisipatif akan tahu daerah itu ada masyarakat bermukim. Among berharap, peta itu bisa masuk rencana tata ruang wilayah.

Boro Suban Nicolaus, Direktur LP3M mengatakan, di Kabupaten Malinau, pemetaan partisipatif sudah mulai lama, diawali pelatihan pada 28 Februari 2012. Langkah maju juga tampak dengan ada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat Kabupaten Malinau.

“Pertama kali, peta partisipatif di Malinau yang jadi baru di Punan Adiu. Nanti peta milik ini akan menjadi model bagi kampung-kampung lain di Malinau,” kata Nico.

Menurut dia, proses awal pembuatan peta ini mengundang semua kampung-kampung tetangga, berjumlah enam desa. Mereka akan bertukar pendapat mengenai sejarah kampung, dan bersepakat tentang tata batas. Tujuannya, meminimalisir konflik, baik dengan perusahaan maupun sesama masyarakat.

Proses pembuatan peta ini, katanya, bukan tanpa kendala. Pernah dalam pembahasan peta terjadi selisih paham antara masyarakat Setarap dengan Punan Adiu dan Merap Gong Solok. Persoalannya Danau Sigong Kelapa. Luas 12 hektar. Orang Setarap ingin danau itu masuk wilayah mereka, tetapi berdasarkan sejarah itu wilayah adat Punan Adiu.

“Ketua adat dari Punan Adiu bilang, ‘tidak mungkin ikan danau dicat dan dibagi dua biar ketahuan punya masing-masing’. Lama berdebat, akhirnya mereka bersepakat danau itu masuk wilayah adat Punan Adiu dan menjadi titik temu tiga masyarakat adat. Tata batas berdasarkan sejarah nenek moyang mereka.”

“Orang-orang Dayak punya kesantunan adat yang luar biasa,” kata Nico.

Rahmat Sulaiman, Kepala Divisi Organisasi JKPP berharap, peta ini segera ditindaklanjuti ke level berikutnya, yaitu didaftarkan ke Badan Registrasi Wilayah Adat. Di kabupaten, katanya, aturan daerah itu harus ada turunan, yaitu peraturan bupati berisi pembentukan Badan Pelaksana Urusan Masyarakat Adat.

Perahu ketinting melaju kencang melawan arus Sungai Malinau. Piang Irang memegang kemudi. Dia harus waspada. Kalau lengah, perahu bisa menghantam batu atau batang pohon besar di sungai. Kadang dia, memperlambat laju perahu. Sesekali mesin mati. Piang sigap turun dan mendorong perahu.

“Hutan adat orang Punan Adiu jauh dari sini. Kurang lebih setengah jam naik perahu,” katanya.

Pada 25 Februari 2015, saya dan beberapa wartawan bersama Piang Irang dan Markus Ilun dan warga lain ke hutan adat. Kami melewati beberapa anak sungai. Pohon-pohon rapat. Hutan lebat.

Markus turun pertama. Mengenakan kaos oblong lengan panjang bergaris merah hitam dan bercelana pendek.

“Ini pohon gaharu yang kami tanam.”

Markus memperlihatkan gaharu banyak tumbuh di sana. Sejak 2006, warga wajib menanam pohon dengan nama latin Aquilaria malaccensis ini di hutan mereka. Selain memiliki nilai tinggi, pohon ini menjadi tanda batas dengan wilayah hutan komunitas lain.

“Cara mengusir perusahaan juga dengan menanam gaharu. Perusahaan tidak bisa asal serobot karena tanda wilayah kami adalah pohon ini. Ini sudah ada di peta adat Dayak Punan Adiu,” kata Markus.

Gaharu juga memiliki hubungan erat dengan orang-orang Dayak Punan. Pohon ini memiliki nilai spiritual dan jadi ramuan obat-obatan. Dahulu, kata Markus, gaharu sebagai alat barter.

Di hutan ini juga diatur wilayah terlarang, tidak sembarang orang bisa masuk. Mereka juga membuat pos untuk mencegah orang mengambil kayu di hutan Punan Adiu.

“Kami sedang menggodok peraturan desa mengenai wilayah-wilayah adat yang dilarang maupun yang boleh beserta sanksi,” kata Piang.

Masyarakat Dayak di Punan Adiu memiliki kearifan lokal tinggi dalam menjaga wilayah adat. Namun, ancaman bisa datang kapan saja, terutama dari perusahaan.

“Kami tidak ingin menyerahkan hutan kami kepada perusahaan. Karena hutan ini tempat lahir kami.”

Sumber : klik disini

Share Button