Moratorium: Antara Deforestasi dan Penegakan Hukum

Berbicara tentang moratorium tidak hanya menyinggung bahwa Indonesia merupakan peraih “emas” dunia di bidang deforestasi, melainkan juga mempertanyakan lemahnya penegakan hukum di negeri ini. Setelah menempuh masa evaluasi dan menuai banyak kecaman, akhirnya sesuai instruksi presiden, moratorium penebangan hutan akan diperpanjang dengan pelbagai perbaikan. Salah satunya adalah rancangan kebijakan hukum yang harus diperkuat dengan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengikat pihak terkait aparatur pemerintahan.

Penelitian di  wilayah hutan alam primer dan lahan gambut yakni di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah pun diselenggarakan oleh Wahana lingkungan hidup Indonesia (Walhi) dan Kemitraan dari daerah untuk menganalisis kebijakan-kebijakan yang terdapat dalam moratorium.

Hasil analisis yang dipaparkan bersama dalam “Launching Hasil Kajian Analisis Moratorium” lalu (29/4) menjelaskan bahwa lemahnya pemerintah dalam mengontrol pemberian izin untuk pengelolaan hutan primer dan lahan gambut. I Nengah Surati Jaya selaku ketua tim peneliti menyatakan bahwa keberadaan Pemberian Ijin Baru Pemanfaatan Hutan yang sudah direvisi hingga tujuh kali ini justru membawa degradasi yang signifikan, “Pengurangan luas hutan lahan gambut mencapai 914.067 Ha dan 66.398 Ha untuk hutan alam primer. Kebijakan ini harus dilanjutkan dengan upaya pemulihan dan tata kelola hutan yang lebih profesional.” jelasnya.

Selain tidak dapat mengontrol pemberian izin, kebijakan ini dinilai tidak efisien dalam menempatkan  wilayah-wilayah yang dinaungi Moratorium. “Untuk apa melindungi hutan lindung dan kawasan konservasi yang memang dari awal memiliki kebijakan untuk steril dari konversi? Seharusnya kawasan moratorium itu diperluas hingga wilayah yang terabaikan seperti karts, mangrove, dan pulau-pulau yang belum mendapat perlindungan.” ungkap Sita Supomo selaku Direktur Program Sustainable Development Kemitraan.

Berkaitan dengan hasil analisis yang dipaparkan, Kemitraan dan Walhi memberikan dukungan untuk perpanjangan moratorium yang setidaknya dilakukan lebih dari dua tahun. Pastinya kebijakan ini harus menerapkan visi dan misi awal dari moratorium, yakni memberi nafas bagi ekositem untuk meremajakan diri.

Sumber : Klik disini

Share Button

Belajar Konservasi Hutan dan Mata Air Di Wonosalam

Berbekal pemahaman sederhana bahwa hutan gundul akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang dapat merugikan masyarakat, Wagisan bersama warga Dusun Mendiro, Desa Panglungan, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, melakukan upaya penanaman kembali hutan yang gundul seluas lebih dari 50 hektar.

Awal mulanya hutan di kawasan Dusun Mendiro ditumbuhi banyak tanaman kayu, serta tanaman buah-buahan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan. Hutan seluas 50 hektar yang masuk dalam wilayah penguasaan Perhutani ini mengalami kerusakan dan menjadi gundul, akibat penebangan kayu hutan secara ilegal pada tahun 1998-1999. Tidak hanya oleh warga masyarakat sekitar, penebangan kayu juga banyak dilakukan oleh oknum aparat.

Melalui inisiatif dan swadaya sendiri, Wagisan bersama 10 orang yang menamakan diri sebagai kelompok Kepuh (Kelompok Pelindung Hutan dan Pelestari Mata Air), kelompok masyarakat yang peduli terhadap hutan melakukan penanaman bibit pohon buah-buahan, pada lahan yang gundul. Wagisan beranggapan bila kondisi ini dibiarkan, maka tidak hanya akan berakibat pada bencana lingkungan, namun juga mempengaruhi perekonomian warga yang semula sangat bergantung pada hutan.

“Dulu jaman saya kecil tanaman duriannya berbuah lebat, tapi kemudian semuanya dijarah orang, ditebangi sampai habis total dan gundul. Kemudian saya bersama warga yang lain mulai lagi menanami, selain durian ada juga nangka, kemiri, jengkol, dan masih banyak lagi,” ujar Wagisan, ditemui di rumahnya di Dusun Mendiro, Sabtu (18/04/2015).

Melalui gerakan menanami kembali hutan yang gundul, Wagisan beranggapan bahwa keberadaan pohon-pohon atau tanaman berkayu akan mampu menahan serta menyimpan air, mencegah bahaya longsor dan banjir bandang, dan mengembalikan debit air dari mata air yang sempat hilang atau mati.

Secara mandiri, mereka melakukan pembibitan tanaman buah aneka macam, melakukan penanaman dan penyiraman, hingga bergantian melakukan patroli untuk menjaga agar tidak ada lagi penebangan pohon secara ilegal. Pada awal mula kelompok Kepuh melakukan pembibitan hingga 10.000 bibit tanaman buah-buahan dari 40 jenis tanaman.

“Semua kami lakukan sendiri, tidak ada bantuan dari siapa pun, semua swadaya masyarakat,” tukas Wagisan.

Kerelaan menjadi penjaga hutan dan pelestari mata air juga diakui oleh Tumariono, warga Dusun Mendiro. Tumariono mengaku tidak dibayar untuk menjadi bagian dari kelompok Kepuh. Melalui upaya menjaga hutan dengan cara menanam pohon dan merawat mata air, bayarannya berupa air bersih gratis dirasa lebih dari cukup bagi Tumariono serta warga lainnya.

“Masyarakat disini tidak pakai pompa air, pompa airnya ya pohon yang ditanam. Dengan itu semua airnya bisa langsung disalurkan lewat pipa paralon ke masing-masing rumah warga. Kalau bayarannya ya gak ada,” tutur Tumariono yang mengaku pernah bertengkar antar warga, karena berebut sumber mata air saat debit air yang keluar masih sedikit.

Selama lebih dari 3 tahun, Tumariono mengaku tidak sampai mengalami kekurangan air, bahkan saat memasuki musim kemarau. Kebutuhan warga akan air bersih, serta air untuk berternak dan berladang, selalu tercukupi sejak reboisasi berhasil dilakukan di hutan Dusun Mendiro.

“Ini setelah warga sadar dan melakukan pembibitan, menanam di sebelah mata air, terutama di Petung Pecut dan Sumber Gintung. Warga menanam aneka tanaman kayu, seperti kayu bendho, durian, kemiri, trembesi, gondang, pucung, juga bambu apus dan bambu petung,” jabar Tumariono.

Kondisi seperti ini diharapkan Wagisan tidak sampai menimbulkan perusakan dan pembabatan hutan kembali, setelah masyarakat merasakan manfaat hutan secara ekonomis.

“Sekarang sudah menjadi hutan, ada durian dan jengkol yang sudah berbuah, alpukat, nangka, kemiri, juga ada manggis, langsep. Kami menjadikan lahan yang gundul sebagai hutan beraneka ragam buah. Harapan kami hutan lestari, masyarakat banyak rejeki, dan tidak lagi merusak hutan,” harap Wagisan.

Melalui upaya konservasi yang dilakukan kelompok Kepuh bersama masyarakat setempat, tidak hanya mengembalikan kondisi hutan seperti semula, tapi juga ikut menjaga satwa serta ekosistem yang ada sebelumnya.

“Kita juga melindungi satwa jangan sampai diburu. Sekarang kita sudah mulai menemui lutung, kancil, kijang, berbagai jenis burung, bahkan masih terlihat macan kumbang,” imbuh Wagisan yang merupakan mantan Kepala Dusun Mendiro ini.

Meski telah berupaya melakukan penanaman kembali hutan yang gundul, ternyata masih ada juga masyarakat serta oknum aparat yang melakukan penebangan pohon. Sekitar 50 pohon kemiri yang telah ditanam kelompok Kepuh bersama warga didapati ditebang oleh orang yang tidak bertanggungjawab, sehingga sempat menimbulkan ketegangan antara warga dengan Perhutani.

“Setelah pohon kemiri jadi dan banyak, sekitar 50 pohon ditebangi pada Mei 2010, sejak saat itu kelompok Kepuh sudah siaga semuanya. Kalau ada yang menebang atau mencuri, ramai-ramai akan diambil tindakan dan dilaporkan pihak berwajib. Kalau pencurian ini dibiarkan, kasihan anak cucu kita nanti kalau hutannya rusak kembali,” tegas Wagisan.

Wagisan berharap konservasi hutan yang telah dilakukan warga yang dimotori kelompok Kepuh ini, tidak sampai dirusak oleh pihak yang kurang bertanggungjawab dan ingin mencari keuntungan sendiri. pemerintah diminta turun tangan dan terlibat secara langsung dalam mendukung upaya konservasi yang telah digalakkan oleh kelompok Kepuh bersama masyarakat.

“Jangan sampai hutan konservasi yang sudah jadi seperti ini dikotori oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, kalau pemerintah tidak turun tangan ya tidak menutup kemungkinan bisa rusak lagi,” serunya.

Selain meminta dukungan pemerintah daerah Kabupaten Jombang dan Pemprov Jatim, kelompok Kepuh berharap potensi sumber daya alam khususnya di hutan Wonosalam dapat dikembangkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi masyarakat secara maksimal.

“Kalau pas panen durian, ini jadi hutan durian. Ini yang bisa mendatangkan pemasukan ekonomi warga, juga tanaman dengan buah yang lain. Sejauh ini kami menjual sendiri, belum ada yang menampung hasil panen warga. Selain itu akses jalan yang kurang baik jadi hambatan kami,” ucap Wagisan.

Pada waktu panen durian, hampir seluruh area yang dihijaukan menghasilkan buah durian. Rata-rata 1 pohon menghasilkan 10 hingga 20 buah durian. Bila dijual seharga Rp30.000, masyarakat memperoleh pemasukan Rp300.000- Rp600.000 per pohon. Padahal dalam sebidang lahan yang digarap warga bisa ada lebih dari 10 pohon durian.

Sedangkan dari panen kemiri, setiap 100 butir kemiri dihargai Rp7.000, sedangkan setiap pohonnya bisa menghasilkan antara 500 hingga 1.000 butir kemiri. Pohon kemiri di hutan Mendiro merupakan salah satu jenis pohon yang paling banyak ditanam di lahan seluas 50 hektar, karena pohonnya yang merupakan jenis tegakan.

“Bisa dihitung sendiri berapa hasil yang diperoleh sekali panen untuk kemiri dan durian. Belum lagi jengkol, nangka, dan hasil pohon buah lainnya. Intinya masyarakat semakin sejahtera setelah upaya penghijauan ini berhasil,” ungkap Wagisan.

Partisipasi Masyarakat

Aktivis lingkungan dari Ecological Observation and Wetlands Conservation(ECOTON) Amiruddin Muttaqin mengungkapkan, keberadaan kelompok Kepuh merupakan salah satu contoh partisipasi yang dilakukan masyarakat, dalam menjaga dan melindungi hutan terutama hutan-hutan lindung yang ada di perbatasan desa-desa paling ujung.

“Seharusnya memang di hampir semua hutan itu ada kelompok-kelompok seperti yang dilakukan kelompok Kepuh ini, yang sudah menjadikan hutan ini lebih bagus, terjaga, terawat, mata airnya terus mengalir dan bisa dimanfaatkan oleh semua masyarakat yang ada di hulu maupun di hilir,” katanya.

Amiruddin menilai bahwa sangat penting melibatkan masyarakat dalam menjaga hutan, karena masyarakatlah yang setiap hari berinteraksi di hutan dengan berbagai ikatan emosional dan ekonomi yang terkandung di dalamnya. Fungsi hutan baik secara ekologi maupun ekonomi inilah, yang menjadikan hutan sebagai ekosistem yang harus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat.

“Mau tidak mau masyarakat harus menjaga hutan dan melindunginya, karena ini untuk tujuan peningkatan ekonomi dan juga melindungi mata air yang ada,” kata Amir yang sudah mendampingi kelompok Kepuh sejak 2010.

Sudah selayaknya, lanjutnya, pemerintah harus berterimakasih dan memberikan apresiasi bagi masyarakat di hulu yang sudah menjaga hutan dan mata air.

Keberhasilan kelompok Kepuh ini perlu didukung oleh semua pihak, karena upaya menjaga serta melestarikan hutan serta mata air tidak dapat dilakukan sendiri, khususnya masyarakat yang berdekatan dengan kawasan hutan yang kritis.

“Sebenarnya masih ada kawasan yang gundul di sekitar gua Sigolo-golo seluas 5-10 hektar, itu di wilayah Perhutani. Tidak tahu kenapa petugasnya kurang antusias. Masyarakat sebenarnya bisa saja melakukan penghijauan di situ, tapi ternyata hanya menanam tanaman palawija,” tukas Wagisan.

Saat ini hutan di Dusun Mendiro yang hijau dan lebat menjadi daya tarik wisatawan lokal dan mancanegara, baik untuk tujuan rekreasi maupun studi lingkungan. Bahkan tidak sedikit kelompok pelajar dan mahasiswa yang melakukan studi mengenai kehutanan, sekaligus melakukan aksi menanam pohon di hutan Desa Mendiro.

“Sekarang ini banyak kelompok masyarakat seperti pramuka, kelompok pemuda yang datang dan menanam disana, ditempat yang masih jarang pohonnya. Setiap kunjungan rata-rata kami siapkan 50-100 bibit untuk ditanam, dan tiap bulan selalu ada yang datang berkunjung,” pungkasnya.

Dengan banyaknya perhatian dari masyarakat di luar Wonosalam, Wagisan berharap ekosistem hutan Mendiro tetap terjaga, dan tetap menjadi sumber penghidupan masyarakat yang ikut menjaga kelestarian hutan dan mata air.

Mengajarkan Cinta Hutan Sejak Dini

Kesadaran untuk mau menjaga serta melestarikan hutan serta mata air, merupakan kunci mengatasi berbagai persoalan yang berkaitan dengan hutan beserta ekosistem di dalamnya. Melalui pendidikan dapat diberikan pemahaman serta pengetahuan mengenai pentingnya hutan bagi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya.

Berawal dari kekhawatiran terhadap kondisi hutan yang semakin rusak oleh ulah orang yang tidak bertanggungjawab, Mukhlas Bassa menjadi pelopor untuk mengajarkan pentingnya menjaga hutan dan mata air kepada para pelajar.

Guru Madrasah Aliyah (MA) Fasser, Kecamatan Wonosalam ini, akhirnya terjun total mengajarkan pentingnya melestarikan hutan kepada siswa-siswi didiknya. Dibantu LSM Ecoton, Mukhlas mengawali membentuk kelas khusus yang mengajarkan mengenai pelajaran hutan dan mata air. Mata pelajaran ini mungkin menjadi satu-satunya mata pelajaran yang diajarkan kepada siswa di tingkat SMA sederajat.

“Hutan kami rusak sekitar tahun 1998-2002. Malah pada tahun 2002 terjadi banjir bandang di wilayah Mojokerto akibat hutan di sekitar kita gundul. Kekhawatiran terhadap hutan yang semakin rusak, serta terhadap mata air yang pada 2007 semakin banyak yang mati atau hilang, menjadi awal kegiatan kami di bidang lingkungan,” kisah Mukhlas.

Berawal dari kebosanan para siswa saat belajar di dalam kelas, memunculkan ide bagi Mukhlas untuk mengajak para siswa belajar mengenai lingkungan di luar kelas. Pelajaran di luar kelas itulah yang semakin menunjukkan bahwa ada banyak hal yang bisa dipelajari dari lingkungan, selain pelajaran teori mengenai ilmu pengetahuan alam.

Meski pada awal mula para siswa tampak kebingungan dengan metode yang baru ini, akhirnya lambat laun siswa didiknya dapat menikmati dan menyukai pelajaran baru yang diberikan tiap hari Sabtu, dengan sistem pengajaran lebih banyak di dalam hutan dan sekitar mata air.

“Kami mengajarkan tentang morfologi tumbuhan, pelestariannya, hidrologinya, kesehatan sungai, pembibitan, dan kemudian wirausaha sosial di bidang lingkungan. Awalnya siswa kami kebingungan karena banyak yang jurusan sosial, bukan IPA. Tapi lama-lama mereka semakin tertarik,” terangnya.

Tidak hanya semakin banyak siswa yang berminat mengikuti pelajaran hutan dan mata air, Madrasah Aliyah Fasser Wonosalam mulai menggandeng sekolah lain untuk bekerjasama melakukan penyelamatan hutan serta mata air bagi kehidupan manusia.

“Kalau kita belajar mengenai pembibitan tanaman hutan, kita juga mengundang teman-teman dari luar kota, seperti Surabaya, Gresik, Mojokerto, dan Jombang sendiri. Kita juga belajar tentang kondisi sungai-sungai kita dengan melakukan biomonitoring, inventarisasi tanaman-tanaman yang masih ada di hutan lindung, juga patroli,” jabar Mukhlas yang menyadari masih banyak anggota keluarga para siswa yang belum peduli terhadap kondisi hutan.

Selain belajar bersama di hutan, para siswa juga diajarkan untuk memberikan pengajaran mengenai hutan dan mata air kepada pelajar lain dibawahnya, baik tingkat SMP maupun SD. Pengajaran dan penyadaran mengenai pentingnya menjaga serta melestarikan hutan dan mata air menurut Mukhlas, merupakan upaya dasar untuk menanamkan kecintaan terhadap lingkungan sejak usia dini.

“Harapan kami memang ada pengaruh yang cukup besar walaupun tidak sekarang, karena sebagian besar anak-anak kami ini rata-rata orang tua mereka hidupnya juga tergantung dari hutan di sekitarnya. Dengan mereka kita sadarkan tentang pengetahuan hutan dan mata air, lambat laun mereka lebih arif lagi terhadap hutannya dan ikut menjaga hutannya,” tutur Mukhlas.

Melalui kegiatan belajar mengajar di hutan, sekaligus patroli hutan dan mata air yang dilakukan setiap Sabtu, membuat aktivitas penebangan kayu hutan serta perburuan liar menjadi jauh berkurang. Mukhlas berharap upaya kecilnya dalam menyelamatkan hutan dan mata air membuahkan hasil, berupa tersebarnya pemahaman baru yang positif mengenai kecintaan masyarakat akan hutan, sehingga dapat mencegah kerusakan yang terjadi.

“Dampaknya mungkin orang-orang yang merusak hutan mulai berkurang, dan keterlibatan kita menanam pohon dihutan menjadikan mereka ikut sadar dan ikut menanam tanaman hutan. Jadi kesadaran masyarakat tentang hutan sangat perlu diberikan sejak dini, khususnya melalui dunia pendidikan,” pungkas Mukhlas yang berharap ada materi khusus mengenai hutan yang dimasukkan pada kurikulum pendidikan.

sumber: klik disini

Share Button

Konflik Lahan Menggila? Inilah Usulan Peneliti

Center for International Forestry Research (CIFOR), menyatakan, negara Indonesia perlu memiliki resolusi konflik, dalam mengatasi konflik lahan antara masyarakat lokal (adat) dan perusahaan. Sebab,  dengan pengembangan bisnis yang memanfaatkan lahan luas berpotensi besar bersinggungan bahkan merampas wilayah kelola warga.

“Itulah mengapa kami menganggap perlu konsep resolusi konflik, yang bisa mencegah atau menekan konflik terjadi,” kata Romain Pirard, Saintis Senior Center for International Forestry Research (CIFOR), saat The Forests Dialogue, dalam diskusi lapangan mengenai Understanding Deforestation-Free (UDF), di Pekanbaru, Sabtu (2/5/15).

Pirard mengatakan, HTI bakal berkembang dramatis memenuhi tuntutan akan serat, pangan, dan energi di masa depan. Data FAO, perluasan hutan tanaman terjadi besar-besaran mencapai lima juta hektar per tahun.

Dampak ini, katanya, tumpang tindih klaim kepemilikan lahan dengan masyarakat lokal/adat, hingga berpeluang konflik dengan perusahaan HTI, sampai berujung kriminalisasi.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga 2014,  menunjukkan terdapat 10 juta hektar izin pemanfaatan HTI. Dari analisis, lahan yang dimanfaatkan baru 5,7 juta hektar. Salah satu penyebab pemanfaatan minim karena banyak tumpang tindih klaim kepemilikan lahan dengan masyarakat, yang tinggal di sekitar dan dalam kawasan hutan.

Optimalisasi pemanfaatan 10 juta hektar ini, katanya, diperkirakan bisa meningkatkan eskalasi konflik.  “Jadi perlu resolusi konflik, karena potensi muncul kekerasan, ketidakadilan, kerugian ekonomi, keterbatasan pembangunan pada tingkat lokal, dan merosot kredibilitas negara dalam keadilan dan kapasitas penegakan hukum.”

Konflik agraria, katanya, sepanjang 2013, tercatat 369 kasus, melibatkan lahan 1,2 juta hektar. Di sektor kehutanan 31 konflik dengan luas lahan 0,5 juta hektar.

“Mediasi, mekanisme resolusi konflik di berbagai negara, termasuk Indonesia, namun penerapan belum menujukkan hasil memuaskan, ” katanya.

Dengan resolusi konflik, tidak hanya menghentikan kekerasan, namun solusi jangka panjang, sebagai upaya mengubah paradigma hubungan sosial, hingga muncul keharmonisan dan saling percaya para pihak.

Dia mencontohkan, penyelesaian konflik di Kelurahan Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, pada 2001 mengenai lahan APL menjadi hutan produksi.

Hasil penelitian CIFOR, tipologi konflik di Senyawang berupa klaim masyarakat atas hak tanah adat pada konsesi HTI PT Wira Karya Sakti (WKS), Sinarmas Forestry (SMF), yang menanam akasia dan mulai memasuki daur ketiga saat konflik memanas. Konflik ini memuncak setelah 2008.

Dewan Kehutanan Nasional, tercatat berperan dalam mendorong proses penyelesaian di sana, pada 2011-2013, berdasarkan permintaan masyarakat, Kementrian Kehutanan dan perusahaan. DKN memunculkan ide awal kemitraan sebagai upaya penyelesaian konflik.

Pemerintah Jambi juga mengeluarkan SK Gubernur sebagai dasar hukum pembentukan tim terpadu penyelesaian konflik di Senyerang. Tim ini menghasilkan rekomendasi kepada Kementerian Kehutanan  (kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), untuk mengeluarkan kebijakan kemitraan dengan komposisi tamanan 90% karet dan 10% akasia.

Lalu  penelitian dan analisis stratus arah mediasi di Jambi. Mediasi berlangsung selama dua dekade terakhir. Walaupun kasus bisa dikatakan sukses dalam mencapai kesepakatan, namun ketegangan masih dirasakan. Awal tahun ini, satu petani tewas dianiaya sekuriti WKS kala akan masuk kebun.

Johnny Lagawurin, Kepala Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Wilayah I Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Riau, menyatakan, hutan produksi, pasti terjadi perubahan kawasan karena hutan produktif menjadi peruntukan lain, atau dari hutan alam menjadi hutan tanaman.

Lalu, terlepas ada izin atau tidak, perusaahaan perkebunan sawit ada masuk dalam hutan produksi. Ada juga di wilayah adat. Disitulah, katanya,  terjadi konflik dengan  masyarakat adat yang turun temurun menjaga hutan.

Untuk mencegah konflik, kata Johnny, harus ada inisiatif pemerintah daerah memberikan masukan atau trobosan kebijakan yang tidak merusak hutan. Juga tidak memberikan izin perusahaan mengelola kawasan di hutan adat. “Ini dilakukan Pemerintah Indragiri Hilir, Riau, yang mengusulkan kawasan tidak jelas 36.000 hektar terdiri kawasan mangrove,  pantai dan gambut Pulau Baso atau dikenal Pulau Bakong, menjadi taman hutan raya.”

“Ide ini kan sangat bagus. Jadi perusahaan sawit tidak masuk dalam konflik kepentingan dan perusakan kawasan hutan, masyarakat adat juga tidak terganggu. Apalagi kalau kawasan tidak jelas itu sampai disetujui pemerintah pusat menjadi Tahura, peyelamatan akan makin tinggi dan konflik bisa dicegah.”

Johnny sepakat dengan CIFOR soal resolusi konflik penting. “Ini akan membuat penyelesaian konflik di luar peradilan, menggunakan musyawarah mufakat, duduk sila, diskusi dengan kepala dingin tanpa kekerasan yang menyebabkan banyak kerugian. Bukan saja hutan hancur, tetapi masyarakat adat tidak damai hidup di sekitar hutan rusak. Mari kita fokus menjaga hutan, mengelola dengan baik dan benar.”

sumber: klik disini

Share Button

Terabaikan, Tanaman Pangan Ini Lebih Bernutrisi dari Beras

Melalui jalan kecil meliuk-meliuk, saya menyusuri Kampung Kaluppini di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan. Jalan beton dengan jurang menganga di satu sisi. “Di bawah sana kebunnya,” kata Karo, pemuda yang mengantar saya mencari kebun jewawut (Setaria italica).

Hamparan jewawut itu tidak luas, hanya ada beberapa meter persegi, tumbuh dekat jagung. “Sebentar lagi akan panen. Mungkin minggu depan – sekitar 10 hari,” kata Dullah,  pemilik lahan yang berjaga dari hama burung.

Di Enrekang, jewawut dikenal dengan ba’tang. Selintas ba’tang mirip rumput, dengan tinggi tak sampai dua meter. Bulir ba’tang keluar dari pucuk, bergerombol seperti bunga lavender.  Di lahan itu, warna bulir ba’tang ada hitam dan orange. Jika sudah dikelupas berwarna kuning.

Menanam ba’tang, tak begitu sulit, hanya perlu menyiapkan lahan dan menaburkan benih. Usia panen 75 hari dan tak memerlukan perawatan berlebihan. Tak perlu ada irigasi seperti padi. Bahkan tak perlu pupuk.  Biji ba’tang, sangat kecil, berbentuk bulat dan padat.

Ba’tang bahkan tak memiliki hama pengganggu. “Hama satu-satunya itu burung. Kalau bulir sudah keluar harus dijaga, supaya burung tidak makan.”

Di beberapa tempat, ba’tang menjadi pakan burung. Ada di tempat-tempat penghobi burung, untuk tekukur atau parkit. Di masyarakat Enrekang, sebelum beras meluas dekade 1960-an, ba’tang dan jagung adalah makanan pokok warga.

“Ooo iya, dulu orang tua makanan utama itu ba’tang. Jadi di makan seperti nasi atau bubur, bisa juga jadi sokko  (ketan). Itu dimakan dengan lauk, sayur dan ikan,” kata Abdul Halim, pria 78 tahun, tokoh adat Kaluppini.

Masyarakat Enrekang mengenal beberapa ba’tang seperti ba’tang panasa, putti, doi, rui, baraka, beuwa, dan minya.’ Saat ini, ba’tang yang ditanam warga jenis beuwa karena lebih mudah. Untuk baraka, mulai hilang.

Masyarakat cenderung meninggalkan ba’tang baraka, karena memiliki beberapa pantangan seperti saat menanam dan hasil tidak mencapai 40 basse (40 ikat, satu ikat sekitar empat sampai lima liter), petani akan mendapatkan malapetaka. Jadi, harus ada ritual permintaan maaf.

Di Sulsel, ba’tang atau jewawut dikenal hampir di seluruh daerah. Tumbuh bak tanaman liar. Hanya Enrekang yang menanam untuk konsumsi.

Peneliti Teknologi Pasca Panen Balai Penelitian Serealia Indonesia, Suarni mengatakan, jewawut adalah tanaman sereal yang bisa tumbuh di berbagai tempat. Lahan kering dan gersang. “Jadi untuk mengembangkan jewawut tidak perlu tanah subur. Ditanam dekat pantai dengan kadar keasinan tanah tinggi dan lahan kering dapat tumbuh.”

Suarni membandingkan dengan padi, yang harus memiliki pengairan dan unsur hara tanah baik. “Lebih ribet menanam padi. Namun,  padi tanaman pasar yang memiliki nilai ekonomi tinggi,” katanya.

Secara kandungan nutrisi, katanya, jewawut memiliki kadar protein sampai 13%, padi hanya 8%-10%. Jewawut memiliki antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas, untuk mencegah pembentukan sel kanker. Kalsium pun cukup tinggi dibanding padi, sorgum ataupun jagung. “Ini tanaman sehat.”

Di Enrekang, menemukan ba’tang mulai sulit. Beberapa toko hanya menjual sebagai penganan baje (wajik), dibungkus kecil menggunakan daun jagung. Untuk jenis pulut, ba’tan dinikmati dengan lemang.

Saat ini, ba’tang cukup mahal Rp28.000 per liter, dibandingkan beras Rp8.000 per liter. Secara pengolahan ba’tang dan padi sama saja. Membuka kulit bisa tumbuk lesung atau mesin penggiling.

Cara memasak ba’tang pun sama. Tekstur tak jauh beda, halus dan lengket. Namun, menurut pernyataan beberapa penduduk, mengkonsumsi ba’tan rutin cepat bosan.

Apa yang membuat warga meninggalkan ba’tang? Perubahaan pola pikir dan desakan peradaban baru. “Ba’tang direkonstruksi sebagai makanan zaman dulu. Makanan burung, udik. Muncullah beras secara besar-besaran menjadi makanan peradaban,” kata Iwan Sumantri, Antropolog Universitas Hasanuddin.

Padahal, padi dan beberapa biji-bijian lama dikenal di Sulsel. Penemuan di Leang Petta Kere, Maros, menunjukkan, Oryza zatyva sekitar 3.800 tahun lalu. Namun, belum dikonsumsi besar-besaran. “Orang-orang di Sulsel, di beberapa daerah mengkonsumsi tanaman dan biji-bijian beraneka ragam, termasuk ba’tang, umbi-umbian, jagung dan sagu,” kata Rustan, Arkeolog Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Sulsel.

“Dalam beberapa temuan gerabah dan tembikar di masa Neolitik pun, campurannya ditemukan beberapa jenis sereal dan biji-bijian,” kata Rustan.

 

Lestarikan ba’tang  lewat ritual  

Di Kampung Tondon, Ranga dan Kaluppini, ritual Maccera Manurung–syukuran panen dan penghormatan kepada leluhur–dilakukan setiap delapan tahun sekali. Penduduk mengunjungi situs megalitik di tempat tertentu dan makan bersama. Dalam ritual ini, salah satu makanan wajib dan syarat utama adalah ba’tang.

Secara budaya, kata Nani Somba, peneliti dari Balai Arkelogi Makassar yang pernah melakukan penelitian mengenai Maccera Manurung mengatakan, menghadirkan ba’tang sebagai salah satu pangan utama dalam ritual menunjukkan budidaya tanaman telah dilakukan sejak lama.

Ba’tang merupakan tanaman yang dibawa gelombang migrasi Austronesia sekitar 3.000 tahun lalu. Masuk melalui jalur migrasi masyarakat Tiongkok yang mencapai Sulawesi – teori ini disebut migrasi kereta cepat Out of Taiwan.

Budidaya ba’tang, cukup unik. Bibit ba’tang siap ditabur, pada malam atau subuh hari akan diletakkkan di posi bola – tiang tengah rumah oleh perempuan, beserta pinang, sirih, dan kapur. Pada pagi hari, laki-laki membawa ke  ladang dan menaburkan.

Ketika biji ba’tang mulai bertumbuh, perempuan yang mengalami fase menstruasi tak boleh melewati atau mendekati tanaman itu, karena akan membuat mati dan gagal panen. “Dalam literatur lain, perempuan yang sedang menstruasi memiliki tingkat keasaman dan metobolisme tubuh tidak teratur. Itu mempengaruhi tanaman,” kata Nani. “Sisi lain tanaman itu oleh masyarakat Enrekang memiliki nilai spiritual.”

Korelasi lain, kata Nani, ba’tang dalam upacara sakral Maccera Manurung, menunjukkan sebagai makanan leluhur sangat penting.

“Jika pun ba’tang tidak ditanam luas sekarang ini, tetapi beberapa orang masih menanam. Untuk dimakan sendiri, atau keperluan adat,” kata Ahmad Paguling, tokoh adat Kaluppini.

Menurut Paguling, jika ba’tang hilang, salah satu unsur adat di Kaluppini akan ikut lenyap.

sumber: klik disini

Share Button

Hutan Desa Sebadak Raya, Tegar Bertahan di Tengah Kepungan Kebun Sawit Perusahaan

Sebadak Raya. Nama ini merupakan nama desa yang berada di hulu barat Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.  Letaknya berbatasan langsung dengan Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Penduduknya sekitar 600 kepala keluarga atau 2.000 jiwa.

Wilayah desa ini unik, dikelilingi bukit. Kawasan hutannya masih memiliki tajuk pohon yang rapat. Perkampungannya juga tertata. Hewan ternak, terutama babi tidak boleh dilepasliarkan. Alasannya, bisa mengotori kampung dan menjadi hama bagi tanaman pangan warga.

Dalam aturan tidak tertulis, jika hewan peliharaan lepas, diberi waktu tiga hari untuk mengandangkannya. Lebih dari itu, hewan boleh dibunuh dan si pemilik dikenai hukuman adat. “Itu aturan verbal turun temurun di Sebadak Raya,” tutur Mikael Edi Sairundi (42), Kepala Desa Sebadak Raya.

Sebadak Raya terdiri dari tiga dusun, Kebuai, Tanjung Beringin, dan Tanjung Bunga. Dusun Kebuai merupakan wilayah terluas dan paling padat penduduknya. Di Kebuai sendiri, tata kelola lahan cukup baik. Ada wilayah pertanian, adat, serta permukiman. Kawasan hutan adatnya ada di Bukit Kuyu dan Bukit Tinggi, Batu Suling Lubuk Sebadak, serta Pemogangan Silingan Begondang.

Begitu juga dengan Dusun Tanjung Beringin yang ada kawasan adatnya seperti Batu Betungkap, Batu Behujan, Sepayungan, dan Batu Putih. Sedangkan di Tanjung Bunga, terdapat kawasan adat yaitu Pelabuhan Boras, Sengkuang Landai, dan Rofus. Di daerah ini terdapat riam dan mata air bukit, yang menjadi sumber air bersih warga setempat.

“Saat sawit akan masuk ke daerah ini, sekitar 1998, warga kompak menolak. Walau saat itu baru wacana,” ujar Edi, sapaan sang kepala desa ini. Edi merupakan tokoh muda yang inovatif dan idealis. Sarjana Akuntansi Universitas Panca Bhakti Pontianak ini rela keluar dari bank plat merah untuk lebih memilih pulang kampung. Impiannya adalah warga Sebadak Raya dapat mengenyam pendidikan lebih tinggi dan hidup lebih sejahtera.

Hingga 2004, beberapa perusahaan sawit yang coba masuk, tetap ditolak masyarakat. Karena, kebun karet yang dikelola warga, harganya bisa diandalkan. Karet mampu menjamin ekonomi masyarakat untuk menyekolahkan anak ke ibukota kabupaten, juga mencukupi kebutuhan keseharian. Bahkan, bisa beli sepeda motor atau antena parabola. “Tekad masyarakat untuk menjaga hutan ini mengundang perhatian masyarakat luas,” tuturnya.

Edi sendiri menjadi kepala desa sejak dua tahun silam. Menurutnya, kepala desa sebelum juga juga berkomitmen menolak sawit. Karena, hutan bagi masyarakat Dayak Kayong yang bermukim di Sebadak Raya merupakan sumber kehidupan. Bila hutan di perbukitan habis, bencana ekologis perlahan akan datang.

Potensi

Edi menjelaskan, pada 2011, masyarakat Sebadak Raya bersama Fauna & Flora International (FFI) telah melakukan pemetaan partisipatif dan menginventarisasi keragaman hayati yang ada di hutan mereka. Untuk satwa, tercatat ada orangutan, enggang, trenggiling, bekantan, klempiau, dan beruang madu. “Dalam satu transek atau sekitar dua kilometer titik pengamatan terdapat sekitar 500 sarang orangutan.”

Dari pemetaan tersebut, Edi mengajukan usulan ke Kementerian Kehutanan (saat itu) agar 14 ribu hektarnya dijadikan hutan desa. Namun, hanya sekitar 2.425 hektar yang disetujui. Sisanya, saat ini sedang kami perjuangkan sebagai hutan adat dan hutan konservasi. Ini penting dilakukan untuk mencegah masuknya perusahaan sawit.

Dua perusahaan sawit yakni PT. Permata Sawit Mandiri dan PT. Citra Sawit Cemerlang, serta satu perusahaan HPH, yakni PT. Alas Kusuma, telah kami ajak untuk melakukan pemetaan dan pemasangan patok batas. “Kami telah memasang 600 patok tapal batas dalam dua tahun terakhir yang dilakukan berdasarkan koordinat GPS (Global Positioning System).”

Untuk memantau itu semua, Lembaga Pengelola Hutan Desa dibentuk. Tugasnya adalah melakukan patroli. Seorang warga ditunjuk sebegai ketua, yang mengatur jadwal patroli, melakukan dokumentasi, serta penertiban administrasi.

Sebulan, dua kali patroli dilakukan. Tak hanya itu, empat warga ditempatkan di lokasi perbatasan, untuk menjaga batas kawasan. Sementara, empat orang lainnya melakukan patroli. Areal hutan yang luas dan patroli hanya dilakukan berjalan kaki membuat waktu yang dibutuhkan sekitar setengah bulan lamanya.

Dengan kelestarian hutan pula, Masyarakat Sebadak Raya dapat menggunakan mikro hidro dan potensi energi surya sebagai pembangkit listrik. Menurut Edi, semua ini mereka lakukan secara swadaya, selain ada bantuan pula dari pihak ketiga. Sebanyak 20 warga, dibantu dengan listrik tenaga surya sebesar 10 MV. Sementara, bagi yang mampu, membeli panel surya yang lebih besar dengan kapasitas 100 MV.

Sedangkan warga yang menikmati listrik dengan mikro hidro, sekitar 50 rumah dengan kapasitas listrik 10 ribu MV. “Hutan harus dijaga, agar debit air terus mengalir menggerakkan turbin,” ujar Edi.

Ancaman dari dalam

Perjuangan yang dilakukan Edi bersama warga, kini menghadapi cobaan berat. Dalam dua tahun terakhir, sejak harga karet melorot, banyak warga termakan bujuk rayu perusahaan sawit yang seolah datang sebagai penolong. “Demong desa (pemuka adat), bahkan sudah berpihak ke perusahaan. Tak hanya itu Kepala Dusun Kebuai juga sudah menjadi humas di salah satu perusahaan sawit. Karena ketahuan, ia mengundurkan diri,” ujar Ason Nelos (30), Kepala Urusan Desa Sebadak Raya.

Ason mengatakan, pihak perusahaan kerap menggunakan orang setempat untuk meluluskan keinginannya. Tak sedikit, warga yang sudah menanam sawit di ladangnya. Karet yang sudah tidak bisa diandalkan, ditebang. “Ada warga yang bertugas membawa uang tunai dan hanya minta tanda tangan masyarakat agar ladangnya dijual. Melihat uang banyak, banyak yang tergiur,” katanya.

Menurut Ason, daerah Batu Layang dan Licah, yang merupakan kawasan perbukitan sudah dijual warga setempat ke perusahaan.  Wilayah ini merupakan dataran tinggi sumber mata air bersih dan tempat tinggalnya satwa dilindungi.

Mengenai kondisi ini, Edi mengatakan bahwa masyarakat belum mengatahui manfaat besar dari menjaga ekosistem hutan. Ini dikarenakan, bencana ekologis belum menghantam. “Padahal, berdasarkan perhitungan, potensi karbon di Hutan Sebadak Raya ini mencapai 380 ton per hektar.”

Lorens Arang, Project Leader Fauna Flora Internasioanal Ketapang, menuturkan bahwa tanah yang ditempati warga Sebadak Raya berstatus hutan produksi konversi (HPK) dan hutan produksi (HP). “Untuk yang HPK, saat ini sedang diusulkan menjadi daerah konsesi sawit. Berita ini sungguh meresahkan masyarakat yang berakibat tergusurnya sumber kehidupan mereka.”

Padahal, masyarakat telah memperjuangkan sendiri legalitas wilayahnya melalui peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.49/MENHUT-II/2008 tentang Hutan Desa. Masyarakat mengirim surat usulan hutan desa kepada Menteri Kehutanan, didampingi oleh Fauna & Flora International. Namun, entah mengapa, hanya disetujui sekitar dua ribu lebih hektar saja.

Kebijakan penetapan tata guna ruang untuk hutan desa juga tidak jelas dasarnya. Kenapa hanya dua ribu hektar, letaknya jauh pula dari areal yang diajukan. “Padahal, masyarakat mempunyai alasan kuat, hutannya bernilai konservasi tinggi,” ujarnya.

Loren mengatakan, seharusnya pemerintah lebih jeli melihat Sebadak Raya. Pemutihan terhadap kawasan tersebut menjadi area peruntukan lain, juga dinilai tidak transparan. Untuk itu, pendekatan yang dilakukan adalah dengan mendekati pemilik konsesi. “Pemilik konsesi mempunyai keharusan agar produknya mendapat lebel pengelolaan lestari, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Maka, kita tekankan investor harus mematuhi hal-hal yang sudah menjadi kewajibannya,” tukasnya.

Menurut Lorens, FFI sudah memiliki kesepakatan dengan enam desa, yang hutan desanya menjadi pilot project. Setelah hak pengelolaan diberikan, masyarakat bisa mengambil manfaat dari hasil hutan non kayu dan tanaman di dalamnya. “Khusus untuk hutan lindung, bisa memanfaatkan jasa lingkungannya seperti air dan ekowisata,” tambahnya.

Sumber: klik disini

Share Button

Perubahan Iklim Picu Kepunahan Spesies Bumi

Perubahan iklim membawa efek fatal bagi kelangsungan hidup binatang dan tumbuhan di bumi. Para ahli memperkirakan satu dari enam atau sekitar 16 persen spesies di bumi bakal punah jika laju emisi gas karbon yang memicu perubahan iklim tak dikendalikan.

Laporan dalam jurnal Science pekan lalu menyebutkan spesies yang terancam dampak perubahan iklim berada di wilayah Amerika Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Spesies di wilayah itu, terutama reptil dan amfibi, berada dalam risiko tinggi karena sulit berpindah untuk beradaptasi terhadap gelombang panas, banjir, kenaikan temperatur dan permukaan air laut.

Para ahli menganalisis 131 hasil riset tentang perubahan iklim. Rentang proyeksi jumlah spesies yang bisa punah mencapai 54 persen di seluruh dunia. “Yang paling mengejutkan, risiko kepunahan tak cuma meningkat seiring kenaikan suhu, tetapi juga berakselerasi,” kata Mark Cuban, peneliti Departemen Ekologi dan Biologi Evolusi di Universitas Connecticut, seperti ditulis Reuters.

Sejauh ini, menurut studi itu, kenaikan temperatur 0,9 derajat Celcius saja sudah membuat 2,8 persen dari populasi spesies bumi berada pada risiko kepunahan. “Kepunahan satu dari enam spesies di bumi bakal menjadi perubahan dramatis di lingkungan manusia,” ujar Cuban.

Laju emisi karbon yang melesat diperkirakan bisa membuat suhu udara naik 4,3 derajat Celcius pada 2100. Menurut data Badan Antariksa Amerika Serikat, suhu rata-rata permukaan bumi saat ini 14,6 derajat Celcius. Temperatur ini lebih hangat satu derajat dibanding suhu rata-rata abad ke-20.

Prediksi kenaikan suhu pada 2100 itu sesuai dengan skenario Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC). Para anggota IPCC akan bertemu di Paris Desember nanti untuk mencari solusi memangkas emisi karbon.

Ancaman lain terhadap lingkungan dan satwa liar datang dari polusi, meluasnya wilayah perkotaan dan perubahan hutan menjadi area pertanian. Para ahli memperkirakan kondisi yang tak terkendali bisa memicu kepunahan besar sejak dinosaurus lenyap dari muka bumi 65 juta tahun lampau.

Marco Lambertini, Direktur World Wide Fund for Nature (WWF) mengatakan perubahan iklim adalah pemicu utama kepunahan dalam jangka menengah dan panjang.

Ahli spesies dari Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), Jamie Carr, mengatakan sulit untuk memisahkan dampak pemanasan global dari daftar ancaman. IUCN mencatat, kenaikan suhu berperan dalam kepunahan kodok emas yang terakhir terlihat di pegunungan Kosta Rika pada 1989.

Sumber : klik disini

Share Button