Gunakan Bioplastik, Tessa Raih Penghargaan Lingkungan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan penghargaan kepada sejumlah industri yang menggunakan biodegradable plastik. Salah satu penerima penghargaan adalah PT Graha Kerindo Utama, produsen tisu Tessa dan Multi.

Penghargaan diberikan bersamaan dengan acara “Kearifan Lokal Budaya Menjaga Lingkungan – Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan” yang digelar di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada Sabtu (16/5/2015).

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurabaya Bakar, mengungkapkan bahwa penggunaan plastik biodegradable merupakan inisiatif baik industri untuk menunjukkan kepedulian pada lingkungan.

Bambang Dwi Setiawan, Direktur Utama PT Graha Kerindo Utama, mengatakan, “Kami sudah menggunakan bio-plastik ini sejak tahun 2011. Kami gunakan itu sebagai bahan untuk packaging.”

Ia mengungkapkan, plastik biasa sulit terurai di lingkungan dan bahkan tak hilang dalam jangka waktu ribuan tahun. Sementara bio-plastik bisa terurai oleh lingkungan dengan bantuan mikroorganisme.

Penggunaan bioplastik adalah salah satu inisiatif hijau PT Graha Kerindo Utama. Selain penggunaan bioplastik, perusahaan itu juga kini memperbaiki kualitas tisunya dengan memakai bahan baku yang dihasilkan secara ramah lingkungan.

Bambang menuturkan, pulp yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tisu diperoleh dari wilayah yang jelas dan tidak bermasalah secara lingkungan. Salah satu indikatornya, tidak berasal dari hutan primer yang harusnya dilindungi.

Atas inisiatif itu, sejumlah produk perusahaan tersebut sudah mendapatkan sertifikat Forest Stewardship Council (FSC). “Sudah 3 produk yang mendapatkan sertifikat FSC,” kata Bambang.

Sumber : klik disini, disini

Share Button

ICCEFE 2015: Edukasi Perubahan Iklim Sejak Dini

Untuk yang kelima kalinya Climate Change Education Forum and Expo digelar di Indonesia. Pameran yang didukung oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini mengusung tema “Penguatan Pembangunan Untuk Masa Depan Berkelanjutan” berlangsung selama empat hari mulai 14 hingga 17 Mei 2015 di Assembly Hall, Jakarta Convention Center.

Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap perubahan iklim membawa mereka pada pameran ini. “Bumi semakin panas, saya sendiri merasakannya. Tapi baru saya sadari kalau kondisinya ternyata sudah separah ini.” ujar Tatitya salah seorang pengunjung.

Hingga Sabtu, 16 Mei 2015 sudah tercatat lebih dari 40.000 pengunjung memadati ICCEFE. “Kita undang sekolah-sekolah, karena memang target utama kita untuk mengedukasi sekaligus  menggerakkan generasi muda yang akan melanjutkan perbaikan dunia sejak dini.” jelas Mella Royat, project manager ICCEFE 2015.

Di tahun ini, pameran ini menghadirkan peran dari para stakeholder dalam mewujudkan pembangunan rendah emisi. Lebih dari 50 organisasi dan institusi melaporkan hasil penelitian dan upayanya dalam mendukung climate change movement. Di antaranya adalah Pertamina yang hadir dengan program “Sobat Bumi”, Djarum Foundation menanam 37.000 pohon trembesi sepanjang jalur Pantura, Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang mengedukasi anak-anak melalui lukis dan permainan.

Tak ketinggalan BMKG yang melaporkan hasil penelitian kualitas udara di beberapa kota di Indonesia. Tak hanya itu, BMKG juga mengajak pengunjung untuk bergabung dalam program Urban Iklim guna mencapai target menurunkan emisi gas sebesar 2 derajat celcius. “Gaya hidup manusia selama ini menjadi penyumbang emisi gas terbesar. Kesadaran masyarakat masih rendah sehingga membutuhkan edukasi yang lebih mendalam.“ ujar Budi Suhardi, Kepala Bidang Bina Operasi Urban Iklim dan Kualitas Udara.

Berbagai cara untuk menyampaikan upaya perbaikan bumi telah terangkum dalam pameran ini. Diharapkan generasi muda tak hanya mampu beradaptasi dengan perubahan iklim, melainkan bisa berkontribusi untuk membangun bumi yang lebih sehat.

Sumber : klik disini

Share Button

Menanti Hari Perbaikan UU No. 5 Tahun 1990

25 tahun sudah UU No. 5 Tahun 1990 berjalan untuk mengatur sekaligus menjaga konservasi Sumber Daya Alam hayati dan ekosistem Indonesia. Namun, peraturan yang dijalankan selama puluhan tahun ini ternyata menuai banyak evaluasi dari pelbagai pihak yang konsen dengan perlindungan satwa. Seperti yang diungkapkan oleh Indra Exploitasia selaku Direktur Investigasi dan Perlindungan Hutan Kementrian Kehutanan, terdapat 88 kasus penyelundupan satwa selama lima tahun terakhir. Penegakan hukum yang lemah di Indonesia disebut-sebut sebagai faktor utama lahirnya kasus-kasus ini.

Kasus terbaru adalah penyelundupan 21 ekor burung Kakatua Jambul Kuning dengan modus menyembunyikannya ke dalam botol. Kasus itu menuai banyak atensi dari masyarakat. Hingga Senin (11/5) pukul 14.00, sebanyak 18.000 orang telah menandatangani petisi Pokja Kebijakan Konservasi melalui wadah petisi online change.org.

Tak hanya petisi, masyarakat yang menyerukan penyelamatan si Jambul Kuning ini pun membanjiri lini masa media sosial.

Pihak Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merespon suara masyarakat dengan baik. Diskusi untuk merevisi UU No.5 Tahun 1990 segera diselenggarakan oleh pemerintah. “Sudah saatnya kasus semacam ini menjadi extraordinary crime, seperti senjata tajam, drugs, korupsi, juga pencucian uang. Supaya di dalam Undang-Undangnya terdapat hukuman minimum dan maksimum yang benar menimbulkan efek jera untuk pelaku.” Jelas Indra Exploitasia.

Andri Santosa, koordinator Pokja Kebijakan Konservasi, menambahkan bahwa naskah Undang-Undang yang sudah didiskusikan dan menuai banyak revisi sejak 2003 sudah seharusnya segera ditetapkan. Beberapa poin seperti perluasan wilayah, spesies, dan ketegasan hukum pun juga menjadi tinta merah dalam naskah baru mendatang.

Rumitnya birokrasi dalam penetapan Undang-Undang menjadi salah satu hambatan yang ditemui selama puluhan tahun ini. Pihak Kementrian mengharapkan dukungan penuh masyarakat untuk terus mengingatkan DPR akan pentingnya melindungi keberagaman hayati yang sudah di ujung tombak, “Ini adalah PR kita semua, saya mewakili kementrian LHK mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk mengantar pengguliran ini ke DPR.” tuturnya menutup Konfrensi Pers di Kantor KEHATI Senin (11/5).

Sumber : klik disini

Share Button

Modus Penyelundupan Burung dalam Botol Bukanlah yang Pertama

Terungkapnya kasus penyelundupan burung Kakaktua Jambul Kuning telah berhasil menyentuh hati masyarakat Indonesia. Hingga hari ini, sudah tercatat lebih dari 20.000 orang yang menandatangani petisi Burung Kakatua Botol di change.org, dan di setiap menit jumlahnya masih terus bertambah.

Tragisnya, kasus penyelundupan burung dengan modus menyembunyikannya ke dalam sebuah botol ini bukanlah yang pertama. Hanom Bashari selaku spesialis konservasi keanekaragaman hewan dan tumbuhan Burung Indonesia menyampaikan bahwa ini adalah modus lama yang biasa dilakukan oleh pelaku kejahatan. “Sudah sejak tahun 2000 modus ini dilakukan, mulai dari botol sampai rompi dada. Semakin tahun, makin beragam modusnya.” Jelasnya pada Konferensi Pers Pokja Kebijakan Konservasi (11/5).

Hanom menambahkan, bahwa tidak hanya Kakatua Jambul Kuning yang penting mendapat perhatian, melainkan juga jenis lain seperti Kakatua Jambul Putih dan Kastuari, “Pasar sangat menyukai ketiga burung itu, sehingga masyarakat sering memburunya.” tambahnya.

Menurut data statistik burung Indonesia di tahun 2008, hanya tersisa 563 ekor Kakatua Jambul Kuning, 11.562 ekor Kakatua Putih (2012), dan 133.106 ekor Kastuari Ternate. Di antara ketiga jenis tersebut, Kakatua Jambul Kuning adalah jenis yang paling sulit mengalami proses reproduksi. “Dalam setahun, seekor Kakatua Jambul Kuning hanya menelurkan dua butir, dan yang selamat paling hanya satu atau tidak sama sekali.” jelas Hanom Bashari.

Selain campur tangan manusia, terdapat kesinambungan antara ekosistem dan populasi burung yang kian menurun. Selain mengedukasi masyarakat tentang pentingnya melindungi burung yang akan segera punah, upaya yang dapat dilakukan bersama adalah menjaga habitat alaminya dari kerusakan. “Wajib menambahkan daftar spesies langka lainnya dalam PP No. 7 Tahun 1999, begitu juga dengan memperluas kawasan daerah yang harus dilindungi.” Tambah Hanom menutup wawancara.

Sumber : klik disini

Share Button

Presiden Perpanjang Moratorium Izin Hutan, Apa Kata Mereka?

Bertepatan dengan masa akhir Inpres No 6 Tahun 2013, soal moratorium izin hutan dan lahan gambut, Presiden Joko Widodo, sudah menandatangani perpanjangan kebijakan ini pada Rabu (13/5/15). “Presiden sudah tanda tangan perpanjangan moratorium pagi ini,” katanya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, Rabu di Jakarta.

Pagi ini, Siti Nurbaya baru bertemu Presiden membicarakan soal moratorium izin hutan dan lahan gambut ini. Lewat siaran pers kementerian ini, Siti mengatakan, sampai pembahasan terakhir masih banyak usulan perubahan penguatan. Untuk pembahasan penguatan ini, katanya, dilakukan dengan penyesuaian dalam proses perpanjangan. “Saat ini sudah bisa mulai dilakukan lintas kementerian secara mendetail bersama elemen pengusul.”

Usul penguatan datang dari Walhi, Greenpeace, Kemitraan, Sawit Watch, World Resources Institute (WRI), dan lain-lain. Menurut Siti, pemerintah sangat menghargai usulan ini yang akan dirangkum KLHK dan ada tindak lanjut.

Dijumpai terpisah, Arief Yuwono, Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, KLHK dalam dalam acara “Singapore Dialogue on Sustainable World Resource” menjelaskan, moratorium bertujuan menghindari kehilangan lebih jauh dari keragaman hayati dan mencegah konflik lahan.

“Seperti lahan yang saat ini tumpang tindih (overlapping) antarpemangku kepentingan, termasuk masyarakat dengan perusahaan.”

Mengatasi hal ini, katanya, pemerintah serius membangun satu peta lahan (one map policy) dengan menggunakan peta skala 1:50.000 hingga lebih operasional dipakai di seluruh wilayah Indonesia.

Untuk memperkuat moratorium dan perlindungan lingkungan, katanya, pemerintah akan menggunakan berbagai instrumen, termasuk berbagai UU dan peraturan, seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, dan UU Penanggulangan Bencana. Lalu, UU Penataan Ruang UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan serta PP No 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Dia menjelaskan, penguatan moratorium akan dilakukan untuk mencegah lebih lanjut kebakaran lahan dan hutan, termasuk melalui pencegahan (preventive measure) dengan melibatkan masyarakat dan individu, terutama di lahan gambut. 

“Diharapkan tidak saja pemerintah maupun perusahaan dilibatkan dalam kebakaran hutan, juga masyarakat dan individu. Kami yakin ini akan berdampak efektif. Kami tidak akan menghapus inisiatif pemerintah sebelumnya yang telah baik, kami akan memperkuatnya.”

Apa kata mereka soal perpanjangan kebijakan  ini? “Tentu saja, kita kecewa dengan Presiden hanya perpanjangan tanpa memberikan perubahan berarti dari kebijakan sebelumnya,” kata Teguh Surya dari Greenpeace kepada Mongabay di Jakarta.

Dengan perpanjangan tanpa penguatan ini mengesankan Presiden belum menaruh perhatian serius  pada perbaikan tata kelola hutan dan kehilangan fokus pada penyelesaian berbagai tunggakan persoalan kehutanan.

Dia menilai, Presiden, sudah kehilangan kesempatan menyelamatkan hutan secara menyeluruh. “Komitmen menindaklanjuti penguatan setelah Inpres masih tidak jelas bagaimana koordinasi akan dibangun dan dimana cantolan hukum atau kebijakan terkait nanti.”

Menurut dia,   meskipun ada komitmen tindaklanjut oleh KLHK, mengingat isu lintas kementerian,  jadi kecil kemungkinan akan terjadi. “Kecuali Presiden memimpin sendiri pembahasan perubahan penguatan ini,” katanya.

Analisa Greenpeace terhadap Inpres baru ini, luas hutan dilindungi 63,8 juta hektar, yang seharusnya bisa diselamatkan 93,6 juta hektar. Perpanjangan ini, kata Teguh, tidak menyelesaikan tumpang tindih izin di hutan moratorium mencapai 5,7 juta hektar.  Jadi, 48,5 juta hektar hutan hujan Indonesia masih terancam.

Kebijakan baru ini,  juga tidak memberi ruang penyelesaian konflik lahan antara masyarakat adat, lokal dengan pemerintah dan perusahaan. Sebab, tidak ada perlindungan, pengukuhan dan penguatan atas hak dan ruang kelola mereka.

Kebijakan ini juga tidak menjamin terbitnya peta tunggal dan tidak akan membantu penegakan hukum kasus-kasus lingkungan termasuk kebakaran hutan.

Sedangkan Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga menyambut baik perpanjangan kebijakan ini. Menurut dia, perpanjangan moratorium sejalan kajian Komnas HAM. Ketika peraturan perundang-undangan belum harmonis dan hak masyarakat hukum adat belum diakui, memang sebaiknya moratorium dilanjutkan. Namun, Sandra menggarisbawahi perlu ada penguatan dalam kebijakan ini.

“Penguatan perlu dalam perpanjangan moratorium. Harus dipastikan perspektif kelestarian dan pemenuhan HAM diutamakan. Harus ada satu proses identifikasi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan,” katanya.

Andiko Sutan Mancayo, Ketua Dewan Kehutanan Nasional (DKN) mengatakan, moratorium hanya satu prasyarat perbaikan tata kelola kehutanan. Kebijakan perpanjangan moratorium tak akan berarti apa-apa jika pemerintah tidak mereview perizinan, penegakan hukum, penataan penguasaan hutan serta perbaikan peraturan.

“Perpanjangan moratorium tak boleh lepas dari empat hal itu. Kalau lepas, moratorium terjebak pada pencitraan,” kata pria juga senior lawyer di AsM Law Office ini.

Menurut dia, keempat hal ini sebenarnya sudah dijalankan pemerintah. Hanya, tidak terkonsolidasi dan kadar beda-beda.

“Perlu provinsi contoh untuk mengukur itu. Misal, Riau atau Jambi. Hingga semua aspek bisa dilihat. Pemerintah bisa moratorium semua izin dulu. Lalu review izin dan komposisi ulang penguasaan skala besar dengan penguasaan rakyat dan lingkungan.”

Setelah itu, katanya, buat peraturan yang memungkinkan terjadi dan cabut yang bertentangan. “Baru mulai pengelolaan baru.”

Andiko menekankan, pemerintah perlu membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis  (KLHS) sebagai panduan awal. Hingga kegiatan tidak tersendat dan terpisah-pisah.”Inisiatif harus terkonsolidasi Dallas lokasi contoh dengan waktu terukur skala Pelu ada tim khusus kerjakan itu.”

Manajer Pengkampanye Walhi Nasional Zenzi Suhadi juga mengapresiasi kebijakan ini. “Kita patut mengapresiasi komitmen diperpanjang dan terbuka pembahasan sejumlah penguatan. Karena ada jeda waktu dari berakhirnya waktu SK nomor 6 tahun 2013 dengan pengeluaran lembar komitmen baru, patut menjadi catatan dalam surat keputusan perpanjangan nanti untuk mengatur mekanisme evaluasi terhadap izin, dan sanksi serta pembatalan SK diterbitkan pada masa jeda ini.”

Sebab, sangat mungkin pemerintah daerah atau pejabat berwenang menerbitkan izin pada masa jeda. “Paling mendasar, perpanjangan moratorium harus ada perubahan paradigma dari hibernasi  menjadi recovery,” katanya.

Paradigma moratorium menuju recovery dapat dicapai dengan memperpanjang waktu kepada alam untuk pemulihan. Selain itu, juga memberi waktu pemerintah memperbaiki tata kelola, mengembalikan daya dukung dan mereview perizinan.

“Wilayah moratorium seharusya diperluas. Tidak saja dari hutan primer dan gambut dalam juga menjangkau wilayah kritis. Peraturan juga harus diperkuat untuk menjamin kepatuhan pemerintah daerah dan korporasi dengan membentuk sistem dan mekanisme evaluasi dan sanksi terhadap pelanggaran. Penyelesaian konflik juga harus lebih diperhatikan.”

Citra Hartati, peneliti Indonesian Center of Environmental Law (ICEL) juga menyambut baik. Meski ada beberapa hal masih mengganjal.

“Pertanyannya apakah draf masih sama dengan yang sebelumnya? Kalo copy paste sama saja. Jangan sampai ada moratorium dengan kompromi,” katanya.

Menurut dia, moratorium itu sejatinya kebijakan yang memberikan waktu kepada pemerintah untuk membenahi tata kelola kehutanan yang carut marut. Jadi, perlu evaluasi kebijakan moratorium yang berjalan selama ini.

“Ada beberapa upaya pemerintah mewujudkan perbaikan tata kelola kehutanan selama periode moratorium sebelumnya. Seperti review perizinan, percepatan pengukuhan kawasan hutan, juga peningkatan pelibatan masyarakat sipil. Upaya ini belum maksimal karena tidak didukung kebijakan sektoral.”

Citra mengatakan, dahulu pengawasan dan evaluasi dijalankan UKP4. Namun tanggungjawab pengawasan saat ini dipertanyakan setelah lembaga itu dibubarkan.

“Seharusnya perbaikan tata kelola hutan menjadi tanggungjawab kolektif semua kementerian, bukan hanya satu sektor. Itu perlu dipastikan pada kebijakan moratorium sekarang.”

Sumber : klik disini

Share Button

Kemen-LHK Berkomitmen Hentikan Pembiaran Pelanggaran Hukum Lingkungan dan Kehutanan

Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Siti Nurbaya mendukung penuh upaya Pemprov Jawa Barat menindak tegas para pengembang hunian yang diduga melanggar aturan hukum lingkungan dan kehutanan, hal ini disampaikan saat menyaksikan langsung upaya penertiban di lapangan atas bangunan yang melanggar, bersama Wakil Gubernur Jawa Barat, Dedi Mizwar serta Anang Sudarna Ketua Satgas Penertiban Hukum Lingkungan Terpadu Jabar, Kamis (7/5), di daerah Cieumbeuleuit, Kawasan Bandung Utara (KBU) .

Penghentian sementara pembangunan sebuah Apartemen yang diduga melanggar aturan lingkungan serta kehutanan yang berlokasi di daerah Cieumbeuleuit, Kawasan Bandung Utara (KBU) tersebut diduga melanggar aturan karena didirikan pada lokasi yang memiliki kemiringan lereng cukup tinggi sehingga dikhawatirkan dapat mengancam bangunan disekitarnya serta lingkungan dibawahnya.

“Saya hadir untuk menyaksikan sekaligus mendukung juga pertegas komitmen Jabar yang juga komitmen nasional,” demikian menurut Men LHK. Komitmen Jabar yang juga komitmen nasional adalah tak membiarkan pelanggaran hukum lingkungan. Apalagi, penegakan hukum ini, didukung oleh berbagai aturan atau multydoors system.

Secara nasional, tak ada lagi toleransi bagi pihak-pihak yang melanggar aturan hukum. Karena itu, dia menegaskan, agar pemda jangan lagi memberikan peluang terhadap pelanggaran hukum lingkungan. Karena, akibat dari kerusakan lingkungan ini cukup berat.

Upaya tegas itu perlu dilakukan agar pemerintah tidak terkesan melakukan pembiaran yang berakibat pada rusaknya daya dukung lingkungan yang mengancam kehidupan masyarakat.

Penindakan itu merupakan wujud keseriusan Kementerian LHK untuk menyelesaikan masalah pelanggaran-pelanggaran hukum lingkungan dan kehutanan yang banyak terjadi di lapangan. Keberadaan Menteri LHK dalam mendukung Pemprov Jawa Barat tidak bermaksud untuk campur tangan dalam penerapan Peraturan Daerah, namun ini adalah bentuk komitmen dari Kementerian LHK dalam menjaga pola tata ruang yang sesuai peraturan yang berguna dalam mendukung keberlanjutan lingkungan hidup dan kehutanan dimasa depan.

Langkah penertiban dari Pemprov Jabar ini konsisten dan sangat baik. Penegakan hukum akan terus dilakukan, tak hanya di Jabar tapi juga di provinsi lain terutama di daerah2 sasaran di Sumatera, Kalimantan dan wilayah timur, ujar Menteri LHK.

Sumber :klik disini

Share Button