Ratusan Trenggiling yang akan Diselundupkan melalui Bandara Juanda Ditulis Ikan Segar

Upaya penyelundupan 455 ekor trenggiling mati dengan berat 1.390 kilogram melalui Bandara Internasional Juanda, Surabaya tujuan Singapura berhasil digagalkan. Petugas Kantor Pengawas dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Juanda, menyita barang bukti tersebut yang dikemas dalam 43 kotak dan disamarkan bersama ikan segar.

Iwan Hermawan, Kepala Kantor Pengawas dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Juanda, menuturkan tertangkapnya pelaku berinisial KWP, asal Sidoarjo, Jawa Timur, berawal dari kecurigaan petugas dan PT. JAS selaku cargo handling, mengenai ekspor barang yang tidak sesuai dengan pemberitahuan alias dokumen pelengkap pabean.

“Informasi dokumen ekspor menyebutkan barang itu sebagai ikan segar. Setelah diperiksa, isinya trenggiling mati yang sudah tidak ada kulitnya. Ada dua karton berisi ikan segar, sedangkan 41 karton merupakan trenggiling. Modusnya, diatas paket tersebut dilapisi ikan segar sebagai kamuflase,” kata Iwan.

Petugas masih menelusuri dari mana trenggiling yang akan diekspor ke Singapura berasal. Meski, berdasarkan informasi dari Bea Cukai Jakarta yang juga pernah menggagalkan penyelundupan trenggiling, satwa ini diperoleh dari di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. “Tersangka belum mengaku dari mana asal barang tersebut. Ia hanya mengaku menerima titipan dari orang yang mengirimkan. Hingga di sini mata rantai putus.”

Iwan menambahkan, trenggiling termasuk komoditi yang laku di pasar mancanegara, seperti Singapura, Tiongkok, Taiwan, dan Vietnam. Dari penyidikan petugas, nilai jual dagingnya seberat 1,3 ton akan mencapai 3,4 miliar rupiah. Atau, 2,5 juta rupiah per kilogram.

“Biasanya dijual ke pasar Singapura sebagai bahan kosmetik, bahan makanan restoran, hingga bahan obat-obatan tradisional. Belum lagi sisiknya, yang menurut informasi dapat digunakan untuk precursor bahan pembuat sabu.”

Atas perbuatan yang dikategorikan menyerahkan pemberitahuan pabean palsu atau dipalsukan, dan barang tidak sesuai dengan pemberitahuan, pelaku terancam pidana penjara minimal 2 (dua) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun. Atau, denda paling sedikit 100 juta rupiah dan maksimal 5 miliar rupiah.

”Tersangka dititipkan di Rumah Tahanan Kelas IIA Sidoarjo. Sedangkan barang bukti akan dimusnahkan, dan dilakukan penyisihan sebagian untuk selanjutnya diserahkan ke Kejaksaan Sidoarjo demi kepentingan pembuktian,” tandas Iwan.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I, Rahmad Subagyo menambahkan, trenggiling merupakan satwa dilindung di Indonesia dan dunia, karena termasuk apendik 1 atau sangat langka. Penyelidikan yang dilakukan masih menelusuri jaringan maupun asal satwa itu didapat. “Penyidikan masih dilakukan, sambil kami informasikan ke BKSDA Jatim dan Balai Karantina guna penanganan lebih lanjut,” ujar Rahmad.

Trenggiling (Manis javanica) merupakan satwa yang tubuhnya dilindungi sisik. Di Indonesia, populasinya tersebar di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Meski telah dilindungi, namun perburuan terus terjadi.

Sumber : klik di sini

Share Button

Pelantikan Pejabat Eselon III dan IV lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Daftar nama Pejabat Eselon III dan IV lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
eselon_3_upload.pdf
eselon_4_upload.pdf

Share Button

Surabaya, Wajah Kota Ramah Lingkungan di Indonesia

Surabaya terus mempercantik diri. Upaya serius ini terlihat dari penataan sistem transportasi guna mempersiapkan kota terbesar kedua di Indonesia ini sebagai kota yang bersih, hijau, dan berinovasi.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini kepada Mongabay menuturkan, persoalan penataan kota akan sangat mempengaruhi pola hidup masyarakat. Terutama, dalam hal pemanfaatan energi maupun pengelolaan lingkungan. Penambahan ruas jalan dengan rekayasa lalu lintas sedang dipersiapkan, sebagai dukungan atas program pembangunan moda transportasi massal.

“Saat ini sedang dipesiapkan pembangunan jalan baru di lingkar luar timur dan lingkar luar barat. Selain itu, ada juga jalan layang dan jalan bawah. Tujuannya untuk mengurangi kepadatan lalu lintas. Diperkirakan dalam dua tahun ke depan, Surabaya akan memiliki moda transportasi massal dan juga jalan baru yang saling menghubungkan berbagai kawasan di Surabaya,” ungkap Risma, baru-baru ini.

Penataan kota melalui pembangunan jalan baru ini diiringi dengan penyediaan fasilitas publik berupa taman kota. Sebagai ruang terbuka hijau dan tempat bertemunya masyarakat, taman-taman kota di Surabaya menjadi tempat favorit baru, baik untuk rekreasi maupun aktivitas sosial budaya.

Taman kota

Taman Bungkul merupakan ikon baru Surabaya. Taman seluas 900 meter persegi ini pada November 2013 mendapat penghargaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu The 2013 Asian Townscape Award (ATA), sebagai taman terbaik se-Asia. Taman yang semula hanya hanya ruang terbuka hijau dengan komplek makam Sunan Bungkul di bagian belakang, kini menjelma indah dan tempat berkumpulnya elemen warga  berbagai usia.

“Taman aktif jumlahnya 70 lebih, sedangkan yang bukan taman aktif ratusan. Ini belum termasuk hutan kota yang kami buat di Balas Klumprik dan di bekas TPA Sukolilo,” jelas Risma.

Pembenahan sungai atau Kali Mas di Surabaya juga jadi perhatian Pemerintah Kota Surabaya. “Kita ingin pintu air di ujung Petekan, tetap terjaga ketinggian airnya sehingga tidak terpengaruh pasang surut air laut. Perlahan, akan kita tata,” ujar wali kota wanita pertama Surabaya ini.

Sampah untuk energi listrik

Pemanfaatan sampah sebagai energi listrik merupakan program baru pemerintah kota. Rumah Kompos Bratang, yang terletak di kawasan Taman Flora-Kebun Bibit merupakan proyek percontohannnya.

Sampah yang diolah, menghasilkan energi listrik sekitar 4.000 watt yang cukup sebagai  penerangan jalan umum dan lampu di Taman Flora. Butuh sekitar 70 kilogram ranting kering dan sampah plastik yang dibakar, untuk dapat menghasilkan energi listrik setiap harinya. “Sampah sebagai bahan bakarnya, sementara asap dan gas yang dihasilkan menggerakkan generator yang menghasilkan listrik,” kata Khalid Buchori, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya.

Menurut Khalid, partisipasi masyarakat secara efektif dapat mengurangi volume sampah per harinya sekitar 200-300 ton dari total 1.800 sampah yang dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo. “TPA ini akan mengasilkan listrik sebesar 10 mega watt.”

Risma menambahkan, rencananya, akan ada dua rumah kompos lagi yang akan difungsikan sebagai penghasil energi listrik. Total, ada 23 rumah kompos yang dikelola DKP nantinya.

Energi alternatif

Ketua Pusat Studi Lingkungan Universitas Surabaya, Yunus Fransiscus, berpendapat sampah yang dihasilkan penduduk Surabaya harus dapat diubah menjadi produk bernilai. Kompos dan biogas merupakan produk yang saat ini banyak dibuat masyarakat.

Yunus mengatakan, pemanfaatan sampah sebagai energi listrik sangat mungkin dilakukan. “Tidak hanya sebagai biogas, tapi juga dijadikan refuse derived fuel (RDF) seperti arang yang hasil pembakarannya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.”

Yunus pun mengusulkan agar semua rumah kompos atau tempat pembuangan sementara sampah memiliki mesin pengubah sampah menjadi listrik kapasitas kecil. Energi yang dihasilkan ini nantinya digunakan untuk membantu masyarakat miskin yang rumahnya belum dialiri listrik.

Sumber : klik di sini

Share Button

Khasiat Kayu Manis yang Memiliki Efek Antivirus

KAYU manis (Cinnamomum verum) adalah sejenis pohon penghasil rempah-rempah. Orang sering menggunakan rempah-rempah ke dalam makanan. Kayu manis telah digunakan di Mesir Kuno sejak 5000 tahun yang lalu dan merupakan salah satu bumbu makanan tertua yang telah digunakan oleh manusia.

Selama ini kayu manis lebih dikenal sebagai bahan makanan yang biasa dicampur kedalam masakan, kue ataupun minuman. Selain sebagai penambah rasa dan memiliki aroma yang sedap, kayu manis ternyata juga memiliki berbagai manfaat untuk kesehatan.

Sebuah studi dari Touro College di New York menunjukkan bahwa kayu manis mungkin memiliki efek antivirus dan membantu mencegah infeksi pada manusia.

Dr. Milton Schiffenbauer, peneliti dari New York School of Applied Studies dan timnya membandingkan Saign dan cinnamons Ceylon serta ekstrak botani lainnya termasuk bawang, cengkeh, peppermint, kakao dan kunyit Spanyol. Mereka menemukan bahwa kayu manis bisa menonaktifkan virus di beberapa organisme sedangkan ekstrak lainnya tidak.

Para peneliti mengevaluasi ekstrak terhadap Phi X, virus yang menginfeksi bakteri dan memiliki kesamaan dengan virus yang menginfeksi hewan dan manusia. Setelah 24 jam inkubasi, ekstrak dengan 10 persen kayu manis mampu menonaktifkan virus hanya dalam waktu 10 menit saja.

“Ekstrak kayu manis memiliki kekuatan untuk merusak struktur virus phix,” kata Schiffenbauer, seperti dilansir laman Fox News, Senin (29/6).

“Kami meyakini bahwa diet yang mencakup satu sendok makan kayu manis sekali atau dua kali sehari bisa dengan efektif menghilangkan atau mencegah virus menginfeksi manusia dan menyebabkan penyakit, seperti pilek, flu dan bahkan herpes,” pungkas Schiffenbauer.

Sumber : klik di sini

Share Button

Lika-liku Satu-satunya Peneliti Kalacemeti Asia dari Indonesia

Gua bawah tanah tak sekadar taman bermain bagi Dr Cahyo Rahmadi (39). Penelusur gua sekaligus peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini memilih jalan sunyi yang tak banyak diminati: peneliti biologi gua. Di Asia, ia menjadi satu-satunya peneliti kalacemeti alias laba-laba gua.

Bersetia pada pelestarian gua, Cahyo diakui dunia internasional sebagai penemu beragam spesies aneh yang telah beradaptasi dengan kehidupan tanpa cahaya, jauh di bawah bumi. Bagaimana tidak aneh, spesies baru temuannya itu memiliki perawakan yang sekilas menakutkan. Akibat bertahan hidup di ekosistem terisolasi, mereka memiliki morfologi unik, seperti kaki panjang, tubuh berduri, mata hilang, hingga wajah pucat.

“Banyak konsekuensi hidup di gua gelap total. Sekilas menakutkan, padahal tidak berbahaya. Kalacemeti tidak beracun dan belum ada peneliti lain di Asia yang meneliti. Di Indonesia pun belum banyak yang tahu. Setiap kali ke gua pasti ada sesuatu yang baru. Bahkan, di Jawa pun masih banyak peluang eksplorasi spesies baru,” kata Cahyo.

Menekuni keahlian taksonomi amblypygi, biologi gua, dan konservasi karst, lebih dari 12 spesies baru telah ditemukan dan diberi nama oleh Cahyo dan timnya. Beberapa spesies temuan barunya dari beragam gua di Indonesia adalah Amauropelma matakecil (2012),Sarax mardua (2010), Stenasellus javanicus (2006), dan Stygophrynus sunda (2008).

Kalacemeti gua

Sebagai penemu, Cahyo berhak memberi nama spesies baru yang ditemukannya. Sebuah spesies laba-laba gua yang ditemukan di kawasan karst Sangkulirang, Kalimantan Timur, sengaja diberi nama Sarax yayukae (2010). Nama ini didedikasikan untuk Prof Dr Yayuk R Suhardjono sebagai penghargaan atas sumbangsihnya bagi pengetahuan biologi gua di Indonesia.

Sarax yayukae bertubuh mini, panjangnya 6-16 mm. Tubuhnya semakin unik karena dilengkapi capit dengan duri tajam dan sepasang kaki terdepan bermodifikasi menjadi antena serta berjalan dengan tiga pasang kaki, berbeda dengan laba-laba pada umumnya yang berjalan dengan empat pasang kaki.

“Berperan sebagai predator. Jumlah kalacemeti ini sangat sedikit, hanya 170 spesies di seluruh dunia. Di Indonesia sampai saat ini ada minimal 30 spesies laba-laba gua. Kami terus mencari manfaatnya bagi manusia,” kata Cahyo.

Saat ini, Cahyo telah menelusuri hampir semua gua di pulau besar di Indonesia. Dalam setahun, minimal ia menjelajah ke tiga gua berbeda. Sama seperti penelusur gua lainnya, ia harus menuruni gua dengan standar keamanan tinggi untuk menjangkau lokasi ekstrem tempat hidup spesies unik ini.

Alat tambahan perlengkapan masuk gua lainnya yang wajib dibawa terkesan “aneh”, seperti sendok, pinset, hingga alkohol untuk mengambil dan mengawetkan spesimen gua yang mayoritas berukuran mini. Jika hanya menemukan beberapa spesies unik, semuanya akan diambil untuk diteliti. Idealnya, ia membutuhkan 10 spesimen demi keperluan penelitian lanjutan di laboratorium.

“Saya tidak bisa mengharapkan kesempatan kedua. Masuk gua harus lebih telaten dan membutuhkan waktu yang lebih lama. Belum tentu saya bisa kembali datang lagi dan belum tentu bertemu lagi dengan spesies yang sama,” tambah Cahyo.

Hidup di lokasi unik dengan proses evolusi panjang menjadikan biota gua semakin menarik. Spesies baru yang tak terduga pun masih bisa ditemukan di gua-gua di Jawa. Di Gua Cikaray, Cibinong, Jawa Barat, bersama peneliti dari Perancis, Dr Guy Magniez, Cahyo menemukan udang-udangan kecil (Isopoda) warna merah jambu yang tidak ditemukan di Jawa.

Pada 2006, Isopoda merah jambu ini diberi nama Stenasellus javanicus. Spesies ini diyakini hanya hidup di Gua Cikaray.

“Kekayaan biota gua di Jawa ternyata sangat tinggi. Di Jawa Tengah ada jenis baru yang hanya ditemukan di beberapa gua. Hal ini menjadikan nilai strategis untuk ilmu pengetahuan karena punya sebaran terbatas. Kerusakan di gua akan menjadi kepunahan spesies itu di muka bumi,” ujarnya.

Rentan punah

Spesies gua di Jawa yang tak kalah unik adalah Sesarmoides jacobsoni alias kepiting jacobson. Kepiting berwarna putih pucat dengan mata relatif kecil ini seharusnya hidup di air payau. Namun, di gua-gua di Gunung Kidul, DI Yogyakarta, kepiting tersebut bisa ditemukan di ketinggian 300 mdpl.

Kepiting jacobson memiliki nenek moyang yang hidup di laut. Namun, kini mereka hidup di genangan air yang berasal dari tetesan atap gua. Mereka tidak ditemukan di aliran sungai yang terhubung dengan permukaan tanah. Karena itu, tingkat kerentanan terhadap gangguan sangat tinggi.

“Perubahan lingkungan di kawasan karst akan memengaruhi lingkungan gua dan biota di gua. Perubahan lingkungan akan mengurangi suplai air dan menyebabkan lingkungan di dalam gua kering. Hilangnya aliran dan genangan air akan menghilangkan biota aquatic,” ujar Cahyo.

Karena itu, pengelolaan kawasan karst dengan ciri khas perbukitan kapur dan aliran sungai di gua bawah tanah ini harus benar-benar memperhatikan kajian biologis. Wilayah permukaan ataupun di bawah permukaan menjadi “rumah” bagi beragam biota unik yang memberi sumbangsih besar bagi ilmu pengetahuan.

“Pemanfaatan tanpa kajian akan menyebabkan hilangnya informasi yang penting. Biota di dalam gua secara nilai strategis berperan sebagai penyeimbang ekosistem, langka, dan tingkat evolusi tinggi akan hilang jika tanpa kajian. Ini alasan penting bagi kita untuk jaga kawasan karst tetap hijau. Habitat spesies gua sangat bergantung pada tetesan air dari atap gua,” kata Cahyo, yang juga salah satu inisiator Indonesian Caver Society.

Cahyo menegaskan, ekosistem gua bukanlah ekosistem asing bagi manusia. Pemusnahan ekosistem gua secara tidak langsung akan memengaruhi kehidupan makhluk hidup lain, termasuk manusia. Dari daya survival makhluk aneh penghuni gua, misalnya, manusia bisa saja mengadopsi teknologinya untuk obat-obatan hingga modifikasi ketahanan pangan.

Ketika kecintaan pada gua berpadu dengan ilmu pengetahuan, Cahyo bersetia menerangi gua dengan cahaya pengetahuan. Semua demi mimpi kelestarian gua dan kehidupan manusia yang lebih baik.

Sumber : klik di sini

Share Button

Sampah di Gunung dan Taman Nasional Indonesia Kian Mengkhawatirkan

Botol plastik dan bungkus plastik mi instan tampak berserakan di salah satu sudut tepian Danau Ranu Kumbolo, Gunung Semeru, Jawa Timur. Sampah itu ditinggalkan begitu saja oleh para pendaki dan pengunjung gunung tertinggi di Pulau Jawa tersebut, tanpa ada yang berinisiatif membawanya ke tempat pembuangan di bagian bawah gunung.

Data Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru menunjukkan setiap pengunjung membuang sekitar 0,5 kilogram sampah di Gunung Semeru. Padahal, setiap hari gunung tersebut disambangi 200 hingga 500 pendaki.

“Artinya, di Gunung Semeru ada sekitar 250 kilogram sampah per hari,” kata Khairunissa, humas Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.

Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di Gunung Semeru. Sejumlah aktivis lingkungan mengatakan tumpukan sampah di taman nasional dan gunung di Indonesia menjadi panorama umum.

“Kebersihannya memprihatinkan, bahkan sudah dalam taraf mengkhawatirkan,” kata Rosek Nursahid, pegiat lingkungan dari lembaga ProFauna.

Pengelolaan sampah

Berdasarkan pemantauan selama beberapa tahun terakhir, Rosek menyaksikan bagaimana kesadaran para pengunjung untuk membuang sampah di tempat yang sudah dialokasikan sangat rendah.

Dia juga menyoroti manajemen taman nasional yang ingin mengembangkan wisata dengan meningkatkan kuota pengunjung per hari, namun tidak diimbangi dengan kesiapan mengolah sampah.

“Dengan kesadaran pengunjung yang lemah ditambah sarana dan prasarana yang sangat kurang, sehingga taman nasional dan gunung-gunung kini menjadi tempat pembuangan sampah,” kata Rosek.

Terbatasnya kemampuan pengelola gunung dan taman nasional untuk menangani sampah diakui Khairunissa, humas Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Menurutnya, pengelola Gunung Semeru hanya memiliki anggaran menyewa truk untuk mengeluarkan sampah setiap pekan. “Nggak mungkin setiap hari, kita nggak punya anggaran untuk itu.”

Gunung Semeru juga mengandalkan empat personel untuk menjaga pintu jalur pendakian Ranupani. Bila ditambah dengan tenaga upah, ada 10 orang yang berjaga di sana.

“Mereka harus melayani ratusan pengunjung, menjaga keamanan, lalu mengurus kebersihan. Jelas secara personel kita tidak mampu (menangani sampah),” ujarnya.

Komunitas peduli sampah gunung

Menyaksikan bagaimana keterbatasan pengelola gunung dan taman nasional, sekelompok pendaki memutuskan untuk mendirikan komunitas peduli sampah gunung atau Trashbag Community.

Didirikan pada 2011, komunitas itu kini mengklaim memiliki 2.500 personel yang tersebar di sejumlah provinsi di Indonesia.

Aksi mereka, yang dapat disaksikan di jejaring media sosial, ialah menurunkan sampah dari gunung-gunung dan taman nasional di Indonesia.

Namun, Ragil Budi Wibowo, ketua umum Trashbag Community, mengatakan aksi menurunkan sampah tersebut sejatinya adalah bagian dari demonstrasi.

“Layaknya demonstrasi di Bundaran HI, Jakarta, aksi kami sebenarnya juga demonstrasi. Kami ingin membawa pesan kepada semua orang untuk tidak membuang sampah sembarangan. Hanya saja, cara kami berbeda,” kata Ragil.

Pria yang hobi mendaki itu mengaku pernah mengangkut sampah botol plastik buatan 1987 dalam kondisi utuh. Padahal, aksi pengangkutan sampah dari gunung telah dimulai para relawan bertahun-tahun lalu.

Karenanya, kata dia, aksi penurunan sampah tidak akan efektif bila tidak dibarengi dengan pemberian pemahaman dan pengawasan.

“Yang efektif adalah mencegah sampah-sampah itu berada di atas gunung. Apabila kami hanya fokus mengangkut sampah dari atas gunung, siklusnya akan berputar tanpa henti,” ujarnya.

Sri Bebassari, ahli penanganan sampah sekaligus pendiri lembaga Indonesian Solid Waste Association (InSwa), senada dengan Ragil.

Sri, yang mendalami teknik penguraian sampah plastik, mengatakan masalah sampah di Indonesia tidak pernah selesai jika diserahkan kepada para insinyur.

“Teknologi mah gampang. Kini sudah ada plastik yang bisa terurai, lalu ada daur ulang yang canggih. Tapi itu tidak menyelesaikan masalah selama masyarakat Indonesia masih tidak terdidik membuang sampah dengan benar. Ahli agama, pendidikan, psikologi, komunikasi, harus kerja keras memberi pendidikan tentang membuang sampah,” tutupnya.

Sumber : klik di sini

Share Button