Hujan Es di Papua Sebabkan Risiko Rawan Pangan

Tiga Kampung di Distrik Agadugume, Kabupaten Puncak Jaya terancam mengalami rawan pangan akibat hujan es yang terjadi dalam dua pekan terakhir. Hujan es yang berlangsung selama 10 hari mengakibatkan tanaman umbi-umbian dan sayuran di kebun warga membusuk dan akhirnya mati.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Puncak, Yafet Magi mengatakan, hujan es mulai terjadi sejak tanggal 1 Juli hingga 10 Juli kemarin. Menurut Yafet, dalam sepekan pertama hujan es tidak deras dan hanya seperti hujan gerimis. Namun, setelah itu hujan es turun berbentuk butiran es padat.

“Awalnya hanya berbentuk hujan gerimis. Tapi setelah tanggal 7 Juli, hujan es berbentuk batu es yang menempel di tanaman. Akibatnya semua tanaman dan rumput-rumputan menjadi layu dan akhirnya mati,” kata Yafet yang dihubungi melalui telepon selulernya, Minggu (12/7).

Dijelaskan Yafet, hujan es terjadi hampir setiap tahun di Kampung Jiwot, Tuput dan Agadugume, Distrik Agadugume yang terletak di wilayah pegunungan tengah Papua. Namun hujan es yang terjadi awal bulan ini berlangsung cukup lama dan yang terburuk karena berakibat tanaman pertanian hingga rumput-rumputan mati.

“Kami mendapat laporan kejadian ini dari warga Agadugume yang kebetulan ke Ilaga, 5 Juli lalu. Saat meninjau langsung ke Agadugume, 7 Juli lalu, kondisinya sudah parah karena tanaman umbi-umbian dan sayur di kebun warga mulai layu karena akarnya membusuk,” ucap Yafet.

Akibat kejadian ini, Yafet khawatir penduduk tiga kampung di Distrik Agadugume yang berjumlah kurang lebih 10.000 jiwa akan mengalami kelaparan akibat gagal panen.

“Mereka hidup dari hasil kebun berupa umbi-umbian dan sayuran, tapi sejak kejadian itu semua tanaman di kebun mereka membusuk dan mati. Mereka sempat menggali tanah mencari umbi-umbian yang tersisa. Tapi yang mereka dapat ubi yang sudah berair dan tidak dapat dimakan,” ujar Yafet.

Terkendala transportasi

Pasca-kejadian ini, Yafet mengaku sudah berkoordinasi dengan Dinas Sosial Kabupaten Puncak dan sudah sempat mengirimkan bahan makanan dengan dua penerbangan pesawat jenis Pilatus Porter. Namun, menurutnya bantuan itu tak mencukupi mengingat kapasitas angkut pesawat hanya 800 kilogram sekali terbang.

“Kami sudah melaporkan kejadian ini ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Papua, dan kami menunggu bantuan dari mereka khususnya sarana transportasi yang cukup besar dan bisa terbang di medan yang cukup berat,” tutur Yafet.

Kepala Dinas Sosial Kabupaten Puncak, Yuli mengatakan, pihaknya sudah menyediakan bantuan bahan makanan dan obat-obatan untuk warga tiga kampung di Distrik Agadugume. Namun, ia mengaku kesulitan dalam hal transportasi karena landasan pacu di Distrik Agadugume sangat pendek dan hanya bisa didarati pesawat kecil jenis Pilatus Porter.

“Kami sudah mencoba mengajukan permohonan bantuan pesawat Heli milik Kodam XVII Cenderawasih. Namun, kami belum tahu apakah pesawat mereka bisa ke daerah tersebut,” kata Yuli melalui telepon selulernya, Minggu (12/7) malam.

Sumber : klik di sini

Share Button

Mengapa Kita Perlu Menanam Lebih Banyak Pohon di Tepi Jalan?

Pohon membersihkan udara, memberikan perlindungan terhadap panas, dan mengurangi emisi perubahan iklim. Dan menurut ahli syaraf lingkungan Marc Berman, mereka juga memperbaiki kesehatan orang-orang yang hidup di dekat mereka.

“Saya sangat tertarik melihat bagaimana lingkungan fisik mempengaruhi otak dan perilaku,” kata Berman, seorang professor psikologi di Universitas Chicago.

Penelitiannya tentang dampak pohon-pohon di perkotaan, diterbitkan di jurnal Nature, menggabungkan data pohon dan survei kesehatan dari 31.000 penduduk Toronto, Kanada.

“Kami menemukan bahwa lingkungan yang punya lebih banyak pohon di jalan…dikaitkan dengan kesehatan yang lebih baik di lingkungan tersebut.

Pohon moneter

Secara khusus, studi tersebut menemukan bahwa satu blok kota yang mempunyai lebih banyak pohon di jalan terkait dengan kenaikan kesehatan orang-orang sebanyak satu persen, seperti dilaporkan di survei. Berman mengatakan orang-orang yang tinggal di blok tersebut tidak terlalu mengidap darah tinggi dan obesitas dibandingkan dengan lingkungan yang mempunyai pohon lebih sedikit.

“Dan peningkatan sebesar satu persen dari persepsi kesehatan kelihatannya tidak terlalu berdampak besar, tapi dalam penelitian kami untuk mendapatkan peningkatan yang sama dengan uang, kita harus memberi uang bagi setiap keluarga sebanyak $10.000 dan meminta mereka pindah ke lingkungan yang lebih kaya $10.000 atau membuat orang-orang tujuh tahun lebih muda.”

Tanam pohon

Ini terdengar seperti berita bagus, tapi apakah karena ini berhasil di Toronto, maka akan berhasil di tempat lain? Berman mengatakan iya, akan berhasil di tempat lain, kalau jumlah pohon di jalan ditambah sebanyak 10 pohon.

Walaupun penelitian ini tidak mengidentifikasi mekanisme apa yang menghasilkan manfaat ini, tapi penelitian ini menunjukkan bahwa menanam pohon bisa meningkatkan kualitas udara, mengurangi stress dan mempromosikan aktivitas fisik, dan semuanya adalah faktor yang penting untuk kesehatan yang lebih baik.

Sumber : klik di sini

Share Button

Perubahan Iklim Menghantam Situs-situs Alami Dunia

Hampir satu dari enam situs warisan dunia UNESCO yang terdaftar karena nilai alami mereka babak belur akibat perubahan iklim. Minggu ini, Komite Warisan Dunia UNESCO bertemu di Bonn, Jerman, untuk memutuskan apakah 35 situs terdampak dikelola dengan baik, dan jika tidak, apa yang harus dilakukan.

Perubahan iklim adalah ancaman potensial yang paling serius untuk situs warisan dunia alam lainnya, kata Tim Badman, direktur Program Warisan Dunia dari Persatuan Internasional untuk Pelestarian Alam (IUCN). Tetapi, mengurangi tekanan lokal seperti penebangan, dapat meningkatkan ketahanan situs.

“Hanya sedikit orang yang menyadari skala penuh kerusakan yang dilakukan sebagai akibat dari perubahan iklim, termasuk ke beberapa daerah alami yang paling spektakuler di planet kita,” kata Inger Andersen, Direktur Jenderal IUCN.

Berikut ini adalah beberapa situs yang sudah merasakan pemanasan global:

1. Taman Nasional Los Glaciares, Argentina

Sebagian besar taman Andes ini adalah 47 gletser menyusut karena pemanasan iklim. Kebakaran hutan menjadi lebih sering terjadi, yang mana mengakibatkan perubahan habitat. Efek ini diperparah oleh spesies dikenali seperti sapi, kuda, domba, anjing dan kucing—dan manusia, yang mengunjungi daerah ini dalam jumlah besar.

2. Kepulauan Galapagos, Ekuador

Geologi dan satwa liar yang unik dari 19 pulau ini terinspirasi oleh teori Charles Darwin tentang evolusi melalui seleksi alam. Pemanasan di perairan telah membunuh setengah terumbu karang di sini dan mengganggu rantai makanan alami. Di darat, suhu yang lebih tinggi menguntungkan spesies dikenali. Pertumbuhan populasi manusia dan gerombolan wisatawan juga mengancam.

3. Cagar Alam Kupu-kupu Monarch

Setiap musim gugur, jutaan kupu-kupu Monarch terbang ke selatan menuju situs ini. Tapi jumlah mereka anjlok ke level terendah dalam 20 tahun pada musim 2013-2014. Jumlah tersebut mengancam status cagar alam itu. Kupu-kupu Monarch menghadapi cuaca ekstrim di seluruh jangkauan mereka. Kebakaran dan badai yang merusak pohon masih diperparah dengan efek penebangan komersial.

4. Laut Wadden, Jerman

Ini adalah salah satu yang tersisa dari ekosistem antargelombang besar lalu. Di ekosistem merupakan daerah pasang surut, padang lamun, rumah kerang, muara rawa asin, pantai dan bukit pasir. Pesisir ini telah diubah banyak oleh manusia, yang mana menurunkan ketahanan  situs terhadap perubahan iklim. Telah terjadi kenaikan permukaan laut dan suhu, serta banjir yang berasal dari gumuk pasir dan rawa-rawa air garam.

5. Taman Nasional Danau Turkana, Kenya

Danau air asin Turkana adalah persinggajan penting bagi burung-burung migran dan zona peternakan buaya, kuda nil dan ular. Kekeringan, penguapan dan peningkatan penggunaan air di sungai yang selama ini mengairi danau, membuat danau mengalami penurunan pasokan dan meningkatkan salinitas. Hal tersebut menempatkan hewan-hewan itu pada resiko kematian.

Sumber : klik di sini

Share Button

35 Hektar Lahan Kritis Disiapkan untuk Pengembangan Energi Terbarukan

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bekerjasama dengan pemerintah daerah Kalimantan Tengah menyiapkan lahan kritis untuk pengembangan bioenergi lestari.

Nota kesepahaman ditandatangani pada Senin (13/7/2015). Dua kabupaten di Kalimantan Tengah, yaitu Pulang Pisau dan Katingan, akan menjadi wilayah target utama. Selanjutnya, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Papua, dan Papua Barat akan menjadi target selanjutnya.

“Total kita siapkan 35.000 hektar lahan untuk proyek ini,” kata Agustin Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah.

Lahan tersebut merupakan hutan yang terdegradasi dan area bekas tambang. Beberapa ribu hektar lahan berasal dari bekas konsesi sementara sejumlah lahan lain merupakan lahan milik masyarakat.

Rencananya, lahan itu akan ditanami tumbuhan yang berpotensi menghasilkan biofuel. “Ada beberapa alternatif seperti jarak pagar, tebu, jagung, macam-macam,” kata Agustin.

Penanaman akan bekerjasama dengan masyarakat. Dengan demikian, warga lokal juga bisa memetik keuntungan lewat bagi hasil dari penanaman tersebut. Keuntungan yang bisa didapatkan masyarakat akan dibicarakan kemudian.

Agustin mengungkapkan, “Saat ini kita sedang inventarisasi tanamannya sesuai jenis tanahnya dan yang biasa ditanam oleh masyarakat.”

“Kita juga inventarisasi lahannya, mana yang masuk kawasan tambang, mana yang masuk kawasan konservasi, dan lainnya,” imbuh Agustin. Menurutnya, Kalimantan Tengah secara total sebenarnya punya potensi lahan 20.000 hektar untuk mendukung program energi terbarukan.

Belum ditetapkan kapan program akan dimulai. Namun, Agustin mengatakan segera setelah inventarisasi selesai.

Menteri ESDM, Sudirman Said mengungkapkan, kerjasama dengan pemda Kalimantan Tengah ini merupakan upaya untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan yang saat ini baru sekitar 6 persen. Target Indonesia, tahun 2025, pemakaian energi terbarukan 25 persen.

“Bergerak dari 6 persen ke 25 persen dalam 10 tahun itu target yang ambisius. Butuh banyak terobosan strategi dan kebijakan,” kata Sudirman.

Sudirman menuturkan, kerjasama dengan pemerintah daerah adalah salah satu upayanya. Pendanaan untuk perogram kerjasama ini akan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jumlahnya akan diketahui setelah inventarisasi.

Sumber : klik di sini

Share Button

Akhir Tahun Ini, Indonesia Berlakukan SVLK untuk Seluruh Eksportir Kayu

Indonesia menjadi negara pertama yang akan mendapatkan kemudahan ekspor kayu dan turunannya ke Eropa mulai akhir tahun ini, karena Indonesia berhasil merampungkan proses negosiasi dengan Uni Eropa (UE) dalam perjanjian Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT).

Kepastian itu didapat setelah Indonesia yang diwakili KLHK mengadakan pertemuanThe Third Joint Implementation Committe (JIC) FLEGT dengan UE yang dilaksanakan pada Rabu (08/07/2015). Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK Ida Bagus Putera Prathama, seusai pertemuan mengatakan, kemudahan ekspor ke Eropa akan diberikan untuk produk kayu dan turunannya yang sudah memiliki sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

“Kita akan berikan akses itu kepada siapa saja yang bisa menghasilkan kayu dengan sertifikat SVLK. Bisa pengusaha dan bisa juga IKM (industri kecil menengah),” ungkap Ida Bagus kepada Mongabay.

Menurutnya saat ini proses negosiasi dengan UE sudah berjalan jauh dan sudah memasuki tahap akhir. Diharapkan, pada Oktober mendatang sudah bisa dilakukan penandatanganan untuk kerjasamanya, sehingga pada akhir tahun pengiriman kayu-kayu dan turunannya sudah bisa dilakukan dengan lancar.

“Kayu-kayu yang akan masuk ke Eropa adalah kayu hijau yang sudah dipastikan melalaui sertifikat SVLK. Jadi tidak akan melalui due dilligence lagi. Ini jelas menguntungkan karena membuat Indonesia lebih kompetitif di pasar ini,” jelas Ida.

Deklarasi Ekspor

Dalam proses negosiasi tahap akhir yang sekarang sedang dilakukan, Ida Bagus mengatakan bahwa saat ini pihaknya fokus pada tiga list saja, yaitu Deklarasi Ekspor (DE), tindak lanjut pemerintah terhadap unit manajemen yang tidak lulus (compliance), dan evaluasi bertahap (periodic evaluation).

Dengan list tersebut, Ida Bagus mengaku optimis itu akan bisa dicapai kesepakatan pada September mendatang. Khusus untuk DE, dia mengungkapkan bahwa itu menjadi pembahasan lanjutan karena sebelumnya ada produk kayu dan turunannya dari Indonesia yang hanya menggunakan DE saja untuk pengantar masuk.

“Namun berikutnya, walau DE sudah ada, kita tetap wajibkan kayu yang akan dikirim ke Eropa harus sudah memiliki sertifikat SVLK. Ini memang menegaskan bahwa posisi DE tidak serta merta menggantikan SVLK,” tutur dia.

Bagi Ida Bagus, persyaratan SVLK memang harus dipenuhi oleh setiap eksportir, karena pihaknya ingin reputasi kayu dan turunannya dari Indonesia bisa sangat baik di tingkat dunia, khususnya di Eropa yang dikenal memilki regulasi ketat terhadap keabsahan produk.

“Memang, hingga saat ini ekspor kayu ke Eropa masih kecil jika dibandingkan dengan ekspor ke Tiongkok atau Jepang. Namun, Eropa adalah pasar yang penting karena reputasinya yang sangat baik di tingkat dunia,” jelas Ida Bagus.

Tingginya reputasi Eropa, menurut dia, ikut memengaruhi kebijakan yang dikeluarkan negara tetangga, Australia. Dia yakin, Australia hanya tinggal menunggu waktu saja untuk menjalin kerja sama dalam pengiriman kayu dan turunannya. Karena, Australia selama ini sangat tergantung pada Eropa dalam menilai setiap kebijakan produk.

Tanpa SVLK, IKM Akan Ditutup

Kewajiban setiap IKM di Indonesia untuk memiliki seritifikat SVLK sudah menjadi harga mati. Namun, KLHK mengaku akan membantu setiap IKM untuk mendapatkan sertifikat dengan diberikan kemudahan dana. Saat ini, kata Ida Bagus, KLHK sudah mengalokasikan anggaran sebesar Rp30 miliar untuk membantu sertifikasi IKM.

“Saat ini, ada 805 IKM yang terdata resmi di Kemendag. Dari 805, hanya 300 sekian saja yang mengekspor beneran, yang lain tidak aktif. Dari 300 sekian itu, 80 persennya kita sedang bantu untuk dapat (sertifikat) SVLK. Akhir tahun ini sudah bisa selesai,” paparnya.

Untuk bisa mendapatkan sertifikat SVLK, Ida Bagus menerangkan, setiap IKM harus melalui proses seleksi yang dilakukan oleh sekitar 20 lembaga sertfikasi. Itu prosesnya panjang dan memerlukan biaya tidak sedikit. Namun, kata dia, semua biaya tersebut akan ditanggung oleh KLHK.

Akan tetapi, Ida Bagus mengungkapkan, jika IKM tersebut sudah melewati tahap sertifikasi dan dinyatakan tidak lulus, maka statusnya IKM tersebut harus menutup aktivitasnya. Karena, tanpa SVLK keberadaan IKM tersebut adalah ilegal.

“Sebelum mereka dinyatakan ditutup, kita akan berikan kelonggaran dulu. Misalnya, IKM tidak harus mendapatkan 100 persen untuk syarat kelulusan. Namun, untuksurveillance yang pertama, setiap IKM wajib bisa melewatinya,” tandas dia.

Uni Eropa Istimewakan Indonesia

Kepala Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, Brunei Darussalam, dan ASEAN Colin Crooks, dalam kesempatan yang sama menjelaskan, dengan dicapainya kesepakatan FLEGTY license untuk produk kayu dan turunannya, maka posisi Indonesia sudah unggul dari negara lain eksportir kayu ke Eropa.

“Hingga sekarang baru Indonesia yang sudah bisa memiliki sertifikat tersebut. Itu satu keuntungan juga bagi Indonesia. Sementara bagi kami di Eropa, itu juga satu keuntungan karena kami bisa mendapatkan kayu dengan status jelas,” ungkap Colin kepada Mongabay.

Colin berharap, proses negosiasi tahap akhir yang sedang dilakukan sekarang bisa segera diselesaikan secepatnya. Dengan demikian, produk kayu-kayu dan turunannya yang bersertifikat SVLK di Indonesia sudah bisa masuk ke Eropa maksimal pada awal tahun 2016.

“Ini adalah langkah yang indah. Kami berharap langkah seperti ini bisa membantu Indonesia untuk meningkatkan ekspornya ke wilayah Eropa. Kami juga akan mensosialisasikan kabar ini ke negara-negara Eropa,” pungkas dia.

Berdasarkan data KLHK, hingga 7 Juli 2015 ini total ekspor kayu yang memiliki dokumen V-legal dari Indonesia jumlahnya mencapai 9,568 miliar kg dengan nilai USD5,354 miliar.

Sumber : klik di sini,

Share Button

Suara Masyarakat Hutan Didesakkan

Kongres Kehutanan Dunia XIV, 7-11 September 2015, di Durban, Afrika Selatan, diharapkan memberi kesempatan bagi aspirasi komunitas masyarakat lokal dan adat yang tinggal di sekitar hutan. Itu karena kelompok masyarakat tersebut berperan penting menjaga dan mengelola hutan sebagai paru-paru dunia.

Hal itu mengemuka pada pertemuan regional masyarakat dan hutan “Investasi di Komunitas Lokal untuk Hutan Berkelanjutan”, Rabu (8/7), seperti dilaporkan wartawan Kompas, Ichwan Susanto, di Bangkok, Thailand.

Pertemuan yang diinisiasi RECOFTC-The Center for People and Forests dan ASEAN Social Forestry Network itu dihadiri perwakilan 20 komunitas masyarakat lokal atau adat dari Indonesia, Kamboja, Myanmar, Vietnam, Laos, Nepal, dan Thailand, serta lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah.

“Investasi ini berupa peningkatan kapasitas warga dengan menghargai pengetahuan lokal,” kata Tint Lwin Thaung, Direktur Eksekutif RECOFTC. Itu butuh komitmen tinggi otoritas pemerintah daerah dan pusat, donor, dan masyarakat lokal/adat.

Peningkatan kapasitas warga diperlukan untuk mengelola hutan Asia yang tersisa. Hutan di Asia seluas 740 juta hektar (18 persen dari luas hutan dunia) dan di dalamnya ada 450 juta warga lokal. Di kawasan hutan Indonesia yang diklaim pemerintah seluas 120 juta hektar, ada 30.000 desa/komunitas.

Sekretaris Jenderal Kongres Kehutanan Dunia XIV Abrahams Trevor mengatakan, tema kegiatan enam tahunan yang akan digelar adalah “Hutan dan Masyarakat: Investasi untuk Masa Depan Berkelanjutan”. Investasi itu disepakati berupa peningkatan kapasitas warga lokal atau adat.

“Investasi kehutanan ialah investasi kepada warga dan lingkungan demi mencapai pembangunan berkelanjutan setelah 2015 agenda PBB,” ujarnya. Kongres akan mengelaborasi isu partisipasi warga lokal/adat sebagai bahan pembahasan Kerangka Kerja Konvensi untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), Desember 2015, di Paris. “Ini bukan forum pemerintah yang menghasilkan perjanjian internasional. Kami ingin kongres di Durban menuju ke sana,” ujarnya.

Namun, belum semua komunitas masyarakat lokal/adat paham maksud kata “investasi” dan menilai itu berupa pemodal besar yang masuk ke tanah mereka. “Ini malah akan jadi masalah,” kata Krengkai Shechong, Ketua Jaringan Komunitas Masyarakat Hutan di Thailand.

Sumber : klik di sini

Share Button