Kementerian LHK Akui Kawasan Adat sebagai Hutan Hak

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menerbitkan peraturan baru yang mengakui kawasan hutan adat sebagai hutan hak. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Perhutanan Sosial Hadi Daryanto.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015, menurut Hadi baru diterbitkan sekitar sebulan yang lalu. Pada intinya, peraturan tersebut membagi hutan ke dalam dua kategori, yakni hutan negara dan hutan hak.

“Hutan hak ini nantinya bisa jadi untuk badan seperti BUMN (Badan Usaha Milik Negara) atau masyarakat adat,” ujar Hadi saat ditemui di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lebak, Banten, Kamis (14/8). Untuk itu, kata Hadi, masyarakat adat perlu diakui terlebih dahulu melalui peraturan daerah. Setelah diakui dan dipetakan wilayahnya, maka akan terlihat apakah kawasan tersebut beririsan atau bertumpangan dengan kawasan hutan negara. Jika demikian, maka kawasan hutan adat yang telah diakui itu akan diserahkan kembali kepada masyarakat adat. Artinya, kawasan tersebut tidak lagi termasuk dalam kawasan hutan negara. “Dulu kan orang mengira kawasan hutan adat ini adalah hutan negara. Padahal bukan hutan negara, setelah ada putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 35,” ujarnya.

Sebelumnya, Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 memperbaiki beberapa aspek dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada Undang-Undang itu disebutkan hutan kawasan hutan adat adalah bagian dari hutan negara. Setelah dikoreksi, kata ‘negara’ dari frasa ‘hutan negara’ pada pasal 1 angka 6 dihapuskan sehingga berbunyi: “hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”

Kementerian Kehutanan pada saat itu menyatakan akan mengikuti putusan tersebut. Sebagai respons, diterbitkanlah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 52 Tahun 2013. Namun, dalam peraturan itu, disebutkan pada pasal 24A ayat (3), “dalam hal sebagian atau seluruh wilayah masyarakat hukum adat berada dalam kawasan hutan, dikeluarkan dari kawasan hutan.” Peraturan tersebut dinilai Manajer bidang Hukum dan Masyarakat Epistema Institute Yance Arizona belum mencerminkan putusan MK yang menyatakan kawasan hutan adat sepenuhnya berbeda dengan kawasan hutan negara. “Itu menunjukkan bahwa Kementerian Kehutanan masih beranggapan bahwa kasawan hutan sama dengan hutan negara,” kata Yance. Yance juga mengatakan, putusan MK penting untuk meningkatkan kesadaran pemerintah-pemerintah daerah untuk mengakui masyarakat adat di wilayahnya masing-masing. “Ini proses memajukan kesejahteraan juga. Prosesnya lewat legal,” ujarnya.

Salah satu proses legal menuju pengakuan masyarakat adat adalah melalui peraturan daerah. Meski MK sudah memutuskan demikian, belum banyak daerah yang menerbitkan peraturan daerah untuk mengakui masyarakat adat di wilayahnya. Sementara itu, DPRD Lebak saat ini sedang menggarap rancangan peraturan daerah untuk mengakui keberadaan masyarakat adat Kasepuhan. Peraturan daerah tersebut ditargetkan selesai tahun ini, mengembalikan hak masyarakat adat yang tempat tinggalnya tumpang tindih dengan kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Halimun.

Sumber : klik di sini

Share Button

Di Seluruh Asia, Pertumbuhan Ekonomi yang Pesat Ancam Keragaman Hayati

Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Asia dalam beberapa dekade terakhir telah mengeluarkan jutaan orang dari kemiskinan, namun berakibat buruk bagi keragaman hayati di wilayah ini.

Sebuah pertemuan Serikat Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) di Bangkok memperingatkan bahwa kecuali negara-negara di Asia dapat bekerjasama untuk melindungi dengan lebih baik ekosistem-ekosistem yang menyusut di wilayah ini, banyak tumbuhan dan binatang akan menghadapi kepunahan.

Asia sekarang ini mencakup 40 persen dari hasil ekonomi global dan dua pertiga dari pertumbuhan global. Selain itu, sekitar 60 persen penduduk dunia tinggal di Asia, dengan populasi perkotaan diperkirakan mencapai 3,3 miliar tahun 2050, dari 1,9 miliar sekarang ini.

Namun pertumbuhan ekonomi yang pesat di wilayah ini telah berakibat buruk.

Lebih dari 1.400 tumbuhan dan hewan dianggap terancam secara kritis. Sekitar 95 persen terumbu karang di Asia Tenggara menghadapi risiko. Hutan bakau, lahan basah vital yang suatu kali menutupi puluhan ribu kilometer garis pantai di seluruh Asia, sekarang hilang lebih cepat dibandingkan di wilayah lain di dunia.

Presiden IUCN Zhang Xinsheng mengtakan ekosistem-ekosistem planet tidak lagi dapat mengelola tekanan-tekanan yang meningkat dan perlu ada upaya baru dari pemerintah-pemerintah untuk mengurangi kerugian.

“Dapatkan kita berkesinambungan dengan pola produksi (yang ada sekarang ini)? Dapatkah kita bertahan dengan tingkat konsumsi ini? Kita memerlukan kemauan politik, kesadaran umum, perubahan nilai. Kita harus mengkaji, merenung, mengubah pola produksi, model konsumsi, kita harus membangun masyarakat yang inklusif,” ujarnya.

IUCN mendesak pemerintah-pemerintah, sektor swasta dan kelompok-kelompok non-pemerintah untuk bekerja lebih dekat dalam membangun solusi untuk masyarakat dan lingkungan alam.

Namun tantangannya, menurut Yeshey Dorji, Menteri Pertanian dan Kehutanan Bhutan, adalah untuk mengatasi pertimbangan-pertimbangan ekonomi jangka pendek yang biasanya menghambat upaya-upaya konservasi jangka panjang.

“Saya kira itulah tantangan terbesar untuk konservasi, seperti perburuan, perdagangan ilegal — keuntungan ekonomi jangka pendek yang menjadi daya dorong utama,” ujarnya.

Direktur IUCN wilayah Asia, Aban Marker Kabraji mentakan, tahun 2015 menandai titik balik untuk Asia dengan upaya mendesak untuk memanfaatkan inovasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi Asia dalam lima dekade terakhir dan menggunakannya untuk mengamankan kesejahteraan alam dan manusia.

Forum tiga hari di Bangkok itu merupakan langkah kunci menuju Kongres Konservasi Dunia yang mencakup lebih dari 88 negara anggota, yang akan digelar di Hawaii bulan September 2016.

Sumber  : Klik di sini

Share Button

Hope Si Badak Sumatra Pulang ke Indonesia

Satu-satunya badak Sumatra di Amerika Serikat akan dipindahkan ke Indonesia untuk dikawinkan demi menjaga kelangsungan spesies yang nyaris punah tersebut.

Keputusan untuk mengirim Hope (nama badak tersebut) ke Indonesia diambil pihak Kebun Binatang Cincinnati, Negara Bagian Ohio, AS, karena badak seberat 816 kilogram itu tidak punya pasangan untuk kawin.

Opsi untuk mengawinkan Hope dengan badak betina dari Malaysia tidak bisa dilakukan karena badak-badak betina di negara tersebut tidak subur.

Satu-satunya jalan adalah memindahkan Hope ke Suaka Badak Sumatra di Taman Nasional Way Kambas, Provinsi Lampung, Indonesia.

”Selama bertahun-tahun kami berharap menerima badak betina. Namun, Indonesia baru-baru ini jelas menyatakan tidak berenvana mengirim badak Sumatra ke luar negeri,” ujar Dr. Terri Roth selaku direktur pusat konservasi dan penelitian fauna terancam punah di Kebun Binatang Cincinnati, kepada Reuters.

Tanggal pasti kepindahan Hope ke Indonesia belum diumumkan. Roth mengatakan langkah itu memerlukan pelatihan khusus, sejumlah dokumen dan ijin, serta koordinasi antar pemerintah.

Harapan adalah badak Sumatra ketiga yang lahir di Kebun Binatang Cincinnati. Dua kakak Harapan, Andalas dan Suci, masing-masing lahir pada 2001 dan 2004. Andalas telah lebih dulu dikirim ke Suaka Badak Sumatra dan Suci telah mati.

Selain Hope dan Andalas, hanya ada tujuh badak Sumatra lain yang hidup di penangkaran seluruh dunia. Bila dihitung dengan badak yang hidup di alam liar, populasi spesies itu kurang dari 100 ekor.

Sumber : klik di sini

Share Button

Bidik 28 Negara di Uni Eropa, Pemerintah Genjot Ekspor Produk Kayu Ber-SVLK

Ekspor kayu bersertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu atau SVLK terus meningkat dan diminati pasar dunia. Pemerintah bidik ekspor produk kayu ber-SVLK di 28 negara kawasan Uni Eropa.

Komoditas ekspor Indonesia, terutama berbahan baku kayu semakin diminati pasar internasional. Direktur kerjasama intra kawasan Amerika dan Eropa, Dirjen Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri, Dewi Gustina Tobing, ketika menghadiri acara seminar tentang SVLK di Balai Kota Solo, Kamis siang (27/8), mengatakan kerjasama Indonesia dengan berbagai negara di dunia melalui perdagangan produk kayu bersertifikasi SVLK terus meningkat setiap tahunnya.

Menurut Dewi, kredibilitas SVLK Indonesia di pasar dunia perlu terus dikembangkan. Saat ini, tambah Dewi, Indonesia fokus membidik ekspor kayu di 28 negara kawasan Uni Eropa yang sudah mengakui SVLK Indonesia.

“Kebijakan sistem Verifikasi Legalitas Kayu atau SVLK ini ternyata menjadi unggulan Indonesia untuk memasuki pasar Uni Eropa. Kita berharap Uni Eropa dapat memberikan lisensi karena SVLK yang kita terapkan bisa memberikan pelacakan asal muasal produk kayu kita. SVLK bisa kita lihat apakah produk kayu yang diekspor ini hasil illegal logging atau bukan,” ujar Dewi Agustina Tobing.

“Produk ekspor yang sudah diberi lisensi Uni Eropa, maka akan mempunyai akses pasar di Uni Eropa tanpa melakukan pemeriksaan dokumen, dan sebagainya. Lisensi dari Uni Eropa membuktikan produk ekspor kita sudah diakui mereka, diharapkan pada akhir tahun ini lisensi dari Uni Eropa bisa kita terapkan sehingga akses pasar produk ekspor Indonesia berupa furniture dan kayu olahan lainnya yang masuk ke Uni Eropa mendapat lampu hijau,” lanjutnya,

Sementara itu, staf ahli dari kementerian LH dan Kehutanan, Agus Justianto, dalam kesempatan yang sama juga mengungkapkan pemerintah akan mengevaluasi SVLK terutama keluhan mahalnya biaya mendapatkan sertifikasi SVLK bagi industri produk kayu.

“SVLK itu inisiatif dan komitmen pemerintah, tidak ada intervensi, dorongan, atau campur tangan dari negara lain. Sistem ini untuk menjamin legalitas kayu produk Indonesia yang dipasarkan di dalam negeri maupun luar negeri. SVLK ini sangat menguntungkan karena dapat mereduksi atau mengurangi illegal logging, illegal trading, dan juga membangun budaya penggunaan produk kayu lokal, serta meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia,” lanjuta Agus Justianto.

Data Kementerian Luar Negeri maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan ekspor produk kayu Indonesia tahun 2015 ini untuk Uni Eropa 609 juta dollar AS, Asia 4,47 Milyar dolar AS, Oceania 687 juta doll=ar AS, Afrika 202 juta dollar AS, dan Amerika Selatan 42 juta dollar AS.

Sedangkan daerah pemasok produk kayu furniture antara lain sentra industri mebel Jepara, Cirebon, Bali dan Yogyakarta. Pemerintah menggandeng pemda melakukan penandatanganan dan deklarasi bersama Percepatan SVLK tahun 2015 ini antara lain Propinsi Jawa Timur, Jawa tengah, DIY, dan Bali.

Sumber : klik di sini

Share Button

SK.335/Menlhk-Setjen/2015

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor : SK. 335/Menlhk-Setjen/2015
Tentang
Penetapan Status Organisasi Unit Pelaksana Teknis Di Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan
Selengkapnya dapat unduh ditautan berikut :

 

Sumber : dephut.go.id

Share Button

Alih Teknologi Mangrove untuk Masyarakat Asmat

Dalam rangka alih teknologi terkait mangrove di Kabupaten Asmat, 6 orang suku Asmat yang tinggal di sekitar mangrove belajar tentang dasar-dasar pengenalan dan teknik identifikasi jenis mangrove di Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (Balitek KSDA).

Kepala Balitek KSDA, Ahmad Gadang Pamungkas, S.Hut, M.Si. dalam sambutannya mengapresiasi  alih teknologi ini. “Mangrove yang tersebar di seluruh nusantara harus dilestarikan. Kekayaan alam ini hendaknya dimanfaatkan namun harus tetap terjaga kelestariannya. Saya persilahkan belajar sebanyak mungkin dalam waktu yang singkat ini dan pertukaran informasi juga sangat saya harapkan,” kata Gadang.

“Kabupaten Asmat memiliki sumberdaya tumbuhan yang beraneka ragam yang berpotensi untuk dimanfaatkan dan dikembangkan. Salah satu ekosistem yang ada di Kab. Asmat adalah ekosistem mangrove yang sering pula diidentikkan dengan hutan bakau. Ekosistem ini telah lama menjadi tempat tinggal dan sebagai penopang kehidupan masyarakat sehari-hari. Selain jenis-jenis ekosistem mangrove, Kab. Asmat juga memiliki beberapa jenis Tanaman Unggulan Lokal (TUL) yang telah lama dikenal memiliki manfaat bagi masyarakat dan bernilai ekonomi,” terang Hassanudin, S.Hut dalam sambutannya mewakili Kepala Dinas Kabupaten Asmat.

Alih teknologi yang merupakan hasil kerjasama Balitek KSDA dan Dinas Kehutanan Kabupaten Asmat ini berlangsung selama dua hari tanggal 21 sampai 22 Agustus 2015 di Aula Balitek KSDA, Hutan Mangrove Margomulyo Balikpapan, dan Herbarium Wanariset Samboja.

Bertempat di aula Balitek KSDA, alih teknologi dimulai dengan penyampaian materi oleh peneliti Balitek KSDA, salah satunya Tri Atmoko, S.Hut, M.Si yang menjelaskan “Sekilas Tentang Herbarium Wanariset” dan “Ekologi Mangrove”

“Pengenalan jenis merupakan salah satu dasar dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, khususnya tumbuh-tumbuhan. Pengenalan jenis menjadi penting ketika suatu jenis memiliki manfaat dan kandungan yang unik atau spesifik dan tidak dapat ditemukan pada jenis lain. Dengan sistem taksonomi yang berkembang saat ini, pengenalan jenis melalui morfologi tumbuhan seperti bunga, buah dan kelengkapan tumbuhan lainnya menjadi semakin mudah,” kata Tri.

Materi dilanjutkan dengan Pengenalan Jenis-jenis Mangrove dan Tanaman Unggulan Lokal Kabupaten Asmat; dan Teknik Identifikasi Tumbuhan yang disampaikan oleh Arbainsyah, S.Pd, M.Sc, peneliti lainnya. Dengan informasi dan kondisi herbarium yang baik, proses identifikasi akan lebih mudah dilakukan dan lebih banyak informasi yang dapat didapat dari koleksi tersebut.

“Pemilihan material tumbuhan yang tepat akan memberikan informasi yang baik untuk spesimen herbarium yang dibuat,” jelas Insya.

Pada hari kedua, peserta alih teknologi dibagi dalam dua group untuk praktek pembuatan spesimen herbarium. Kegiatan hari kedua ini diikuti para peserta dengan antusias karena lokasi praktek lapangan merupakan lokasi wisata Hutan Mangrove Margomulyo yang terletak di Kelurahan Margomulyo, Balikpapan.

Setelah memasuki Hutan Mangrove Margomulyo para peserta diminta mengambil sampel pohon. “Cari pohon yang lengkap dengan bunga, buah dan daunnya,” kata Priyono, salah satu pendamping di lapangan.

Terlihat David salah satu peserta sibuk mencatat keterangan pohon sesuai teori yang telah didapat dari hari pertama. Peserta lain, Jimmi memasukkan sampel yang telah dipotong dari pohonnya dan Abeel mengambil dokumentasi dengan ponsel miliknya. Sambil praktek teman-teman dari Asmat ini mendapat suguhan istimewa dengan adanya dua kelompok bekantan di balik pepohonan mangrove di dekat mereka.

“Akhirnya kami bisa lihat bekantan di sini,” teriak David kegirangan. Menurut David, mereka sangat penasaran dengan monyet berhidung panjang endemik Kalimantan tersebut.

Siang harinya, peserta dan tim kembali ke Samboja untuk melanjutkan praktek pembuatan herbarium di Herbarium Wanariset Samboja. Peserta didampingi oleh Priyono (Drawerdan pengenal jenis), Mira Kumalaningsih, S.Hut (pengelola database) dan Iman Suharja (Pengelola Herbarium Wanariset) untuk proses pengeringan, pengeplakan, pemberian label dan penyimpanan data di database.

Di akhir acara, dilakukan pembagian sertifikat kepada setiap peserta oleh Ir. IGN Oka Suparta, Kepala Seksi Data, Informasi dan Sarana Penelitian Balitek KSDA, sekaligus menutup kegiatan alih teknologi ini. Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan ilmu yang didapat selama pelatihan dapat dimanfaatkan oleh Dinas Kehutanan Asmat dan masyarakat Asmat, secara khusus yang tinggal di daerah mangrove agar dapat mengenal dan memanfaatkan potensi mangrove secara lestari.*** ADS.

Share Button