Jokowi Ingin Indonesia Berperan Lebih di Konferensi Perubahan Iklim

Presiden Joko Widodo ingin Indonesia tampil penuh karakter dalam konferensi perubahan iklim di Paris, akhir tahun nanti. Jokowi tidak ingin Indonesia hanya menjadi negara peserta konferensi yang mengikuti kemauan dunia.

“Beliau ingin Indonesia sebagai negara kepulauan punya kekhasan yang akan disampaikan dan kita supaya tidak sekadar ikuti kemauan dunia,” kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung, di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (31/8/2015).

Terkait konferensi tersebut, Presiden Jokowi telah menerima laporan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, serta utusan khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim Rachmat Witoelar dan Ketua Dewan Pengarah Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja di Istana Presiden, Senin pagi.

Adapun dokumen yang disampaikan kepada Presiden telah dibahas oleh seluruh stakeholder serta akan segera diunggah dalam laman Kementerian Lingkungan Hidung dan Kehutanan untuk mendapat respons dari masyarakat.

“Tadi dilaporkan ke Bapak Presiden bahwa dalam INBC ini kita akan angkat konsep negara kepulauan Nawacita wawasan nusantara,” ujar Siti Nurbaya.

Ketua Dewan Pengarah Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja mengaku senang dengan arahan Presiden Jokowi yang meminta Indonesia lebih berperan dalam konferensi perubahan iklim tersebut. Beberapa hal yang ia anggap perlu disampaikan dalam konferensi itu adalah mengenai ketersediaan pangan dan sumber daya alam yang semakin terancam.

“Posisi Indonesia unik, kita tidak sekadar datang tetapi kita juga memimpin stabilisasi iklim. Indonesia mainkan peranan, bahkan peranan leadership,” ucap Sarwono.

Sumber : klik di sini

Share Button

BNPB Kerahkan Helikopter ke Wilayah Sumatera dan Kalimantan

Kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kalimatan maupun Sumatera semakin menjadi-jadi. Data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa hotspot satelit Modis (Terra dan Aqua) pada Sabtu (29/8) di Sumatera terdapat 291 hotspot. Data tersebut terbagi di Bengkulu (7 hotpot), Jambi (87), Sumatera Selatan (130), Riau (47), Lampung (16), Sumatera Utara (3), dan Sumatera Barat(1 hotspot).

“Sedangkan di Kalimantan terdapat 231 hotspot,” kata Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, Minggu (30/8).

Menurut Sutopo, akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) itu menyebabkan asap menyebar luas di wilayah Sumatera Utara (Sumut), Sumatera Barat (Sumbar), Riau, Jambi dan Sumatera Selatan (Sumsel).

Asap di Sumut dan Sumbar, lanjut Sutopo, sebagian besar berasal dari Riau, Jambi, dan Sumsel yang terbawa angin ke Utara-Timur Laut.

“Sebagian besar kualitas udara tidak sehat,” katanya.

Tak cuma itu, Karhutla juga memengaruhi jarak pandang. Di Pekanbaru, misalnya, jarak pandang hanya 1.500 meter, sedangkan di Rengan 3 kilometer, Pelalawan 2 kilometer, dan Jambi 1.500 meter.

“Jarak pandang di Pontianak 1.500 meter,” katanya lagi.

Sesuai instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Nopember 2014 dan Januari 2015, penanggungjawab pengendalian karhutla adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang saat ini dijabat Ibu Siti Nurbaya. Gubernur dan bupati/walikota juga bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan lahan di daerahnya masing-masing.

BNPB mendukung upaya penggulangan bencana asap. “BNPB, ‘filling the gap’ kebutuhan ektrem yang dibutuhkan,” kata Sutopo.

Menurut Sutopo, untuk mengatasi karhutla tersebut, BNPB mengerahkan tiga pesawat terbang untuk hujan buatan di Riau, Sumsel, dan Kalbar. BNPB juga mengerahkan 13 helikopter pemboman air.

Dari 13 helipoter tersebut tersebar di Riau (3 heli), Sumsel (2 heli), Kalbar (2 heli), Kalteng (2 heli), Jambi (2 heli), dan Kalsel (1 heli).

“Setiap hari helikopter menjatuhkan ribuan liter air dari udara. Ratusan ton garam juga sudah disebarkan di awan-awan potensial sejak Juni 2015 hingga sekarang,” katanya lagi.

Untuk penanggulangan bencana asap ini, BNPB menyiapkan dana sebesar Rp385 miliar. Sebagian besar dana tersebut digunakan untuk sewa dan operasional pesawat dan helikopter. Sementara itu, pemadaman di darat juga terus dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Manggala Agni, TNI, Polri, MPA dan masyarakat.

Sumber : klik di sini

Share Button

Marwan: Tangkap Pelaku Pembakaran Hutan!

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT) Marwan Jafar mengatakan, pemerintah akan bertindak cepat menangani kebakaran hutan terutama di daerah-daerah yang dekat dengan pemukiman transmigran, seperti di Desa Padauloyo, Kecamatan Ampana Tete, Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu.

“Masalah kebakaran hutan ini jelas akan merugikan masyarakat desa. Apalagi di Kecamatan Ampena Tete itu adalah wilayah transmigrasi. Pemerintah akan bertindak cepat menanganinya. Jangan sampai hak-hak dasar masyarakat tidak terpenuhi,” ujar Marwan, Senin (31/8).

Menurut Marwan, terkait antisipatif untuk pemadaman pihaknya akan berkoordinasi dengan sejumlah kementerian/lembaga lain, terutama pemerintah daerah. Sementara untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat yang terkena dampak seperti makan, sarana mandi, cuci dan kakus (MCK), serta kebutuhan dasar lain, akan dipenuhi Kementerian DPDTT.

“Kalau dampaknya kepada masyarakat desa, masyarakat transmigrasi, maka Kementerian DPDTT pasti ikut bertindak. Setidaknya jangan sampai pemenuhan hak-hak dasar masyarakat di sana tidak terpenuhi. Makanya mari bersama-sama bantu saudara-saudara di desa yang kena musibah kebakaran hutan,” ujarnya.

Langkah lain, Kementerian DPDTT kata Marwan, sejauh ini juga tengah menjalankan program antisipatif terhadap musim kemarau. Misalnya, membangun embung atau alat penampungan air di setiap desa, melakukan pengadaan sumur bor desa, serta membuat sumur besar bersama.

Sementara bagi desa-desa yang berada di kawasan hutan, Kementerian DPDTT telah bekerja sama dengan beberapa perusahaan BUMN seperti Perum Perhutani, agar masyarakat bisa dilibatkan dalam pengelolaan hutan.

“Hutan ini kan anugerah Allah SWT yang sangat besar bagi negara Indonesia, maka harus dimanfaatkan dan jangan sampai menjadi sumber bencana. Semua pihak harus ikut peduli pada masalah ini. Termasuk aparat penegak hukum, kalau ada yang terlibat secara sengaja dalam pembakaran hutan, maka harus ditangkap,” ujar Marwan.

Sumber : klik di sini

Share Button

Lingkungan Hidup akan Perkuat Tupoksi UPT

Peleburan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dengan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak hanya berpengaruh pada tingkat pusat, tetapi juga pada Unit Pelaksana Teknis (UPT). Namun demikian, Dr. Ir. Wahyu Marjaka, M.Eng., Kepala Pusat Litbang Kualitas dan Laboratorium Lingkungan menegaskan bahwa lingkungan hidup siap perkuat tupoksi UPT Badan Litbang dan Inovasi (BLI). Hal ini disampaikan pada rapat pembahasan penataan UPT BLI di Hotel Royal Garden Safari, Cisarua (Kamis, 27/08).

“Tidak akan membentuk BPK baru, tetapi memperkuat fungsi dimana ditambah kualitas lingkungan,”tegas Wahyu.

Lebih lanjut, Wahyu menyatakan bahwa tidak semua UPT akan melaksanakan penelitian kualitas lingkungan dimana proses ini akan dilaksanakan secara bertahap dan disesuaikan dengan kebutuhan daerah serta prioritas kebutuhan. Selain itu, di tingkat tapak akan diperkuat dengan partnership atau kerjasama.

“Selama ini, kami hanya memantau. Solusinya belum kami lakukan sehingga kita akan melakukan effort (upaya)lebih. Peleburan ini harus ada langkah maju untuk memperbaiki lingkungan,”tegas Wahyu.

Dr. Ir. Ombo Satjapraja sangat mendukung bahwa kegiatan lingkungan hidup digabung saja dengan kegiatan UPT dengan pertimbangan biaya, SDM tetapi tetap memprioritaskan masalah yang ada di daerah

“Pembentukan UPT harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah, SDM serta anggaran yang tersedia,” kata Ombo.

Terkait dengan kebutuhan daerah, Ir. Tri Joko Mulyono, MM., Sekretaris BLI (Sekbadan) menyatakan bahwa sejak tahun kemarin, UPT sudah di dorong untuk mendukung dan menyelesaikan permsalahan atau kebutuhan daerah, dengan pengalokasian anggaran sebesar 30%.

“30% anggaran adalah di luar RPI (Rencana Penelitian Integratif) untuk melayani daerah. Tetapi tidak semua kebutuhan daerah tidak masuk RPI sehingga UPT harus bijaksana untuk memasukkanya ke dalam RPI,” tegas Tri Joko.

Di sisi lain, Dr. Ir. Titiek Setyawati, M.Sc, Peneliti BLI menyatakan bahwa proses perubahan tidak mungkin bisa dihindari. Tetapi beliau menegaskan bahwa dalam penataan UPT sebaiknya dilakukan dahulu pengkajian atau pemetaan yang ada di BLI.

“Banyak hal yang akan diselesaikan harusnya dipetakan sebelum melakukan perubahan nomenklatur. Mana yang akan dikerjakan kita atau di luar FORDA. Permasalahan utama bukan kita untuk menjadi besar atau kecil. Sebelum melakukan kita harus melakukan pengkajian atau pemetaan SDM dan kepakaran masing-masing baik di pusat maupun daerah,”kata Titiek

Terkait kebutuhan SDM, terutama penelitian kualitas lingkungan, Wisnu menyatakan kesanggupan untuk melakukan pmbinaan maupun pelatihan. Selain itu, Tri Joko juga menambahkan bahwa akan adanya penambahan peneliti yang telah disaring kepakaranya untuk memperkuat UPT.

Dalam rapat tersebut juga disepakati bahwa UPT hanya melakukan kegiatan penelitian, sedangkan pengembangan akan dilakukan di pusat. Hal ini untuk memudahkan pengawalan hasil penelitian udan untuk evaluasi hasil penelitian di daerah yang bisa dikembangkan. Namun demikian, di daerah akan dibangun show window untuk menunjukkan beberapa hasil penelitian yang telah berhasil dikembangkan oleh BLI.

Selain itu, juga akan dibahas lebih lanjut strategi untuk mengemas hasil penelitian BLI baik di bidang komoditi maupun kawasan untuk menjadi lebih terkenal dan memiliki nilai jual yang tinggi. Namun demikian, tetap berprioritas untuk kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat sehingga ke depan lebih menekankan pada kerjasama masyarakat.

Adapun tindak lanjut rapat ini akan dibentuk tim kecil untuk mengkompilasi hasilnya untuk menjadi masukan bagi Pusat Litbang Sosial Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (Puslit sosekjak dan PI). Disadari bahwa dalam proses penyempurnaan kelembagaan di KLHK, Puslit Sosekjak dan PI ditunjuk untuk memberikan kajian dan masukan bagi KLHK. ***THS

Materi terkait.

  1. Strategi Pengembangan Organisasi Unit Pelaksana Tugas (UPT) Lingkup Badan Litbang dan Inovasi Pasca Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
  2. Penelitian dan Pengembangan Kualitas Lingkungan untuk Penguatan Tupoksi Unit Pelaksana Tugas (UPT) di Balitbang dan Inovasi
  3. Refleksi Historis Perjalanan Pengembangan Organisasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang dan Inovasi : Bercermin dari Masa Lalu, Menyongsong Masa Depan
  4. Permasalahan Lingkungan Hidup
  5. Konsep dan Implementasi Tugas Pengembangan Hasil Penelitian oleh UPT

Sumber : forda-mof.org

Share Button

Menteri Siti Khawatirkan Nasib Taman Nasional Tesso Nilo

Abdul Keman baru saja selesai memanen sawit di kebun miliknya. Wajahnya masih memerah dan berkeringat terkena terik matahari. Nafasnya juga masih panjang-panjang siang itu.

“Ini baru selesai manen. Saya punya enam hektare kebun sawit. Sebulan panen dua kali. Tepatnya lima belas hari sekali. Total dalam sebulan, saya bisa memanen sawit sekitar dua puluh empat ton,” kata Abdul Keman setiba di rumahnya saat ditemui CNN Indonesia pekan lalu.

Keman, sapaan akrabnya, merupakan warga Dusun Toro Jaya, Kabupaten Pelalawan, Riau. Dusun Toro Jaya ini, masuk wilayah Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Pemerintah melarang kawasan TNTN dijadikan permukiman warga. Ini berdasarkan surat keputusan yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan pada 15 Oktober 2009.

Dalam surat keputusan itu, pemerintah memperluas kawasan Taman Nasional Tesso Nilo, dari 38.576 hektare menjadi 83.068 hektare.

Keman dan warga sekitar Toro Jaya merasa terganggu dengan keputusan itu. Sebab, dengan keputusan yang ditandatangi oleh Menteri Kehutanan saat itu, Zulkifli Hasan, tempat tinggal Keman menjadi ilegal karena masuk kawasan TNTN.

Keman berdalih, sudah ada di Dusun Toro Jaya terlebih dahulu sebelum adanya keputusan Menteri Kehutanan pada 2009 soal perluasan TNTN. “Saya di sini dari tahun 2004,” ujar Keman yang juga merupakan ketua RW Dusun Toro Jaya.

Selain Dusun  Toro Jaya, Dusun Kuala Onangan, Toro Makmur, dan Mandiri Indah juga masuk dalam kawasan TNTN. Selain beberapa dusun tadi, masih ada lagi dusun yang belum terdata yang berada di dalam kawasan Tesso Nilo.

Diperkirakan, lebih dari empat ribu kepala keluarga menetap dan membuka kebun kelapa sawit di dalam kawasan TNTN saat ini.

Janji Menteri

Sabtu (15/7), Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya masih disibukan dengan tugas negara. Apalagi, dua hari menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia ke-70. Berbagai undangan untuk menghadiri acara kenegaraan sekaligus menyambut tamu dari negara lain dalam rangka Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI sudah terjadwal.

Senyumnya semringah ketika CNN Indonesia akan mewawancarainya soal Taman Nasional Tesso Nilo. Tapi raut wajah Siti mendadak berubah saat dihadapkan dengan pertanyaan mengapa ada ribuan warga tinggal dan menetap di dalam Taman Nasional Tesso Nilo?

Siti menghela napas panjang sebelum menjawab. Dia menuturkan bahwa Taman Nasional Tesso Nilo yang diperluas pada 2009 itu adalah bekas hutan HPH atau Hak Pengusahaan Hutan dengan akses jalan masuknya banyak. Sebelum dijadikan taman nasional memang sudah ada masyarakat menetap di dalamnya.

Jika melihat petanya, TNTN ini dikelilingi oleh perkebunan-perkebunan dan Hutan Taman Industri (HTI) aktif. Jadi memang aksesnya sangat terbuka. Selanjutnya Siti mengatakan, seharusnya taman nasional tak boleh ada orang, kecuali yang sudah disepakati bekerja sama.

Tapi yang diinginkan Siti tak sejalan dengan kenyataan. Di TNTN kini sudah ada puluhan ribu warga. Mereka sudah membuat tatanan masyarakat. Ada rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW), ada kepala dusun, serta ada fasilitas umum seperti sekolah dan pusat pelayanan kesehatan.

Walau sudah membentuk tatanan masyarakat, mereka yang menetap di dalam kawasan TNTN tetap saja dianggap ilegal. Sebagai menteri yang memiliki wewenang penuh terhadap kelanjutan Taman Nasional, Siti berjanji akan menyelesaikan persoalan ini.

“Pemerintah sedang memikirkan, konsepnya bukan orangnya yang dibuang. Tetapi, ada kemungkinan kami menerapkan pola yang kami sebut perhutanan sosial. Ini membuat masyarakat yang ada di situ bisa mendapat kesejahteraan tetapi fungsi lindungnya tak boleh terganggu juga,” kata Siti.

Dampak Perambahan

Banyaknya warga yang menetap di dalam Taman Nasional Tesso Nilo membuat kawasan ini terancam keberlangsungannya sebagai taman nasional. Sebagian besar warga yang tinggal di dalam kawasan TNTN mengganti hutan alam menjadi kebun sawit.

Warga rata-rata memiliki sedikitnya dua hektare kebun sawit. Warga yang rata-rata datang dari Pulau Jawa dan Sumatera Utara itu merasa legal mengelola kebun di dalam Taman Nasional. Hal itu berkat Surat Keterangan Pancangan Hutan Tanah Ulayat yang dikeluarkan oleh pemangku adat setempat.

Membuka sawit di dalam taman nasional identik dengan perambahan. Perambahan ini mengakibatkan deforestasi atau penggundulan hutan besar-besaran.

Dampaknya, lebih dari 60 ribu hektare hutan alam di kawasan Tesso Nilo rusak dan berganti menjadi kebun sawit raksasa. Data dari World  Wildlife Fund for Nature (WWF) Riau mencatat sejak 2004 hingga 2015 sudah ada 74 gajah mati di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo.

“Sebagian besar mati karena diracun serta habitatnya terpojok,” ujar Suhandri, Kepala Regional WWF Sumatera kepada CNN Indonesia.

Rusaknya hutan Tesso juga membuat warga sekitar wilayah kawasan taman nasional meradang. Jumedi Putera misalnya, warga Desa Gunung Melintang. Jumedi, yang desanya terletak hanya sekitar satu kilometer dari kawasan Tesso Nilo mengatakan bahwa dulunya ia masih bisa memenuhi kebutuhan keluarga dari hutan. Semenjak hutan Tesso Nilo rusak, dia dan keluarganya kehilangan mata pencarian.

“Dulu cari ikan di dalam hutan gampang sekali. Cari burung juga gampang. Sekarang susah sekali, udara juga semakin panas dan sungai mengering,” kata Jumedi.

Ada juga kegelisahan lain yang dialami tetangga Jumedi. “Kami ini warga asli enggak berani masuk. Tapi orang luar masuk merambah enggak ada petugas bertindak. Kami juga mau masuk kalau memang pemerintah enggak lagi urus taman nasional,” kata Jaberudin, tetangga dekat Jumedi.

Sawit Tesso Nilo untuk Perusahaan

Seusai wawancara dengan CNN Indonesia, Siti Nurbaya tampak gelisah. “Saya khawatir warga di dalam Tesso Nilo itu dimanfaatkan oleh pihak perusahaan karena perusahaan tak bisa masuk kawasan Taman Nasional,” kata Siti.

Kekhawatiran Siti bukannya tanpa alasan. Sebab WWF Indonesia pada 2013 berhasil mengungkap bahwa sawit ilegal dari dalam kawasan TNTN diterima oleh perusahaan yang ada di sekitar Taman Nasional.

Dalam catatan WWF, ada dua perusahaan besar menerima sawit dari dalam Tesso Nilo. Adanya perusahaan penerima sawit dari dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo inilah yang disinyalir membuat praktik perambahan hutan di area kawasan TNTN terus berlanjut hingga saat ini.

Sumber : klik di sini

Share Button

Tiga Kementerian dan KPK Bahas Kerugian Negara Soal Lahan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan dalam koordinasi bersama Komisi Pemberantasan Korupsi membahas mengenai kerugian negara terkait masalah penguasaan tanah di kawasan hutan. Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dan Kementerian Dalam Negeri berkoordinasi bersama KPK mengenai tata cara penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan.

“Itu (kerugian negara) disinggung sedikit. Tapi sekarang orientasinya untuk mencegah,” ujar Siti di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (21/8). Siti enggan untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai potensi kerugian negara akibat kuasa tanah pihak ketiga yang berada di kawasan hutan. Ia menekankan, dilibatkannya KPK untuk mencegah terjadinya konflik saat pengimplementasian aturan penataan kawasan pemukiman dan kehutanan nanti.  Koordinasi ini, menurut Siti, dilakukan karena masyarakat menunggu akan hak-haknya menyangkut kehidupannya di tempat mereka tinggal. Diketahui, ada begitu banyak masyarakat yang tinggal di kawasan atau hutan lindung.

Hal serupa dikatakan Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan. Ia mengatakan koordinasi ini untuk memproteksi sumber daya alam, termasuk masyarakat yang tinggal di kawasan atau hutan lindung yang ada di Indonesia. “Kalau sudah 10 tahun berturut-turut tinggal, kawasan itu diakui sebagai kawasan komunal. Bukan kepemilikannya. Kami proteksi sebagai ruang hidup mereka,” ujar Ferry.

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan koordinasi ini akan terus dilakukan bersama KPK. Bahkan, bekas Sekretaris Jenderal PDIP itu mengatakan akan segera dibentuk juru teknis antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Pembentukan Juknis ini untuk mempercepat proses penataan hal tersebut. “Untuk menghindari dampak yang semakin meluas dan kerugian negara yang cukup besar,” tutur Tjahjo. Kendati demikian, Tjahjo enggan untuk mengungkapkan daerah-daerah mana saja yang telah dipetakan dan akan ditata.

Sumber : klik di sini

Share Button