Studi Menunjukkan Perdagangan Burung Endemik Indonesia Terus Terjadi

Sebuah studi komprehensif berjudul “Market for Extinction: An inventory of Jakarta’s bird markets,” yang dikeluarkan oleh TRAFFIC pada 25 September 2015, menunjukkan bahwa perdagangan burung ilegal terutama burung endemik Indonesia di pasar burung di Jakarta masih tinggi. Studi ini sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling banyak memiliki jumlah burung terancam punah di Asia.

Kondisi burung liar di Indonesia, berdasarkan data Burung Indonesia 2014, Indonesia merupakan rumah bagi 1.666 jenis burung, 426 burung endemik, dan 136 yang terancan punah.

Penelitian yang dilakukan di tiga lokasi pasar burung di Jakarta yaitu Pramuka, Jatinegara, dan Barito,  selama tiga hari tersebut mencatat sekitar 19 ribu individu yang berasal dari 206 jenis terus diperjualbelikan. Sekitar 98 persen dari seluruh burung yang berhasil diamati tersebut merupakan jenis burung endemik Indonesia atau yang tidak ditemukan di negara lain yang diduga memang ditangkap langsung dari habitatnya.

Ada delapan jenis yang banyak dilego di pasar tersebut. Jalak bali (Leucopsar rothschildi) yang berdasarkan Daftar Merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) masuk dalam kategori Kritis (Critically Endangered/CR) ada di dalamnya. Bukan rahasia umum, bila burung dengan dominasi bulu putih ini memang ditangkap untuk memenuhi permintaan dunia sebagai satwa peliharaan. Begitu juga dengan jalak putih (Sturnus melanopterus) yang meski sudah berstatus Kritis tetap diperjualbelikan juga. Padahal, jenis ini hanya ada di Jawa, Bali, dan Lombok.

Berikutnya, ada poksai kuda (Garrulax rufifrons), burung berukuran sekitar 27 cm endemik Jawa Tengah dan Jawa Barat. Keberadaannya yang kian terancam dan hanya ditemukan di ketinggian antara 1.000 – 2.400 m di atas permukaan laut membuatnya masuk kriteria Genting (Endangered/EN).

Sementara, lima jenis lainnya yang turut diperdagangkan adalah gelatik jawa (Padda oryzivora), poksai sumatera (Garrulax bicolor), nuri bayan (Electus roratus), cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), dan bubut jawa (Centropus nigrorufus). Keseluruhan, jenis tersebut berlebel Rentan atau Vulnerable/VU.

Sebagai catatan, gelatik jawa dahulunya merupakan burung endemik yang hanya ada di Jawa, Bali, dan Pulau Kangean (utara Bali). Kini, populasinya menurun akibat penangkapan untuk perdagangan. Meski begitu, jangan heran bila Java Sparrow ini bisa dilihat di tempat berbeda. Ini dikarenakan burung dari suku Estrildidae ini telah terintroduksi dan menyebar luas ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagian Maluku, hingga Asia Tenggara dan Australia.

Sedangkan bubut jawa, populasinya di alam liar saat ini diperkirakan hanya 2.500 hingga 10.000 individu dewasa saja. Burung yang masuk dalam keluarga Cucilidae ini makin sulit di lihat karena habitatnya berupa ekosistem bakau terus terganggu selain penangkapan untuk perdagangan juga.

Serene Chng, co-author dan Programme Officer TRAFFIC Asia Tenggara, menuturkan melihat tingginya volume perdagangan burung terancam punah di tiga pasar burung tersebut, pihaknya khawatir akan terjadi dampak yang lebih buruk lagi terhadap keberadaan populasi burung liar di alam. “Penangkapan dan perdagangan tak terkendali merupakan ancaman nyata dan akan menyebabkan keseimbangan ekosistem alam terganggu.”

Menurut Serene, meski peraturan hukum di Indonesia memperbolehkan adanya perdagangan satwa yang tidak dilindungi, namun pemerintah telah menetapkan kuota nol (atau tidak boleh ditangkap sama sekali dari alam) untuk burung-burung khas Indonesia sejak 2002. “Ini menunjukkan, penangkapan atau perdagangan burung khas Indonesia, baik yang dilindungi ataupun tidak merupakan perbuatan melanggar hukum. Pasar burung Pramuka sendiri merupakan pasar burung terbesar di Indonesia yang menjual burung 10 kali lipat lebih banyak ketimbang pasar burung Barito dan Jatinegara.”

 

Budaya memelihara

Memelihara burung merupakan budaya, terutama di Jawa, yang hingga kini masih terlihat. Dalam tradisi ini, seseorang akan dianggap hidup sempurna bila memiliki lima hal yang disyaratkan yaitu rumah (wisma), istri (garwa), keris (curiga), kuda tunggangan (turangga), dan kukila (burung). Memelihar burung dianggap dapat menghubungkan manusia dengan alam semesta, membawa keberuntungan, dan kedamaian dalam kehidupan rumah tangga.

Chris R. Shepard, Direktur Regional untuk TRAFFIC Asia Tenggara, menuturkan, terkait hasil studi ini TRAFFIC merekomendasikan agar para pedagang atau penjual jenis burung dilindungi yang tertangkap tangan agar dihukum sepantasnya.

Chris menekankan, selama pasar burung masih ada maka perdagangan ilegal burung liar terlebih jenis endemik Indonesia akan terus terjadi. “Kami berharap, pemerintahan sekarang memberikan perhatian penuh dan meningkatkan perhatian terhadap upaya konservasi guna memberantas perdagangan burung liar yang terus terjadi.”

TRAFFIC, lembaga yang bekerja untuk memastikan perdagangan tumbuhan dan satwa liar tidak mengancam konservasi alam, juga menyarankan agar undang-undang konservasi Indonesia segera direvisi dengan memasukkan beberapa jenis burung khas Indonesia yang belum terdata dalam jenis yang dilindungi. Juga, memasukkan jenis burung yang memang bukan khas Indonesia tetapi terus ditangkap dan diperdagangkan.

UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta sebagaimana yang dimaksud memang telah didengungkan para pegiat lingkungan di Indonesia untuk segera direvisi. Dalam berbagai kasus, aturan hukum yang telah berusia 25 tahun ini, dianggap tidak efektif dan belum memberikan vonis minimal sehingga pelaku acapkali dihukum dalam hitungan bulan dan denda yang ringan.

Sumber : klik di sini

Share Button

Akibat Kebakaran Lahan, Bekantan Pun Menderita

Dengan hati-hati, drh Triasmoro dan dua rekannya mengobati bekantan kecil itu. Tangan dan kakinya yang melepuh diolesi obat antiseptik. Anak bekantan itu pun disuntik vitamin.

Tim dokter hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Tapin Kalimantan Selatan langsung bergerak, Senin (28/9) siang, ketika mendengar ada bekantan yang terluka di Desa Sungai Rutas.

“Tangan dan kakinya melepuh seperti kena api,” kata Triasmoro.

Penemu monyet berhidung panjang itu, Rosyad, mengatakan dirinya menemukan bekantan pada Sabtu (26/9) sore sekitar pukul 17.00 Wita setelah pulang dari lokasi pertaniannya.

Warga Sungai Rutas itu melihat ada lima ekor bekantan di atas tumbuhan purun, terkepung bara dan asap. Empat ekor bisa menyelamatkan diri dan kabur.

“Saya sempat heran, anggota kawanan lainnya mampu berlari, cuma satu yang tidak. Setelah saya tangkap, ternyata kaki dan tangannya melepuh seperti kena api,” kata Rosyad.

Kebakaran hutan menyebabkan bekantan kelaparan.

“Sudah lapar, kaki dan tangannya melepuh kena api. Ditambah lagi asap. Makanya bekantan kecil itu lemah,” jelas Rosyad.

Bekantan itu pun dibawa ke rumah tokoh masyarakat setempat, Herman, Senin (28/9) siang. Warga berdatangan untuk melihat hewan langka yang dilindungi tersebut.

Sumber : klik di sini

Share Button

Di Mana Penegakan Hukum? 19.000 Burung Diperdagangkan secara Ilegal di Jakarta

Sekitar 19.000 jenis burung diperdagangkan secara ilegal dan terang-terangan di Jakarta, di tempat di mana pemerintah bisa melakukan pengawasan dengan jauh lebih mudah. Fakta tersebut terungkap dari asil studi TRAFFIC yang dilakukan pada pertengahan 2014 lalu dan baru saja dirilis hasilnya pada Jumat (25/9/2015).

TRAFFIC meneliti tiga pasar burung di Jakarta, taitu Pramuka, Jatinegara, dan Barito. Mereka mendata jenis dan jumlah burung yang diperdagangkan beserta harganya. Terungkap, ada 19.036 ekor burung yang diperdagangkan di tiga pasar burung di Jakarta. Sementara, total jumlah spesies yang dijual mencapai 206 jenis!

Untuk masing-masing pasar, di Pramuka ada sekitar 186 jenis yang diperdagangkan, sedangkan untuk Jatinegara dan Barito masing-masing 106 jenis dan 65 jenis.  Sebanyak 98 persen atau 184 jenis burung yang diperdagangkan adalah burung asli Indonesia. Dari jumlah itu, 22 diantaranya dilindungi menurut Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999.  8 jenis masuk Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN). Dua diantaranya masuk kategori “Critically Endagered, yaitu Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) dan Jalak Sayap Hitam (Acridotheres melanopterus).

Jenis lain yang masuk Daftar Merah IUCN adalah Poksay Kuda, Gelatik Jawa, Poksay Sumatra, Nuri Bayan, Cucakrawa, dan Bubut Jawa. Nilai ekonomi dari burung yang diperdagangkan memang sangat tinggi. Burung branjangan (Mirafra Javanica) yang tercatat sebagai paling populer punya nilai 63.150,21 dollar AS. Total nilai 10 burung paling populer yang diperdagangkan, mencakup diantaranya jalak suren (Gracupica contra) dan jalak kerbau (Acridotheres javanicus), mencapai sekitar 335.000 dollar AS.

Banyaknya jumlah burung dan adanya jenis dilindungi yang diperdagangkan sangat memprihatinkan. Serene Chong, Programme Officer TRAFFIC Asia Tenggara yang terlibat riset mengatakan, “Ini merupakan bencana untuk burung-burung di Indonesia.” Chris R Shepard, Direktur TRAFFIC, dalam pernyataan di webnya mengatakan, “Kami mendesak pemerintahan baru Indonesia, yang telah melakukan langkah-langkah untuk menguatkan usaha-usaha konservasi, untuk bertindak lebih lanjut dan lebih tegas dalam mengatasi ancaman ini.”

Sumber : klik di sini

Share Button

Kebakaran Hutan, Menteri Siti: Pemerintah Galak

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, mengatakan pemerintah akan bersikap tegas terhadap para perusahaan yang terlibat dalam kebakaran lahan. Menurutnya ada sekitar 286 perusahaan yang akan diperiksa. “Banyak yang akan diperiksa, ada 139 ditambah 147 perusahaan yang sedang kami siapkan,” ucapnya di Hotel Grand Kemang, Ahad,  27 September 2015.

Hal tersebut juga sebagai peringatan bagi siapapun yang berniat menggunakan kanal pengairan lahan gambat untuk mengangkut kayu gelondongan hasil pembalakan liar. “Akan kami awasi, pemerintah lagi galak-galaknya,” ujar Siti.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo menginstruksikan untuk membangun kanal di Kalimantan selatan sebagai langkah preventif dalam mencegah kebakaran lahan gambut. Namun instruksi ini dikhawatirkan akan akan berpengaruh negatif, pasalnya kanal biasa digunakan sebagai sarana pengangkut kayu gelondongan hasil pembalakan.

Terkait hal itu, Siti mengatakan harus bicara secara keseluruhan, bagaimana sistem pengawasan di kehutanan. “Kami sekarang turun ke lapangan lagi untuk memeriksa wilayah. Ada 183 orang yang terbagi jadi 61 tim,” katanya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Semangat Botawa Memadukan Hutan Desa dan Hutan Adat

Dahulu, rakyat yang mengelola hutan, namun secara hukum, belum jelas legalitasnya. Seiring berjalannya waktu, perkembangan berkaitan dengan kondisi sosial politik negara, kawasan hutan tersebut dianggap tidak ada yang “punya”, karena dalam sistem legalnya, memang tidak ada hak milik. Kemudian akhirnya, hutan-hutan tersebut ditetapkan menjadi kawasan hutan negara agar masyrakat dapat mengelolanya. Namun sayangnya, pengelolaan hutan-hutan ini menjadi lebih tersentralistik dan pada akhirnya menimbulkan banyak masalah yang serius.

Seiring berjalannya waktu, pemerintah memikirkan cara bagaimana rakyat dapat mengelola hutan secara hukum formal yang jelas legalitasnya. Kini, rakyat dapat mengelola hutan melalui perhutanan sosial antara lain dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Tamanan Rakyat. Hutan Desa adalah hutan yang dikelola oleh warga desa dalam bentuk organisasi Lembaga Desa untuk kesejahteraan warga desa. Di Papua, khusunya di Kabupaten Waropen, seluruh tanahnya dikuasai sebagai hak ulayat (komunal), maka dari itu masyarakat menyebutnya Hutan Adat.

Pembenahan terus dilakukan oleh negara dengan melibatkan komunikasi aktif dengan masyarakat adat yang bermukim di sekitar hutan. Salah satu langkah serius yagn sekarang dilaksanakan pemerintah adalah perhutanan sosial untuk memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Melalui perhutanan sosial, diharapkan masyarakat sejahtera dengan hutan lestari. Perhutanan sosial berusaha memadukan program pembangunan pedesaan dengan memberi jaminan hak masyarakat setempat untuk mengelola sumber daya alam lokal.

“Dulu, kita hanya mengenal investor dengan skala investasi besar untuk mengelola hutan engara. Kini, negara menargetkan 2,7 juta hektar hutan yang dikelola masyarakat dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, dan hutan adat,” ujar Kepala Sub. Direktorat Penyiapan Hutan, Erna Rosdiana.

Masyarakat adat Waropen menyambut baik tawaran program pengelolaan hutan desa dalam rapat Fasilitasi Permohonan/Penyiapan Areal Hak Pengelolaan Hutan Adat pada 6-10 September lalu.

Warga adat Waropen berpendapat bentuk pengelolaan hutan desa selaras dengan hutan adat. Hutan desa dianggap memenuhi keinginan masyarakat adat, pemilik hat ulayat di Waropen untuk mengelola hutan adat mereka. Maka, empat suku di Waropen yang meliputi Suku Safoni, Suku Demisa, Suku Ghoria, dan Suku Nubuai, masing-masing akan mengelola 750 hektar dalam bentuk hutan desa.

“Masyarakat Waropen di Kampung Botawa telah sepakat untuk mengelola empat hutan desa seluas 3.000 hektar, meliputi kawasan hutan produksi. Lokasinya di sebelah kanan jalan bandara udara Petrus Simunapendi. Masyarakat Kampung Botawa akan mengembangkan usaha sesuai fungsi kawasan hutan produksi,” jelas Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Waropen, Karsudi. Usaha hutan yang akan dilaksanakan masyarakat botawa, yakni pengembangan hasil hutan kayu, hasil hutan bakau, dan jasa lingkungan air. Masyarakat juga mengharapkan adanya peningkatan kapasitas dan pendampingan dalam kegiatan magang dan studi banding ke wilayah yang telah berhasil mengelola hutan adat.

Dengan masuknya hutan desa Botawa, target perhutanan sosial di Papua kurang lebih sebesar 822.000 hektar dan akan terus bertambah memastikan hak-hak masyarakat lokal terhadap sumber daya hutan di sekitarnya. Hal ini diharapkan dapat mensejahterakan rakyat dan menguatkan perekonomian.

Sumber : klik di sini

Share Button

Indonesia Akhirnya Punya Nilai Emisi Rujukan untuk Kehutanan

Indonesia akhirnya punya nilai rujukan emisi gas rumah kaca untuk sektor deforestasi dan degradasi hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Jumat (18/9/2015) meluncurkan dokumen National Forest Emission Level (FREL) for Deforestation and Forest Degradation.

Nilai FREL akan menjadi dasar penilaian keberhasilan Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dari kehutanan. Dokumen FREL merupakan salah satu dokumen yang akan diajukan Indonesia dalam COP 21 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang akan diselenggarakan di Paris pada akhir November 2015.

“Perhitungan untuk FREL belum memasukkan emisi dari kebakaran hutan,” kata Nur Masripatin, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK di Jakarta hari ini. Emisi dari sektor kebakaran hutan bekum dimasukkan sebab perhitungannya hingga kini masih sulit.

Data FREL kali ini mengungkap bahwa sejak 1990 – 2013, Indonesia telah mengemisikan karbin senilai 0.593 giga ton karbon dioksida ekuivaleb (GtCO2e). Angka itu merujuk total emisi dari deforestasi, degradasi hutan, serta dekomposisi di area gambut yang berhutan.

Tahun 2020, dalam dokumen FREL, Indonesia diproyeksikan mengemisikan 0.593 GtCO2e dari sektor deforestasi dan degradasi hutan. Kirsfianti L Ginoga, Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca KLHK mengatakan, “Level emisi dalam FREL akan menjadi rujukan keberhasilan Indonesia mengurangi emisi. Emisi Indonesia tahun 2020 tidak boleh lebih dari 0.593 GtCO2e.”

Rata-rata deforestasi Indonesia tahun 1990 – 2012 adalah 918.678 hektar sementara rata-rata degradasi hutannya adalah 507.486 hektar. Agar emisi berkurang, deforestasi dan degradasi hutan tak boleh melebihi angka rata-rata tersebut. Meski begitu, bukan berarti deforestasi dan degradasi hutan di bawah “batas nilai merah” itu diperbolehkan begitu saja.

FREL diluncurkan hari ini bersama dokumen lainnya, Biennial Update Report (BUR), laporan dua tahunan kemajuan Indonesia dalam memerangi perubahan iklim. BUR memuat prediksi emisi dari kebakaran hutan serta area gambut yang tidak berhutan yang punya tingkat ketidakpastian lebih tinggi.

FREL dan BUR merupakan dokumen yang mesti dimiliki Indonesia selain Intended Nationally Determined Contrbution (INDC), memuat komitmen Indonesia dalam memenuhi gas rumah kaca. FREL dan INDC dibutuhkan untuk “menjual” program penurunan emisi Indonesia sehingga dbisa didanai.

COP 21 Di Paris beberapa bulan lagi menjadi momen penting yang menentukan masa depan dunia menangkal dampak perubahan iklim. Dalam pertemuan mendatang, ditargetkan negara-negara bisa membuat kesepakatan kontribusi masing-masing untuk mengurangi emisi karbon.

Sumber : klik di sini

Share Button