Bakal Digugat Warga Karena Asap Dan Karhutla

Pemerintah Indonesia dinilai gagal dalam menangani kabut asap yang sudah berlangsung selama lebih dari tiga bulan di pulau Sumatera dan Kalimantan. Tidak hanya itu, Pemerintah juga dinilai sudah lalai karena membiarkan pembakaran hutan dan lahan terjadi dengan sengaja di dua pulau tersebut.

Atas kejadian tersebut, masyarakat yang tergabung dalam Warga Negara Menggugat untuk Indonesia Bebas Asap mengirimkan notifikasi rencana Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) kepada Pemerintah Indonesia c/q  Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo sebagai tergugat.

“Notifikasi tersebut dikirimkan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Sekretariat Jenderal. Semoga itu jadi jalan yang benar,” ungkap Togu yang juga dosen kehutanan IPB Bogor itu yang menandatangani notifikasi tersebut bersama dengan Azas Tigor Nainggolan selaku kuasa hukum para penggugat.

Menurut Togu, dalam lembar notifikasi yang dikirim itu, termuat 4 (empat) alasan kenapa Pemerintah Indonesia sudah lalai membiarkan kabut asap terjadi. Di antaranya:

  1. Tergugat tidak segera melakukan instruksi jelas untuk melaksanakan canal blocking;
  2. Tergugat tidak melanjutkan pemberlakuan Prosedur Operasi Standar Nasional penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan (POSNAS KARHUTLA);
  3. Tergugat tidak segera menginstruksikan jajarannya untuk melakukan tindak lanjut atas Audit Kepatuhan yang telah diliakukan di tahun 2014;
  4. Tergugat tidak segera mengambil kebijakan yang diperlukan untuk penanganan masyarakat terdampak asap di Sumatera dan Kalimantan.

Empat gugatan tersebut, kata Togu, harus menjadi perhatian Pemerintah dan memperbaikinya sesegera mungkin. Karena bukan saja warga, tetapi alam juga saat ini sedang menjadi taruhan.

“Hari ini kita sudah mendaftarkan notifikasi tersebut. Yang dimaksud tergugat sebagaimana tertulis dalam lembar notifikasi, adalah Presiden RI Joko Widodo. Tujuannya, agar kabut asap bisa segera hilang dan tidak terulang lagi di tahun-tahun mendatang,” tutur dia.

  1. Kabut asap muncul sebagai akibat dari pengelolaan hutan yang buruk. Terjadi pembukaan hutan yang masif mengakibatkan cahaya lebih cepat masuk dan itu memicu terjadinya kebakaran hutan. Setelah itu, deforestasi hutan menjadi dampak yang paling jelas.
  2. Tindakan pembakaran hutan dan lahan sengaja dibiarkan. Kondisi seperti itu terus terjadi dan berulang setiap tahun.
  3. Supremasi hukum yang lemah. Harus ada koreksi yang nyata kepada Pemerintah Indonesia. Karena, pembakaran hutan dan lahan dilakukan oleh korporasi dan warga biasa. Namun, hukumannya tidak memberi efek jera.
  4. Pemerintah telah sengaja melakukan abai dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan.

Sementara itu menurut Ari Moch Arif, anggota Warga Negara Menggugat untuk Indonesia Bebas Asap yang melakukan gugatan warga negara, mengatakan persoalan kabut asap yang sudah berulang kali terjadi di Indonesia sudah bukan lagi menjadi masalah sekelompok orang saja. Namun, itu juga menjadi masalah masyarakat pada umumnya di Indonesia.

“Kami sebagai concerned citizens berkewajiban untuk bertindak atas dasar kepedulian kami dan rasa solidaritas terhadap saudara/saudari kami yang terdampak asap di Kalimantan dan Sumatera,” tutur Ari.

Tujuh Kewajiban

Selain melampirkan 4 alasan kenapa Pemerintah Indonesia sengaja membiarkan kabut asap, dokumen Citizens Lawsuit juga melampirkan 7 (tujuh) kewajiban yang harus segera dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia, yaitu:

  1. Segera memberikan instruksi secara jelas untuk melakukan blocking canal (sekat kanal) di seluruh wilayah ekosistem gambut yang telah terdapat kanal dan membuat embung/kolam untuk cadangan air.
  2. Segera memerintahkan jajaran instansi yang terkait untuk mengeluarkan LARANGAN PEMBUATAN KANAL di atas lahan gambut di wilayah Republik Indonesia tanpa kecuali.
  3. Segera memberikan instruksi kepada Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) untuk dapat melakukan segala tindakan yang diperlukan bagi warga masyarakat yang terkena dampak asap dari kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan dan Sumatera.
  4. Segera memberikan instruksi untuk seluruh jajaran Pemerintahan terkait untuk menindaklanjuti hasil dari audit kepatuhan yang telah dilakukan pada tahun 2014 di Provinsi Riau.
  5. Melakukan penyempurnaan dan pengesahan POSNAS KARHUTLA sebagai landasan utama tindakan penanganan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada masa yang akan datang.
  6. Menginstruksikan untuk mengeluarkan peta sebaran, lanskap dan topografi ekosistem gambut beserta pemanfaatannya d seluruh Wilayah Indonesia yang menjadi dasar pengelolaan ekosistem gambut secara resmi melalui Keputusan Presiden.
  7. Menginstruktsikan untuk membuat rencana komprehensif dan detail restorasi dan konservasi ekosistem gambut, termasuk di dalamnya partisipasi penuh masyarakat dalam transformasi ke arah bentuk-bentuk pertanian yang meminimalkan risiko kebakaran hutan dan lahan di masa mendatang.

Jika tujuh hal tersebut tidak bisa dilaksanakan setelah melewati 60 hari notifikasi, menurut praktisi lingkungan Jalal, maka pihaknya akan langsung mendaftarkan gugatan resmi. Namun, jika sebaliknya, atau jika Pemerintah melaksanakan tujuh hal tersebut, maka gugatan akan dibatalkan.

Sumber : klik di sini

Share Button

Pilkada Serentak, KPU Siapkan Topik Lingkungan dalam Debat Kandidat

Pemilihan kepala daerah serentak tinggal menghitung hari. KPU pun sudah bersiap mengindetifikasi sejumlah isu lingkungan di daerah untuk diangkat menjadi bahasan dalam debat kandidat kepala daerah.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Manik mengatakan, telah mengidentifikasi sejumlah isu besar dalam mengakomodir bahasan yang penting dididkusikan dalam pemilihan kepala daerah nanti.

“Dalam pilpres kemarin lima kali debat merumuskan sub isu soal SDA, kedaulatan pangan dan lingkungan jadi rangkaian tak terpisahkan. Ini juga akan jadi bahan dalam pilkada. Saya kira menarik karena momentum sangat tepat,” katanya di Jakarta, pekan lalu.

Dia mengatakan, banyak isu lingkungan bisa diangkat seperti kebakaran hutan, terutama di daerah-daerah di Kalimantan dan Sumatera Tak hanya isu hutan, ada soal galian C menyebabkan korban pelanggran HAM dengan keterlibatan penegak hukum.

Meskipun, katanya, pemanfaatan sesi debat tak cukup memastikan siapa yang jadi kepala daerah bisa memperhatikan SDA atau tidak. Dia menilai, penting setiap calon menuliskan perhatian terkait ini dalam visi misi dan program kerja. “Dokumen itu jadi resmi manakala terpilih.”

Husni juga mengatakan, sebenarnya organisasi sipil bisa mengadakan dialog dengan para calon kepala daerah membahas soal lingkungan hidup. Asal dalam sesi dialog itu semua calon hadir dan ada pemberitahuan kepada KPUD.

“Paling penting harus ada kesetaraan antarsemua calon. Undang semua. Tak boleh hanya calon A. Harus ada dokumen. Kalau tidak, sulit jadi kontrak sosial.”

KPU sudah memberikan materi dan pembekalan kepada KPUD. Bulan ini KPU akan bertemu lagi dengan KPUD seluruh Indonesia.

Cerdas memilih dan obral izin

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional berharap, isu lingkungan terintegrasi dalam pilkada mendatang hingga masyarakat cerdas memilih calon kepala daerah.

“Dalam pengalaman pileg, transaparansi identitas kandidat kurang. Tak jarang kandidat irit menjelaskan dia siapa. Padahal penting dan dibuka selengkap-lengkapnya kepada publik,” katanya.

Masyarakat kesulitan mengakses data kandidat. Dia berharap, KPU mengintervensi data kandidat dibuka selebar-lebarnya hingga maayarakat bisa tahu calon yang dipilih punya relasi dengan perusahaan pengrusak lingkungan atau tidak.

Dia juga berharap, soal lingkungan dan pengelolaan SDA bisa lebih diangkat dalam debat kandidat. Setidaknya, dalam panduan KPU meski tak spesifik tetapi bisa mengidenfikasi isu utama di daerah.

Indonesia ada sekitar 5.600 desa mengalami bencana elologis. Hampir tak ada kabupaten terbebas dari kerusakan lingkungan. Belum lagi soal kebakaran hutan dan tata kelola sumber daya alam yang kacau. Semua tak mungkin diperbaiki kalau kepala daerah terpilih tak punya komitmen.

Dia memberikan penghargaan kepada KPU karena isu lingkungan masuk pembahasan debat capres.

Dia mengatakan, wilayah yang pilkada total luas hutan 20 juta hektar. Hutan bisa jadi komoditi jual beli izin. Dia mencontohkan kasus Buol, dana korupsi hasil obral perizinan untuk pilkada. “Ini lagi kita dorong jangan sampai kualitas pilkada rusak. Secara faktual main di pilkada adalah mereka yang punya duit hingga merusak demokrasi.”

Direktur Pusat Kajian Korupsi (Pukat) UGM Zainal Arifin Mochtar mengatakan, dalam pilkada serentak Desember, banyak calon lama bertahan. Seharusnya, disorot melihat bagaimana saat menjadi kepala daerah.

“Apakah punya komitmen kuat terhadap penyelamatan lingkungan hidup atau tidak? Data kerusakan lingkungan bisa disandingkan. Mayoritas tinggi. Menarik untuk didiskusikan dalam debat calon nanti. KPUD harus memastikan item soal lingkungan hidup masuk pembahasan.”

Publikpun, katanya, harus kritis melihat relasi calon kepala daerah dengan parpol yang mengusung. Sebab, dulu dana kampanye ditanggung calon sendiri dan sekarang dibiayai negara melalui parpol. Jadi, calon mencari dana berkurang tetapi ketergantungan parpol tinggi. Kecuali calon independen.

Sumber : klik di sini

Share Button

Kisah Menemukan Tikus Hidung Babi di Hutan Perawan

Menemukan tikus hidung babi di hutan perawan Sulawesi bukanlah hal mudah. Medan berat harus ditaklukkan. Peneliti dan kurator koleksi mamalia Museum Zoologi Bogor, Anang Setiawan Achmadi, berbagi kisah penemuan makhluk unik itu.

Anang menceritakan, awal penemuan tikus hidung babi itu bermula dari ekspedisi penelitian hasil kerja sama dengan Lousiana State University dan Museum Victoria.

Tahun 2012, Anang bersama Jake Esselstyn, Kevin Rowe, dan Heru Handika melaksanakan ekspedisi ke hutan-hutan wilayah Sulawesi Tengah.

“Awalnya, kita rencanakan ke Gunung Sojol. Habitatnya lebih bagus. Tetapi, di sana tinggi dan akses informasi minim. Akhirnya, kita putuskan lebih ke utara di Gunung Dako,” kata Anang.

Gunung Sojol adalah gunung tertinggi di Sulawesi Tengah, terletak di Donggala, dan punya ketinggian 3.226 meter. Sementara itu, Gunung Dako di Toli-toli memiliki ketinggian 2.304 meter.

Setelah menentukan lokasi, tim peneliti mulai menentukan sitepenelitian dan menganalisis lokasi. Mereka membagi menjadi duasite penelitian, di bawah 500 meter di bawah permukaan laut dan di atasnya.

“Target utama kita adalah ketinggian 1.500 meter. Kita sudah analisis dengan Google Earth, ada tanah datar di ketinggian 1.500 meter di Gunung Dako,” ujar Anang.

“Berdasarkan penuturan penduduk lokal, masih sedikit yang sampai ke sana. Baru para pencari rotan. Katanya memang di sana masih banyak anoa,” ujarnya.

Peneliti lalu membagi diri menjadi dua tim. Satu tim melakukan survei untuk memastikan kondisi di ketinggian yang dituju, sementara yang lainnya tinggal di bawah.

Begitu tim survei kembali ke bawah membawa informasi jalur dan kondisi tanah datar di ketinggian, semua peneliti pun mulai mendaki gunung.

Museum Victoria/LIPITikus hidung babi (Hyorhinomys stuempkei)

Tim peneliti mesti mengarungi medan berat untuk sampai ketinggian yang dituju. Kegagalan dalam mengarungi medan ini akan otomatis menggagalkan dan menghapus potensi menemukan satwa-satwa menarik.

“Kita harus susur sungai di Malangga Selatan. Butuh waktu tiga jam untuk sampai ke kamp pertama,” tutur Anang ketika dihubungi Kompas.com, Senin (7/10/2015).

“Dari kamp pertama lalu delapan jam hike up. Jadi, kita berangkat pagi, istirahat semalam di kamp pertama baru teruskan esok paginya lagi,” ujarnya.

Perjalanan menuju dataran di ketinggian sekitar 1.600 meter di atas permukaan laut itu seperti menyusuri tebing. Tim harus melewati hutan yang didominasi rotan. Cukup berbahaya.

Saat perjalanan pulang, salah satu peneliti Australia yang terlibat sempat jatuh. “Luka-luka. Tetapi, itu sudah biasa kami alami,” kata Anang.

Hal menantang lain dalam perjalanan itu adalah menghadapi cuaca yang sering hujan. Matahari hanya bersinar sejam, kemudian tertutup lagi karena hujan. Belum lagi pacet yang sering menempel.

Sampai di atas bukan berarti perjuangan selesai. Sebab, proses koleksi tikus tak hanya memakan waktu semalam. Memasang jebakan dan mengambil tikus-tikus yang terjebak dilakukan berhari-hari.

Hingga suatu pagi ketika memeriksa jebakan, Kevin Rowe dari Australia menemukan spesimen menarik. Ia lantas berteriak kencang.

Rekan-rekan peneliti lain yang masih ada di kamp mendengar dan sudah mulai curiga temuan menarik didapatkan. Benar saja, ketika Kevin kembali, tikus unik datang.

“Kami langsung konfirmasi saat itu,” ungkap Anang. Melihat karakteristik yang menonjol, para peneliti yakin tikus itu baru bagi ilmu pengetahuan.

Ciri yang sangat menonjol dari tikus ini adalah hidungnya yang seperti hidung babi. Ciri lainnya adalah adanya rambut yang sangat panjang di bagian dekat saluran kencing.

Panjang rambut urogenital sebenarnya hanya lima sentimeter. Namun, bagi tikus, itu panjang. Belum ada tikus dengan rambut urogenital sepanjang itu. Fungsi rambut itu pun belum jelas.

Tikus baru ini dinamai Hyorhinomys stuempkei. Nama genus “Hyorhinomys” diambil dari kata “hyro” yang berarti “babi”, “rhino” yang berarti “hidung”, dan “mys” yang berarti “tikus”.

Sementara itu, nama spesies “Stuempkei” diambil dari nama samaran Gerolf Steiner, Harald Stuempke. Dia adalah penulis buku fiksi The Snouter yang bercerita tentang adanya tikus yang terpapar radiasi sehingga hidungnya menjadi panjang.

“Di Australia, Hyorhinomys lebih terlihat seperti tikus bilby, dengan kaki belakang yang besar, telinga besar dan panjang, serta moncong yang panjang dan meruncing,” ungkap Kevin.

Tikus ini merupakan jenis ketiga yang ditemukan di Sulawesi dalam lima tahun terakhir. Sebelumnya, Anang dan tim telah menemukan tikus ompong (Paucidentomys vermidax) dan tikus air mamasa (Waiomys mamasae).

Meski beragam kesulitan harus dilalui, Anang mengungkapkan bahwa temuan sejumlah spesies di Sulawesi menjadikannya worth it, setimpal dengan hasil yang didapatkan.

Sejumlah temuan diharapkan bisa menggugah publik dan pemerintah untuk melestarikan alam Sulawesi yang unik. Lebih banyak kenanekaragaman yang harus diungkap. Siapa tahu, ada yang bisa memberi manfaat besar bagi manusia.

Sumber : klik di sini, berita terkait lainnya di sini, dan di sini

Share Button

Habitat Maleo, Burung Asli Sulawesi yang Terancam Punah

Maleo senkawor (Macrocephalon maleo) merupakan burung endemik Sulawesi. Oleh International Union for the Conservation of Nature (IUCN), Maleo dimasukkan dalam kategori terancam punah.

Dulunya, maleo dapat ditemui hampir di seluruh wilayah Pulau Sulawesi. Namun, saat ini maleo hanya bisa ditemui di beberapa wilayah saja.

Salah satu daerah yang masih bisa dijumpai maleo bertelur adalah di nesting ground (tempat bertelur) Libuun, Desa Taima, Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Lokasi untuk bertelur ini sejak 2006 dimonitor oleh lembaga nirlaba, Alliance for Tompotika Conservation (AlTO).

Tim dari AlTO secara bahu-membahu dengan orang desa mengawasi tempat bertelur dan memastikan bahwa burung maleo dewasa bisa bertelur tanpa gangguan dan telur-telurnya tetap aman dari pengambilan serta anak maleo bisa menetas secara alami tanpa campur tangan manusia.

Burung maleo mempunyai kisah hidup yang sangat unik. Burung maleo dewasa berpasangan sehidup semati dan utamanya hidup di dalam hutan asli Sulawesi. Namun, waktu si betina sudah siap untuk bertelur, pasangan maleo itu berjalan kaki berkilo-kilometer ke tempat bertelur komunal, yang biasanya terletak di pesisir pantai, atau di dekat mata air panas di dalam hutan.

Di sana, pasangan maleo itu menggali lubang yang besar di dalam pasir atau tanah selama berjam-jam. Di dalam lubang tersebut, burung maleo betina itu menelurkan satu butir telur yang sangat besar. Hanya satu! badan burung maleo seukuran ayam, sedangkan telur maleo besarnya enam kali lipat telur ayam.

Kalau sudah bertelur di dalam lubang, pasangan maleo itu menguruk telur tersebut dengan pasir dengan kedalaman yang mencapai satu meter.

Kemudian, mereka pulang lagi ke hutan, sementara telur dibiarkan untuk dipanasi oleh matahari atau panas bumi. Kalau tidak diganggu, sesudah 60-80 hari, telur itu menetas di dalam pasir. Begitu menetas, anak maleo menggali selama 24-48 jam ke atas untuk mengirup udara segar di alam bebas.

Sesudah beristirahat selama beberapa menit, anak maleo langsung terbang ke arah hutan untuk hidup secara mandiri tanpa bantuan induknya.

Kini, lewat pendampingan masyarakat serta penyadaran akan pentingnya maleo tetap ada di habitatnya, populasi maleo yang sempat turun sangat dratis sebelum AlTO datang kini sudah menunjukkan peningkatan populasi yang sangat siginifikan.

Lewat beberapa program, masyarakat desa juga mulai sadar bahwa maleo sebenarnya adalah harta karun milik mereka yang terbesar.

Sumber : klik di sini dan di sini

Share Button

Rumah Baru Untuk Sang Bekantan

Ben seekor Bekantan jantan yang berhasil dievakuasi dari kebakaran hutan di bantaran Sungai Rutas, Kabupaten Tapin pada 22 September lalu akhirnya dinyatakan siap dilepasliarkan kembali pada siang hari ini pukul 14.00 (8/10). Pulau Bakut sebuah kawasan konservasi yang dikelola oleh PT. Pertamina ini akan menjadi habitat baru bagi Ben dan bekantan-bekantan lain yang berhasil diselamatkan.

Bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Selatan, PT. Pertamina dan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) sepakat untuk memulihkan kembali populasi dari satwa endemik yang statusnya kian terancam punah. “Kami tergerak untuk memberikan habitat baru bagi mereka dengan cara memindahkannya ke sini (Pulau Bakut) sesuai arahan BKSDA. Dalam lima tahun ke depan, pulau ini akan menjadi lokasi penyelamatan bekantan dan tentunya tempat mereka berkembang biak,” jelas Andar Titi Lestari, Senior Supervisor External Relation PT. Pertamina Regional Kalimantan.

Selama lima tahun ke depan program penyelamatan bekantan akan dilakukan dengan melindungi habitat seluas 18,7 hektar ini. Bakut merupakan salah satu dari lima pulau di Kalimantan Selatan yang ditetapkan sebagai Pusat Konservasi Bekantan. Terdapat 48 ekor Bekantan yang terbagi dalam empat kelompok telah menghuni pulau ini.

Ben adalah bekantan berusia dua tahun yang beruntung, karena saat api melahap habitat lamanya di Sungai Rutas, ke-empat kawannya tewas terbakar. Ia ditemukan oleh tim SBI dalam kondisi depresi dan wajah penuh luka bakar. Rehabilitasi selama dua minggu dilakukan hingga kini ia dinyatakan sehat dan siap bertemu dengan empat kelompok bekantan yang sudah lebih dulu menghuni Pulau Bakut.

Sebelumnya, penyelamatan bekantan yang merupakan salah satu implementasi dari program Pertamina Sobat Bumi ini telah berlangsung sejak bulan Juni lalu dan berhasil merehabilitasi hingga melepasliarkan kembali Kevin, Atak, Diang, Bagio, Lestari, dan Titik yang kini masih dirawat secara intensif.

“Kami berharap masyarakat dapat bersinergi untuk mewujudkan target 10% peningkatan populasi Bekantan untuk lima tahun ke depan. Secara sederhana bantu kami menciptakan lingkungan yang bersih dengan tidak membuang sampah sembarangan dari jembatan Barito,” tegas Amalia Rezeki, Ketua Sahabat Bekantan Indonesia.

Sumber : klik di sini

Share Button

KPK Perkirakan Kerugian Negara di Sektor Kehutanan Hampir Rp900 Triliun

Kajian teranyar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan, kerugian negara dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan kayu komersial yang tak tercatat, mencapai nilai fantantis hampir Rp900 triliun dalam periode 2003-2014.

Kajian KPK menemukan, produksi tercatat jauh lebih rendah daripada volume kayu panen dari hutan alam Indonesia. Total produksi kayu sebenarnya selama 2003-2014 mencapai 630,1-772,8 juta meter kubik. Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) periode itu 143,7 juta meter kubik, mengindikasikan hanya mencatat 19–23% dari total produksi kayu selama periode kajian. Sebagian besar, 77–81% tak tercatat.

Dari produksi ini, 60,6 juta meter kubik dipungut dari pemegang izin HPH melalui sistem tebang pilih. Sedangkan 83,0 juta meter kubik hasil pembukaan lahan untuk pengembangan hutan tanaman industri (HTI), perkebunan sawit dan karet, dan pertambangan.

Keadaan inipun berdampak pada pendapatan yang diterima negara. Periode 2003-2014, pemerintah memungut  PNBP selisih US$3,23 miliar (sekitar Rp31 triliun) dari dana reboisasi (DR) dan komponen hutan alam provisi sumber daya hutan (PSDH). Seharusnya, penerimaan agregat pemerintah sekitar US$ 9,73-Rp12,25 miliar (Rp93,9-Rp118 triliun) dari DR and PSDH selama periode itu.

“Angka ini menunjukkan total kerugian negara akibat pemungutan penerimaan DR and PSDH kurang maksimal mencapai Rp62,8-Rp86,9 triliun, rata- rata Rp5,24-Rp7,24 triliun per tahun selama 12 tahun periode kajian,” kata Wakil Ketua KPK Zulkarnain, dalam keterangan kepada media, Jumat (9/10/15). Pada hari itu, KPK mengadakan pertemuan bersama KHLK dan Kementerian Keuangan, membahas temuan ini.

KPK , katanya, memandang penting kajian ini untuk menghentikan kerugian negara di sektor kehutanan, memeriksa sistem yang memungkinkan kerugian, dan mengkoordinasikan upaya memperbaiki sistem serta meningkatkan penerimaan.

“Biaya pemeliharaan hutan sangat besar. Kalau PNBP tidak dikelola baik, tidak akan membawa perbaikan bagi kesejahteraan rakyat. Dengan ada kajian ini, bersama instansi terkait, kita bisa memperbaiki hingga sistem lebih baik dan akuntabel. Potensi kehilangan keuangan negara bisa diminimalisasi.”

Menurut hukum Indonesia, kayu tidak tercatat menjadi aset negara yang dicuri, dan uang hasil penjualan kayu ini dapat dianggap kerugian negara dan hasil kejahatan (proceeds of a crime).

Kajian KPK menyebutkan, agregat kerugian negara dari nilai komersial domestik produksi kayu tidak tercatat periode sama, mencapai US$60,7–US$81,4 miliar (Rp598,-Rp799,3 triliun), atau US$5,0- US$6,8 miliar (Rp49,8- Rp66,6 triliun) per tahun.

Nilai kerugian tahunan meningkat tajam periode kajian dari nilai terendah US$1,4- Rp1,9 miliar (Rp12,1-Rp16,8 triliun) pada 2003, sampai nilai tertinggi US$ 7,7-US$ 9,9 miliar (Rp80,7-Rp104,3 triliun) pada 2013.

Peningkatan drastis ini didorong perluasan pembukaan lahan komersial begitu cepat dan kenaikan harga kayu bulat cukup signifikan di pasar domestik dan internasional.

Data ITTO, harga domestik kayu meranti di Indonesia naik dari US$77 per meter kubik pada 2003 menjadi US$244 per meter kubik pada 2013.

Hasil kajian ini,  juga memperlihatkan kelemahan-kelemahan dalam sistem administrasi PNBP kehutanan, seperti data dan informasi, pengendalian internal tidak memadai dalam memastikan akuntabilitas tata usaha kayu dan pemungutan PNBP. Juga mekanisme akuntabilitas eksternal tidak memadai mencegah kerugian negara, efektivitas penegakan hukum kehutanan terbatas dan tarif royalti sektor kehutanan ditetapkan pada tingkat memfasilitasi pengambilan rente ekonomi sangat terbatas oleh pemerintah hingga memberikan insentif implisit bagi pengelolaan hutan tidak lestari.

Bambang Hendroyono, Sekjen KLHK  mengatakan, KLHK sejalan dengan kajian KPK. “Pemungutan PNBP belum optimal.  Hingga kami melakukan terobosan paralel agar bisa dipungut seluruh tanpa ada hilang.”

KLHK, katanya, menjalin kerjasama dengan KPK sejak 2010. Kementerian ini merasakan manfaat dan melakukan beberapa perbaikan terutama tata kelola. “Kami sepakat selalu memfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan KPK.”

Dalam kaitan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam, KPK akan bekerjasama dengan KLHK, Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan instansi lain dalam menyikapi kelemahan ini.  Bersama lembaga-lembaga ini, KPK tengah merumuskan rencana aksi untuk memperkuat penatausahaan produksi kayu dan meningkatkan PNBP sektor kehutanan.

Ada beberapa rencana aksi, antara lain, pertama, audit komprehensif PNBP kehutanan dilakukan BPK. Kedua, seluruh produksi kayu dari hutan kelola negara tercatat pada Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SI-PUHH) di website KLHK online dan terbuka bagi publik. Sistem ini meliputi dokumen resmi dari inventarisasi, perencanaan, hasil produksi, pembayaran PNBP, dan laporan konsumsi kayu oleh industri pengolahan kayu.

Ketiga, peralatan monitoring berbasis spasial untuk memverifikasi inventaris hutan pada semua areal pembukaan lahan sebelum panen. Keempat, koordinasi rutin antara KLHK dan Kementerian Keuangan guna merencanakan target PNBP.

Pada 2009, Human Rights Watch (HRW) juga pernah merilis laporan soal kerugian Indonesia dari sektor kehutanan setiap tahun mencapai US$2 miliar. Kerugian ini disebabkan beberapa faktor seperti, pembalakan liar, subsidi siluman, termasuk penetapan harga kayu dan nilai tukar mata uang yang dipatok lebih rendah untuk menghindari pajak.

Dari hasil riset HRW menemukan, periode  2003-2006, lebih setengah kayu tebangan Indonesia dari pembalakan liar dan luput pajak.  Juga dari subsidi siluman, dengan sengaja pemerintah mematok harga kayu dan nilai tukar lebih rendah dari harga riil. Lalu, eksportir menghindari pajak yang dikenal dengan harga transfer hingga makin memperbesar kerugian.

Laporan HRW itu menyebutkan, pada 2006, pemerintah Indonesia mengalami kerugian lebih US$2 miliar dari pajak tak terpungut karena pembalakan liar US$1,3 miliar, manipulasi royalti hutan agar lebih rendah dari seharusnya US$563 juta, dan praktik transfer harga ilegal US$138 juta. Secara keseluruhan periode 2003-2006, perilaku itu merugikan negara sekitar US$6 miliar.

Sumber : klik di sini

Share Button