Vice President IUFRO Terkesan dengan INAFOR ke-3

Prof. Björn Hånell, Vice President IUFRO memuji dan mengucapkan selamat atas keberhasilan pelaksanaan International Conference of Indonesia Forestry Research (INAFOR) ke-3 tahun 2015. Dia merasa sangat terkesan dengan acara ini. Hal ini disampaikanya saat memberikan sambutan penutupan INAFOR ke-3 di Ballroom IPB International Convention Center, Bogor, Rabu (22/10).

“INAFOR ke-3 ini sangat bagus dalam pelaksananaanya. Dimana kemarin pagi dihadiri sekitar 600 peserta. Selain itu kualitas presentasi juga bagus, sangat fokus pada keilmiahan atau scientific.  Tadi pagi saya mengikuti sidang komisi di ruang ini dan saya sangat terkesan. Ilmu kalian sudah layak sesuai level tinggi internasional,”kata Björn

Bahkan pada saat pembukaan, Björn mengatakan bahwa pada kongres dunia IUFRO XXIV di kota salt lake tahun 2014, presentasi dari Indonesia bisa lolos sebanyak 61 buah. Jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain, yang rata-rata hanya bisa mempresentasikan sebanyak 25 buah setiap negara. Dimana pada kongres tersebut di ikuti oleh 100 negara.

Oleh karena itu, Björn berharap bahwa peneliti atau ilmuwan dari Indonesia maupun yang hadir dalam acara INAFOR ke-3 tersebut bisa ikut berpartisipasi kembali dalam IUFRO Reguional Congress for Asia and Oceania 2016 di Beijing Cina pada tanggal 24-27 Oktober 2016. Informasi lebih lengkap dapat dilihat di www.ircao.cn.

Disisi lain, Dr. Henry Bastaman, M.ES menyatakan bahwa kegiatan INAFOR ini meruapakan kegiatan yang sangat penting dan strategis bagi peneliti di Indonesia maupun seluruh dunia untuk saling sharing dan memperbaiki permasalahan yang di Indonesia.

“kegiatan ini tidak hanya kegiatan bersama bagi peneliti kehutan di Indonesia, tetapi juga dunia. Selain itu, ini juga menunjukkan keseriusan bangsa Indonesia untuk menjadi leading the way (terdepan) dalam melindungi hutan berdasarkan prinsip kelestarian hutan,”kata Henry.

Lebih lanjut, Henry juga merasa sangat senang, dimana dalam INAFOR ke-3 ini telah menghadirkan banyak ilmuwan yang mempresentasikan berbagai macam ilmu pada tingkat yang sudah tinggi. Dan Beliau yakin bahwa melalui kegiatan INAFOR ini bisa menghasilkan Iptek yang akan memperbaiki kebijakan terutama dalam bidang kehutanan di Indonesia maupun dunia.

Disadari bahwa pada hari kedua ini, INAFOR menghadirkan sekitar 82 paper dan 77 poster yang dibagi dalam 6 (enam) komisi dengan topik sebagai berikut: a).  Forests, Agriculture and People; b). Forest Biomass and Bioenergy; c). Forest and Water Interactions; d). Forest and Climate Change; e). Forests and Non Timber Forest Products; f). Forest Biodiversity and Ecosystem Services

Selain itu, Henry juga mendorong peneliti yang hadir pada acara INAFOR ke-3, terutama dari Badan Litbang dan Inovasi (BLI) untuk selalu berpartisipasi pada kongres yang dilaksanakan oleh IUFRO maupun kegiatan lainnya. ***THS

 

Materi Terkait:

RESUME SIDANG KOMISI INAFOR

 Topic 1 Forests, Agriculture and People

A.    Paper

    1. Importance of social capital for community empowerment to ensure household food security of the agroforestry farmers in Wan Abdul Rachman Grand Forest Park (Arzyana Sunkar, Windy Mardiqa Riani, Leti Sundawati)
    2. Effect filter cover of seedlings in direct inoculation screening of Uromycladium tepperianum for Falcataria moluccana Disease Tolerant (Asri Insiana Putri, Liliana Baskorowati, Nurhidayati, Toni Herawan, Siti Husna Nurrohmah)
    3. Social Capital Status on Hkm Development in Lampung (Christine Wulandari, Pitojo Budiono)
    4. Value chain of smallholder’s timber: Lessons learnt from Indonesia (Dede Rohadi, Tuti Herawati)
    5. Forests and women: representation of role of women in sustainable forest management in media coverage (Eli Jamilah-Mihardja, Azman Azwan Azmawati)
    6. A duration model of adoption of falcataria-based farm forestry (Evi Irawan, Rinaldi Imanuddin, Nana Haryanti)
    7. Bringing bushmeat home: A contribution of NTFPs to local livelihood in West Papua (Freddy Pattiselanno, Herman Manusawai, Agustina Y.S. Arobaya, Jacob Manusawai, Deny A. Iyai, Johan F. Koibur, Jimmy Wanma)
    8. Ethnoclimatology of smallholder farmers in kisar island and livelihood resilience  in facing climate (Heryanus Jesajas)
    9. Peat swamp forest management through community based participation: A study case in Kalawa Village Forest (Hesti L. Tata)
    10. The use of silt-pits for erosion and sedimentation control in sloping agricultural land (Hunggul Y.S.H. Nugroho)
    11. Constraints to exercising forest tenure rights by forest adjacent communities in Indonesia (Mani Ram Banjade, Tuti Herawati, Nining Liswanti, Esther Mwangi)
    12. Role of mollo women in plant genetic resources preservation to achieve self sufficiency in food (Meilati Ligardini Manggala, Arzyana Sunkar, Siti Amanah)
    13. Role of forest in livelihood strategy in the peat land of Central Kalimantan ex-mega rice project area (Noviana Khususiyah, S.Suyanto)
    14. Mangrove management as source of food by the women fishermen group in Sei Nagalawan, North Sumatra, Indonesia (Rospita Odorlina P. Situmorang, Sri Yanti P. Barus, Rogerson Anokye)
    15. Pantropical vs locally developed allometric equations: which will be the better option to estimate aboveground biomass of Papua Tropical Forest? (Sandhi Imam Maulana, Yohannes Wibisono, and Singgih Utomo)
    16. Livelihood assets mapping of the farmer on managing forest (Silvi Nur Oktalina, Digby Race and Wiyono)
    17. Increasing women participation in forest resources management program in Gondoriyo Village, Central Java (Sri Lestari, Bondan Winarno)
    18. Current situation of land grab in state forest area (kawasan hutan) in Indonesia (Takahiro Fujiwara, San Afri Awang, Mamat Rahmat, Ratih Madya Septiana, Noriko Sato)
    19. Reinforcing agroforestry to meet the need of timber, fruits  and  food into HTR scheme-based on land suitability  and necessary policy: A case study in Riau (Tigor Butarbutar)
    20. Community perceptions towards industrial timber plantations in Indonesia (Romain Pirard)
    21. Analysis of  bioeconomy and enviromental of  dipterocarp species in logged over area forest based on local wisdom in East Kalimantan Province (Abubakar M. Lahjie, Annisa Abubakar, Rochadi Kristiningrum)

 B.    Poster

    1. Potential of species diversity in Tembawang agroforestry system as a source of income and food (Agus Wahyudi, Asef K. Hardjana)
    2. Agroforestry natural and benefits stimuli for improvement of Kerinci Community at Kerinci Seblat (Asvic Helida, Ervizal AMZ, Hardjanto, Y.Purwanto, Agus Hikmat, Mustopa Marli)
    3. Apis dorsata Fabr. and Trigona itama bee bread pollen as alternative protein for human and suplement in  bee farming (Apis mellifera) (Avry Pribadi,  Purnomo)
    4. Optimizing the role of local community knowledge in managing community forest towards food, energy, and water adequacy (Budiyanto Dwi Prasetyo)
    5. Integrated bio-cycles farming system for green prosperity (Cahyono Agus)
    6. The study of the zoning function of urban forest in the low laying coastal city and landlocked city (Efendi Agus Waluyo, Ari Nurlia)
    7. Social capital of the community in the development of private forest at Mempawah Subditrict (Emi Roslinda, Wiwik Ekyastuti, Siti Masitoh Kartikawati)
    8. A pest on Hibiscus macrophyllus Roxb in Agroforestry System (Endah Suhaendah,  Aji Winara)
    9. Ethnobotanical study of the medicinal plant known by Dayak people in Paser, East Kalimantan (Ike Mediawati, Septiana Asih Widuri, Bina Swasta Sitepu, Noorcahyati)
    10. Reintroduction of local plants species on agroforestry plantation as habitat of local insect (Indriani Ekasari, Yati Nurlaeni, Masfiro Lailati, Rustandi, Juanda, Agus Supratman, Dadang Suherman)
    11. Phenetic analysis of tengkawang (Shorea spp., Dipterocarpaceae) (Kusumadewi Sri Yulita)A spatial modeling approach with logistics binary regression for mapping distribution of bamboo resources in Bali Province (Lutfy Abdulah, Desy Ekawati)
      1. Factors influencing peatland fire behaviour and implications to the policy on sustainable peatland management (Lailan Syaufina, Ahmad Ainuddin Nuruddin)
    12. Contribution of cocoa Producer’s organisation to Cameroon emergence: Case of KONAFCOOP and CACAO+Ayos (Marguerite Belobo Belibi, Charles Tah, Judith Van Eijnatten, Nathalie Ewone-Nonga)
    13. Issue and gender equality improvement effort in production of weaving with natural dye in East Sumba District (Mariana Takandjandji, Murniati)
    14. Community–based tree and forest product enterprises  in the Forest Management Unit (Mohammad Sidiq, Berthold Haasler, Zulfikhar)
    15. Which intensification for a REDD+ strategy?: Comparative study in cocoa agroforests of Cameroon (Nathalie Ewane-Nonga, Rachid Hanna,  Kirscht Holger, Marguerite Belobo Belibi, Judith Van Eijnatten, Charles Tah)
    16. Forest Coffee Cultivation in Petungkriyono (Siti Zurinani)
    17. Evaluation of the Implementation of KBR Policy in Banyuasin Regency, South Sumatra Province (Sri Lestari, Bambang T Premono, Bondan Winarno)
    18. Optimizing the use of teak forest area to increase forage availability to support higher cattle production (Sri Nastiti Jarmani, Sajimin, A. Angraeni)
    19. Soil Degradation in Riau: The Implication to Sustainable Income of Agricultural Sector (Sudarmalik, Mamat Rahmat)
    20. Social-economic impacts of community forest certification: a case study in Kulon Progo Regency, Yogyakarta (Wiyono, Kazuhiro Harada)
    21. Can the land cover of agroforestry 70% replace the hydrological function of watershed with the forest land cover 30%? (Edy Junaidi, Wuri Handayani)
    22. Evaluation performans of grass forage species on agroforestry  pinus at Lembang west Java (Sajimin, Nurhayati D. Purwantari)
    23. Daily behavior of sambar deer (Cervus unicolor) in captive deer Lampung University (Bainah Sari Dewi)
    24. Food  sources of forest vegetation can potentially support the national food security (D. Martono)
    25. Food security and Nutrition: The role of forests (Terry Sunderland)
    26. A gender perspective of oil palm expansion in Indonesia (Tania Li, Rebecca Elmhirst, Mia Siscawati, Bimbika Sijapati Bassnett, Krystof Obidzinski, Pablo Pacheco)
    27. The limit of annual tree ring formation, examples from tropical forests of Indonesia (Hety Herawati, Esther Fichtler, Martin Worbes)
    28. Overlapping forest certification arrangement in ASEAN: A case of conflict between private, state and regional governance (Agung Wibowo, Muhammad Alif K. Sahide, Dodik Ridho Nurrochmat, Lukas Giessen)

Topic 2 Forest Biomass and Bioenergy

A.    Paper

    1. Gliricidea sepium, material for wood pellets (Aris Wibowo, Agus Cahyo, Harcicik)
    2. Potential biomass and energy in the social forest bamboo stands (Gigantochloa atter) in District Tanralili Maros (Baharuddin)
    3. Carbon storage if mangrove forest in PT Bintuni Utama Murni Wood Industries, Teluk Bintuni – Papua Barat (Binsar Liem Sihotang, Soewarno Hasanbahri, Rishadi Purwanto)
    4. Growth, flowering, fruiting and biofuel content of Calopyllum inophyllum in provenance seed stand (Budi Leksono, Eritrina Windyarini, Trimaria Hasnah)
    5. Comparison between trunks and empty fruit bunch of palm oil as feed in high-loading-substrate enzymatic hydrolysis and unsterilized-mixed-culture fermentation for bio-ethanol production (Teuku Beuna Bardant, Ina Winarni, Hadid Sukmana)
    6. Biomass Mapping of Tropical Rainforest Using Airborne LiDAR (Jarot Pandu Panji Asmoro)
    7. Above-ground biomass content of logged-over peat swamp forest in concession area of PT. Diamond Raya Timber, Rokan Hilir District, Riau Province (Nunung Puji Nugroho)
    8. Carbon stock estimates at various landuse system at Sub Watershed Sumber Brantas, East Java (Priyadarshini, R, Widjajani, B.W., Hamzah, A., and Maroeto)
    9. Biomass energy in Malaysia (Puad, E., Wan Asma, I., Mahanim, S.M.A., Shaharuddin, H. and Rafidah, J.)
    10. Aboveground biomass and timber stock mapping using wall-to-wall LiDAR data in peat swamp forest, Central Kalimantan, Indonesia (Solichin Manuri, Laura Graham, Cris Brack, Bruce Doran)
    11. Uncertainties of above ground biomass estimates in tropical peat swamp forest (Solichin Manuri, Shijo Joseph, Lou Verchot, Cris Brack)
    12. Morphologycal variation of second generation (F-2) Acacia Hybrid  (Sri Sunarti , Arif Nirsatmanto, Teguh Setyaji  dan V. Devy Adyantoro)
    13. ioethanol production from falcata (Paraserianthes falcataria) wood by enzymatic delignification and simultaneous saccharification fermentation using immobilized cells (Syamsul Falah, Suryani, Azmi Azhari)

 

B.    Poster

    1. Characterization   compound  cacao  waste with pyrolysis process  by  biomass  energy resources   (Mohammad  Wijaya.M, Muhammad Wiharto and Muhammad Anwar)
    2. Potential of tengkawang pericarps as raw material of energy (Rizki Maharani, Andrian Fernandes)

 

Topic 3 Forest and Water Interactions

A.    Paper

    1. Biodegradation of wastewater textile dyes fungus, isolated from forest, in a small-scale bioreactor by recycling of immobilized (Asep Hidayat,   Sanro Tachibana)
    2. The hydrological function of Eucalyptus pellita plantation, in Riau (Agung B Supangat)
    3. Improving land use/land cover classification  accuracy using rule-based image classification (Agus Wuryanta, Nunung Puji Nugroho)
    4. GIS based flood hazard mapping and vulnerability assessment: a case study of tidal and river floods in downstream of Ciasem Watershed (Budi Hadi Narendra, Harris Herman Siringoringo, Chairil Anwar Siregar)
    5. Double layer immobilized manganese peroxidase from Pleurotus ostreatus effectively enhanced the biodecolorization of Remazol Brilliant Blue R Dye (Dede Heri Yuli Yanto and Sanro Tachibana)
    6. Biodecolorization of textile dye by isolated tropical fungi (Maulida Oktaviani, Dede Heri Yuli Yanto)
    7. Drainage ditches establishment on peatland landscape: effects on water table levels and site conditions of West Kalimantan Degraded Peatland Forests (Dwi Astiani dan Mujiman)
    8. Hydrological function of teak forest in Cepu, Central Java (Irfan B. Pramono, Nining Wahyuningrum)
    9. Response of phosphorus in Pterocarpus indicus– A nitrogen-fixing tree species and its sensitivity (Lok, E.H., B.Dell)
    10. Self-sufficient energy community drive the protection of water-source forest in North Sumatra (M. Jeri Imansyah, Nety Riana Sari SN, Irsan Simanjuntak)
    11. Comparison of soil loss from prediction using universal soil loss equation with direct measurement from sediment yield in Keduang Sub-Watershed (Tyas Mutiara Basuki, Wahyu Wisnu Wijaya)
    12. Diameter and height from various ages of Swietenia sp. in relation to its land suitability and stand table at different class index (bonita) in Grobogan and Temanggung Districts (Tyas Mutiara Basuki, Nining Wahyuningrum)

 

B.    Poster

    1. The role of pine and teak forest on low flow (Irfan B.Pramono, Rahardyan N. Adi)
    2. Ecological studies  on  riverbank afforestation with special reference to soil and water conservation in the State of Chhattisgarh (India) (Krishna Chandra Yadav)
    3. Role of ethnobotany of ampupu (Eucalyptus urophylla) on the water sustainability function of Mutis Strict Nature Reserve (Lyan LG Aendwi, Dewi Jully Anna, Meilati Ligardini Manggala, Muhammad Ahda Agung Arifian, Syahru Ramdhoni)
    4. Water yield of Jupoi river and erosion in Austral Byna Consession, Central Kalimantan (Susy Andriani, Purwanto Budi Santosa, Rahardyan Nugroho Adi)
    5. Prediction of streamflow and sedimentation in Sawangan Sub Watershed using SWAT Methods (Lis Nurrani, Supratman Tabba, Erwin Hardika Putra)
    6. 6+10+20=23+32+45=Collective participation the cascade microhydro system in Bulukumba (La Ode Asier,  Hunggul Y.S.H Nugroho, Saparuddin)

 

Topic 4 Forest and Climate Change

A.    Paper

    1. Risk alleviation strategy of REDD+ Implementation in Musi Banyuasin-South Sumatra in Grobogan and Temanggung districts (Deden Djaenudin)
    2. Application of forest canopy density model for monitoring forest degradation in the Gunung Mutis Nature Reserve ( Eko Pujiono)
    3. Utilization of Ameliorants  and the Effect on GHG Emissions in Peatlands for Corn ( Eni Maftu’ah dan Dedi Nursyamsi)
    4. Integrated Approach for Land Use Change Analysis as An Effort to Climate Change Mitigation in Medan City ( Rahmawaty, Monnica Zalukhu, Abdul Rauf)
      1. Carbon Loss from Soil Ecosystems in Tropical Peatlands of Central Kalimantan ( Siti Sundari)
      2. The effects of carbon payment on optimal rotation of gmelina forest: case study in Tasikmalaya and Banjar, West Java (Yonky Indrajaya, M. Siarudin)
      3. A Total Approach to Forest Fire Management: Fire Free Village, Fire Free Landscape Program

 

B.    Poster

    1. Texture analysis of SPOT-6 image for mapping forest and plantation: The case of Tanah Laut, South Kalimantan, Indonesia (Ita Carolita a, Tatik Kartika a, Rizqi Ianatus S)
    2. Food and climate change at mountainous area of Papua (Susan Trida Salosa)
    3. Relationship of socio-economic condition with community perception about Sebangau National Park REDD+ Demonstration Activities (DAs) (Wildy Vendy Poneke, San Afri Awang, Lies Rahayu Wijayanti Faida)

 

Topic 5 Forests and Non Timber Forest Products

A.    Paper

    1. Effect of Teak Extractive Imposition on Wood Characteristic Improvements (Jamal Balfas, Efrida Basri, Jasni)
    2. Alternative production of bilobalide and ginkgolides through callus induction of Ginkgo biloba leaves (Agus Sukito, Sanro Tachibana, Asep Hidayat)
    3. Distribution Gyrinops versteegii (Gilg) domke cultivation and Potential land for developing this species in Lombok (Anita Apriliani D.R., Retno Agustarini, and YMM Anita Nugraheni)
    4. Teak Wood Extract Larvicide of Aedesa egypti (Dwi Rama Nugraha, Tafnaldi,  Deded Sarip Nawawi)
    5. Analysis of economy on black bamboo cultivation (Gigantochloa atroviolacceae widjaja) for feedstock and environmental sustainability (Husnul Khotimah, Marfuah Wardani, Sutiyono)
    6. Some properties of isocyanate-bonded laminated bamboo lumber made of mayan bamboo (Gigantochloa robusta) (Ignasia M Sulastiningsih, Edi Sarwono, Abdurachman)
    7. Moisture distribution and defect development during intermittent drying of Eucalyptus saligna (K. Yuniarti, B. Ozarska, G. Harris, G. Brodie, G. Waugh)
    8. The development analysis of agroforestry system for rehabilitation of degraded peatland (Marinus Kristiadi Harun, Tri Wira Yuwati)
    9. Fertilizer Trials of Aquilaria crassna Using Micro-organic (Pro-fil sawit), Compound (NPK) and Organic fertilizer (Worm waste) for Agarwood (Sakinah, H., Lok, E.H.,  Ng, T.L.)
    10. Feasibility analysis of coffee as a seeded non wood forest product of the forest district of South Bandung (Triyono Puspitojati, Idin Saepudin, Dedeng Mulyana)

 

B.    Poster

 

Topic 6 Forest Biodiversity and Ecosystem Services

A.    Paper

    1. Removing barriers to invasive species management in production and protection forests in SE Asia –the FORIS project (A. Sivapragasam, W. Arne, S. Titiek , S. Rathea, S. Marianne,  N.L. Duyen, M. Zieren and H.T. Chan)
    2. Enhancement of biodiversity conservation effort tthrough establishment of High Conservation Value Forest (HCVF) in Permanent Forest Reserve: State Forestry Department of Pahang, Malaysia experience (Abdul Khalim Abu Samah, Mohd Paiz Kamaruzaman, Khali Aziz Hamzah, Norhaidi Yunus)
    3. Determine peatland fire ganger rating according to weeds characteristic under jelutung (Dyera Polyphylla) plantation (Acep Akbar, Eko Priyanto, Isa Anwar)
    4. Bird Diversity in Different Disturbance Gradients  in Lambusango Forest, Southeast Sulawesi (Ani Mardiastuti, Yeni A. Mulyani, Reza A. Ahmadi, M. Fahmi Permana)
    5. Structure and composition of vegetation in Balikpapan Bay mangrove forest and their implication for conservation (Antun Puspanti, Wawan Gunawan, Warsidi)
    6. Development prospect of  jelutong as business commodity of Forest Management Unit (A financial review) (Nur Arifatul Ulya, Efendi Agus Waluyo, Ari Nurlia)
    7. Genetic Diversity of Three Shorea Species in Ex-situ Conservation Plot in KRUS, East Kalimantan Based on SSR Markers (AYPBC Widyatmoko)
    8. Sustainable utilization of forest plants: Experiences from Manggarai tribe in Ruteng Mountains, Indonesia (Dida Syamsuwida, Yulianti Bramasto, Iskandar Z Siregar, Andry Indrawan, Endah R Palupi)
    9. Sustainable utilization of forest plants experiences from Manggarai tribe in Ruteng Mountains, Indonesia (Elisa Iswandono, Ervizal A.M. Zuhud, Agus Hikmat, Nandi Kosmaryandi)
    10. Different individual and stand increment response function on old natural forest after logging (Abdurachman, Farida Herry Susanty)
    11. How conservation strategy determined based on genetic characteristics of the species: A case study on two lowland Dipterocarps (Henti Hendalastuti Rachmat, Koichi Kamiya, Atok Subiakto, Ko Harada)
    12. Growth evaluation of nantu (Palaquium obtusifolium) progeny test plant for one year old in Batuangus forest research station, North SulawesiNorth Sulawesi (Jafred E. Halawane, Julianus Kinho, Arif Irawan)
    13. Indigenous culture of timor deer (Rusa timorensis Blainville 1882) hunting in Torong Padang Cape, Flores Island, East Nusa Tenggara (Kayat, Oki Hidayat)
    14. Genetic  improvement of Calliandra calothyrsus  for qualified wood energy (Rina Laksmi Hendrati)
    15. Tree species composition in lowland mixed Dipterocarp forest of Samboja Research Forest three decades after initial major fire (Subekti Rahayu, Sambas Basuni, Agus Priyono Kartono, Agus Hikmat)
    16. Optimize management for fragmented production forest area with multisystem silviculture; simulation in ITCI Forest, East Kalimantan (Suryanto, Tien Wahyuni, Andriansyah)
    17. Degraded forest modeling caused by harvesting using TPTI system: Case study in PT Dwijaya Utama areas, Central Kalimantan (Syahru Ramdhoni, Meilati Ligardini Manggala, Muhammad Ahda Agung Arifian, Dewi Jully Anna, Lyan Lavista Greise Aendwi)
    18. Degraded Forest Modeling Caused by Harvesting Using TPTI System Case Study in PT Dwijaya Utama Areas, Central Kalimantan (Wahyudi)
    19. Analysing the gaps between potential and actual high conservation values (HCVs) in the Pawan Watershed, Ketapang, West Kalimantan (Edi Purwanto)

 

B.    Poster

    1. Mangrove Rehabilitation Using Silvofishery System in Telang Protection Forest, South Sumatra: Opportunities and Challenges (Adi Kunarso, Tubagus Angga A, Bastoni)
    2. The effect of  nyamplung plantation on soil fertility in Pangandaran sandy beaches (Aditya Hani, Encep Rachman)
    3. Planting Techniques of Rhizophora mucronatas Lamk on High Wave Prone Areas at Alo Beach of Talaud Island (Ady Suryawan, Arif Irawan, Anita Mayasari, Margareta Christita, Nur Asmadi)
    4. Diameter class distribution of ironwood (Eusideroxylon zwageri T. et B.) on customary forest of Mambang, South Sumatra on customary forest of Mambang, South Sumatra (Agung Wahyu Nugroho)
    5. Study  of Post Release Orangutan Rehabilitated in Beratus Protection Forest East Kalimantan (Amir Ma’ruf)
    6. Mainstreaming ecosystem services values for sustainable management of protected areas in Gorontalo, Indonesia (Kartikasari, S. N, Rixecker, S.S., C.M. Clayton)
    7. http://www.forda-mof.org/index.php/download/attach/pf7.pdf/4882‘Recycled genetic resource’ as an optional strategy in advanced generation breeding for tropical species:  a case study in optimizing genetic resource for Acacia mangium breeding program (Arif Nirsatmanto)
    8. Effect of Filtered Containment in Direct Inoculation of F. moluccana for Gall Rust Screening (Asri Insiana Putri, Liliana Baskorowati, Siti Husna Nurrohmah, Nurhidayati, Toni Herawan)
    9. Utilization of Pisar L-2 Data for Land Cover Classification in Forest Area Using Pixel-Based and Object-Based Methods (Bambang Trisakti, Ahmad Sutanto, Heru Noviar)
    10. Birds in the Peat Swamp Rehabilitation Area in Sebangau National Park (Bina Swasta Sitepu)
    11. Seed Dispersal and Seedling Establisment on Sandalwood Trees  (Santalum Album L.) on Forest Fragmentation  in  Savana,  Sumba Island, East Nusa Tenggara (I Komang Surata, Enny Faridah, Sumardi)
    12. Genetic structure of Calliandra calothyrsus distributed in Indonesia revealed by random amplified polymorphism DNA markers (I.L.G. Nurtjahjaningsih and Purnamila Sulistyawati)
    13. Propagation alternative of bambu petung (Dendrocalamus asper) without taking apart of its clump (Merryana Kiding Allo)
    14. Development of bambu petung (Dendrocalamus asper) cluster  in Bondowoso, East Java Province (Muhammad Charomaini)
    15. The outbreak of sap sucker Tingis beesoni in Gmelina:Comparison in different geographical condition (Neo Endra Lelana, Illa Anggraeni)
    16. The effect of some fungal root endophyte isolates on sengon growth (Neo Endra Lelana, Yeni Nuraeni)
    17. Genetic Relationship of Shorea gybertsiana with another three shorea species producing tengkawang based on RAPD specific alleles (Purnamila Sulistyawati, AYPBC Widyatmoko)
    18. Re-introduce pre-fire species to accelerate species composition recovery after major fire: an ecological  restoration planning (Subekti Rahayu, Sambas Basuni, Agus Priyono Kartono and Agus Hikmat)
    19. Application techniques buds culture and somatic embryogenesis in tissue culture of sandalwood (Santalum album L.) (Toni Herawan, Asri Insiana Putri, Fithry Ardhany, Titis Budi Widowati)
    20. Nesting habitat of the olive ridley turtle  in Kaimana, West Papua (Zeth Parinding, Sambas Basuni, Herry Purnomo, Nandy Kosmaryand, Yusli Wardiatno)
    21. Growth characteristic of sandalwood (Santalum album linn.) From western part of Timor Island (Sumardi, Hery Kurniawan, Prastyono)
    22. Invasive Alien Plant Species in the Philippines: A preliminary report (Edwin R. Tadiosa, Danilo N. Tandang)
    23. Facing Invasive Alien Species issue: choosing to eradicate or compromise? (Titiek Setyawati, Sukisman Tjitrosemidjo)
    24. Researching on control method of giant sensitive plant Mimosa diplotricha C. Wright ex Sauvalle (Mimosaceae) for recovery of biodiversity in the Cuc Phuong National Park (Ta Thi Kieu Anh)
    25. Pre eliminary growth variation analysis of tisuk plantation (Hibiscus Sp) at Parungpanjang Experimental Garden, Bogor (Endang Pujiastuti, Yulianti  Bramasto)
    26. Prediction on density for seed sowing of jelutung (Dyera polyphylla) to reach successfull germination (Nurhasybi, Naning Yuniarti)
    27. Survival and growth variation of merbau from several provenances at ex situ conservation plot in Bondowoso (Tri Pamungkas Yudohartono, Burhan Ismail)
    28. Wildlife and self-sufficiency in meat (Yanto Santosa)
    29. Stem borer attacks on mulberry plantion in Sukabumi (Yeni Nuraeni, Ujang W. Darmawan)

Sumber : forda-mof.org

 

Share Button

Negara dalam Deforestasi

Deforestasi sudah SOS. Diperparah dengan ”penyakit menahun” kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan, kita seperti bukan bangsa pembelajar.

Problem yang menaik sejak awal Orde Baru itu selalu berulang dan kini makin memburuk. Kajian komprehensif Lembaga Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch pada 2001 menyimpulkan, tutupan hutan Indonesia yang pada 1950 masih 162 juta hektar telah menyusut drastis lebih dari separuhnya, yakni menjadi sekitar 98 juta hektar, pada akhir 1990-an.

Bersamanya, turut susut pula harta karun hayati Indonesia yang tiada tepermanai. Bayangkan, Indonesia, yang luas daratannya hanya 1,3 persen dari seluruh daratan dunia, diyakini memiliki 16 persen dari semua jenis burung, 10 persen dari semua jenis mamalia, dan 11 persen dari seluruh spesies tumbuhan di dunia. Posisinya yang menjembatani ekosistem Asia dan Australia—keunikan yang mencengangkan naturalis masyhur asal Britania Raya, Alfred Russel Wallace (1823-1913)—membuat keanekaragaman hayati dan nonhayati Indonesia tiada duanya.

Penistaan yang legal

Deforestasi menggerus kekayaan negeri ini dengan kecepatan jauh melampaui pertumbuhan kesejahteraan rakyatnya. Rerata pendapatan per kapita yang baru menyentuh 4.000 dollar AS per tahun jelas njomplang dengan modal sumber daya alam yang dikorbankan.

Seiring waktu, deforestasi mendahsyat. Sebagian legal karena memang sudah direncanakan. Sebagian lagi ilegal sebagai aksi reaktif individu atau kelompok. Yang ilegal hampir pasti ilegal, yang legal belum pasti legal.

Warga setempat, baik masyarakat adat maupun masyarakat tempatan, hampir seluruhnya pernah mengenyam pahit-getirnya penistaan. Penistaan terjadi justru tatkala pemerintah melegalkan perambahan hebat atas hutan yang kebanyakan hanya menguntungkan segelintir pelaku ekonomi. Wajah deforestasi makin babak belur.

Pemerintah, yang oleh UUD 1945 diamanati melakukan penjagaan terhadap kekayaan alam demi sebesar-besar kemakmuran rakyat, sayangnya secara umum bertindak inefektif, atau setidaknya inefisien. Di ranah kebijakan, kelembagaan, kapabilitas, implementasi, hingga relasi kontraktual dengan pelbagai pihak, banyak kebijakan sesaat yang jadi “ketelanjuran yang merugikan bangsa”. Semua berkontribusi dalam mengonstruksi basis berpikir kita mengenai narasi perubahan untuk menyelamatkan masa depan bangsa.

Kita perlu menghentikan proses deforestasi, melindungi tegakan dan keanekaragaman hayati di dalamnya, serta memperbaiki kerusakan yang telanjur terjadi. Secara simultan, kita manfaatkan lahan korban ketelanjuran itu guna menunjang pembangunan yang harus lebih adil, bermartabat, dan sesuai amanat konstitusi. Proses, kebijakan, implementasi, dan kendaliannya harus mengindahkan hal-hal itu secara komprehensif dan serempak.

Konsepnya sederhana: kurangi deforestasi, rawat tegakan yang masih utuh, kelola pengusahaan secara lestari, tambahkan aset hayati di lahan yang kadung rusak. Meski sederhana, tetap harus diimbangi analisis komprehensif dan pelibatan multipihak, termasuk para pihak yang sudah terikat secara kontraktual untuk melaksanakan pengelolaan lahan. Mayoritas dari pihak yang disebut terakhir itu adalah mereka, para pengusaha kelapa sawit, yang setelah gelombang besar pengusahaan kayu-pulp-kertas bertransformasi ke gelombang bisnis berikutnya melalui pemasifan deforestasi.

Pemerintah telah banyak menginisiasi sejumlah prakarsa atau kampanye, seperti penegakan hukum yang lebih serius, penetapan kebijakan (misal: moratorium izin baru), serta peningkatan disiplin data (misal: menggelindingkan ”bola salju” gerakan One Map dan Open Government). Ikhtiar-ikhtiar itu menggema di banyak ruang, seperti diplomasi internasional, wacana masyarakat adat dan penggerak lingkungan, riset akademik, hingga di rapat-rapat direksi perusahaan swasta.

Dari sisi para aktor raksasa bisnis berbasis lahan, niat kuat pemerintah ini mulai ditangkap. Apalagi, realitas pasar pun memberikan tekanan yang kongruen. Kombinasi keduanya melahirkan tekad yang dituangkan ke dalam, atau sebagai, komitmen Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP).

Dengan adanya IPOP, koridor kerja sama pemerintah-swasta dalam rangka mereduksi deforestasi telah mulai terbentuk. Namun, menjadi cukup mengejutkan saat ada pejabat yang mengatasnamakan pemerintah memublikasikan pernyataan resmi, yang intinya menolak komitmen IPOP, bahkan menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara (The Jakarta Post, 29/8/2015).

Negara yang menakhodai

Adagium “pemerintah mengatur, swasta menjalankan” selayaknya tetap diteguhi. Tak mudah mengimplementasikan IPOP. Pada satu sisi, perusahaan pembuat komitmen memiliki struktur yang tak kalah birokratis dibandingkan birokrasi pemerintah. Sebab, tingkat keleluasaan bertindak di sekujur hierarki operasionalnya beragam.

Di sisi lain, komitmen dapat memengaruhi tata kelola dan tata keuangan para pemasok, termasuk para pekebun kecil. Implementasi yang realistis memerlukan proses transisi agar tujuannya tercapai. Di sinilah, lewat struktur birokrasinya, peran pemerintah perlu lebih jelas, bijak, dan tegas dalam memoderasi.

Peran pemerintah itu kunci. Dia serupa wasit dan fasilitator. Sebagai wasit yang harus berdaya, pemerintah harus memahami serta menguasai kebutuhan dan proses transisi termaksud, bukannya jadi kepanjangan tangan perusahaan dan memaksakan kehendak mereka kepada pemangku kepentingan yang lebih lemah. Sebaliknya, pemerintah juga bukan jadi pendukung fanatik si lemah yang berakibat pada terguncangnya niat baik yang disepakati di tingkat tertinggi oleh keraguan-keraguan.

Pemerintah harus hadir sebagai pemerintah. Ya, pemerintah, yang sadar dalam memimpin dan memerintah masing-masing pihak untuk bergerak menuju cita-cita bersama serta sejahtera secara berkesinambungan dan berkeadilan. Membiarkan deforestasi tanpa pengereman maksimum yang memungkinkan kesejahteraan tumbuh adalah tindakan fatal bagi jangka menengah dan panjang.

Pemerintah harus cakap mengemudi di jalur yang tak mudah ini. Ia serupa nakhoda, bukan pemandu sorak. Ia juga bukan pemaksa berbedil kekuasaan, apalagi penonton yang dibayar.

Dalam ketelanjuran “untaian zamrud” yang beralih rupa jadi “untaian gerabah” (tanah yang dibakar kegundulan), andaikan hutan adalah pakaian, maka saat ini kita telah kepalang kehilangan kemeja. Bertolak dari nurani yang mukhlis, oleh karenanya janganlah lagi mempertaruhkan secara bodoh celana sebagai penutup terakhir aurat kita.

Negara harus hadir dan berwibawa. Lebih dari itu, negara harus tahu persis ke mana haluan bahtera Indonesia ini akan diarahkan ke tujuan “Tanah Harapan” sesuai mufakatan bersama: mewujudkan pertumbuhan berkeadilan yang lebih mengamankan masa depan.

Sumber : klik di sini dan di sini

Share Button

“26 Jam Menembus Kabut Asap di Jalur Trans Kalimantan”

Hari mulai gelap, tapi kabut asap terlihat semakin pekat. Waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 20.00 ketika berangkat memulai perjalanan dari Pontianak, Kalbar, menuju Palangkaraya, Kalteng, Minggu (25/10/2015).  Perjalanan dimulai dengan melintasi rute jalur jalan Trans Kalimantan. Jalan yang menghubungkan Kalimantan Barat dengan Kalimantan Tengah secara paralel, melewati sejumlah kabupaten. Sengaja memilih waktu perjalanan di malam hari, dengan harapan asap mulai berkurang.

Benar saja, diawal perjalanan dari Pontianak melewati Ambawang (Kabupaten Kubu Raya) hingga ke penyeberangan Sungai Kapuas di Desa Piasak, Kecamatan Tayan, Kabupaten Sanggau, perjalanan masih lancar, dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Kabut asap tipis tak terlalu berpengaruh dalam perjalanan dari Pontianak menuju Tayan. Namun, kondisi air sungai yang surut membuat akses turun dari bibir sungai menuju kapal ferry penyeberangan harus dilakukan dengan ekstra hati-hati.  Adrenalin terpacu ketika roda mobil diarahkan mengikuti panduan petugas saat melewati dua bilah titian yang terpisah selebar setengah meter, dengan kemiringan lebih dari 45 derajat. Meleset sedikit saja, upaya menuruni titian sepanjang 15 meter tersebut, sudah bisa dipastikan mobil akan tercebur ke Sungai Kapuas. “Musim kemarau memang seperti ini, bahkan biasanya lebih curam lagi” kata petugas yang memandu dan menarik retribusi ketika mobil berhasil mendarat diatas kapal ferry.

Malam semakin larut. Waktu di arloji saat itu sudah menunjukkan pukul 22.20. Kapal fery pun kemudian melanjutkan perjalanan menuju seberang, setelah muatan penuh oleh kendaraan. Beruntung kami sudah berada di atas ferry, karena, kata petugas jadwal malam itu yang terakhir. Berjalan perlahan, 15 menit kemudian kapal sudah merapat di seberang. Sesekali terdengar suara klakson untuk memberi isyarat kepada kapal-kapal lain yang akan melintas.

Jalur Trans Kalimantan belum seutuhnya terhubung. Masih tersisa proyek pembangunan jembatan Tayan yang melintasi sungai Kapuas. Rencananya, tahun depan jembatan tersebut sudah bisa digunakan dan dilalui kendaraan.

Kabut Semakin Pekat
Setibanya di seberang, perjalanan kembali dilanjutkan. Awalnya, kendaraan masih bisa melaju dengan kecepatan diatas 80 kilometer per jam. Namun, hanya berlangsung sekitar setengah jam. Asap semakin pekat, jarak pandang semakin berkurang. Bahkan, sesekali jarak pandang hanya sebatas jangkauan lampu dekat mobil. Tak lebih dari tiga meter. Mobil pun tak bisa melaju. Perjalanan hanya mengandalkan rambu garis putih dan rambu mata kucing yang terdapat di sepanjang perjalanan.

Hingga memasuki Kecamatan Sandai di Kabupaten Ketapang, kami beristirahat sebentar di pinggir jalan. Mengistirahatkan badan dan mendinginkan mesin kendaraan. Perbekalan pun dikeluarkan, sebuah kompor gas lapangan lengkap dengan satu set nesting siap untuk merebus air. Lima menit kemudian, kopi pun siap untuk diseduh dan dinikmati, lumayan untuk menawarkan rasa kantuk.

Waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 01.45 dinihari. Artinya hari sudah berganti. Kabut terlihat sangat pekat saat kami beristirahat. Kendaraan yang melewati jalur tersebut tidak ada satu pun yang melaju. Semua berjalan perlahan melintasi jalan yang sepi. Pukul 02.00 tepat, perjalanan kami lanjutkan. Berjalan perlahan menuju perbatasan Kalbar-Kalteng menyusuri ruas jalan yang sunyi.

Bermalam di pinggir jalan
Melewati Kecamatan Nanga Tayap menuju perbatasan propinsi, kami kembali berhenti. Pilihan berhenti tepat di depan sebuah kios terbuka berukuran sekitar 2×2,5 meter milik warga yang berada di pinggir jalan, namun jauh dari pemukiman. Keputusan untuk berhenti saat itu karena jarak pandang yang masih terbatas. Mata pun sudah ngantuk dan badan terasa lelah, sedangkan waktu sudah menunjukkan pukul 04.30. Perlu waktu untuk istirahat.

Saya saat itu bersama Agri Aditya, seorang aktivis lingkungan, memutuskan untuk tidur di kios beralaskan matras dan koran. Sedangkan rekan perjalanan kami satu lagi, Jessica Wuysang, seorang jurnalis foto, beristirahat di dalam mobil. Tepat pukul 06.30 pagi, secara bersamaan dering alarm dari telepon seluler berbunyi dan membangunkan kami. Meski masih terasa kantuk, namun kami harus tetap melanjutkan perjalanan. Perbekalan kembali dikeluarkan. Kopi panas dan makanan ringan menemani untuk sarapan pagi itu.

Perjalanan kami lanjutkan kembali tepat pukul 07.00, Senin (26/10/2015) pagi. 30 menit kemudian kami sudah tiba di perbatasan. Sebuah gerbang besar dengan ornamen khas Dayak menjadi penanda batas masing-masing wilayah propinsi. Sekitar 10 menit kami berhenti diperbatasan untuk melihat aktivitas warga dan mendokumentasikan gambar. Perjalanan kembali dilanjutkan menuju kota Nanga Bulik, ibukota Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.

Menunggu Pasokan BBM
Pejalanan dari perbatasan menuju Nanga Bulik ditempuh sekitar tiga jam. Perkebunan kelapa sawit menjadi pemandangan sepanjang perjalanan. Kabut asap pun menyelimuti sepanjang perjalanan. Nyaris tidak ada jeda. Indikator digital bahan bakar kendaraan hanya tersisa satu balok saat tiba di Nanga Bulik. Tiba di sebuah stasiun pengisian bahan bakar (SPBU), terlihat antrian kendaraan terparkir hingga keluar pagar. Rupanya kendaraan tersebut sengaja diparkir sambil menunggu mobil tangki pengangkut BBM.

Kami memutuskan keluar dari antrian dan mencari rumah makan terdekat. Sekitar pukul 10.15 kami beristirahat di sebuah rumah makan, sambil menungu pasokan BBM tiba. “Biasanya jam 11 siang baru datang mobil tangki nya. BBM dikirim dari Pangkalan Bun, selalu ada setiap hari, dan selalu habis dengan cepat,” ujar pemilik warung tempat kami berhenti. Benar saja, sekitar pukul 11.20 kami kembali ke SPBU. Antrean semakin panjang. Sebuah mobil tangki terlihat baru saja melakukan aktivitas bongkar muat bahan bakar. Beruntung, 15 menit kemudian kami mendapat giliran untuk mengisi bahan bakar. Perjalanan pun kembali dilanjutkan menuju arah kota Sampit.

Asap dan aroma terbakar
Sepanjang perjalanan asap menyelimuti. Mulai dari asap tipis, hingga pekat. Pukul 16.30 kami kembali berhenti dipinggir jalan, sekitar 40 kilometer sebelum memasuki Kota Sampit. Perbekalan pun kembali dikeluarkan untuk ke tiga kalinya. Kondisi asap saat kami berhenti semakin pekat. Jarak pandang hanya berkisar 70-100 meter. Terlihat semua kendaraan yang melintas menyalankan lampu untuk menghindari kecelakaan.

Pukul 17.00 kami melanjutkan perjalanan. Hari mulai gelap saat kami memasuki kota Sampit. Kabut asap terasa pekat menyelimuti kota itu.  Tak lebih dari 15 menit berhenti di bundaran Kota Sampit, perjalanan kembali dilanjutkan. Mobil bergerak perlahan. Kondisi lalu lintas lumayan padat. Sesekali kendaraan harus mengikuti konvoi iringan kendaraan besar seperti truk pengangkut buah sawit dan tangki pengangkut CPO.

Hujan Deras di Palangkaraya
Tepat pukul 22.00, kami tiba di Kota Palangkaraya. Di luar dugaan, hujan deras menyambut kedatangan kami di Bumi Tambun Bungai tersebut. Sebelumnya, sekitar pukul 19.30, hujan juga sempat turun. Namun tak berlangsung lama. Hujan kemudian turun lagi saat kami tiba. Sekitar 10 menit, hujan mulai reda. Selang waktu satu jam kemudian, hujan deras kembali mengguyur, bahkan hingga pukul 24.00.

Perjalanan selama selama 26 jam dari Pontianak menuju Palangkaraya berjalan dengan lancar. Secara umum, waktu tempuh bisa lebih cepat tanpa berhenti. Kondisi jalan juga sangat baik. Aspal hitam terlihat di sepanjang perjalanan. Hanya sesekali menemukan jalan yang bergelombang dan sedang dalam perbaikan. Selebihnya, jalan Trans Kalimantan mulus.

Sumber : klik di sini

Share Button

Kipas “Penyaring Asap”

Kipas pemurni udara dikemas sederhana. Alat ini terbuat dari kipas angin biasa yang mudah didapat. Bedanya, terdapat beberapa lapis penyaring udara yang ditempel di kipas untuk memurnikan udara yang dihembuskan kipas.  Pusat Pengendali dan Pembangunan Ekoregional Kalimantan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (P3E KLHK) mengembangkan alat ini sejak pekan lalu.

Kemampuan penyaringnya konon mampu menangkap partikel kecil seperti asap tembakau, debu, serbuk sari, bulu, asap, jamur, dan beragam jenis polutan di udara. Filter ini juga diyakini bisa menangkap bahan kimia, tembakau, asap, hingga bau. “Penyaringnya bisa menurunkan secara drastik konsentrasi partikutat PM 2.5 sampai PM 10 dalam satu jam. Setelah pemakaian delapan jam kondisi udara akan lebih baik,” kata Kepala bidang Evaluasi dan Tindak Lanjut P3E Kalimantan, Sasmita Nugraha, Senin (26/10/2015).

Sasmita mengungkapkan, rencana pemurni udara ini muncul setelah kedatangan tim P3E ke Kalteng. Udara di Kalteng pekat dan tampak kuning kecoklatan yang membuat mata terasa perih dan pedas.  P3E KLHK kemudian berinisiatif mengembangkan kipas pemurni ini. Seorang pendaki yang kerap menciptakan perkakas bagi para petualang, Rahman ‘Baba’ Adi, menyarankan sebuah penyaring udara bikinan sendiri.

Penyaring udara ini terinspirasi alat sejenis yang sudah berkembang di China. Udara hasil saringan itu diyakini adalah oksigen yang lebih bersih dan baik untuk dihirup manusia.  “Kami bikin empat buah dulu dan akan kami uji coba (di Kalteng). Baru kemudian akan kami perbanyak,” kata Sasmita. “Ini pekerjaan amal bagi dia. Karena itu dia gratiskan pembuatannya. Alatnya kita yang belikan,” kata Sasmita.

Sasmita mengatakan harga alat ini sangat terjangkau warga. “Kami buat empat kipas yang akan diujicoba di luasan ruang 13,5 meter persegi. Kebutuhannya empat kipas itu sekitar Rp 5 juta,” kata Sasmita. “Kita tidak bisa menunggu lagi. Kita mesti membuatnya. Kami ke sana (Kalteng) menemui kondisi anak-anak yang sangat menyedihkan,” kata Sasmita.

Sumber : klik di sini

Share Button

Penyebab Kebakaran Hutan

Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, mengatakan, salah satu penyebab kebakaran hutan adalah pemerintah daerah yang terlalu berniat mengambil keuntungan di bidang perizinan usaha.

Akibatnya, banyak perusahaan yang tidak memenuhi syarat tetapi tetap mengelola lahan hutan dan perkebunan.

“Dalam hal asap, siapa yang memberi izin? Gubernur Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, memberi izin, kenapa? Karena mereka mengejar pendapatan daerah, sehingga ada ketentuan daerah yang melegalkan pembakaran hutan,” ujar Tamrin dalam rilis survei Populi Center di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Senin (26/10/2015).

Menurut Tamrin, jika memang masalahnya karena pendapatan asli daerah mengalami kekurangan, berarti pemerintah pusat harus menutupi itu sehingga pemda tidak mencari pendapatan sendiri.

Tamrin mengatakan, diperlukan kesepahaman antara pemerintah pusat dan daerah. Misalnya, program-program nasional yang ditentukan kementerian untuk lingkungan hidup dan agraria dapat dijalankan dan diikuti oleh pemerintah daerah.

Dengan demikian, pemda tidak dapat memberikan izin dengan sembarangan.

“Jalan keluar yang bisa dilakukan adalah dengan membuat aturan melalui undang-undang sampai peraturan pemerintah yang mengatur tentang hubungan pusat dan daerah yang sudah terputus sehingga pemda mengikuti program yang ditetapkan pemerintah melalui kementerian,” kata Tamrin.

Sumber : klik di sini

Share Button

Selamatkan Penyu dari Kepunahan!

Keberadaan penyu di dunia saat ini sudah semakin langka. Tidak saja spesiesnya yang terus menyusut, populasi penyu dari spesies yang tersisa juga dewasa ini terus berkurang jumlahnya. Sebelum tersisa hanya 7 spesies saat ini, jumlah spesies penyu di dunia mencapai 30. Penyusutan itu terjadi karena perubahan zaman dan berbagai faktor lainnya.

Marine Species Conservation Coordinator WWF Indonesia Dwi Suprapti menjelaskan, penyusutan jumlah spesies penyu yang sekarang terjadi menjadi fenomena menyedihkan dan harus dicegah agar tidak berkurang lagi.

“Tugas itu menjadi tanggung jawab kita bersama. Terutama, karena Indonesia menjadi rumah bagi 6 penyu dari total 7 spesies yang tersisa di dunia ini. Ini pekerjaan rumah yang berat,” ungkap Dwi Suprapti di Jakarta, Kamis (22/10/2015).

Dia mengungkapkan, 6 (enam) spesies penyu yang ada di Indonesia adalah penyu hijau (chelonia mydas), penyu sisik (eretmochelys imbricata), penyu lekang (lepidochelys olivacea), penyu belimbing (dermochelys coriacea), penyu tempayan (caretta caretta), dan penyu pipih (natator depressus).

Dari 6 spesies tersebut, Dwi menyebutkan, saat ini 3 spesies statusnya sangat memprihatinkan. Terutama, spesies penyu sisik dan penyu hijau. Kedua penyu tersebut saat ini sudah bersatus hampir punah. Sementara, penyu belimbing kondisinya tak jauh berbeda, namun sudah lebih baik dari kedua saudaranya tersebut.

Penyebab utama terus menyusutnya populasi penyu di dunia, dan khususnya di Indonesia, adalah karena terjadinya alih fungsi lahan di pesisir pantai dan juga perubahan gaya hidup di masyarakat yang mendorong berlangsungnya perburuan terhadap penyu-penyu yang statusnya adalah satwa langka.

“Ini memang memprihatinkan. Kita harus bisa menyelamatkan penyu dari ancaman kepunahan. Mereka juga makhluk hidup yang harus diberi kesempatan untuk hidup,” tandas dia.

“Penyu belimbing itu populasinya sekarang sudah di bawah 2000-an ekor. Itu berbeda dengan beberapa dekade lalu yang massih diatas 8.000 an ekor. Kami berupaya untuk menjaga populasi yang ada sekarang,” papar dia.

Semakin langkanya penyu belimbing yang merupakan spesies penyu terbesar saat ini, menurut Dwi, diakibatkan karena masih terjadinya perburuan telur penyu oleh masyarakat sekitar pesisir pantai dan atau terjadinya ketidaksengajaan tertangkap oleh alat tangkap kapal.

“Penyu belimbing itu kan tidak memiliki karapas dan dia bernafas dengan paru-paru. Jadi setiap lima jam harus naik ke permukaan untuk bernafas. Namun, jika dia terperangkap dalam alat tangkap seperti jaring, maka dia terancam tidak bisa bernafas lagi karena terjebak di dalam air,” cetus dia.

Sulawesi Utara

Terus menyusutnya populasi penyu juga diakui oleh Simon Purser, Wildlife Rescue Center dari Tasikoki, lembaga yang fokus menyelamatkan populasi penyu di dunia. Menurut dia, salah satu penyebab terus menyusutnya penyu, karena perilaku manusia yang sembarangan membuang sampah ke laut.

“Meski sumbangan sampah hanya 5 persen saja untuk total penyebab penyusutan populasi, namun sampah memang berpengaruh banyak. Dengan menelan sampah, terutama sampah plastik, maka ancaman hidup penyu semakin nyata,” jelas dia.

Ihwal berpengaruhnya sampah dalam penyebab penyusutan penyu, menurut Simon, karena penyu itu makanan utamanya adalah ubur-ubur. Sifat hewan laut tersebut yang ringan di dalam air saat bergerak, selintas wujudnya seperti plastik.

“Karenanya, kalau ada plastik yang mengapung di laut, karena terbawa gelombang atau ombak, maka gerakannya seperti ubur-ubur. Dan itu biasanya langsung dimakan oleh penyu,” tandas dia.

Oleh itu, baik Simon maupun Dwi sama-sama sepakat dan menghimbau kepada masyarakat dunia dan khususnya di Indonesia, untuk bisa menjaga perilaku hidup keseharian untuk tidak membuang sampah sembarangan. Selain itu, keduanya juga meminta masyarakat untuk menjaga penyu karena sudah berstatus satwa langka.

Sedangkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna), memasukkan semua jenis penyu dalam appendix I, yang artinya dilarang perdagangkan untuk tujuan komersial.

Di Indonesia, semua jenis penyu dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, yang berarti perdagangan penyu dalam keadaan hidup, mati maupun bagian tubuhnya dilarang. Menurut UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,  pelaku perdagangan (penjual dan pembeli) satwa dilindungi seperti penyu itu bisa dikenakan hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp100 juta. Pemanfaatan jenis satwa dilindungi hanya diperbolehkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan dan penyelamatan jenis satwa yang bersangkutan.

Papua Barat Jadi Provinsi Konservasi

Keseriusan Provinsi Papua Barat terhadap konservasi semakin nyata dengan ditetapkan provinsi tersebut sebagai provinsi konservasi pada 19 Oktober lalu atau bertepatan dengan ulang tahun ke 16 provinsi Papua Barat.

Dengan menjadi provinsi konservasi, menurut Gubernur Abrahama O. Atuturi, pihaknya bersama masyarakat akan berkomitmen untuk menjaga dan melestarikan sumber daya alam. Selain itu, untuk memperkuat status, Pokja Provinsi Konservasi saat ini sedang menyusun Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Ranperdasus) sebagai dasar pengimplementasiannya di Provinsi Papua Barat.

“Deklarasi Provinsi Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi ini adalah momentum kita bersama untuk selalu menjaga dan mengelola sumber daya alam Papua Barat secara bijak, lestari, dan berkelanjutan, sehingga senantiasa terpelihara untuk kehidupan kita pada saat ini maupun generasi nanti,” kata Abraham.

Di Papua Barat, WWF Indonesia – Program Papua saat ini bekerja di dua lokasi, yaitu di Kabupaten Teluk Wondama yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih dan di Abun, Kabupaten Tambrauw. Selain itu, WWF Indonesia juga tergabung dalam program konservasi Bentang Laut Kepala Burung (Bird Head Seascape) bersama Conservation International (CI) dan The Nature Conservacy (TNC).

Papua Barat memiliki wilayah Bentang Laut Kepala Burung yang kaya akan keanekaragaman hayati laut dan 90% luas kawasan Papua Barat merupakan kawasan hutan alam.

Sumber : klik di sini

Share Button