Hutan Lindung Rusak, Dishutbun Mengaku Lumpuh Tak Punya Kewenangan

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Nunukan Yophie F Wowor mengaku tidak bisa berbuat banyak melakukan penyelamatan kawasan Hutan Lindung Pulau Nunukan (HLPN), yang kondisinya rusak parah.

Hal ini menyusul keluarnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menarik kewenangan kehutanan ke provinsi.

“Kami lumpuh total. Kami tidak punya kewenangan apapun. Bukan Polhut saja yang dilemahkan, kantornya juga menunggu likuidasi,” ujarnya, Rabu (25/11/2015).

Berdasarkan undang-undang ini, kewenangan pengurusan perizinan, pengelolaan dan penanganan kawasan hutan lindung diambil alih pemerintah provinsi.

Undang-undang dimaksud semakin membatasi tugas pokok dan fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Nunukan.

“Cuma taman hutan rakyat yang boleh dikelola kabupaten. Cuma kita tidak punya taman hutan rakyat. Tidak tertutup kemungkinan Dishutbun Nunukan bakal dilikuidasi. Kita ini cuma bisa menunggu bubar. Oktober 2016 nanti harus diserahkan semua aset kita ke provinsi,” katanya.

Terhadap penjarahan hutan maupun penguasaan kawasan di HLPN untuk pemukiman dan perkebunan kelapa sawit, Yophie mengaku pihaknya tidak bisa mengambil tindakan. Sebab, penindakan yang dilakukan justru bertentangan dengan undang-undang.

Polisi Khusus Kehutanan yang dibentuk Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Nunukan saat ini tak lebih hanya lembaga yang secara formal masih terbentuk, namun kenyataannya sudah tidak memiliki kewenangan.

Meskipun sudah berkali-kali meminta provinsi mendelegasikan tugas pengamanan, namun permintaan itu belum bersambut.

”Berkali-kali kami meminta provinsi agar fungsi penjagaan dan pengamanan hutan didelegasikan ke kami. Sampai saat ini tidak ada. Kalau hutan dijarah, dirusak sedemikian rupa, tanyanya ke provinsi,” ujarnya.

Dia hanya bisa prihatin terhadap kondisi HLPN. Yophie menyarankan penindakan terhadap pelaku illegal logging di kawasan HLPN dilakukan aparat keamanan.

”Kalau penjarahan hutan, pembukaan lahan, kenapa tidak tanyakan sama Polisi, Kodim, Satgas? Mereka harus tahu. Kita cuma back up kalau diminta sekarang,” ujarnya.

Sumber berita

Share Button

Harus Diperjelas Mekanisme Pendanaan Perubahan Iklim di Indonesia

Meski Presiden Joko Widodo secara tegas telah menyatakan komitmennya untuk ikut terlibat aktif dalam penurunan emisi, namun itu belum menjadi jaminan bahwa target tersebut bisa tercapai. Salah satu kendalanya, adalah karena belum ada pendanaan yang jelas untuk program tersebut.

Demikian diungkapkan Direktur Ekskekutif Kemitraan Monica Tanuhandaru di Hotel Oria, Jakarta, dalam pertemuan Dialog Pemerintah dengan Ormas Sipil Menuju COP 21 Paris, Senin (16/11/2015).

Menurut Monica, permasalahan inti yang sekarang sedang dihadapi adalah masalah pembiayaan. Jika komitmen penurunan emisi bisa terus berjalan, maka dibutuhkan dana yang jelas dan itu harus berjalan di semua lini.

“Bagaimana financing­-nya, itu harus dibicarakan,” ungkap dia.

Dijelaskan dia, jika memang Pemerintah benar-benar serius untuk berkomitmen, maka masalah pembiayaan bisa dibicarakan mekanismenya secara detil. Bisa saja, mekanismenya itu ada di Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perbankan nasional, dan atau koperasi yang tersebar di daerah-daerah.

“Masalahnya, kebijakan politik uang di negara kita juga masih seperti itu saja. Kita semua sudah tahu sendiri. Sementara, produksi emisi juga terus berjalan dari waktu ke waktu. Itu yang menjadi khekawatiran kami,” tutur dia.

Salah satu kekhawatiran itu, kata Khalisah, adalah karena batu bara juga akan menjadi penyumbang emisi pada 2019. Jika itu dibiarkan, maka batu bara bisa menjadi salah satu penyumbang emisi terbanyak.

Peran Jokowi

Ketua Dewan Pengarah Penanganan Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja dalam kesempatan yang sama mengatakan, persoalan emisi saat ini memang menjadi perhatian serius di Indonesia. Keberangkatan Presiden Joko Widodo ke KTT G-20 yang digelar di Turki saat ini dan Konferensi Perubahan Iklim (COP 21) yang akan digelar akhir November ini di Paris, Perancis, diharapkan bisa menjadi momen untuk mereposisi Indonesia di dunia internasional.

“Ada beberapa isu penting yang ikut dalam COP 21 nanti. Isu-isu tersebut bisa menjaditrigger untuk Indonesia dalam mengawal isu perubahan iklim ini,” ucap Sarwono.

Adapun, isu yang dinilai penting untuk dibawa Indonesia ke pertemuan COP 21 nanti, adalah pengembangan REDD+ atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Pengurangan emsisi dari deforestasi dan degradasi hutan), dan mekanisme pendanaan perubahan iklim.

Selain itu, menurut dia, isu yang penting untuk dibawa ke COP 21 di Paris, adalahmonitoring, reporting, and verification (MRV), baik dalam pengertian koherensi terkait perhitungan emisi gas rumah kaca (GRK), maupun MRV dalam arti luas meliputi isugood governance dan komunikasi masal.

Isu terakhir yang harus dibawa ke COP 21 di Paris, menurut Sarwono, adalah isu tentang energi. Isu tersebut menjadi isu penting karena di Indonesia praktiknya sudah sangat luas. Itu semua ada dalam dokumen INDC (Intended National Determined Contribution) Indonesia.

“INDC Indonesia ini adalah dokumen komprehensif yang diusahakan lengkap sekaligus singkat dan mempunyai karakter berupa “policy brief”,” tandas dia.

Sementara itu Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar mengemukakan, walau Indonesia berstatus sebagai negara berkembang dan ekonominya belum sebagus negara maju, namun Indonesia harus berani untuk terus maju. Indonesia harus bisa terus mengawal isu perubahan iklim dan mengimplementasinya sesegera mungkin.

Agar bisa diterapkan di semua lini, isu perubahan iklim harus bisa dipahami oleh seluruh kalangan masyarakat tanpa kecuali. Jangan sampai, isu perubahan iklim hanya bisa dipahami oleh kalangan tertentu saja.

Untuk diketahui, Conference of Parties (COP) atau konferensi perubahan iklim ke-21 yang akan dilaksanakan di Paris, Perancis, 30 November – 12 Desember 2015 mendatang, merupakan momen dimana sebuah kesepakatan baru akan diluncurkan. Kesepakatan baru ini diharapkan dapat merangkul 196 negara yang tergabung dalamUnited Nations Framework on Climate Change Convention (UNFCCC) untuk bersama-sama berbagi upaya (sharing the effort) dalam berkontribusi pada pencapaian tujuan tertinggi konvensi, yaitu untuk mencegah kenaikan temperatur rata-rata dunia di atas 2 C. Perjanjian yang mengandung prinsip Applicable to All Parties ini diharapkan dapat diimplementasikan di tahun 2020 oleh seluruh pihak terkait.

Berbeda pada saat UNFCCC ditetapkan 1992, peta negara-negara di tahun 2015 ini banyak yang berubah. Tiongkok, India, Brasil, Afrika Selatan, dan Indonesia, dinilai sebagai negara-negara dengan ekonomi berkembang (emerging economy) dengan kemampuan ekonomi berbeda ketimbang negara yang berkembang lainnya. Negara-negara ini pun mengalami pertumbuhan emisi gas rumah kaca yang cukup pesat dalam 2 dekade terakhir dan menjadi emitter besar menyaingi sejumlah negara maju.

Sumber Berita

Share Button

Ekowisata, Strategi Andalan Konservasi Rafflesia dan Amorphophallus

Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya – LIPI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemda Provinsi Bengkulu, dan Dewan Riset Daerah Bengkulu telah menyusun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Rafflesia arnoldii danAmorphophallus titanum 2015 – 2025. Pendeklarasiannya dilakukan pada International Symposium on Indonesian Giant Flowers – Rafflesia and Amorphophallus, 14-16 September 2015 di Bengkulu.

Dalam dokumen SRAK disebutkan, pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dengan pola kemitraan multipihak digunakan sebagai strategi konservasi. Langkah ini dibangun dengan memperhatikan kondisi habitat, populasi, ancaman kepunahan, dan hasil analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats).

Rafflesia arnoldii misalnya. Kondisi habitatnya saat ini mengalami penurunan kualitas karena habitatnya yang terdesak. Populasinya saat ini rendah dikarenakan lingkungan spesifik untuknya tumbuh dan berkembang biak sudah terganggu. Faktor lainnya, rusaknya pohon inang, gangguan jamur, dan cuaca terlalu basah merupakan ancaman langsung yang akan merusak bunga yang mengakibatkan hilangnya kesempatan regenerasi.

Untuk Amorphophallus titanum (suweg raksasa), kondisi habitatnya juga mengalami penurunan akibat aktivitas manusia seperti melakukan alih fungsi lahan. Sedangkan ancaman kepunahannya adalah kebakaran hutan, penggunaan herbisida di kebun masyarakat, penjualan umbi ilegal ke luar negeri, dan perburuan burung rangkong yang merupakan satwa pendistribusi biji A titanum.

Peneliti Rafflesia dan Amorphophallus dari Universitas Bengkulu Agus Susatya menuturkan, strategi pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dengan pola kemitraan multipihak harus dilakukan dengan pemahaman bahwa masyarakat merupakan bagian dari solusi. “Intinya, pemberdayaan masyarakat dengan ekowisata. Dalam pelaksanaannya, harus melibatkan pemerintah, perguruan tinggi, LSM, dan sektor swasta. Tanpa dukungan dan keterlibatan berbagai pihak, upaya konservasi ini akan sulit dilakukan,” ujar Agus, beberapa waktu lalu.

Sofi Mursidawati, Ketua Forum Komunikasi Riset dan Pengembangan Rafflesia danAmorphophallus, menuturkan Indonesia bisa belajar dari Malaysia dan Filipina yang lebih dahulu menjadikan ekowisata Rafflesia sebagai wisata unggulan. UntukAmorphophallus, Indonesia bisa melihat ke sejumlah negara di Eropa seperti Jerman, Belanda dan Inggris yang mampu menarik wisatawan melalui pelestarian bunga ini.

“Belum lama ini Amorphophallus titanum asal Sumatera di Kebun Raya Inggris berkembang. Informasi yang saya peroleh, sekitar 30 – 40 ribu orang datang untuk melihatnya. Artinya, upaya konservasi Rafflesia arnoldii dan Amorphophallus titanum yang merupakan puspa endemik Sumatera (Indonesia) dengan skema ekowisata bermanfaat secara ekonomi bagi masyarakat, pemerintah daerah, dan negara,” kata Sofi yang merupakan peneliti LIPI.

Pertama di Indonesia

Sofi menambahkan, Dokumen SRAK ini telah ditandatangani Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Dengan demikian, SRAK merupakan panduan resmi bagi pemerintah dan berbagai pihak untuk melindungi dan melestarikan bunga kebanggaan Indonesia ini.

“Khusus untuk flora, SRAK Rafflesia arnoldii dan Amorphophallus titanum merupakan  dokumen resmi pertama di Indonesia untuk konservasi flora. Selama ini, perhatian pemerintah dan NGO lebih terfokus pada konservasi fauna. Coba lihat, kalau ada gajah, harimau atau komodo mati, pasti pada ribut. Berbeda bila rafflesia atau amorphophallus yang mati, sepi-sepi saja.”

Bersinergi

Terpisah, Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Wiratno mengatakan, pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dengan pola kemitraan multipihak ini bisa disenergikan dengan program Perhutanan Sosial. Apalagi, sebagian kawasan hutan di Sumatera yang menjadi wilayah program Perhutanan Sosial merupakan habitat Rafflesia arnoldii dan Amorphophallus titanum, khususnya Bengkulu.

“Saya kira, gagasan mensinergikan kegiatan ini perlu dikonkritkan. Saya berharap, nantinya bisa didiskusikan lebih jauh gagasan ini Forum Komunikasi Riset yang dibentuk untuk mengawal pelaksanaan SRAK ini,” ujar Wiratno di sela-sela Konsultasi Publik Peta Arahan Areal Kelola Kawasan Perhutanan Sosial di Provinsi Riau, Jambi dan Bengkulu di Kota Bengkulu, belum lama ini.

Sumber berita

Share Button

KLH Ajak Warga Kembangkan Wilayah Pesisir

Direktur Kemitraan Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Widodo Sambodo mengajak komunitas masyarakat Balikpapan kembangkan wilayah pesisir menjadi wisata, Jumat (13/11/105).

Menurutnya kawasan pesisir perlu dikembangkan menjadi kawasan ekowisata, sehingga bisa berkontribusi bagi masyarakat sekitar dan Balikpapan sendiri.

Demi mewujudkan itu, pihaknya bekerjasama dengan Mangrove Center Graha Indah, Balikpapan mengadakan bimbingan teknis (bimtek) kepada komunitas masyarakat agar tertarik mengembangkan kawasan pesisir.

Bimtek yang bertajuk peningkatan peran masyarakat, penguatan jejaring, dan Kemitraan untuk Penyelamatan Kawasan Pesisir Pantai dan Pulau Kecil itu berlangsung tanggal 12-13 November di Hotel Platinum dan Mangrove Center Graha Indah.

Ketua pelaksana kegiatan, Agus Bei menjelaskan kegiatan tersebut sebenarnya menyasar seluruh komunitas pesisir yang ada di bumi Manuntung dengan tujuan menanamkan ketertarikan dan niat melestarikan kawasan pesisir.

“Konsep ini sebenarnya ingin menguatkan masyarakat agar bisa menerima akses manfaat dalam pelestarian hutan dan kawasan pesisir. Melihat potensi itu bisa tergerak untuk memelihara. Kalau mereka tidak merasakan manfaat, maka mereka tidak bergerak,” ucapnya kepada Tribun.

Dalam kegiatan tersebut, peserta dibekali pengetahuan bagaimana meningkatkan ekonomi masyarakat dengan cara mengelola ekowisata daerah pesisir. Ia mengungkapkan kegitan tersebut sebagai terobosan baru bersama Direktorat Kemitraan yang nantinya akan berkelanjutan.

“Karena ada proses membuat rencana strategis. Habis ini, sudah sampai mana progres mereka dalam mengelola kawasan pesisir. Misalnya bagaimana mereka mempercantik mangrove di pesisir? Nah itu akan kita tindaklanjuti,” ungkapnya.

Pelatihan yang diberikan antara lain memberikan teori dan pengalaman kepada peserta tentang pemeliharaan mangrove di pesisir agar bisa menghasilkan ekonomi wisata. Sekitar 80 peserta tetap, dan 100 lebih beserta undangan mengikuti kegiatan tersebut.

Sumber Berita

Share Button

Selamatkan Enggano!

Save Enggano“. Semangat itu mengemuka dalam ‘Simposium Enggano: Alam dan Manusianya” yang digelar di Bengkulu, Senin (16/11/2015).

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ary P Keim, mencetuskan semangat itu untuk mengingatkan bahwa Enggano yang luasnya hanya sekitar 4.000 kilometer persegi menghadapi ancaman besar.

Ancaman itu nyata. Ary mencontohkan kebakaran lahan masyarakat yang terjadi saat ia dan timnya kembali ke pulau yang tak pernah bersatu dengan Sumatera itu Oktober lalu.

“Ratusan hektar kebun masyarakat terbakar, terutama di Meok dan Banjarsari,” ungkap Ary. Kebakaran itu menurutnya punya faktor kesengajaan. Selain melanda kebun masyarakat, kebakaran juga terjadi di wilayah dataran rendah Enggano.

Kebakaran mengancam spesies-spesies endemik. LIPI mengungkap bahwa setidaknya terdapat 25 jenis flora dan fauna endemik di Enggano.

Ancaman juga datang dari praktik pembalakan liar yang dilakukan pada jenis kayu merbau (Instia bijuga), yang menurut riset memang sangat berkualitas.

Amir Hamidy, peneliti LIPI lain yang terlibat ekspedisi Enggano, mengkhawatirkan pembalakan akan makin marak seiring pengembangan infrastruktur di Enggano.

Di dataran rendah, ancaman datang dari praktik penambangan pasir. Upaya untuk memantau praktik penambangan pasir diperlukan supaya tak merusak ekosistem.

Penambangan pasir sempat berlangsung. Gubernur Bengkulu, Junaidi Hamsyah, mengungkapkan, pihaknya langsung menutup penambangan itu.

Ary menuturkan, ekosistem dataran rendah di Enggano memiliki mangrove yang masih terjaga baik. Pekerjaan rumah pemerintah pusat dan daerah adalah menjaganya.

“Tulang punggung Enggano itu ada di mangrove. Mati hidupnya Enggano ada di mangrove,” ujar Ary. Enggano yang kecil sulit terlindungi dari gerusan air laut bila ekosistem mangrove tak terjaga.

Pelestarian Bermanfaat

Menjaga Enggano tak berarti membuat pulau itu terus menerus tertinggal secara ekonomi. Alam yang lestari justru berpotensi mendatangkan uang.

Ary menuturkan, Enggano punya ekosistem unik dengan pemandangan indah, seperti laguna payau Blak Bau di Desa Meok. Itu bisa dikelola menjadi destinasi ekowisata yang menarik.

Mangrove yang sehat di Enggano menjadi tempat memijah dan hidup ikan karang, kepiting, dan udang galah. Pantai pasir putihnya juga menarik.

Ary menambahkan, keanekaragaman hayati Enggano pun berpotensi untuk dimanfaatkan. Pisang kepok Enggano dan jengkol yang kini telah menjadi produk utama bisa terus dikembangkan.

Di samping itu, Enggano perlu melirik melinjonya. Menurut Ary, melinjo (Gnetum gnemon) Enggano khas karena ukurannya yang besar.

“Satu keping emping bisa dibuat hanya dari satu buah,” katanya. Enggano bisa menjadi pusat produksi melinjo dan emping di Indonesia.

Enggano juga bisa mengembangkan budidaya kepiting, udang galah, pertanian rumput laut, dan perikanan terumbu karang dengan jalan terapung. “Enggano bisa menjadi pusat bisnis kelautan Bengkulu,” kata Ary.

LIPI melakukan ekspedisi penelitian ke Enggano pada 16 April – 5 Mei lalu. Ekspedisi mengungkap setidaknya 16 kandidat jenis baru, 25 jenis endemik, dan 7 catatan baru.

Sumber berita

Share Button

Asap dan Kejahatan Korporasi

Tragedi asap dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tahun ini telah jadi perhatian masyarakat yang sangat luas, baik di dalam maupun di luar negeri.

Publik makin paham akar masalah kabut asap yang setiap tahun menyambangi beberapa provinsi di Indonesia, khususnya Sumatera dan Kalimantan, yakni dari karut-marutnya pengelolaan sumber daya alam dengan pemberian izin begitu gencar kepada korporasi, dalam skala sangat besar. Termasuk titik api yang bersumber dari konsesi korporasi telah menjadi pengetahuan baru bagi publik.

Penyelenggara negara, dalam hal ini Presiden, pun mengakui ada kejahatan korporasi dalam kebakaran hutan dan lahan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, meskipun masih berupa inisial, juga telah mengumumkan korporasi yang teridentifikasi harus bertanggung jawab karena ada titik api di wilayah konsesinya atau melakukan pembakaran.

Dalam perkembangannya, konsolidasi kekuatan modal bergerak untuk memengaruhi wacana publik. Pelan-pelan, isu kejahatan korporasi digeser.

Pelaku pembakaran hutan lahan kembali diarahkan dan menyasar masyarakat lokal, khususnya masyarakat adat.

Titik konsesi juga diarahkan berada di perkebunan masyarakat. Padahal, bertahun-tahun titik api ditemukan di konsesi perkebunan monokultur skala besar, terutama di lahan gambut.

Dalam periode Januari-September 2015 terdapat 16.334 titik api (Lapan) atau 24.086 titik api (NASA FIRM) pada lima provinsi: Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau.

Analisis data dan fakta kebakaran hutan dan lahan di lima provinsi itu sampai di bulan September 2015, Walhi menemukan bahwa titik api berada di dalam konsesi perusahaan: Kalimantan Tengah (5.672), Kalimantan Barat (2.495), Riau (1.005), Sumatera Selatan (4.416), dan Jambi (2.842).

Tentu kita tak menutup mata bahwa ada lahan masyarakat yang terbakar. Namun, fakta menunjukkan, sebagian besar berada di wilayah konsesi perusahaan, bahkan perusahaan dari grup besar.

Fakta lain, masyarakat lokal tiap tahun sudah banyak yang menjadi tersangka dan dihukum.

Di Riau, misalnya, ada 40 orang yang dipidana. Pertanyaannya, jika sudah banyak anggota masyarakat yang ditangkap, mengapa kebakaran hutan dan lahan terus terjadi?

Dari sini terlihat bahwa penegakan hukum selama ini tak mampu menjangkau pelaku utama.

Pasal 69 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), khususnya dalam penjelasannya, dijadikan “kambing hitam” penyebab kebakaran hutan dan lahan, dan diwacanakan untuk dikaji ulang.

Tulisan ini tidak akan mengupas substansi dari Pasal 69, khususnya penjelasan pada Ayat 2, yang berbunyi “kearifan lokal yang dimaksud adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal dua hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.”

Tulisan ini untuk melihat latar belakang dari dinamika wacana yang berkembang dan kemudian upaya penggiringan wacana publik.

Pasal 69 ini “dikhawatirkan” karena dianggap menjadi basis legal bagi masyarakat untuk membakar hutan dan lahan dengan maksimal 2 hektar.

Penulis berpandangan, tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam pasal ini karena dalam penjelasannya tegas “memagar” dengan ketentuan yang ketat, yakni berbasis pada kearifan lokal dan yang ditanam adalah varietas lokal.

Satu pasal, dalam hal ini penjelasannya, dijadikan sebagai justifikasi bahwa penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah masyarakat adat dan atau masyarakat lokal.

Tentu saja patut dipertanyakan karena sesungguhnya pasal lain dalam UU ini yang menjadi peluang bagi penyelenggara negara untuk menggugat kejahatan korporasi justru tidak optimal diimplementasikan.

Dari sini kita dapat menduga ada skenario pengalihan isu dari kejahatan korporasi menjadi kejahatan individu dan itu pun masyarakat atau masyarakat lokal.

Tujuannya: melindungi korporasi sebagai pelaku utama, juga penghilangan jejak korporasi dari kejahatan yang dilakukan.

Pada kasus kejahatan lingkungan hidup, skenario pengalihan isu atau pengalihan tanggung jawab dilakukan secara sistematis.

Bagaimana memengaruhi opini publik dan berujung menggiring tanggung jawabnya: mengalihkan tanggung jawab hukum kepada masyarakat adat atau masyarakat lokal.

Dalam ekologi politik, kekuasaan, pengetahuan, dan wacana dilihat sebagai sebuah keterkaitan yang dapat memengaruhi situasi dan kondisi lingkungan hidup, termasuk kebijakan.

Kekuasaan tentu bukan hanya dilihat secara politik, juga kekuasaan secara ekonomi.

Dalam kasus kebakaran hutan dan lahan ini tentulah korporasi skala besar, yang bahkan mampu mengontrol kekuasaan politik.

Negara, dalam hal ini penyelenggara negara, mestinya konsisten membidik kejahatan korporasi dan fokus pada upaya penegakan hukum dengan menggunakan instrumen yang tersedia melimpah dalam UU No 32/2009 ketimbang mengotak-atik penjelasan Pasal 69 Ayat 2. Karena itu, merawat ingatan bagi publik menjadi penting untuk terus melawan kejahatan korporasi.

Sumber berita

Share Button