23 Perusahaan Pembakar Hutan yang Dijatuhi Sanksi oleh Pemerintah

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengumumkan inisial 23 nama perusahaan yang sudah diberikan sanksi akibat terbukti menyebabkan kebakaram hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan.

Sementara itu, 33 perusahaan lainnya hingga saat ini masih dalam proses penyidikan kementerian.

“Kalau ada kasus pidana, sanksi administrasi akan pararel dengan pidana. Maka koordinasi kami dengan Polri akan sangat kuat,” ujar Menteri LHK Siti Nurbaya dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Senin (21/12/2015).

Kementerian memberikan sanksi pencabutan izin terhadap 3 perusahaan, pembekuan izin terhadap 16 perusahaan, dan paksaan pemerintah untuk menguasai lahan terhadap 4 perusahaan.

Berikut daftar inisial perusahaan berserta jenis sanksi yang diberikan:

Pencabutan hak pengusahaan hutan
HSL (Riau)

Pencabutan izin lingkungan
1. DHL (Jambi)
2. MAS (Kalimantan Barat)

Paksaan pemerintah untuk menguasai lahan
1. WKS (Jambi)
2. IHM (Kalimantan Timur)
3. KU (Jambi)
4. BSS (Kalimantan Barat)

Pembekuan Izin
1. BMH (Sumatera Selatan)
2. SWI (Sumatera Selatan)
3. SRL (Riau)
4. PBP (Jambi)
5. BMJ (Kalimantan Barat)
6. IFP (Kalimantan Tengah)
7. TKM (Kalimantan Tengah)
8. KH (Kalimantan Tengah)
9. DML (Kalimantan Timur)
10. SPW (Kalimantan Tengah)
11. HE (Kalimantan Tengah)
12. WAJ (Sumatera Selatan)
13. RPP (Sumatera Selatan)
14. LIH (Riau)
15. TPR (Sumatera Selatan)
16. BACP (Kalimantan Utara)

Share Button

Hutan Menjadi Jembatan Transisi Energi

Negosiator di Paris menghadapi pekerjaan yang sulit untuk meresmikan kesepakatan global untuk memangkas emisi gas rumah kaca untuk mencegah dampak terburuk perubahan iklim. Rindangnya tampilan hutan akan mengungkapkan solusi. Sebenarnya, pengelolaan hutan tropis bisa menstabilkan konsentrasi CO2 saat ini, sementara negara dan pihak tertentu lebih sibuk mentransisi bahan bakar fosil untuk menghasilkan energi terbarukan.

Masalah Waktu

Negosiasi iklim membatasi pemanasan global dengan peningkatan antara 1,5 dan 2 derajat Celsius (2,7-3,6 derajat Fahrenheit). Untuk melakukan itu penggunaan bahan bakar fosil mesti diberhentikan, karena sekali CO2 memasuki atmosfer, efek pemanasan yang berlangsung selama berabad-abad.

Apakah pemerintah bisa bertindak cukup cepat? Ini akan menjadi sulit jika mereka hanya mengandalkan transisi dari fosil ke bahan bakar terbarukan. Luasnya hutan tropis di dunia dapat membantu hal ini, dengan menarik sejumlah besar karbon dari atmosfer, emisi yang lain akan berkontribusi terhadap perubahan iklim. Pengelolaan hutan tropis dapat menarik sebanyak 3 miliar metrik ton karbon, senilai sekitar 30 tahun emisi karbon saat ini.

Kemampuan hutan menyerap karbon tidak dapat dibandingkan dengan emisi potensi cadangan bahan bakar fosil planet saat ini. Hutan jelas lebih bernilai ketika dibandingkan dengan potensi iklim-dalam menstabilkan pemotongan emisi yang akan diperlukan untuk menghindari pemanasan lebih dari 2 derajat Celcius. Jelas bahwa hutan mampu menyeimbangkan karbon, sementara dunia menyiapkan energi ramah lingkungan.

Para ilmuwan sering menjelaskan bahwa deforestasi menyumbang sekitar 10 persen dari emisi gas rumah kaca global di dunia setiap tahun, namun statistik mengaburkan peran unik hutan dalam bermain di iklim. Ketika petani membabat hutan untuk pertanian, memperhitungkan sumber emisi seperti mengolah tanah, deforestasi menghasilkan 4 miliar metrik ton karbon ke atmosfer setiap tahun. Walau demikia, pohon dan tanah juga menyerap karbon dari atmosfer, untuk 3 miliar metrik ton per tahun.

Emisi bersih dari deforestasi “hanya” 1 miliar metrik ton per tahun,  tampak relatif kecil dibandingkan dengan 9 miliar metrik ton emisi dari pembakaran bahan bakar fosil. Namun berdasarkan jumlah baku emisi masuk ke atmosfer, hutan tetap menjadi pemain utama dalam sistem iklim global.

Jika para pemimpin iklim bisa mengubah dinamika untuk mendorong deforestasi –jika mereka bisa mengajak petani di tepi hutan tropis yang luas dunia untuk tinggal di tanah yang sama, menjaga hutan yang tersisa utuh, dan memungkinkan daerah yang tidak digunakan dibersihkan untuk tumbuh kembali— potensi penyimpanan karbon benar-benar mengesankan.

Tidak hanya menghentikan 4 miliar metrik ton emisi pergi ke atmosfer, hal ini juga berarti bahwa dunia akan terus menikmati manfaat dari hutan dan lahan untuk menyerap karbon dari atmosfer. Kebijakan tambahan yang ditujukan untuk reboisasi dapat menyebabkan miliar ton emisi yang tersimpan di hutan, bukannya atmosfer. Skenario seperti itu akan memotong setengah dari total emisi global, dari 10 miliar metrik ton hari ini menjadi 5 miliar metrik ton.

Orang-orang pun tidak perlu melakukan ini selamanya. Setelah dunia berhenti memancarkan sejumlah besar gas rumah kaca, peran hutan ‘sebagai penyerap karbon menjadi tidak lagi terlalu penting. Bidang kehutanan yang berkelanjutan menjadi jauh lebih mudah di zaman energi bersih dan rendah emisi.

Merubah penggunaan energi dengan bahan bakar fosil mungkin terdengar realistis untuk beberapa pihak, tetapi pada kenyataannya sama dengan melepaskan 10 miliar metrik ton karbon dioksida ke atmosfer setiap tahun, seperti yang dilakukan dunia saat ini. Tidak realistis dan bukan hal berkelanjutan. Ini harus dirubah.

sumber berita

Share Button

Satu Kata Ini Hampir Membuat Kesepakatan Paris Gagal

Kesepakatan yang dicapai dalam KTT Perubahan Iklim di Paris pada akhir pekan hampir saja gagal tercapai gara-gara satu kata, yakni karena penggunaan “should” atau “shall“.

Beberapa jam sebelum kesepakatan diumumkan, seorang anggota delegasi dari Amerika Serikat melihat adanya perubahan dalam draf kesepakatan dari versi sebelumnya dengan versi akhir.

Di dalam draf sebelumnya, kata “should” digunakan. Namun, dalam versi paling akhir, kata yang digunakan adalah “shall“. Keduanya bermakna sama, “akan”, tetapi dalam bahasa Inggris memiliki implikasi yang berbeda.

Should” bisa diartikan sebagai kewajiban moral, tetapi tidak memaksa sebuah negara untuk melakukan sesuatu, sementara kata “shall” berarti adanya kewajiban untuk melakukan satu tindakan.

Bila kata “shall” benar-benar dipergunakan dalam naskah final kesepakatan itu, implikasinya di Amerika Serikat akan memerlukan persetujuan dari kongres. Hal ini sudah disebutkan sebagai hal yang mustahil akan terjadi.

Bila kata tersebut tidak diubah, Amerika Serikat pun tidak bisa menandatanganinya. Dampaknya, China juga tidak akan ikut tanda tangan atas perjanjian yang AS tidak ikut serta.

Namun, memperbaiki kata tersebut bukanlah juga hal yang mudah. Beberapa negara melihat bahwa ini adalah perubahan serius yang memerlukan perundingan dimulai lagi dari awal.

Nikaragua yang semula menolak perjanjian melihat peluang untuk mendapatkan keuntungan. Dengan posisi ini, keadaan menjadi tegang karena kesepakatan akhir bisa tidak tercapai.

Yang terjadi kemudian adalah campur tangan tinggi dengan Presiden AS Barack Obama dan pemimpin Kuba Raul Castro menelepon delegasi Nikaragua meminta mereka untuk menyetujui.

ABC juga mendapat laporan bahwa China memainkan peran penting dalam melakukan lobi dengan beberapa negara guna menerima perubahan akhir tersebut.

Tekanan akhirnya berhasil, dengan kata “shall” diganti semua menjadi “should“, dan teks itu diserahkan kepada sidang dan diterima.

Sumber berita

Share Button

Masukan Revisi Aturan Tata Kelola Hutan

Usulan revisi PP 6 tahun 2007 soal tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan serta pemanfaatan hutan makin menguat karena dinilai sudah tak sesuai perkembangan keadaan.

Aturan ini dipandang harus segera menyesuaikan dengan beragam produk hukum seperti putusan MK-45, MK-35 ,UU Pemerintahan Daerah, UU Desa dan peraturan perundangan lain. Revisi aturan ini masih tertahan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, mengatakan, perlu political will pemerintah untuk menyelesaikan benang kusut pengurusan hutan yang berlangsung puluhan tahun. “Ini akibat tiga doktrin kehutanan yang mendominasi kebijakan kehutanan Indonesia yaitu timber primacy, the long term dan absolute standard. Ketiganya mengesampingkan unsur dan kepentingan masyarakat sekitar hutan,” katanya dalam diskusi di Jakarta, awal pekan lalu.

Usulan revisi PP 6 tahun 2007, katanya, ada inisiatif dari Litbang KPK terkait nota kesepahaman bersama 12 kementerian/lembaga. Sekarang, katanya, diganti gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam dengan 24 gubernur. “Semula proses revisi diharapkan selesai 2014, lalu mundur sampai sekarang.”

Di KLHK, katanya, ada dua proses terpisah. Pertama, akhir jabatan Menteri Zulkifli Hasan, dengan koordinator staf ahli bidang kelembagaan. Pembahasan revisi sampai draf pertama. Kedua, setelah Menteri Siti Nurbaya, ada inisiatif dari Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Hadi Daryanto tetapi hanya fokus perhutanan sosial. “Tidak menyeluruh. Dua draf sedang disatukan KLHK tapi belum mendapatkan input komprehensif dari masyarakat sipil.”

Saat kajian Litbang KPK 2013, kata Hariadi, terungkap biaya transaksi perizinan dan ketidakadilan alokasi sumber daya hutan, seperti 97% hutan untuk usaha besar. “Kalau mau memperbaiki kebijakan gak bisa cuma level permen, harus PP. Sebenarnya perlu perubahan UU tapi kan harus ada Prolegnas,” katanya.

Terkait efisiensi perizinan, katanya, PP ini menjabarkan perizinan sangat detil , dibagi per komoditi hingga menimbulkan biaya tinggi.

Hariadi mengatakan, isi revisi juga harus melonggarkan akses masyarakat adat maupun lokal melalui fasilitasi kuat. Selama ini, perizinan bagi masyarakat lokal/adat begitu berat.

“Revisi juga harus menyelesaikan keterlanjuran konflik antara masyarakat dengan pemegang izin. Selama ini solusi pragmatis. Ada konflik dan ketimpangan, pemegang izin harus memberikan 20% lahan ke masyarakat. Di lapangan belum tentu masyarakat perlu 20%. Masing-masing ada situasi tersendiri. Ini harus dibereskan PP ini.”

Selain itu, harus ditekankan dalam revisi PP soal karakteristik otonomi khusus terutama Aceh dan Papua. Dua provinsi itu punya UU sendiri.

“Yang di Papua, terhenti karena masyarakat adat ada dimana-mana. Deal jadi person to person yang tidak diwadahi aturan manapun. Itu harus diselesaikan aturan seperti apa? Dari 34 HPH di Papua, beroperasi 17. Itu posisi bagaimana? Sementara masyarakat belum mendapatkan sistem perizinan khas Papua.”

Sistem yang ada baru soal hutan kemasyarakatan maupun hutan desa yang hanya cocok di Sumatera dan Jawa. Sedang masyarakat di Papua berbeda. “Mereka masih berburu dan meramu. Tak bisa hanya memakai pendekatan scientific forestry, harus mendekatkan kearifan lokal.”

Menurut dia, wilayah dengan otonomi khusus, pengelolaan hutan harus dengan peraturan sendiri. “Di Aceh bisa menggunakan qanun atau Perdasus di Papua.”

Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Andiko Sutan Mancayo mengatakan, dalam revisi seharusnya bisa lebih sederhana hingga mudah dipahami.

“Poin-poin yang harus diperhatikan soal penyederhanaan izin dan bagaimana posisi masyarakat dipermudah. Harus memasukkan hutan adat karena ada putusan MK-35. Juga menghentikan ekonomi biaya tinggi.”

Dengan begitu, aturan ini bisa membawa perbaikan dan mereduksi konflik. “Hingga PP ini nanti bisa menjadi alat perbaikan tata kelola,” kata pengacara senior AsM Law Office ini.

Revisi PP ini, katanya, harus sejalan dengan pengakuan hutan adat dan mempermudah perhutanan sosial. “Masyarakat adat sekarang dikasih izin pemanfaatan hasil hutan non kayu. Harusnya bisa terintegrasi. Satu izin tapi bisa mengelola yang lain. Tidak per komoditi. Hutan adat harusnya berhak mengelola macam-macam. Terkecuali ya mungkin tambang,” katanya.

Dalam revisi juga perlu ada kepastian usaha dan akuntabilitas perizinan. Jadi, katanya, kalau ada masalah, ada prosedur penyelesaian konflik.

Andiko mengatakan, PP itu harus sinkron dengan UU Otonomi Daerah yang baru. Politik perizinan juga harus jelas. “Pemerintah harus mengawal dan mengawasi.”

Senada dengan Nia Ramdhaniaty, Direktur Eksekutif Rimbawan Muda Indonesia (RMI). Dia mengatakan, revisi PP menjadi penting karena kebijakan ini acuan tata kelola dan pemanfaatan hutan oleh semua pihak. “Jika tidak tertata baik dan tak saling terintegrasi, bisa menimbulkan dampak tidak diinginkan.”

Revisi penting, katanya, mengingat terjadi biaya transaksi perizinan kehutanan tinggi dan konflik kepentingan dalam pengawasan hutan antara pemerintah dan pemegang izin. Juga terdapat ketidakjelasan batasan maksimum penggunaan lahan oleh pemegang izin usaha dan ketidakjelasan pengaturan bentuk pemanfaatan oleh masyarakat adat/lokal di semua fungsi kawasan. Kondisi ini, berpotensi menimbulkan konflik sosial.

Belum lagi soal ketidaksingkronan aturan. Dia mencontohkan, UU Nomor 23 tahun 2014 meletakkan kewenangan kehutanan di provinsi, PP ini penatabatasan kawasan hutan dan perizinan pengusahaan hutan termasuk HKm dan hutan desa di kabupaten. “Ini berpotensi mengganjal penatabatasan kawasan hutan dan pengurusan perhutanan sosial karena dua peraturan ini kontradiktif,” katanya.

Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Hadi Daryanto kala dikonfirmasi mengatakan, revisi PP ini seharusnya selesai sejak 2015 tetapi kementerian  memprioritaskan revisi PP 60 terlebih dahulu. Dia menargetkan, revisi selesai 2016.

Sumber berita

Share Button

Wilayah Moratorium Izin Hutan dan Lahan Naik Tipis

Revisi peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB) IX memperlihatkan wilayah cakupan moratorium izin hutan primer dan lahan gambut naik tipis, sebesar 71.099 hektar, menjadi 65,086,113 hektar. Pada revisi VIII, luas wilayah 65,015,014 hektar.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, perubahan ini karena ada beberapa penambahan dan pengurangan kawasan. Dia menyebutkan, dalam beberapa bulan terakhir,ada izin-izin dikembalikan atau ditarik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Ada karena harga batubara rendah, investor mengembalikan izin. Perizinan di Meranti juga ambil kembali KLHK sekitar 10.000 hektar,” katanya di Jakarta, Kamis (17/12/15).

Siti memperkirakan, penambahan kawasan moratorium akan lebih signifikan dalam revisi X karena ada kebijakan-kebijakan baru. “Muatan kebijakan areal terbakar diambil, tak boleh ada izin baru, yang sudah ada izin gak boleh land clearing. Peraturan sedang disiapkan. Sudah hampir selesai.”

PIPIB, katanya, akan terus diperkuat terlebih setelah kebakaran lahan dan hutan beberapa waktu lalu. KLHK, akan mengevaluasi keseluruhan perizinan.

Siti mengatakan, dari kebakaran hutan dan lahan lalu, KLHK sedang mempelajari bentuk moratorium ke depan. Dia setuju penguatan moratorium suatu keniscayaan.“Perkiraan saya sih, kalau misal enam bulan lagi pasti berubah banyak, mungkin bukan diperpanjang lagi namanya, tetapi mendekati suatu format. Kita juga dituntut banyak saat COP 21 di Paris. Juga diberi guidance oleh internasional kalau Indonesia mau baik, harus ada perubahan dahsyat,” katanya.

Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan San Afri Awang mengatakan, revisi PIPIB bukan hanya ditentukan KLHK. Ada melibatkan Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

“Kita selalu check and balance bersama-sama dan melihat perubahan dimana. Kita juga memperhatikan hasil survei dari kondisi fisik lapangan. Biasa kalau lahan gambut kita menerima masukan Balai Besar Sumber Daya Lahan Kementan, KLHK juga dari perguruan tinggi terutama ahli gambut,” katanya. Untuk hutan primer mendapatkan masukan dari Dinas Kehutanan dan perguruan tinggi.

Adapun perubahan-perubahan dalan PIPIB IX dari enam komponen. Pertama, perkembangan tata ruang 25.175 hektar. Kedua, pembaharuan data perizinan 191.047 hektar yang berkaitan pencabutan izin, misal PT Hutani Sola di Riau, PT Citra Lembah Kencana di Papua, PT Dyeara Hutani Lestari di Jambi. Juga pembaharuan izin pemanfaatan dan izin pelepasan kawasan untuk perkebunan dan data transmigrasi baru terinventarisir.

Ketiga, pembaharuan data bidang tanah berupa pengurangan kawasan hutan seluas 71.849 hektar terkait data HGU kadastral BPN. Awang mengatakan, cukup banyak data masih proses di Kementerian ATR/BPN.

Keempat, konfirmasi perizinan sebelum Inpres dan tindak lanjut terjadi pengurangan kawasan hutan 12.658 hektar dari masukan masyarakat tentang izin dan pengusahaan lahan.

Kelima, laporan survei hutan alam primer berupa pengurangan kawasan 44.259 hektar. Survei oleh Dishut provinsi, kabupaten dan perguruan tinggi terhadap 12 perusahaan. Keenam, laporan survei lahan gambut terhadap 36 perusahaan oleh BBSDLP, terjadi pengurangan 16.357 hektar.

“Kalau kita lihat penambahan dan pengurangan luas moratorium dari PIPIB pertama sampai IX ini, angka mulai relatif stabil,” katanya. Soal peta perizinan ini, katanya, akan lebih baik jika one map policy diterapkan.

Sumber berita

Share Button

Pengusaha Kehutanan Wajib Laporkan Produksi secara Online Mulai 2016

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meluncurkan sistem self assesment berbasis online untuk mencatat hasil produksi kehutanan. Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SI-PHH) akan efektif mulai 1 Januari 2016.

Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan, metode ini sangat bagus karena memudahkan lacak balak kayu. “Begitu ada kayu mau ditebang diberi label, dikasih barcode, jadi ketahuan koordinat dimana. Kemudian masuk sistem, langsung terlaporkan ke unit-unit berkepentingan. Baik KLHK, Kementerian Keuangan, Dinas Kehutanan juga perusahaan,” katanya dalam peluncuran sistem ini di Jakarta, Selasa (15/12/15).

Dia mengatakan, bersama kayu hanya perlu satu dokumen, termasuk ke polisi. “Jadi polisi di jalanan gak perlu periksa-periksa lagi. Langsung ke lokasi.”

Pengusaha kehutanan baik HTI maupun HPH wajib melaporkan data produksi mandiri melalui jaringan internet. Perusahaan, katanya, harus memasukkan data jenis, diameter dan koordinat GPS pohon yang akan ditebang. Juga besaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) harus dibayarkan pengusaha kehutanan seperti dana reboisasi, provisi sumber daya hutan (PSDH). Pembayaran PNBP itu akan terintegrasi dengan sistem informasi penerimaan negara bukan pajak online (Simponi) dari Kemenkeu.
Namun, katanya, sistem ini masih terus disempurnakan. “Habis ditebang, bagaimana program selanjutnya? Ini juga mengontrol sistem rotasi tebang dan tanam di perusahaan. Kita akan kembangkan lagi.” Sistem ini, katanya, baik untuk meningkatkan transparansi.

Siti berharap, pelaku usaha menggunakan sistem dengan baik. Ia tonggak perubahan sangat penting.

“Banyak hal yang harus dikerjakan bersama dengan asosiasi pengusaha. Saya merasakan kita mengalami masa sulit. Harus kita selesaikan dengan sistem dan kebijakan yang tepat.”

Penerapan SI-PPHH, akan memberikan dorongan positif dan signifikan dalam menjaga hutan. Sekaligus menunjukkan kepada publik pemerintah bisa melakukan perubahan.

Ida Bagus Putera Prathama, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK mengatakan, sistem ini dperlukan guna penataan usaha kehutanan yang selama ini masih banyak kelemahan.

“Masih membuat celah simpul biaya tinggi. Itu jadi sorotan banyak pihak dan merugikan negara sampai triliunan. Dengan sistem ini diharapkan

pengelolaan hutan bisa berjalan tepat dan benar. Ada inventarisasi potensi secara benar,” katanya.

Untuk menerapkan sistem ini, KLHK telah melatih 982 operator. Jumlah itu akan bertambah dengan dukungan pemda maupun asosiasi.

“Memang ada keberatan dari pelaku usaha khusus dalam waktu singkat sumber daya manusia belum siap. Diharapkan ini tak jadi hambatan penerapan tahun depan. Ini demi kehendak tinggi KLHK berubah secara fundamental.”

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Irsyal Yasman mengapresiasi peluncuran sistem ini. Dengan begitu akan memangkas biaya tinggi.

“Semua real time, jadi kita dengan pemerintah mesti sama. Harus menyakinkan pihak lain juga. Tak cukup KLHK juga pemerintah daerah, supaya sistem diketahui bersama. Nanti tidak ada interpretasi berbeda di lapangan. Sosilisasi ke daerah-daerah harus dilakukan.”

Selama ini, katanya, kesulitan pengusaha kehutanan banyak pungutan. “Kalau tidak online, dengan berita acara itu kita harus diperiksa. Pemeriksaan-pemeriksaan biasa selalu ada biaya.”

Meski begitu, katanya, bukan berarti pengusaha bisa memasukkan data asal-asalan. Jika ada kesalahan memasukkan data, akan diketahui dalam pos audit pemerintah. Jadi, tak bisa semena-mena. Perusahaan yang melanggar, bisa kena sanksi sampai pencabutan izin.

“Jadi sekarang semua pihak menjadi hati-hati. Bertanggungjawab. Tak mungkin kita mengarang data.Orang takut berbuat kesalahan. Sistem baik ini harus didukung semua pihak,” katanya.

Terintegrasi SVLK

Sistem ini, kata Siti, akan tersambung dengan sertifikasi verifikasi legalitas kayu (SVLK) termasuk bagaimana ekspor di Bea Cukai. Meski begitu, bukan berarti sistemself assesment online ini membuat SVLK hilir tak perlu lagi. SVLK hilir tetap perlu.

Sumber berita

Share Button