Mulai 1 April, Pegusulan Akreditasi Jurnal Ilmiah harus Berbasis Elektronik

Mulai 1 April, proses pengajuan akreditasi jurnal (terbitan berkala) ilmiah di Indonesia harus dilakukan secara elektronik. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Lukman, ST., M.Hum.,  Sekretaris Tim Perumus Akreditasi Jurnal Dikti dan LIPI, saat menjadi narasumber pada acara pembahasan Publikasi Badan Litbang dan Inovasi di Hotel Sahira-Bogor, Kamis (31/03).

“Mulai tanggal 01 April 2016, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Direktorat Pengelolaan Kekayaan Intelektual hanya menerima dan memproses usulan akreditasi jurnal (terbitan berkala) ilmiah nasional yang telah dikelola secara elektronik, sehingga proses penilaian akan lebih cepat, akurat dan transparan,” kata Lukman.

Lukman menyatakan bahwa perubahan proses pengajuan akreditasi ini akan mempercepat proses pelaksanaan akreditasi sekaligus memperbaiki mutu proses akreditasi. Selain itu, diharapkan akan muncul lebih banyak terbitan berkala nasional dengan kualitas baik dan dapat didorong untuk menjadi terbitan berkala internasional.

“Dengan sistem elektronik tersebut proses pengindeksan dan dampak ilmiah atau sitasi suatu tulisan akan diketahui dengan cepat, sehingga manfaat dari suatu Karya Tulis Ilmiah (KTI) dapat diketahui segera,” ungkap Lukman.

Lukman menyatakan bahwa perkembangan jurnal ilmiah di Indonesia yang terindeks di Directory of Open Access Journal (DOAJ) meningkat. Pada Tahun 2015, Indonesia menduduki peringkat 14 dan Tahun 2016 (sampai dengan Maret) telah menduduki peringkat 12.

“Harapannya, dua tahun ke depan kita dibawah Spain atau peringkat kelima. Step pertama semua jurnal terindeks di DOAJ,” kata Lukman.

“Di lingkup BLI sendiri sudah ada jurnal yang terindeks di DOAJ, yaitu Jurnal Wallacea. Sedangkan Indonesian Jurnal of Forestry Research (IJFR) sedang menuju kesana. Step by step proses tersebut sebaiknya dishare ke yang lain sehingga bisa mengikuti,” tambahnya.

Menurut Lukman trend jurnal ilmiah elektronik (electronic Journal/e-journal) di Indonesia juga mengalami peningkatan. Pada Tanggal 15 Nopember 2015 berjumlah 9.840 buah dan pada Tanggal 15 Januari 2016 menjadi 11.480 buah atau meningkat 1.2% (1.640 buah).

“Saya harapkan setelah Bapak Ibu tahu jalannya maka akan mengurus akreditasi jurnal. Pengelolaan e-journal mudah tetapi jangan salah dalam pengelolaan. Perlu komitmen untuk mengelola ini,” tegas Lukman.

Untuk simulasi dalam pengajuan akreditasi jurnal secara elektronik, peserta dianjurkan untuk melakukan simulasi pada aplikasi Akreditasi Jurnal Nasional (Arjuna) yaitu sistem akreditasi berbasis elektronik yang dapat diakses di http://arjuna.dikti.go.id

“Silahkan menggunakan simulasi tersebut. Apabila diulang-ulang dan nilai selalu diatas 70, nekat silahkan untuk diajukan. Memberi nilai kita harus PD (Percaya Diri). Lebih baik ke atas untuk diajukan. Jangan sampai low profil karena nilai evaluasi tidak akan diatur lagi,”kata Lukman.

Selain itu, Lukman juga memberikan beberapa tips untuk proses pengajuan akreditasi jurnal elektronik, antara lain: 1). Pemberian nama jurnal harus diperhatikan, sebaiknya spesifik pada bidang atau topiknya serta hindari nama yang berbau instansi; 2). Ketersedian naskah merupakan faktor penting dalam akreditasi jurnal. Untuk jurnal yang belum terakreditasi dapat dilakukan dengan kolaborasi beberapa UPT atau meminta professor peneliti untuk menyumbang naskah. Sedangkan jurnal yang sudah terakreditasi atau tahap renewer (pembaharuan) dapat dilakukan dengan konferensi dan memilih naskah yang baik untuk dimuat dalam jurnal tersebut.

Setuju dengan hal tersebut, Ir. C. Nugroho S. Priyono, M.Sc, Kepala Bagian Evaluasi, Diseminasi dan Perpustakaan (EDP) menyatakan cadangan naskah sangat penting untuk keberlanjutan jurnal. Siasatnya bisa melakukan konferensi seperti yang dilakukan dalam pengelolaan IJFR dengan kegiatan International Conference of Indonesia Forestry Researches (INAFOR) ataupun kolaborasi beberapa balai dalam pengelolaan Jurnal Wallacea.

“Hari ini hari terakhir pengajuan akreditasi jurnal ilmiah secara offline. Besok sudah harus mulai menggunakan sistem akreditasi secara online atau Arjuna. Teknologi itu suatu keniscayaan,” kata Nugroho.

Menurut Nugroho adanya kemajuan teknologi telah membawa perubahan besar terhadap sistem pengelolaan terbitan berkala sampai penentuan indeks sitasi dan pengukuran dampak ilmiah suatu artikel. Oleh karena itu, diharapkan renewer atau perubahan tersebut terus diikuti dan tidak dihindari.

“Arjuna lebih menguasai dalam pengelolaan jurnal. Dewan redaksi jadi paham bahwa penilaiannya sangat mempengaruhi akreditasi jurnal, karena kualitas tulisan yang bagus akan berpengaruh pada penilaian, sehingga dewan redaksi tidak terlalu persuasif atau longgar,” ungkap Nugroho.

Nugroho berharap bahwa kegiatan pembahasan ini merupakan modal awal dalam pengelolaan e-journal di BLI. Peserta diharapkan saling berbagi ilmu dan membantu menuju pengelolaan jurnal ilmiah yang terakreditasi dan bereputasi.

Learning by doing. Kita harus confident karena banyak temen yang akan membantu. Learning by doing,”tegas Nugroho saat menutup acara. ***THS

 

 

Share Button

Tingkatkan Skill Pengelolaan Jurnal Ilmiah, BLI Adakan Workshop E-Journal

”Dalam menghadapi era baru, kita harus merubah mindset serta harus meningkatkan pemahaman serta skill kita,”kata Ir. C. Nugroho S. Priyono, M.Sc selaku wakil Sekretaris Badan Litbang dan Inovasi (Sekbadan) saat memberikan sambutan pada acara workshop e-journal di Ruang Rapat Sudiarto, Kampus BLI, Gunung Batu-Bogor, 29-30 Maret 2016.

“Kami harap kita siap, 1 April kita sudah masuk e-journal. Suka atau tidak suka kita sudah mengalami revolusi dan jangan dibandingkan dengan yang dulu, karena sudah berubah. Sudah comfortable  dengan DIKTI sehingga dosen bisa kirim Karya Tulis Ilmiah (KTI) ke kita atau sebaliknya,”kata Nugroho.

Disadari bahwa adanya Peraturan Kepala LIPI Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pedoman Akreditasi Jurnal Ilmiah, yang menyatakan bahwa salah satu unsur penilaian akreditasi adalah pengelolaan jurnal ilmiah harus dilakukan secara online atau elektronik. Peraturan tersebut akan mulai diberlakukan secara nasional per 1 April 2016.

Adanya peraturan tersebut, secara tidak langsung telah memaksa pengelolaan jurnal, yang semula dilakukan secara manual berubah menjadi elektronik, dimana seluruh proses pengelolaan jurnal dilaksanakan online mulai dari proses penerimaan, review, editing, sampai ke penerbitan naskah final.

“Kita tidak akan menerima KTI dalam bentuk hardcopy. Kita sudah buat edaran ke peneliti. Tidak ada alasan lagi peneliti tidak bisa internet. Sangat fundamental untuk mempublikasikan karyanya menggunakan tools. Itu sederhana tapi mendasar,”tegas Nugroho.

Nugroho menyatakan bahwa sebetulnya proses sosialisasi dan ujicoba implementasi e-journal kepada para pihak terkait yang terlibat dalam proses penerbitan jurnal terutama kepada dewan redaksi, mitra bestari dan sekretariat redaksi pengelola jurnal, telah dilaksanakan sejak 2014 yaitu pada Oktober 2014 dan September 2015. Beberapa Satker juga telah melakukan sosialisasi internal beberapa kali.

Selain itu, pada Tahun 2014, BLI juga telah mengembangkan Portal Publikasi Badan Litbang Portal Publikasi Badan Litbang dan Inovasi dengan alamat: www.ejournal.forda-mof.org. Sampai dengan Tahun 2016, dalam portal tersebut ditampilkan 15 link terbitan berkala ilmiah/jurnal yang ada di BLI. Sedangkan satu jurnal BLI mempunyai website sendiri dan tidak tergabung dalam Portal Publikasi (Jurnal Wallacea).

“Kita canangkan maksud pertemuan ini, mempersiapkan pengelola jurnal dalam era e-journal,” tegasnya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam workshop tersebut menghadirkan narasumber sekaligus pemandu dari LIPI, Deden Sumirat, M.Kom., Pengembang dan Pengelola e-journal LIPI yang akan memberikan materi implementasi e-journal dan praktek Open Journal System (OJS)

“Ojeg saja sudah online masak kita belum online. Mari bersama-sama kita lakukan dan implementasikan teknologi ini untuk perkembangan. Teknologi harus mengerti kita,”kata Deden Sumirat, M. Kom.

Deden mengingatkan bahwa jurnal online berbeda dengan e-journal. Jurnal online belum tentu e-journal tetapi kalau e-journal pasti jurnal online. Dalam e-journal semua tahap-tahan dalam prosesnya dilakukan secara online, baik call for paper, editorial maupun submission. Sedangkan jurnalonline hanya dipublish online dan bisa didownload.

“Adanya e-journal bertujuan untuk mendapatkan sintasi yang banyak, baik nasional maupun dunia. Selain itu dapat indeks internasional. Dengan e-journal, akses meningkat, kualitas terangkat dan lebih ekonomis dalam hal pencetakan,”kata Deden.

Workshop selama dua hari ini lebih banyak dilakukan secara praktek dan dimulai dari hal-hal yang praktis. Dengan harapan agar diketahui kesulitan atau permasalahan yang ada. Selain itu, workshop ini tidak hanya mengundang UPT yang sudah mempunyai jurnal, tetapi juga UPT yang belum punya atau baru proses pengajuan jurnal, untuk bisa melayani atau fasilitator peneliti  menyampaikan KTI pada jurnal BLI.

Pada akhir sambutan, Nugroho membacakan beberapa harapan dari Sekbadan sebagai tindak lanjut acara ini, antara lain: 1). Peserta dapat mempergunakan pemahaman dan sklill yang diterima untuk memenuhi persyaratan akreditasi; 2). Semua pihak baik dewan redaksi, mitra bestari, sekretariat dan penulis dapat mengimplementasikan portal e-journal publikasi Badan Litbang dan Inovasi yang telah dibangun. 3). Pengelola dapat meningkatkan indeksasi publikasi lingkup BLI oleh lembaga pengindek di tingkat nasional maupun internasional. ***THS

Share Button

Rencana Strategis Setjen Kementerian Lhk 2015-2019

Rencana Strategis Sekretariat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015-2019

Silahkan unduh file dibawah ini untuk informasi lebih lengkap :

1. Cover

2. Lampiran Rencana Strategis

3. Renstra Kesekjenan 2015-2019

Share Button

Potensi Ekonomi Kawasan Konservasi, Mesin Ekonomi Masa Depan

Sekretaris Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Bambang Novianto menyatakan bahwa Kementerain LHK mengelola kawasan konservasi secara optimal untuk meningkatkan manfaat secara ekonomi sesuai dengan kaidah konservasi. Saat ini Kementerian LHK mengepankan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan dan mendukung kesejahteraan masyarakat di kawasan konservasi melalui pemanfaatan jasa lingkungan seperti, obyek dan daya tarik wisata alam (ODTWA), air, geothermal, dan karbon. Hal ini diungkapkan pada Diskusi “Konservasi dan Pertumbuhan Ekonomi” yang diselenggarakan oleh Biro Humas Kementerian LHK di Jakarta.

Kawasan konservasi di Indonesia terdiri dari 551 unit yang mencakup kawasan seluas 27,2 Juta Ha, yang memiliki potensi air 6,5 Milyar M3, potensi listrik dari panas bumi (geothermal) 5.935 MW dan potensi karbon sebesar 392,68 juta ton. Selain itu juga masing-masing memiliki potensi ekonomi dari keunikannya sebagai ODTWA. Salah satu contohnya adalah Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur yang telah dicanangkan Pemerintah sebagai destinasi wisata kelas dunia.

Dari data yang dipaparkan oleh Kepala Balai Taman Nasional Komodo, Ir. Helmy, PNBP Taman Nasional Komodo selau meningkat setiap tahunnya, pada tahun 2015 PNBP mencapai Rp. 19,3 M, Meningkat 400 Persen dari tahun 2014. Kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara juga trend-nya terus meningkat. Hal ini menunjukan bahwa potensi ekonomi kawasan konservasi merupakan mesin ekonomi masa depan.

Hal ini tidak lepas dari dukungan semua pihak utamanya dorongan dari Presiden Jokowi untuk melakukan promosi wisata lebih besar dan menambah aksesibilitas menuju Taman Nasional Komodo. Diantaranya dengan meningkatkan volume  penerbangan langsung ke Pulau Komodo, yang tentunya memerlukan sinergitas kerja dengan instansi dan stakeholder lainnya.

Pemanfaatan potensi ekonomi kawasan konservasi juga memberikan efek langsung terhadap peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan manusia, utamanya masyarakat sekitar. Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Herry Subagiadi menyatakan, –Multiplier effect konservasi mampu mendorong pembangunan ekonomi masyarakat sekitar utamanya dalam hal akomodasi, konsumsi, guide dan cinderamata-.

Penanggung Jawab Berita:

Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK, Novrizal, HP.0818432387

Share Button

Rancangan Undang-Undang Tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI 
[PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA]

 

Berdasarkan hasil masukan publik pada konsultasi publik di Jakarta, Medan dan Makassar terlampir revisi RUU Keanekaragaman Hayati.

 

Selengkapnya dapat dilihat pada lampiran berikut :

RUU Tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati Update 28/03/2016

Share Button

Pengelolaan Habitat Orangutan dalam Bentang Alam Wehea – Kelay

The Nature Conservancy (TNC) bersama beberapa stakeholder telah membuat MoU pengelolaan habitat Orangutan bernilai konservasi tinggi di Kawasan Bentang Alam Wehea – Kelay. Kawasan seluas 264.480 ha tersebut terletak di Kecamatan Muara Wahau dan Kongbeng, Kabupaten Kutai Timur dan Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur.

Terkait itu, Balai Penelitian Teknologi Konsevasi Sumber Daya Alam (Balitek KSDA) Samboja akan bergabung untuk mendukung kegiatan tersebut, khususnya di bidang penelitian.

“Balitek KSDA dapat memberikan muatan-muatan yang banyak untuk mengisi data penelitian dan membantu pendokumentasian hasil penelitian di Bentang Alam Wehea – Kelay,” kata Kepala Balitek KSDA, Ahmad Gadang Pamungkas, S.Hut, M.Si dalam diskusi dengan TNC di Ruang Rapat Balitek KSDA Samboja, Rabu (16/3).

Pernyataan Ahmad Gadang yang biasa dipanggil Gadang ini direspon baik oleh para peneliti Balitek KSDA mengingat penelitian maupun kajian di kawasan Wehea – Kelay tersebut bukanlah hal yang baru bagi Balitek KSDA Samboja, tetapi sudah pernah dilakukan dan telah ada hasilnya.

“Habitat di Bentang Alam Wehea sudah pernah dilakukan survey antara lain di PT. Narkata Rimba dan PT. Gunung Gajah Abadi, dan telah diambil sampel tumbuhannya. Spesimen dari eksplorasi di daerah tersebut telah disimpan di Herbarium Wanariset,” kata Bina Swasta Sitepu, S.Hut, peneliti Balitek KSDA.

Selain itu, Dr. Ishak Yassir, peneliti lainnya juga optimis bahwa kerjasama yang akan dibangun dapat mensinergikan penelitian Balitek KSDA tentang penentuan lokasi sanctuary orangutan dengan program TNC tersebut. Sinergi tersebut juga diharapkan dapat mendukung peningkatan ekonomi masyarakat adat.

“Dokumen penelitian tentang koridor orangutan diharapkan bukan hanya teori namun ada contoh implementasinya,” kata Ishak.

Senada dengan peneliti lainnya, Mukhlisi, S.Si, M.Si, peneliti Balitek KSDA bidang kepakaran Biologi Konservasi sepakat bahwa penyelamatan ekosistem berarti menyelamatkan jenis dan genetik. Menurutnya, untuk mendukung kegiatan ini dapat dilakukan kajian kebijakan perlindungan kawasan untuk kepentingan konservasi.

“Penyelamatan bentang alam juga akan sangat menarik bila diintegrasikan dengan RTRW Kabupaten dan Propinsi,” ujarnya.

Dari pertemuan tersebut, dihasilkan rencana kerjasama antara Balitek KSDA dengan TNC dalam Bentang Alam Wehea, yaitu (1) Bidang Penelitian dan Dokumentasi: pemetaan sebaran Orangutan di Bentang Alam Wehea; dan survey potensi sarang dan koridor Orangutan (PT. Narkata dan PT. Gunung Gajah Abadi; (2) Training dan Sosialisasi: training penanganan konflik Orangutan; dan pengembangan modul dan materi training Orangutan; (3) Kebijakan: menyelesaikan s.d. terbitnya SK Gubernur tentang forum yang mengatur alur koordinasi, komunikasi dan implementasi MoU di tingkat lapangan; dan pembuatan Draf SOP Orangutan di PT. Narkata dan PT. Gunung Gajah Abadi.

Sebelumnya, Edi Sudiono, Manager Kemitraan The Nature Conservancy (TNC) Indonesia mengungkapkan, sekitar 70% Orangutan ada di luar kawasan konservasi dan sebagian besar diantaranya berada dalam kawasan IUPHH-HA, IUPHHK – TI, perkebunan sawit, areal tambang, dan perladangan masyarakat.

Menurut Edi, konversi hutan, kerusakan habitat, kebakaran hutan, perburuan serta fragmentasi menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup orangutan di Kalimantan.

“Beberapa alasan terjadinya kasus orangutan antara lain  orangutan dianggap sebagai hama (37%), orangutan mati diburu (23%), rangutan takut/membela diri (23%), orang yang dibayar untuk membunuh (3%), orangutan dimakan (7%) dan anak orangutan yang dijual (7%),” jelas Edi.

“(Dari fakta tersebut), lembaga-lembaga yang bersepakat dalam pengelolaan Bentang Alam Wehea – Kelay antara lain Pemerintah (BKSDA Kaltim, BLH Provinsi Kaltim, Badan Pengelola HL Wehea), Swasta (IUPHHK-HA PT. Gunung Gajah Abadi, IUPHHK-HA PT. Karya Lestari, IUPHHK-HA PT. Narkata Rimba, IUPHHK-HTI PT. Acacia Andalan Utama dan IUP Perkebunan Sawit PT. Nusantara Agro Sentosa) dan Masyarakat Adat dan LSM (Masyarakat Adat Wehea dan The Nature Concervancy (TNC),” kata Niel Makkinuddin, Senior Manager Program dan Kerjasama TNC Kalimantan Timur.

Disebutkan, tujuan pengelolaan Bentang Alam Wehea – Kelay secara umum adalah Kelestarian Kawasan Bentang Alam – Kelay sebagai kawasan Habitat Orangutan, konservasi keanekaragaman hayati, jasa ekosistem dan penyangga penghidupan masyarakat.

Sedangkan tujuan khususnya adalah terjaganya kemantapan, keutuhan dan keamanan kawasan Bentang Alam Wehea – Kelay; Terlindungi keanekaragaman hayati dan manfaat jasa ekosistem bagi penghidupan masyarakat; Menguatnya kapasitas kelembagaan dalam mengelola Bentang Alam Wehea; Meningkatnya keberdayaan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam dan jasa ekosistem.

Sebagaimana diketahui, Bentang Alam Wehea – Kelai memiliki potensi keanekaragaman hayati yang sangat beragam. Potensi pertama adalah terdapatnya kekayaan keanekaragaman hayati yang tinggi, kandungan/stok karbon tinggi (High Carbon Stock (HCS)), jasa lingkungan (Pay Ecosystem Service (PES)), kawasan penyangga desa-desa di Kecamatan Muara Wahau, Kombeng dan Telen. Potensi yang kedua adalah Bentang Alam Wehea – Kelay merupakan tempat tinggal satwa-satwa di lindungi seperti Beruang Madu, Macan Dahan dan Orangutan.***ADS

Share Button