Bioindustri, masa depan buah tropika Indonesia

BPTKSDA (Samboja, 23/9/2014). Seminar Nasional Tumbuhan Buah Tropika Nasional II dengan tema ”Dukungan Teknologi dan Hasil Penelitian dalam Membangun Pertanian Bio-Industri Buah Tropika Berkelanjutan dilaksanakaan selama dua hari, Selasa-Rabu (23-24/9/2014). Seminar diprakarsai oleh Balai Penelitian Buah Tropika, Kementerian Pertanian bertempat di Hotel The Hills, Bukittinggi, Sumatera Barat.  Peserta meliputi berbagai instansi pemerintah, lembaga penelitian, akademisi, dan swasta.

Sekretaris Badan Litbang Pertanian Dr. Agung Hendriadi, sebelum membuka acara secara resmi, menyatakan bahwa pertanian buah tropika Indonesia kedepannya sangat menantang. Pada tahun 2012 Indonesia masuk dalam 16th World Largest Economy dan pada tahun 2020 sebanyak 52% penduduk Indonesia masuk kelas menengah, dimana masyarakatnya tidak hanya mengandalkan beras tapi juga buah dan sayur. Tahun 2011 konsumsi buah masyarakat Indonesia adalah 34,55 kg/kapita/tahun sedangkan standar FAO mencapai 73 kg/kapita/tahun. Sebab rendahnya daya saing buah tropika kita adalah terkait kuantitas produksi, kualitas produksi, dan penanganan pasca panen, lanjut Dr. Agung.

Pada seminar hari kedua (Rabu/24/9/2014), Peneliti dari Balitek KSDA, Tri Atmoko, M.Si, berkesempatan menyampaikan makalah oral dengan judul Potensi dan Konservasi Durian Hutan Kalimantan (Durio kutejensis).

“Pulau Kalimantan adalah pusat penyebaran marga durian di dunia,dari sekitar 27 jenis durian 18 jenis diantaranya ada di Kalimantan” ungkap Tri Atmoko dalam presentasinya. Sayangnya kerusakan hutan menyebabkan jenis yaang sebagian besar masih berada didalam hutan itu makin jarang ditemui. Upaya konservasi eksitu perlu dilakukan karena jenis-jenis durian hutan adalah sumber plasma nutfah untuk kepentingan pemuliaan, lanjut Tri. Terkait dengan hal tersebut, dalam salah satu rumusan seminar menyatakan bahwa informasi terkait sebaran sumberdaya genetik durian ex situ di Kalimantan Timur sangat yang berpotensi dimanfaatkan sebagai komponen penyusun bioindustri berbasis inovasi.

Pada hari terakhir (Kamis, 25/9/2014) dilaksanakan field trip ke beberapa lokasi, yaitu ke Istana Pagaruyung, Danau Singkarak dan Balai Penelitian Buah Tropika (Balitbu) di Solok. Di Balitbu para peserta di sambut dengan sajian buah-buahan seperti pepaya, salak, jambu, apukat, dan aneka jus buah. Dari lima sajian jus buah yang disajikan, yang paling menarik adalah jus terong virus. Terong virus adalah jenis buah yang hanya ditemukan di dataran tinggi Sumatera Barat. Bentuknya sama sekali tidak mirip terong hanya warnanya yang ungu membuat namanya menjadi sesuai.

Selanjutnya dilakukan kunjungan ke kebun koleksi buah Balitbu. Pada lahan sekitar 25 ha dalam kompleks perkantoran Balitbu terdapat blok koleksi pisang. Koleksi pisang yang tercatat dalam rekor Muri (Museum Rekor Indonesia) ini ternyata telah berhasil mengoleksi tanaman sebanyak 205 aksesi pisang dari berbagai lokasi. Yang menarik dari koleksi ini adalah satu aksesi dari Jawa Timur yaitu pisang NTC. Jenis pisang ini berbeda dengan pisang pada umumnya. Batang bagian bawahnya sangat besar, mirip dengan palem botol. Menurut Edison, Peneliti Balitbu, menyatakan bahwa pisang NTC tidak bertunas, sehingga perbanyakannya dilakukan menggunakaan biji. Selain itu pisang ini ditanam tidak untuk diambil buahnya namun bijinya adalah bahan baku untuk dibuat tepung. Beberapa buah unggulan hasil Balitbu lainnya adalah varietas unggul mangga, manggis, dan durian, lanjut Edison. Acara field trip diakhiri dengan kunjungan ke kebuh produksi buah naga, memanen dan mencicipi buahnya yang manis. (TA)

Daftar pemakalah utama dalam Seminar:

  1. Riset. Pantjar Simatupang menyampaikan konsep dan penerapan pertanian Bio-Industri berkelanjutan.
  2. M. Prama Yufdy, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Kementan yang menyampaikan Kontribusi hasil penelitian tanaman buah dalam pembangunan pertanian bio-industri.
  3. Ruedy Poerwanto dari IPB menyampaikan Peluang, tantangan dan upaya mendorong pengembangan bio-industri tanaman buah Indonesia memasuki pasar bebas ASEAN.
  4. Rahmat Pinem dari Direktorat Budidaya dan Pasca Panen Tanaman Buah, Kementan yang menyampaikan topik tentang Status dan arah pengembangan kawasan buah-buahan di Indonesia.
  5. Darda Effendi, Kepala Pusat Kajian Hortikultura Tropika/PKHT-IPB), menyampaikan makalah terkait Peran PKHT-IPB dalam Mengembangkan Tanaman Buah Mendukung Pertanian Bio-Industri Berkelanjutan.
  6. Rudy Tjahjohutomo, Kepala Balai Besar Pascapanen-Balitbang Pertanian, menyampaikan tentang dukungan Teknologi Pascapanen dalam Meningkatkan Nilai Tambah Produk Buah Tropika dan Pembangunan Pertanian Bio-industri.
  7. Astuu Unadi dari Balai Besar Mekanisasi Pertanian, Balitbang Pertanian, menyampaikan tentang Inovasi Alat dan Mesin Pertanian dalam Meningkatkan Nilai Tambah Produk Buah Tropika dan Pembangunan Pertanian Bio-Industri.
  8. Asosiasi Eksportir-Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia (ASEIBSSIND), menyampaikan tentang Tantangan,Peluang, dan Harapan dalam Pemasaran Buah Tropika.
  9. Ruslan Krisno dari PT. Great Giant Pineapple, menyampaikan terkait Model Pembangunan Pertanian Bio-Industri Berbasis Tanaman Buah.

 Kebun produksi buah naga Pisang NTC

Terong Virus

Share Button

Potensi Keanekaragaman Hayati Indonesia: Butuh Peran Pemerintah

Potensi ekonomi keanekaragaman hayati Indonesia tidak akan memberikan manfaat nyata tanpa adanya komitmen pemerintah pusat dan daerah secara menyeluruh.

Ini disampaikan pada diskusi pakar yang diselenggarakan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), di Hotel Grand Kemang, Kamis (25/9) ini.

“Tahun depan adalah tahun pasar bebas ASEAN, kalau kita melihat keanekaragaman hayati ini hanya sebagai potensi saja jika tidak dimanfaatkan, bisa jadi orang lain yang akan menikmati hasilnya,” tegas Pengurus Yayasan KEHATI, Setijati D Sastrapradja.

Senada dengan Setijati, Ketua Gabungan Pengusaha Jamu, Charles Saerang menyatakan, “Temulawak di Semarang itu adalah temulawak terbaik tapi tidak diopeni (diperhatikan) oleh pemerintah.”

“Dari 30.000 spesies yang kita punya, baru sebagian saja yang bisa diidentifikasi,” kata CEO PT Nyonya Meeneer ini.

Potensi industri jamu bahkan bisa mencapai Rp 50 triliun (saat ini baru mencapai Rp16 triliun saja). Namun, para petani tanaman jamu justru berada pada kekuasaan tengkulak dan tidak diayomi oleh pemerintah. Selain itu, kerumitan dalam hal budidaya jamu ini di tingkat pemerintah juga menjadi penghalang produk asli Indonesia itu untuk menjadi tuan rumah di negaranya sendiri.

“Tidak jelas kementerian siapa yang menangani, dan ternyata ada 20 kementerian yang menangani jamu,” tambahnya.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Diah Kencana dari Universitas Udayana dalam usahanya untuk mengembangkan bambu tabah. Bertahun-tahun dia berusaha untuk membudidayakan kembali bambu tabah, bambu asli Tabanan, Bali, yang sudah hampir punah. Bambu ini memiliki rebung yang sangat berguna dan menjadi tanaman konservasi di lahan kritis.

Dari hasilnya mengolah bambu bersama masyarakat sekitar, tanaman lokal tersebut mampu memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat. Meskipun demikian, Diah masih khawatir dengan ketidakpastian di sektor kebijakan.

“Kebijakan pemerintah ini penting sekali. Tapi setiap ganti Bupati pasti ganti kebijakan,” katanya. Hal ini tentu menyulitkannya untuk mengembangkan bambu tabah yang bisa menjadi potensi bagi Bali.

Sementara itu, Prof. Dr. Achmad Subagyo dari Universitas Jember mengatakan bahwa setidaknya ada tiga kendala untuk mewujudkan potensi ekonomi keanekaragaman hayati di Indonesia. Pertama adalah persepsi atau budaya masyarakat yang masih menomor duakan potensi yang dimiliki Indonesia. Seperti singkong yang masih dianggap sebagai makanan kelas dua. Kedua adalah inovasi untuk memberikan nilai tambah. Dan ketiga, koordinasasi antarsektor untuk mengurai benang kusut yang belum terjalin baik.

Achmad juga menyebut, potensi keanekaragaman hayati bisa mulai dibangun dengan menggali warisan budaya yang ternyata banyak memanfaatkan keanekaragaman hayati di Indonesia.

sumber berita : klik di sini

Share Button

Konflik Manusia dan Satwa di Kalimantan Masih Berlanjut?

Konflik manusia dengan satwa liar yang dilindungi di Kalimantan Barat, kian memprihatinkan. Buruknya tata kelola hutan dan lahan di provinsi ini menjadi sumber utama pemicu terjadinya konflik berkepanjangan. Hal ini terungkap dalam sebuah diskusi tentang lingkungan yang digelar di Pontianak, Senin (22/9/2014).

Dalam siaran persnya, Koordinator Wilayah Mongabay Indonesia Kalimantan Barat, Andi Fachrizal mengatakan, konflik satwa tidak akan terjadi begitu saja.

“Ada persoalan besar yang turut berkontribusi menjadi pemicu konflik. Salah satunya tata kelola hutan dan lahan yang buruk,” kata Andi, Senin 922/9/2014).

Diskusi yang diikuti perwakilan Dinas Kehutanan Kalbar, BKSDA Kalbar, LSM, jurnalis, dan mahasiswa ini berlangsung alot. Pembahasan mengerucut ke faktor penyebab terjadinya konflik.

“Kita sudah bisa pastikan bahwa konflik manusia dengan satwa bersumber dari satu akar persoalan, yakni karut-marut pengelolaan hutan,” kata Aries Munandar, peserta diskusi dariMedia Indonesia.

Aries menambahkan, ketika konflik terjadi yang berujung pada kematian satwa seperti orangutan, masyarakat senantiasa berada pada posisi yang disalahkan secara hukum. Padahal, masyarakat beranggapan satwa itu mengganggu, bahkan mengancam nyawa mereka, khususnya dalam kondisi stres.

Sementara Henry OC dari Dinas Kehutanan Kalbar mengatakan, konflik satwa di Kalbar terjadi lantaran kesalahan kebijakan. Kecenderungan menyerahkan hutan lebih dominan dibandingkan upaya mempertahankan hutan.

“Itu letak masalahnya. Di sisi lain, kebutuhan manusia meningkat dan menggerus habitat satwa,” ucapnya sambil menyebut kepastian regulasi soal hutan masih abu-abu.

Saat ini, kata Henry, kekuatan Dinas Kehutanan Kalbar hanya disokong 44 Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan 115 Polisi Kehutanan (Polhut). Jumlah kekuatan personel tersebut, mereka harus mengawasi 14 juta hektar kawasan hutan di wilayah Kalbar.

“Ini angka yang tidak seimbang dan perlu upaya lain guna menekan laju konflik antara manusia dengan satwa,” ucapnya.

Peserta lainnya, Mursyid Hidayat dari Lembaga Gemawan menegaskan bahwa buruknya manajemen pemberian izin perkebunan kelapa sawit adalah faktor utama pemicu konflik antara manusia dengan satwa. “Ada 400.000 hektar kawasan hutan yang diputihkan melalui SK 936,” jelas Hidayat.

Bertitik tolak dari kenyataan itu, dia minta ada evaluasi izin perkebunan kelapa sawit terlebih dahulu. Sebab, konversi hutan dan lahan menjadi perkebunan sawit inilah yang menjadi salah satu akar permasalahan terjadinya konflik manusia dan satwa.

“Pengusaha sudah diberi izin, tapi tidak melaksanakan amanat itu sesuai izin yang dikantonginya. Hanya beberapa perusahaan sawit saja yang melaksanakan sesuai izin,” jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Hermawansyah dari Swandiri Institut berpendapat perlu proteksi kebijakan agar konflik seperti ini tak perlu berulang.

“Sampai sekarang belum ada data yang pasti berapa luasan jelajah orangutan dalam satu kawasan. Padahal, data itu bisa membantu mencegah terjadinya konflik. Apalagi, dari draft RTRW Kalbar belum mengakomodir kebutuhan masyarakat,” jelasnya.

Hayunieta dari BKSDA Kalbar mengatakan, pihaknya sudah membentuk satuan tugas penanggulangan konflik satwa dengan manusia.

“Tapi itu juga belum sepenuhnya bisa menjamin bahwa kunci penanganan konflik akan selesai. Masih banyak kunci lain yang dibutuhkan. Dan itu, perlu kerja sama multi pihak agar mata rantai persoalan ini menemukan jawaban yang jelas,” ucapnya.

Berdasarkan data BKSDA Kalbar, selama kurun waktu Juli-September 2014, aparat sudah melakukan penyelamatan satwa lindung sebanyak 15 individu. Satwa itu terdiri dari tujuh individu orangutan, tiga buaya muara, satu buaya senyulong, satu bekantan, satu binturung, satu penyu hijau, dan satu beruang.

sumber : klik di sini

Share Button

Pembelajaran di Persemaian, Plot Tanaman dan Herbarium Balitek KSDA

Rabu, 24/09/2014 Balitek KSDA menerima kunjungan dalam rangka sharing informasi mengenai pengelolaan kegiatan persemaian, pembuatan plot dan herbarium Balitek KSDA.  Kunjungan yang dilaksanakan dalam rangka pendidikan dan pelatihan pembibitan tanaman hutan, yang pesertanya berasal dari berbagai provinsi diantaranya provinsi Kaltim, Kaltara, Kalsel dan Kalteng. Peserta yang mengikuti kunjungan sebanyak 29 orang peserta diklat dengan didampingi 3 Orang Widyaiswara antara lain Bpk. Suwignyo, Bpk. Sarang Massora, dan Ibu Yanti Sofia, sedangkan fasilitator dari panitia adalah Bpk. Darmadi dan Bpk. Haqqi.

Kunjungan Pertama dilakukan di Kantor KHDTK HP Samboja, dengan mendapatkan penjelasan dari Bpk. Yustinus yang menjelaskan mengenai pengelolaan persemaian, meliputi proses pembibitan, pemeliharaan dan kegiatan terkait lainnya.  Antusiasme peserta terjalin dengan aktif terlihat dari berbagai pertanyaan yang diajukan kepada pengelola khususnya terkait dengan proses persemaian tanaman ulin.

Setelah makan siang yang dilaksanakan di kantor KHDTK HP Samboja, kegiatan selanjutnya diteruskan kunjungan ke Plot TBS Ulin Balitek KSDA di KM 1,5 dan Plot TBT di KM 7 di Jalan Poros Samboja-Sepaku, dengan didampingi oleh Bpk. Nanang Riana.

Kunjungan terakhir sebelum rombongan kembali ke Samarinda mengunjungi herbarium wanariset dan dijelaskan oleh tim herbarium yang ada yakni Bpk. Iman Suharja, Bpk. Priyono dan Ibu Mira Kumala N. yang menjelaskan proses dan kegiatan yang ada di herbarium wanariset Balitek KSDA Samboja.

Foto013

DSCF0086

DSCF0091 DSCF0097

Share Button

Badan Litbang akan Melakukan Efisiensi Anggaran untuk Produktivitas Rakyat

FORDA (Jakarta, 17/09/2014)_Kepala Badan Litbang Kehutanan (Kabadan), Prof.Dr. San Afri Awang, M.Sc menyerukan kepada seluruh Pejabat lingkup Badan Litbang untuk mencermati kembali anggaran yang diajukan untuk efisiensi anggaran dengan merubah menjadi kegiatan-kegiatan yang produktif. Hal ini disampaikan pada saat memberikan arahan pada acara Pembahasan Rencana Kerja (Renja) Tahun 2015  di Ruang Rapat Badan Litbang Kehutanan Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta (Rabu, 17/09/2014).

“Di judge (nilai) lagi mana-mana yang diefisienkan tapi dijadikan input untuk peningkatan produktivitas yang kaitannya dengan rakyat sehingga kita tidak akan menerima potongan, “ kata Kabadan.

Hal ini dilakukan untuk menyelaraskan dengan kebijakan pemerintah baru yang meminta adanya efisiensi anggaran. Hasil efisiensi itu akan dimasukkan dalam produksi yang menghasilkan nilai tambah. Ini akan berakibat terjadinya pemotongan anggaran yang dinilai tidak efisien dan diarahkan ke pihak lain.

“Problem kita anggaran kecil. 33%-40% untuk kegiatan penelitian. Itu problem kita. Bisa jadi kita berargumentasi untuk tidak dipotong dari itu, “ kata Kabadan.

Untuk menyiasati hal tersebut, maka dalam pertemuan tersebut telah dihasilkan beberapa alternatif yang bisa diambil yaitu: a). Mengajak semua pihak untuk bekerja sekuat tenaga seluruh jajaran dari semua lapisan; b). Meningkatkan pemasaran hasil litbang yang efisien dan efektif dengan cara dikemas yang baik dan mudah diakses oleh masyarakat; c). Mengoptimalkan pemanfaatan KHDTK. Kalau bisa ke depan KHDTK bisa menjadi etalase litbang di daerah dan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar; c). Mengintegrasikan sarana dan prasarana yang ada di Badan Litbang. Salah satunya adalah pemanfaatan laboratorium, sehingga tidak diperlukan pembangunan laboratorium yang sama di Badan Litbang; d). Dana bantuan luar negeri, dimanfaatkan secara optimal untuk mempertajam penelitian di Badan Litbang; e). Meningkatkan pagu Badan Litbang untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat; f). Membatasi belanja modal; serta g). Mengarahkan dana untuk produktivitas rakyat melalui desain penelitian.

Dalam pertemuan tersebut, juga dilakukan pemaparan renja tahun 2015 dari 15 unit kerja. Sedangkan pemaparan renja tahun 2015 dari Puslit akan dilaksanakan secara detil pada acara rapat pimpinan (rapim) nanti. Dari hasil pemaparan dapat diketahui bahwa dalam penyusunan renja, semua unit kerja semaksimal mungkin menyesuaikan dengan segenap kegiatan Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) yang ada.

“Namun ada beberapa penyesuaian. Mungkin juga ada slot penelitian yang urgent  untuk daerah dengan kriteria tertentu, yang kemudian berada diluar RPPI, “ kata Ir. Tri Joko Mulyono, M.Sc, Sekretaris Badan (Sekbadan). Lebih lanjut disampaikan bahwa saat ini ada 70 kegiatan RPI dan 30 kegiatan yang responsif dengan kebutuhan atau isu aktual yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah.

Pada ahir pertemuan, Kabadan mengingatkan beberapa hal sebagai berikut: a). Untuk meningktakan serapan APBN Badan Litbang; b). Segera mematenkan hasil penelitian yang bisa dipatenkan; c). Mengawal produk Iptek yang diluncurkan dan yakinkan publik dengan hitungan ekonominya. **(THS)

Materi Paparan Renja:

Rencana Kerja 2015

Share Button

Menuju Website yang Berorientasi Pada Pelayanan

FORDA (19/9/2014)_Selain kualitas materi yang perlu ditingkatkan, sudah saatnya situs web (website) Badan Litbang Kehutanan berorientasi pada peningkatan pelayanan. Hal ini disampaikan oleh Kepala Bagian Evaluasi, Diseminasi dan Perpustakaan, Ir. C. Nugroho S. Priyono, M.Sc. menindaklanjuti arahan Sekretaris Badan Litbang Kehutanan pada Pembahasan Updating Website Badan Litbang Kehutanan yang dilaksanakan di Hotel Permata, Bogor selama dua hari, 18-19 September 2014.

“Layanan apa yang bisa kita berikan. Tidak hanya untuk mendapatkan evaluasi, tetapi layanan. Untuk itu, web FORDA (Litbang Kehutanan) harus jadi model di lingkup Badan Litbang Kehutanan,” kata Nugroho yang mengakui bahwa kuantitas dan kualitas konten website terkait hasil penelitian pada Badan Litbang Kehutanan masih kurang, publikasi jurnal berbahasa Inggris misalnya.

Sebelumnya, Sekbadan, Ir. Tri Joko Mulyono, MM mengatakan perlunya peningkatan pelayanan melalui optimalisasi web yang dikemas dari sisi substansi dan roh dari web adalah sajian informasi terkini.

Selain menambahkan kuantitas dan kualitas publikasi dan tulisan tentang hasil-hasil penelitian, Sekbadan setuju beberapa hal yang dapat dilakukan untuk itu adalah dengan mengupgrade menu Layanan dan menambahkan menu Tanya Litbang pada website seperti rekomendasi narasumber pada pembahasan tersebut. Fitur Tanya Litbang adalah ketika informasi yang ditampilkan pada menu-menu yang ada dianggap tidak cukup, maka pengguna bisa menindaklanjutinya dengan pertanyaan.

Menurut Sekbadan banyak manfaat yang akan diperoleh dari interaksi dua arah dengan para pengguna website. “Ini bisa menjadi tindak lanjut untuk penelitian, sekaligus sebagai instrumen analisis kebutuhan masyarakat/pengguna sehingga kita bisa menginventarisasi kebutuhan para pengguna,” kata Sekbadan.

Untuk itu, Sekbadan mengajak semua satuan kerja lingkup Badan Litbang Kehutanan untuk mengoptimalkan fasilitas website yang ada sehingga menghasilkan informasi yang optimal bagi para pengguna. Terkait itu, Sekbadan berharap agar para pengelola web di pusat bisa mendorong pengelola web di UPT dalam mengoptimalkan webnya masing-masing.

Untuk diketahui, Webometric, badan pemeringkatan website lembaga riset sedunia menyebutkan bahwa sampai dengan Juli 2014, website Badan Litbang Kehutanan berada pada peringkat 939 dari 8.000 pusat penelitian di seluruh dunia. Sementara di tingkat Asia, berada pada peringkat 144 dan di tingkat nasional Indonesia, website Litbang Kehutanan berada pada peringkat 6 di bawah LIPI, Badan Litbang Pertanian, BPPT, LAPAN, dan Badan Litbang Kesehatan.

Pada peringkat dunia tersebut, website mengalami kenaikan peringkat sebanyak 380 tingkat, yaitu dari peringkat 1.319 pada periode akhir Januari menjadi peringkat 939 pada periode akhir Juli 2014. Menurut Sekbadan, kenaikan peringkat ini tidak terlepas dari kerjasama seluruh satuan kerja seluruh lingkup Badan Litbang Kehutanan yang berkontribusi menyampaikan publikasi, tulisan, baik hardnews maupun feature, foto riset dan video hasil riset.

“Saya bangga, ranking webometric kita bisa naik secara signifikan dari 1000an menjadi 9ratusan. Paling tidak, statistik kita bisa kita tingkatkan. Saya percaya ada upaya sehingga menghasilkan sesuatu,” kata Sekbadan.***(RH)

Share Button