Duh, Hutan Indonesia Hilang 1,13 Juta Hektar per Tahun

Lima provinsi mengalami deforestasi parah, tertinggi Riau, disusul Kalteng, Papua, Kaltim dan Kalbar.

Nasib hutan di Indonesia, bak telur di ujung tanduk alias sungguh memprihatinkan. Periode 2009-2013, negeri ini kehilangan tutupan hutan alian mengalami deforestasi sebesar 4,5 juta hektar atau 1,13 juta hektar per tahun. Fakta ini terungkap dalam laporan Forest Watch Indonesia dalam buku berjudul Potret Keadaan Hutan Indonesia periode 2009-2013 yang dirilis Kamis (11/12/14) di Jakarta.

Dalam buku FWI itu menyebutkan, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Papua, mengalami deforestasi terparah. Riau urutan pertama seluas 690 ribu hektar, disusul Kalteng 619 ribu hektar, Papua 490 ribu hektar, Kaltim 448 ribu hektar dan Kalbar 426 ribu hektar. Kalteng, pada akhir 2010, menjadi daerah percontohan REDD+, namun periode itu malah menempati posisi kedua kehilangan hutan alam tertinggi.

Analisis FWI, menemukan, sampai 2013, luas tutupan hutan alam di Indonesia, sekitar 82 juta hektar atau 46% dari luas daratan. Dengan rincian, Papua 29,4 juta hektar, Kalimantan 26,6 juta hektar, Sumatera 11,4 juta hektar, dan Sulawesi 8,9 juta hektar. Lalu, Maluku 4,3 juta hektar, Bali dan Nusa Tenggara 1,1 juta hektar dan Jawa 675 ribu hektar. Berdasarkan provinsi, 25% hutan alam di Indonesia di Papua, Kaltim 15%, Papua Barat 11%, Kalteng 9%, Kalbar 7%, Sulteng 5%, Aceh 4% dan Maluku 3,2%.

Pada tahun sama, sekitar 78 juta hektar (63%) dari seluruh hutan negara masih bertutupan hutan, dengan terluas di hutan lindung seluas 22,9 juta hektar (28%). Pada 2013, sekitar 44 juta hektar (25%) luas daratan Indonesia terbebani izin pengelolaan lahan, berbentuk HPH, HTP, sawit dan tambang.

“Dari luas itu 14,7 juta hektar areal penggunaan lahan tumpang tindih antara HPH dan HTI, sawit dan tambang. Dari situ, 7 juta hektar berada pada tutupan hutan alam,” kata Soelthon Gussetya, Manajer Data FWI, hari itu.

Buku ini juga mengupas dampak deforestasi massif menimbulkan banyak kerugian. Antara lain, pertama, konflik sumber daya alam. Konflik sejak era Orde Baru dan meningkat tajam kala reformasi, kala tambang mulai beroperasi di berbagai wilayah. Periode 1990-2010, dokumen AMAN dan organisasi masyarakat sipil, tercatat 2.858 konflik di 27 provinsi terjadi di sektor kehutanan 1.065 kasus dan perkebunan 563 kasus.

Kedua, kerusakan ekosistem dan kehilangan keragaman hayati. Deforestasi berdampak pada kerusakan ekosistem yang mengancam flora fauna, serta merusak sumber kehidupan masyarakat. Ketiga, gangguan kehilangan hidrologi. Keseimbangan tata air terganggu. Fungsi resapan air dalam silus hidrologis, penyerap dan penyimpan karbon, iklim mikro dan keragaman hayati akan terganggu ketika tutupan hutan rusak.

Keempat, pemiskinan masyarakat sekitar hutan. Kawasan di sekitar dan di dalam hutan penuh dengan aktivitas ekonomi, sosial dan budaya. Mereka banyak menggantungkan hidup dari sumber daya hutan.

Christian Purba, Direktur Eksekutif FWI mengatakan, penyebab langsung deforestasi antara lain, HPH, HTI, sawit, penebangan liar, tambang dan pembakaran hutan. Sedangkan penyebab tak langsung, seperti perubahan peruntukan, pemekaran wilayah, korupsi, ekspansi industri dan kebutuhan pasar.

Selama ini, katanya, kebijakan tak menyentuh persoalan dasar, antara lain tak ada kepastian lahan, dan konflik tenurial, didorong tata kelola kehutanan yang lemah. Pemerintah, hanya fokus memberi izin dan urusan administrasi.

Jika kondisi ini terus terjadi, dalam 10 tahun ke depan, diperkirakan hutan alam di Riau akan hilang, lalu Kalteng, dan Jambi.

Dia mengatakan, banyak persoalan harus dibenahi, dari penegakan hukum, data akurat dan kelembagaan di tingkat tapak. “Ini perlu leadership dari pemerintah. Tanpa ada leadership susah karena persoalan sudah kompleks.”

Setidaknya, katanya, ada tiga prioritas utama dalam penyelamatan hutan Indonesia, yakni, penyelesaian klaim dan penetapan kawasan hutan, penguatan pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara adil, dan perlindungan serta pemulihan potensi sumberdaya hutan.

Tak jauh beda diungkapkan Togu Manurung, Badan Pengurus FWI. Menurut dia, deforestasi di Indonesia sungguh-sungguh tinggi. Per tahun 1,13 juta hektar. Jika dihitung setiap menit ada tiga kali luas lapangan sepak hutan hilang.

“Betapa seriusnya masalah deforestasi ini. Deforestasi tetap tinggi ini dalam keadaan periode waktu di mana Indonesia berusaha tampil di luar negeri, bahwa, Indonesia sedemikain peduli lingkungan hidup. Janji SBY kurangi emisi gas rumah kaca yang tertinggi dari kehutanan,” ujar dia.

Dengan kondisi ini, katanya, secara umum, sebenarnya, Indonesia belum menjalankan praktik hutan lestari dalam arti produksi, lingkungan dan sosial. “Kelestarian produksi, dengan bisa kontinu, volume stabil bahkan meningkat. Kelestarian lingkungan, berarti hutan bisa dimanfaatkan kayu dan non kayu dengan tetap terjaga. Lalu, kelestarian sosial. Ini bagaimana pemanfaatan kekayaan alam berdampak baik bagi masyarakat sekitar.”

Togu mengatakan, fakta deforestasi ini menunjukkan kegagalan pemerintah. “Sumber masalah pemerintah karena melakukan penghancuran sumber daya alam, dengan HPH, HTI dengan konversi hutan alam, perkebunan dari hutan produktif di-landclearing.”

Menurut dia, akar masalah dari segala itu, korupsi. “Tak ada supremasi penegakan hukum. Akhirnya laporan di atas kertas indah, tapi di lapangan hancur. Ini diharapkan ada perbaikan…”

Kehancuran hutan ini, katanya, bisa terlihat dari beragam bencana dengan frekuensi makin sering. “Harga yang harus dibayar sangat mahal. Ini karena kerusakan ekosistem hutan, terus ulang tahun kebakaran hutan dan lahan. Terutama langganan di Kalimantan dan Sumatera. Ini sumber deforestasi dan degradasi hutan.”

Untuk itu, bencana dari banjir, longsor sampai kebakaran hutan dan lahan ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah Joko Widodo terutama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Gimana tangani kebakaran hutan dan lahan, pengelolaan banjir terkait tutupan lahan dan hutan di daerah hulu. Ini kita lihat, bisa jadi test case.”

Hariadi Kartodihardjo, Ketua Dewan Kehutanan Nasional mengatakan, dalam mengatasi deforestasi harus membidik operasi ilegal, jangan hanya yang legal. “Termasuk kebakaran, ada beberapa indikasi, oknum polisi dan tentara menjual lahan untuk sawit. Kita harus bidik yang ilegal juga jangan cuma yang legal.”

Menurut dia, saat evaluasi nota kesepakatan bersama kementerian/lembaga dan KPK, ada lima agenda perlu dijalankan, antara lain, review izin, pengendalian korupsi kala pemerintah tetapkan kawasan hutan, dan kepastian buat masyarakat adat/lokal.

Kondisi-Tutupan2-Hutan-Alam-Dalam-Kawasan-Hutan-Negara-dan-APL-Tahun-2013

kondisi-tututan5-Deforestasi-Indonesia-Periode-1990

Kondisi-Tutupan-Hutan-Alam-Indonesia-2009-dan-2013

kondisi-tutupan6-Perbandingan-Luas-Tutupan-Hutan-Alam-Tahun-2009-dengan-Tahun-2013

kondisi-tutupan3-Luas-Lahan-Gambut-dan-Tutupan-Hutan-Alam-1

Sumber : klik di sini

Share Button

Disiapkan, Metode Baku Hitung Populasi

Lembaga-lembaga nonpemerintah pemerhati lingkungan sedang membahas metode baku menghitung populasi harimau sumatera. Hingga kini, pemerintah belum memiliki data sahih populasi satwa yang sangat terancam punah itu. Akibatnya, kebijakan pemerintah dalam konservasi menjadi tidak efektif.

Spesialis Pemantauan Harimau pada WWF Indonesia Sunarto, Kamis (11/12), di Bogor, Jawa Barat, menuturkan itu di sela Konferensi Harimau Indonesia 2014. ”Kami akan mendiskusikan cara melakukan segala sesuatunya dengan lebih terstandar, antara lain pada metode, interpretasi, dan penentuan hasil pemantauan,” katanya.

Konferensi itu kerja sama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Forum HarimauKita, Wildlife Conservation Society, Disney Worldwide Conservation Fund, dan Asia Pulp and Paper Group (APP).

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian LH dan Kehutanan Bambang Dahono Adji mengatakan, pemerintah belum bisa menghitung populasi harimau sumatera secara sahih. Data angka saat ini hanya kisaran, yakni 350 ekor.

Data itu total populasi harimau sumatera yang dilaporkan sembilan unit pelaksana teknis (UPT) pengelola kawasan konservasi di Sumatera. ”Namun, laporan dari UPT kami itu belum 100 persen benar,” katanya.

Menurut Sunarto, beberapa lembaga nonpemerintah sudah berupaya secara sahih menghitung populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) itu di sejumlah lokasi pemantauan. Lembaga itu, antara lain, adalah WWF di lokasi-lokasi konservasi di Riau, Fauna and Flora International di Taman Nasional Kerinci Seblat (Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan), Zoological Society of London di Berbak Sembilang (Sumatera Selatan), PT Reki di Hutan Harapan (Jambi), serta Universitas Andalas di Sumatera Barat.

Secara umum, lembaga-lembaga itu menggunakan metode perangkap kamera (camera trap) untuk memantau harimau dan mendata jumlahnya. Namun, upaya itu belum satu koordinasi sehingga total populasi se-Sumatera belum bisa dihitung. ”Kami akan membuat perencanaan metode bersama untuk beberapa tahun ke depan, sekaligus turun lapangan bersama,” katanya.

Data sahih menyeluruh sangat penting bagi pemerintah untuk membuat kebijakan konservasi secara tepat. Jika data dibiarkan tidak sesuai, dampak terkecilnya terjadi pemborosan anggaran akibat program tak efektif. Dampak terbesarnya, kebijakan konservasi malah memicu kepunahan harimau sumatera.

Ketua Forum HarimauKita Dolly Priatna berharap upaya konservasi harimau bisa terlaksana lewat kerja sama multipihak. Pemerintah tidak boleh hanya fokus pada wilayah konservasi negara dengan bergantung pada staf-staf UPT.

”Sebab, 70 persen habitat harimau sumatera berada di luar kawasan konservasi, seperti cagar alam dan suaka margasatwa,” ucap Dolly. (JOG)

Sumber : klik di sini

Share Button

PENJAJAKAN KERJASAMA ANTARA ELTI-YALE UNIVERSITY & BALITEK KSDA SAMBOJA

Senin, 17 November 2014, Balitek KSDA menerima kunjungan dari Environmental Leadership & Training Initiative (ELTI), Yale University, Visayas State University of Philippines, Arnold Arboretum-Harvard University dan National University of Singapore, dalam rangka penjajakan lanjutan kerjasama antara Balitek KSDA dan ELTI-Yale University. Rombongan yang terdiri dari Dr. David Neidel (Kordinator ELTI Program Asia), Prof. Mark Ashton ELTI-Principal Investigator (Yale University) dan Dr. Eva Garen ELTI Director (Yale University), Pangestuti Asti (ELTI Program Asia), Dr. Amity Doolittle (Yale University), Dr. Marlito Bande (Visayas State University Philippines), Dr. Champbell Webb (Arnold Arboretum-Harvard University) Dr. Michiel van Breugel (Yale-NUS College Singapura), Jacob Slusser dan Saskia Santa-Maria (ELTI Neotropic Panama) dengan didampingi oleh Dr. Ishak Yassir diterima secara langsung di ruang pertemuan Balitek KSDA oleh Kepala Balai Ahmad Gadang Pamungkas, M.Si didampingi staf kerjasama program dan peneliti Balitek KSDA.
Dalam kesempatan ini, Kepala Balitek KSDA mempresentasikan tugas dan fungsi Balitek KSDA serta memperkenalkan beberapa program penelitian Integratif Unggulan baik yang sudah, sedang dan akan dikerjakan. Tak lupa Kepala Balitek KSDA memperkenalkan para peneliti dan fasilitas pendukung penelitian yang dimiliki oleh Balitek KSDA Samboja. Kepala Balitek KSDA juga menyampaikan, beliau menyambut baik dan sangat mendukung rencana kerjasama dengan ELTI-Yale University baik dibidang penelitian maupun pelatihan. Namun demikian, Kepala Balitek KSDA menekankah bahwa hendaknya kerjasama yang akan dibangun harus menguntungkan kedua belah pihak. Selain itu, Kepala Balai Balitek KSDA juga mengharapkan agar kedepannya jika kerjasama ini telah berjalan, terbuka kesempatan terutama bagi para peneliti untuk dapat melanjutkan studi baik di tingkat master dan doktor.
Dr. David Neidel dari Kordinator ELTI Program Asia, Prof. Mark Ashton ELTI-Principal Investigator (Yale University) dan Dr. Eva Garen ELTI Director (Yale University) dalam sambutannya menyampaikan bahwa ELTI-Yale University sangat tertarik untuk bekerjasama dengan Balitek KSDA tidak hanya dibidang pelatihan saja, namun juga penelitian yang diharapkan dapat terealisasi secepatnya melalaui MOU kerjasama yang akan dibangun kedua belah pihak. Prof. Mark Ashton juga menyampaikan bahwa beliau sangat setuju dengan pernyataan Kepala Balitek KSDA bahwa kerjasama yang dibangun memang sepantasnya harus memberikan keuntungan kedua belah pihak. Terkait dengan peluang-peluang beasiswa bagi para peneliti untuk tingkat master dan doktor, menurut Prof. Mark Ashton peluang itu sangat terbuka, namun untuk mendapatkannya tentu sangat kompetitif.
Salah satu peluang kerjasama khusus mengenai manajemen data base Herbarium Wanariset Samboja ditawarkan oleh Dr. Champbell Webb. Beliau bersama Institut Pertanian Bogor telah membangun perangkat lunak untuk pengelolaan data base herbarium dan dapat diaplikasikan di Herbarium Wanariset Samboja. Diakhir diskusi, Kepala Balitek KSDA menyampaikan bahwa inisiatif kerjasama akan segera disampaikan kepada Kepala Badan Litbang Kementerian Kehutanan termasuk draft rencana kerjasama antara ELTI-Yale University dengan Balitek KSDA.
eltiSetelah pertemuan dan diskusi, rombongan diundang Kepala Balai untuk melihat fasilitas pendukung penelitian yang dimiliki oleh Balitek KSDA yaitu Herbarium, Persemaian dan Rintis Wartono Kadri di Km 4,5 dan Stasiun Penelitian Km 7 di KHDTK Hutan Penelitian Samboja serta plot penelitian pengembangan konsep bersenergi dengan alam untuk merehabilitasi lahan bekas tambang batubara di PT Singlurus Pratama. **_.edt

Share Button

Tiap Menit, Indonesia Kehilangan Hutan Seluas Tiga Kali Lapangan Bola

Hutan Indonesia berkurang secara drastis. Dalam kurun waktu 2009-2013, Indonesia kehilangan hutan seluas 4,6 juta hektar atau seluas Provinsi Sumatera Barat, tujuh kali luas Provinsi DKI Jakarta.

Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkap fakta mencengangkan tersebut dalam buku Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009-2013 yang diluncurkan pada Kamis (11/12/2014) di Jakarta.

EG Togu Manurung, Ketua Perkumpulan FWI, mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu itu, kecepatan hilangnya hutan mengejutkan. “Setiap menit, hutan seluas tiga lapangan bola hilang,” katanya.

Hutan Indonesia yang tersisa kini 82 juta hektar. Masing-masing 19,4 juta hektar di Papua, 26,6 juta hektar di Kalimantan, 11,4 juta hektar di Sumatera, 8,9 juta hektar di Sulawesi, 4,3 juta hektar di Maluku, serta 1,1 juta hektar di Bali dan Nusa Tenggara.

Bila praktik tata kelola lahan hutan tak berubah dan pembukaan hutan terus dibiarkan, jumlah hutan akan terus menyusut. “Kami memprediksi 10 tahun ke depan hutan di Riau akan hilang diikuti dengan Kalimantan Tengah dan Jambi,” kata Christian Purba, Direktur FWI.

Togu menerangkan, kondisi perusakan hutan terparah terdapat di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Perkebunan kepala sawit serta sektor tambang berkontribusi besar pada kerusakan tersebut.

Meski demikian, hutan di wilayah lain pun mengalami ancaman. Beberapa hutan di wilayah Papua sudah mengalami kerusakan. “Ini harus dicegah supaya pola yang terjadi di Indonesia barat tidak terjadi lagi di timur. Papua benteng terakhir hutan Indonesia,” ungkap Togu.

Sementara itu, hutan-hutan di pulau-pulau kecil juga harus terus dijaga dari kerusakan. Meskipun ditinjau dari luas tak seberapa, hutan di pulau kecil berperan mempertahankan ketersediaan air tawar dan benteng dari dampak perubahan iklim.

Untuk mempertahankan hutan Indonesia, Christian menuturkan, yang diperlukan adalah perbaikan tata kelola, perbaikan izin kehutanan, dan pengawasan. Selain itu, juga leadership dari pemerintah.

Masalah kehutanan tak bisa dilepaskan dari soal korupsi lingkungan. Pihak berwenang menerima uang untuk memudahkan perizinan. Korupsi memicu masalah tumpang tindih perizinan dan pembukaan hutan untuk kepentingan komersial.

Senada dengan Christian, ahli kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Hariardi Kartodihardjo, juga menekankan pentingnya perbaikan tata kelola. Undang-undang serta sejumlah rencana dari moratorium hingga program REDD+ sudah cukup baik. Namun, masalahnya adalah pada tata kelola di lapangan.

Ia menilai, selama ini, karena kemampuan tata kelola pemerintah yang buruk, program seperti moratorium tak berhasil melindungi hutan Indonesia. Data justru menunjukkan, kerusakan terbesar justru terjadi di area yang dilindungi.

“Luas hutan yang rusak dalam area yang dimoratorium 500.000 hektar per tahun, hutan alam 200.000 hektar, hutan tanaman 400.000 hektar. Dari angka itu saja secara kasar bisa dilihat bahwa kerusakan di wilayah yang dimoratorium justru lebih tinggi,” katanya.

Sumber : klik di sini

Share Button

E-Government Dimulai Dari Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet

Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi Wijayanto mengemukan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam empat tahun ke depan selama masa pemerintahannya akan mengembangkan e-government (e-Gov). Pada tahap awal, e-government akan diterapkan di Sekretariat Negara (Setneg) dan Sekretariat Kabinet (Setkab).

“Tugas Seskab paling utama adalah e-government. Karena anggarannya kecil, saya berusaha mencari terobosan dengan membuat mencari kemungkinan kita dapat grant,” kata Andi saat memberikan sambutan pada penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) DIPA satuan organisasi di Sekretariat Kabinet (Setkab) Tahun Anggaran 2015, di Gedung III Kemensetneg, Jakarta, Kamis (11/12).

Menurut Seskab, dirinya, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) sudah sepakat bahwa e-government harus dimulai dari lingkungan Istana Presiden.

Seskab menjelaskan, bentuk dari e-governmen itu akan sangat aplikatif dan praktis. Misalnya, dalam pelaksanaan Sidang Kabinet tidak ada lagi hard-copy, tetapi soft-copy. Semua menteri dapat mengakses materi persidangan melalui tablet. “Presiden pun akan begitu. Naskah-naskah presiden munculnya di tablet,” ujarnya.

Seskab membayangkan lingkungan di Istana ke depan menjadi smart digital office, semua dilakukan dengan digital. “Ke depannya akan terjadi perubahan anggaran yang relatif signifikan untuk membuat kerjaan kita lebih mudah,” terang Andi.

Rapat di Hotel

Dalam kesempatan itu Seskab Andi Wijayanto juga menyinggung mengenai Surat Edaran Menteri PAN-RB tentang larangan rapat di hotel. Diakuinya, bisa saja rapat di hotel lebih murah dibanding kita mengadakan rapat di kantor.

“Kalau misalnya kita semua diinapkan. Ternyata lebih murah daripada menginap, kemudian ke sini (instansi tsb) lalu di sini ada biaya konsumsi yang cateringnya sendiri. Sementara di hotel sudah full board meeting dan ternyata lebih hemat, ya tidak apa dilakukan di hotel asal penjelasannya rasional,” jelas Andi.

Menurut Seskab, yang penting dalam melakukan perencanaan kita harus bisa mengatakan dan menunjukkan, misalnya, kalau membuat rapat dengan 250 orang dilakukan di kantor biayanya Rp 100 juta, sedangkan di hotel Rp 70 juta. “Ya pilihannya dilakukan di hotel, tapi penjelasan itu sudah disiapkan,” ujarnya.

Seskab meminta agar ada penjelasan komparatif sehingga kita dapat dengan tenang melaporkan ke Menteri PAN-RB, dan mempertanggungjawabkan ke publik kalau itu adalah pilihan yang rasional. Ia mengingatkan, semua kementerian-kementerian saat ini sedang diincar oleh wartawan. Setiap kali ada acara di hotel langsung difoto dan dimasukkan ke media sosial untuk memunculkan kesan bahwa pemerintah tidak serius menjalankan apa yang diinstruksikan oleh Menteri PAN-RB.

Padahal, lanjut Seskab Andi Wijayanto, kalau diperhatikan baik-baik Surat Edaran tersebut, ada koma, yaitu sebisa mungkin melakukan kegiatan rapat, teknis, konsinyering, dst di kantor, kecuali…. (titik-titik, red).

“Nah, kecuali itu yang perlu kita perhatikan baik-baik. Jadi jangan takut untuk mengambil keputusan selama alasannya adalah efisiensi dan rasionalitas,” tutur Andi.

Dalam kesempatan itu, Seskab juga meminta jajaran pegawai di Sekretariat Kabinet untuk mencontoh Presiden Jokowi dalam melakukan perjalanan dinas, yang memilih menggunakan maskapai nasional. “Dalam arti kita menggunakan Garuda Indonesia dan Citilink. Sebisa mungkin cari tiket dua maskapai ini dulu dan harus kelas ekonomi,” pintanya.

Acara penyerahan DIPA dan POK DIPA itu dihadiri oleh para pejabat eselon I, II, dan III di lingkungan Sekretariat Kabinet.

sumber klik di sini

Share Button

Presiden Bubarkan 10 Lembaga Non Struktural

Dengan pertimbangan dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan urusan pemerintahan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 4 Desember 2014 telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 176 tentang Pembubaran 10 (sepuluh) Lembaga Non Struktural.

Ke-10 lembaga non struktural yang dibubarkan itu adalah: 1. Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional; 2. Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat; 3. Dewan Buku Nasional; 4. Komisi Hukum Nasional; 5. Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional.

Selain itu juga turut dibubarkan 6. Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan; 7. Badan Pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu; 8. Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak-Anak; 9. Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia; dan 10. Dewan Gula Indonesia.

Dengan pembubaran itu, maka pelaksanaan tugas dan fungsi Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat dilaksanakan oleh Kementerian Sosial; Dewan Buku Nasional dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Komisi Hukum Nasional dilaksanakan oleh Menteri Hukum dan HAM; Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak-Anak dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga Kerja; Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia dilaksanakan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Adapun tugas dan fungsi Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional dilaksanakan oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi; dan Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sementara untuk pembiayaan, pegawai, perlengkapan, dan dokumen yang dikelola oleh Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional dialihkan ke Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional; Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat dialihkan ke Kementerian Sosial; Dewan Buku Nasional ke Kemendikbud; Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Badan Pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak-Anak ke Kementerian Tenaga Kerja; dan Dewan Gula Indonesia ke Kementerian Pertanian.

Adapun pembiayaan, perlengkapan, dan dokumen yang dikelola Komisi Hukum Nasional dialihkan ke Kementerian Hukum dan HAM; Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia ke Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Sementara pegawai pada Komisi Hukum Nasional dan Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia akan diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pengalihan sebagaimana dimaksud dikoordinasikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), dengan melibatkan unsur Badan Kepegawaian Negara (BKN), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Arsip Nasional, dan Kementerian Keuangan.

“Pengalihan sebagaimana dimaksud dilaksanakan paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal ditetapkan Peraturan Presiden ini,” bunyi Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 176 Tahun 2014 itu.

Ditegaskan juga dalam Perpres ini, biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan proses pengalihan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Melalui Perpres tersebut, Presiden juga mencabut 10 Keputusan Presiden (Keppres) yang mendasari pembentukan ke-10 lembaga non struktural itu.

“Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 8 Perpres yang diundangkan pada 5 Desember 2014 oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly itu.

Sumber :klik di sini, di sini

Share Button