“Selamatkan Hutan dan Bumi Kita” Tambang Batubara Berkelanjutan, Mungkinkah?

Bumi Kalimantan Timur yang kaya sumberdaya alam terus saja di eksplotasi. Setelah hutan diambil kayunya, kini beberapa kawasan hutan kembali di eksplotasi bukan untuk diambil kayunya lagi, tetapi diambil batubaranya. Melalui skema Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), kawasan hutan yang di atasnya masih berdiri tegakan pohon ditebang lalu digali untuk diambil batubaranya. Sedangkan untuk Ijin Usaha Pertambangan (IUP) batubara di luar kawasan hutan tidak berbeda jauh. Banyak sekali IUP diberikan di sekitar pemukiman bahkan diantaranya berada di belakang sekolah. Sebuah paradoks, di satu sisi ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi, di sisi lain justru berpotensi menimbulkan kerusakan dan bencana ekologis serta kerap menghancurkan ekonomi lokal yang sudah relatif mapan

Bagi kami pegiat lingkungan, usaha pertambangan batubara bukanlah hal yang haram untuk dilakukan. Kami sangat meyakini bahwa Allah SWT menciptakan sumberdaya alam termasuk batubara untuk dikelola dan dimanfaatkan secara lestari untuk kesejahteraan umatnya. Kami juga sangat mengerti bahwa kegiatan pembangunan merupakan kegiatan yang tidak bisa terelakkan dalam upaya meningkatkan perekonomian. Namun dalam pandangan kami, usaha pertambangan adalah pilihan terakhir untuk dipilih disaat usaha-usaha untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dari sektor lain seperti sektor pertanian, perkebunan, parawisata, jasa dan industri pengolahan telah dilakukan. Itupun bukan tanpa syarat dimana pemberian IUP dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dengan tidak mengeluarkan IUP di dekat pemukiman dan daerah-daerah yang memiliki nilai konservasi tinggi.

Bukan mengkritisi tanpa aksi

Bagi kami pegiat lingkungan kebijakan yang diambil oleh pemerintah kota Balikpapan adalah contoh konkret sebuah kebijakan yang tepat dengan prinsip kehati-hatian untuk tidak mengeluarkan IUP dan berkomitmen tidak memberikan ruang bagi IUP batubara. Namun disaat usaha pertambangan menjadi pilihan untuk menggerakkan perekonomian di bumi Kalimantan Timur (di luar kota Balikpapan), kami bersama kawan-kawan pegiat lingkungan bukan hanya bersifat pasif menerima pilihan kebijakan tersebut. Kami sering melakukan diskusi, advokasi, meskipun pada akhirnya segala upaya tersebut terabaikan. Faktanya, IUP setiap tahunnya bukannya menurun, tetapi justru meningkat. Bahkan lebih parah lagi, dimana ada potensi cadangan batubara, tak peduli dekat pemukiman ataupun sumber-sumber air dan mata pencaharian bagi masyarakat berada, IUP dan kegiatan eksploitasi tetap saja diberikan dan dilakukan.

Kami selalu berusaha untuk tidak hanya pandai mengkritisi tanpa disertai aksi dan alternatif solusi. Walaupun kami sangat paham, aksi dan alternatif solusi yang kami kerjakan dan tawarkan kadang masih tidak cukup, tidak tepat dan rasional. Misalnya, disaat awal-awal Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara belum banyak aktivitas pertambangan, melalui media massa kami menawarkan Kecamatan Samboja untuk tidak ditambang tetapi dikembangkan menjadi Kecamatan Wisata Pendidikan Lingkungan. Hal ini kami sampaikan bukan tanpa alasan, karena pada saat itu kami mencatat setidaknya ada 7 (tujuh) objek wisata pendidikan lingkungan potensial di Kecamatan Samboja yaitu wisata Bukit Bengkirai, Yayasan BOS, Rintis Wartono Kadri dan Herbarium di Wanariset Samboja, Wisata Bekantan di Sungai Hitam, Wisata Pantai Merah, Waduk Samboja dan Wisata Air Panas.

Disaat yang bersamaan, kami tidak hanya mengeluarkan gagasan atau ide, tetapi kami juga berusaha bertindak untuk mewujudkan gagasan tersebut. Bersama kawan-kawan di Yayasan BOS, kami bekerja membuat hutan baru dari lahan alang-alang di Samboja Lestari milik Yayasan BOS. Hal itu tidak hanya untuk kegiatan konservasi Orangutan, namun juga untuk mendukung gagasan mewujudkan Kecamatan Samboja sebagai Kecamatan Wisata Pendidikan Lingkungan. Namun faktanya sekarang, Kecamatan Samboja bukan sebagai kecamatan Wisata Pendidikan Lingkungan, sebaliknya sebagai kecamatan dengan IUP batubara terbanyak di Bumi Kalimantan Timur bahkan di Indonesia. Meskipun dengan 90 IUP yang ada di tempat ini, namun kami masih terus berusaha mewujudkan mimpi tersebut.

Mencari analogi untuk memotivasi diri

Kami juga sering berdiskusi untuk mencari sebuah analogi untuk pembenaran dan memotivasi diri bahwa usaha pertambangan bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan kedepannya. Kami cukup lama merenung dan berpikir untuk mencari anologi tersebut. Bahkan, disaat kami telah menemukan analogi tesebut kami masih kurang yakin bahwa analogi tersebut telah tepat dan relevan. Disaat menyaksikan secara langsung aktivitas penambangan dengan sistem terbuka dimana perut ibu pertiwi dibongkar untuk kemudian diambil isinya berupa batubara, maka kami menganalogikan bahwa menambang bagaikan seorang dokter yang sedang melakukan operasi Caesar terhadap seorang ibu dalam sebuah proses persalinan. Kami berpikir dan merenung bahwa selalu ada ada resiko, namun sepanjang dilakukan oleh dokter spesialis yang berpengalaman, didukung peralatan medis yang memadahi, dan Si ibu memiliki rekam jejak yang sehat maka proses persalinan umumnya akan berjalan lancar. Dokter akan berhasil mengeluarkan bayinya, Si Ibu dalam kondisi selamat dan meski memerlukan masa pemulihan dan bekas tanda pasca operasi, Si Ibu kedepannya akan tetap selalu berpeluang untuk memiliki keturunan kembali.

Dalam konteks di atas, kami menganologikan bahwa usaha pertambangan tidak menjadi sebuah hal yang perlu dirisaukan sepanjang dilakukan oleh orang-orang profesional berpengalaman (dokter spesialis) yang mengerti benar secara teknis bagaimana melakukan praktek-praktek pertambangan terbaik. Dalam konteks ini diperlukan komitmen yang tinggi bagi para pemilik dan pemegang IUP untuk selalu mengalokasikan dana yang memadahi untuk melakukan pratek-praktek pertambangan terbaik, termasuk pemenuhan sumber daya manusia yang berkualitas. Sedangkan dalam konteks kondisi kesehatan atau rekam jejak kesehatan Ibu, kami menganologikan bahwa usaha pertambangan tidak menjadi masalah sepanjang letak IUP yang diberikan oleh pemerintah bukan terletak pada daerah-daerah yang mempunyai nilai konservasi tinggi seperti pada hulu-hulu DAS dan dekat pemukiman. Jika prasyarat ini dipenuhi, maka bagaikan seorang ibu yang habis melahirkan secara Caesar, lahan-lahan bekas tambang tersebut akan tetap produktif untuk dikelola lebih lanjut sesuai dengan peruntukannya. Walaupun dipastikan memerlukan masa pemulihan dan tetap meninggalkan tanda dan kerusakan minimal pasca eksploitasi tambang.

Tambang batubara berkelanjutan, mungkinkah?

Disaat kami telah memutuskan untuk merubah pola pikir terhadap usaha pertambangan batubara, diwaktu yang sama kami telah memutuskan untuk terlibat langsung untuk mengurangi dampak akibat pertambangan batubara terutama terhadap aspek lingkungannya. Pertanyaan utama adalah apakah mungkin mewujudkan konsep pertambangan batubara yang berkelanjutan baik yang berada di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan? Masih adakah peluang untuk memulihkan atau memperbaiki kembali lahan dan vegetasi yang rusak akibat kegiatan penambangan sehingga fungsinya kembali secara optimal atau setidaknya mendekati fungsi semula?

Disaat beberapa pertanyaan tersebut mengemuka, kami terus berusaha terlibat untuk dapat berkontribusi mengurangi dampak dari aktivitas pertambangan. Yaitu dengan cara mendorong agar kedepan usaha pertambangan memiliki komitmen yang tinggi untuk menerapkan praktek-praktek pertambangan yang terbaik. Ada 2 (dua) konsep yang pertama pengembangan konsep bersinergi dengan alam dalam merehabilitasi lahan bekas tambang batubara. Konsep ini kami tujukan khusus pada IUP yang berada di dalam kawasan hutan dengan skema IPPKH.

Secara umum, konsep ini dilatarbelakangi pemahaman bahwa usaha-usaha perbaikan dan pemulihan ekosistem hutan yang rusak akibat kegiatan penambangan akan jauh lebih efektif dan efisien jika serangkaian kegiatan tersebut mampu mengkondisikan lingkungan yang dapat memancing dan mempercepat terjadinya proses regenerasi alami (suksesi alami). Mekanisme kerjanya adalah bagaimana mengkombinasikan usaha-usaha perbaikan dan pemulihan suatu ekosistem yang rusak oleh kita sebagai manusia dengan kekuatan alam. Sedangkan konsep kedua yang kami sedang kembangkan adalah khususnya di luar kawasan hutan adalah konsep melakukan kegiatan reklamasi dan revegetasi pada lahan bekas tambang dengan menanam jenis-jenis pohon penghasil bahan baku energi biomassa. Termasuk mengembangkan pola agroforestry dengan strategi pemilihan jenis yang sesuai dengan tidak hanya memperhatikan aspek lingkungan semata (Planet), namun juga terhadap jenis-jenis yang memiliki nilai manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat (People and Profit).

Kami memiliki keyakinan bahwa tambang batubara berkelanjutan bukanlah sebuah ketidakmungkinan untuk diwujudkan. Wujud konkretnya adalah salah satunya melalui transformasi pemanfaatan energi batubara pasca tambang dengan energi terbarukan dengan menanam jenis-jenis pohon di lahan bekas tambang batubara sebagai bahan baku energi biomassa (pelet) seperti jenis Kaliandra, Lamtora, Akasia, dan Gamal, termasuk mengkombinasikannya dengan menanam jenis-jenis lain seperti Singkong Gajah (Manihot esculenta) dan Aren (Arenga pinnata) sebagai penghasil biofuel.

Sebagai penutup, mungkin perubahan pola pikir dapat dianggap sebagai bentuk kepasrahan dan kefrustasian kami. Namun sebagai masyarakat biasa, apalagi yang kami dapat lakukan dengan melihat fakta yang ada bahwa di bumi Kalimantan Timur saat ini telah terkapling untuk IUP seluas lebih dari 5.4 juta hektar. Disaat advokasi kami terabaikan, hal terbaik yang dapat kami lakukan hanyalah bersifat adaptif dengan cara merubah pola pikir kami untuk terlibat mengurangi dampak, berpikir dan bertindak positif, dan tetap bersemangat menyongsong masa depan di Bumi Kalimantan Timur yang lebih baik lagi. Salam Hijau dan Lestari.

Ishak Yassir
Pengiat Lingkungan dan Peneliti Balitek KSDA

Rapat Konsultasi dan Koordinasi Nasional Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014

Materi Rapat Konsultasi dan Koordinasi Nasional Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014:

Arahan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Paparan Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-1019
Strategi Pembangunan

Share Button

Ecositrop Jajaki Kerjasama IOCMP

SAMBOJA – Ecositrop (Ecology and Conservation Center For Tropical Studies) menjajaki kerjasama konservasi orangutan dengan Balitek KSDA. Program penyelamatan orangutan yang digagas Ecositrop bertajuk Integrated Orangutan Conservation Management Plan (IOCMP). Rencana kerjasama tersebut merupakan pengembangan kerjasama penanganan konflik orangutan dan manusia yang sudah terjalin sebelumnya antara Ecositrop dengan peneliti Balitek KSDA.
Hal tersebut diungkapkan oleh Dr. Yaya Rayadin, Scientific Coordinator Ecositrop dalam diskusi yang digelar di ruang rapat Balitek KSDA, Kamis (11/12). Penanganan konflik orangutan dengan manusia umumnya terjadi di kawasan non hutan, seperti daerah tambang, perkebunan sawit, hutan tanaman industri, dan pemukiman.
IMG_9543Lebih Jauh, Yaya Rayadin mengungkapkan bahwa konflik orangutan dengan manusia pada masing-masing kawasan memerlukan penanganan yang berbeda, sehingga perlu disusun SOP (Standar Operational Procedure) dan CMP (Conservation Management Plan) masing-masing. Kerjasama dengan Balitek KSDA diharapkan mampu mengawal IOCMP yang berbasis pada penelitian dan pengalaman lapangan sampai menjadi produk kebijakan.
Ahmad Gadang Pamungkas, S. Hut., M.Si, Kepala Balitek KSDA, menyambut baik usulan kerjasama dengan Ecositrop. Kolaborasi dengan mitra diharapkan dapat mendorong kemajuan hasil-hasil penelitian yang aplikatif dan dibutuhkan oleh pengguna. Dengan demikian Balitek KSDA dapat menghasilkan inovasi teknologi konservasi yang benar-benar dimanfaatkan di lapangan.
Kerjasama yang dilakukan juga dapat melengkapi kepakaran antara dua lembaga serta mengisi gap budgeting sehingga dapat menghasilkan penelitian terintegrasi. Sebagai tindak lanjut, Balitek KSDA akan mendiskusikan substansi kerjasama serta kesesuaian dengan tugas pokok dan fungsi dalam lingkup internal. ***Emilf_.edt

Share Button

Pasca-Korsup Minerba KPK, 124 Pertambangan Masih Beroperasi di Kawasan Konservasi Kalimantan

Hampir setahun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kegiatan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) di bidang mineral dan batubara (Minerba) di Kalimantan. Apa hasilnya?

Dari data Dirjen Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Korsup KPK hingga Mei 2014, ternyata ada 124 pemegang izin pertambangan di lima provinsi di Kalimantan yang masih beroperasi di kawasan konservasi.

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil Borneo (KMSB) fakta tersebut membuktikan pemerintah daerah di Kalimantan tidak bekerja sungguh-sungguh dalam menata persoalan minerba. KMSB adalah koalisi NGO di Kalimantan yang melakukan pengawasan atau pemantauan terkait aspek ketaatan izin, penerimaan negara, serta aspek sosial dan lingkungan, dari aktivitas perusahaan izin minerba.

Ivan G Ageung, dari Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan Barat, anggota KMSB, mengatakan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan non-kehutanan memang diperbolehkan berdasarkan aturan yang ada. “Namun, penggunaan kawasan konservasi untuk kegiatan non-kehutanan jelas melanggar aturan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati,” katanya, di Sekretariat SAMPAN di Pontianak, Senin (08/12/2014) lalu.

Lanjut Ivan, kegiatan penggunaan kawasan hutan di kawasan lindung hanya diperbolehkan dalam bentuk pertambangan bawah tanah (underground mining). Tapi faktanya, sampai saat ini tidak ada satu pun pemegang izin yang sanggup melaksanakan praktik penambangan tersebut.

“Intinya, hingga saat ini semua pemerintah daerah di Pulau Kalimantan belum melakukan tindakan penegakan hukum terhadap pemegang izin penggunaan kawasan hutan di wilayah konservasi dan lindung,” katanya.

Pada kertas posisi KMSB, disebutkan di Kalimantan Barat terdapat 13 pemegang izin yang menggunakan kawasan konservasi untuk kegiatan non-kehutanan dan 125 pemegang izin di kawasan lindung. Sementara di Kalimantan Timur terdapat 62 pemegang izin di kawasan konservasi, di Kalimantan Selatan sekitar 30 pemegang izin, dan di Kalimanyan Tengah terdapat 19 pemegang izin.

Dari Data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara pada April 2014, dari semua izin tersebut, hampir 50 persen IUP Minerba belum clear and clean (CnC). Tepatnya, pemerintah daerah di Kalimantan dihadapkan dengan status non-clear and clear-nya IUP pertambangan sebanyak 1.518 IUP dari total 3.836 IUP. Status non-clear and clean terbanyak di Kalimantan Timur.

Meskipun KPK memberikan batas waktu selama enam bulan kepada pemerintah daerah untuk memaksa pemegang IUP agar mengurus status IUP, ternyata respons pemerintah daerah di Kalimantan sangat lamban.

Indikasinya, hingga Oktober 2014 di Kalimantan Barat hanya 21 IUP yang berstatus CnC dari 195 IUP yang diusulkan. Sementara di keempat provinsi lainnya data tidak tersedia.

Selain itu, sebanyak 44 persen IUP yang non CnC di Kalimantan bermasalah secara administratif. Masih data Dirjen Minerba Kementerian ESDM mengemukakan sekitar 1.078 pemegang izin di Kalimantan belum menyelesaikan administrasi sebagai persyaratan untuk memperoleh IUP, antara lain kepemilikan NPWP dan kelengkapan dokumen perusahaan.

KMSB juga mendapati sebanyak 95 persen pemegang izin pertambangan di Pulau Kalimantan belum memiliki jaminan reklamasi. Serta, 99 persen di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur belum memiliki jaminan pasca-tambang.

Berdasarkan data jaminan reklamasi di Kalimantan, dari jumlah total 3.836 izin pertambangan hanya 210 IUP yang menyetorkan dana jaminan reklamasi.

“Sisanya belum memenuhi kewajibannya untuk menempatkan jaminan reklamasi. Dari jumlah tersebut, hanya 0,7 persen atau 16 izin pertambangan yang baru memiliki dokumen pascapertambangan,” kata Ivan.

Negara rugi ratusan miliar

KMSB melakukan perhitungan potensi kerugian negara dari land rent yang mengacu pada PP Nomor 9/2012 tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Bukan Pajak. Dari perhitungan yang ada diperoleh selisih yang signifikan antara potensi penerimaan daerah dan realisasinya. “Selisih antara realisasi penerimaan daerah dengan potensinya kami sebut sebagai potensi kehilangan penerimaan (potential lost),” kata Ivan.

Hasil perhitungan KMSB menunjukkan, sejak tahun 2009-2013 diperkirakan potensi kerugian penerimaan mencapai Rp 218,302 miliar di Kalimantan Timur; Rp 177,442 miliar di Kalimantan Barat; Rp 34,067 miliar di Kalimantan Selatan dan Rp 145,136 miliar di Kalimantan Tengah. Dengan demikian total potensi kerugian penerimaan di lima provinsi tersebut adalah sebesar Rp 574,94 miliar lebih.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio
Sumber : Klik di sini

Potential-Lost-Kalimantan-1

Share Button

Opini: Antara Proper dan Instrumen Penataan

Pada 2 Desember 2014, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengumumkan program penilaian peringkat kinerja perusahaan (Proper) periode 2013-2014. Dalam masa ini, 1.908 perusahaan mengikuti mekanisme penaatan berbasis sukarela. Capaiannya, predikat hitam ada 21 perusahaan, merah (516), biru (1.224), hijau (121) dan emas (9).

Di tengah pemberian Proper kepada perusahaan ini, tidak sedikit isu berkembang. Ada yang menyatakan, Proper melenceng dari penaatan dan tidak lagi obyektif sebagai instrumen penilaian dalam skema penegakan hukum lingkungan.

Instrumen penaatan

Penegakan hukum lingkungan merupakan bagian sangat penting dalam menciptakan penaatan (compliance) hukum lingkungan. Namun, penciptaan penaatan melalui penegakan hukum, atau sering disebut pendekatan command and control (CAC—atur dan awasi), seringkali dikritik karena berbagai alasan. Pertama, CAC dianggap mendasarkan diri pada pandangan, perilaku anti-lingkungan dapat dilawan dengan peraturan perundang-undangan. Pandangan ini bertentangan dengan sifat egoisme manusia yang selalu mencari tindakan menguntungkan diri. Hingga ketika dihadapkan peraturan perundang-undangan manusia seringkali diam-diam melakukan pelanggaran.

Kedua, CAC dianggap bersifat top-down dan instruktif, yang memposisikan masyarakat melaksanakan yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan menurut interpretasi dari pemerintah an sich. Karena itulah, dalam CAC masyarakat dan industri tidak didorong atau diberikan insentif berperilaku ramah lingkungan. Ketiga, CAC bersifat kaku dan birokratis dalam bentuk aturan dibuat secara rinci dan detail, dimulai dari UU sampai pada tingkat petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Kekakuan ini, misal, berakibat pada teknologi dan sistem pengelolaan lingkungan tak berkembang.

Sisi lain, kekakuan CAC juga mengakibatkan pendekatan ini sangat birokratis, hingga pejabat seringkali bertindak lebih demi kepentingan birokrasi ketimbang demi perbaikan kondisi lingkungan. Demi mengatasi persoalan dalam pendekatan CAC, para ahli memikirkan untuk mengembangkan pendekatan alternatif yang mampu memberikan insentif dan disinsentif bagi masyarakat. Artinya, hukum memberikan insentif bagi penaatan, dan disinsentif bagi ketidaktaatan. Sebenarnya, bisa lewat Proper, sebagai instrumen penaatan.

Dalam praktik, Proper malah berfungsi sebagai instrumen penaatan sukarela perusahaan dan memberikan dampak buruk bagi lingkungan hidup. Pada momentum ini, Proper sebagai instrumen alternatif perusahaan saat akan menunjukkan ketaatan lingkungan. Kala perusahaan tidak ramah lingkungan, akan menghindari instrumen ini. Suatu kondisi sangat bertentangan dengan semangat awal Proper yang diharapkan bisa menjadi instrumen pemicu ketaatan dalam mewujudkan pengelolaan perusahaan ramah lingkungan.

Regenerasi instrumen ekonomi

Berbeda dari pendekatan atur dan awasi, dengan penggunaan instrumen pendekatan ekonomi, penaatan sukarela bisa dianggap sebagai upaya penerapan hukum refleksif ke kebijakan lingkungan. Perspektif ini terlihat, hukum refleksif merupakan upaya membuat hukum menjadi lembaga yang mampu mendorong proses evaluasi diri dalam penurunan dampak lingkungan. Dalam konteks ini, penaatan sukarela– merupakan penerapan hukum refleksif –diharapkan mampu mendorong setiap orang mengevaluasi, menguji, dan mengkaji ulang perilaku selama ini. Apakah memberikan manfaat bagi lingkungan hidup, atau menimbulkan kerusakan.

Dalam diskursus penegakan hukum administrasi, penerapan hukum refleksif ini momentum menandai awal pola kebijakan lingkungan generasi ketiga. Ini tahapan lanjutan dari kebijakan lingkungan generasi pertama yang ditandai pemberlakuan instrumen CAC secara ekstensif. Sedang kebijakan generasi kedua ditandai pemberlakuan instrumen ekonomi, semacam pajak lingkungan. Pada generasi ketiga, kebijakan lingkungan refleksif ditandai, pemberlakuan kebijakan sukarela terkait informasi, audit lingkungan, dan sistem pengelolaan lingkungan.

Eksistensi Proper sebagai sebuah instrumen berbasis generasi ketiga seharusnya diikuti dengan insentif yang diberikan kepada perusahaan peringkat emas, hijau dan biru. Misal, berupa kemudahan izin dan pengurangan pajak. Keadaan ini memicu peningkatan keikutsertaan peserta Proper dengan asumsi semua rangkaian kegiatan transparan dan obyektif.

Penegakan hukum versus Proper

Selain permasalahan obyektivitas dari Proper itu, tindaklanjut perusahaan yang masuk kategori merah dan hitam menjadi bertentangan dengan norma wajib dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam konsep Proper, kategori merah terjadi saat pengelolaan lingkungan belum sesuai persyaratan. Sedangkan hitam, paling rendah, terjadi pada saat usaha atau kegiatan sengaja atau lalai hingga mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan serta pelanggaran aturan.

Secara konseptual, kedua definisi ini bentuk pelanggaran hukum yang dilegalkan. Ini secara jelas memberikan insentif bagi perusahaan yang tak taat pada penerapan aturan dan penegakan hukum lingkungan. Nyata terlihat, sanksi hanya sebatas tak ikut serta pada Proper tahun depa. Ini menjadi alas bagi penegakan hukum.

Eksistensi Proper hendaknya campuran antara program sukarela dan penaatan wajib. Sukarela Proper dalam konteks terlihat dari proses penetapan peserta, yang saat ini lebih banyak pada iimbauan agar value added. Penaatan wajib Proper ditempatkan pada konteks setiap orang/pelaku usaha wajib menaati peraturan lingkungan hidup. Dalam arti, peserta yang terbukti scientific evidence berperingkat merah atau hitam, maka pemerintah sebenarnya telah menemukan pelanggaran hukum. Hingga pemerintah bisa langsung menggunakan instrumen Proper sebagai alas penegakan hukum administrasi secara langsung.

* Penulis adalah Doktor Hukum Lingkungan Universitas Indonesia dan pengajar Hukum Lingkungan Universitas Tarumangara
Sumber : Klik di sini

Share Button

Tiga BUMN Jadi Perusahaan Terbaik Peduli Lingkungan Indeks “SRI-KEHATI”

Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) kembali memberikan penghargaan untuk ketiga kalinya kepada 25 perusahaan yang memenuhi prinsip-prinsip sustainable and responsible investment (SRI). Dari 25 perusahaan tersebut, Kehati memilih tiga perusahaan terbaik.

“SRI-KEHATI Award diberikan kepada tiga perusahaan terbaik dari 25 perusahaan tersebut,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Kehati, MS Sembiring, dalam acara penganugerahan SRI-KEHATI Award 2014 pada Kamis malam (11/12/2014) di Jakarta.

Tiga perusahaan BUMN berhasil menjadi perusahaan terbaik dari 25 perusahaan yang masuk dalam indeks SRI-KEHATI yaitu PT Bank Negara Indonesia, PT Bank Rakyat Indonesia dan PT Perusahaan Gas Negara.

Sedangkan daftar 25 Perusahaan yang masuk dalam Indeks SRI-KEHATI yaitu PT Astra Agro Lestari Tbk, PT Adhi Karya Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, PT Astra International Tbk, PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Bank Danamon Indonesia Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT XL Axiata Tbk, PT Garuda Indonesia Tbk, PT Gajah Tunggal Tbk, PT Indofood Sukses Makmur Tbk, PT Jasa Marga Tbk.

Juga ada PT Kalbe Farma Tbk, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk, PT Perusahaan Gas Negara Tbk, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk, PT Semen Indonesia Tbk, PT Timah Tbk, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT United Tractors Tbk, PT Unilever Indonesia Tbk, PT Wijaya Karya Tbk.

“Diharapkan perusahaan terbaik itu dapat menjadi role model yang memicu perusahaan lain mengikuti penerapan pegnelolaan perusahaan yang baik dan bertanggung jawab sesuai dengan prinsip sustainable and responsible investment,” kata Sembiring.

Dia mengatakan sebanyak 25 perusahaan yang telah diseleksi secara ketat untuk masuk dalam indeks SRI-KEHATI adalah perusahaan-perusahaan terbaik yang memenuhi 6 aspek fundamental yang merupakan prinsip-prinsip SRI.

Indeks SRI-KEHATI merupakan tolak ukur investasi bagi investor khususnya pada perusahaan publik yang berkinerja baik dalam menjalankan usahanya. Mereka melakukan usahanya sesuai dengan prinsip berkelanjutan yang peduli terhadap lingkungan hidup, pengembangan masyarakat, hak asasi manusia, ketenagakerjaan, perilaku bisnis dan tata kelola perusahaan yang baik.

MS Sembiring mengatakan perusahaan yang menerapkan SRI menjadi penting, karena data investasi global menyebutkan 94 persen pihak ketiga pengelola aset menginginkan investasi dilakukan pada perusahaan yang menerapkan SRI.

Disebutkan ada pertumbuhan aset global untuk investasi yang dikelola oleh pihak ketiga, dengan memperhatikan prinsip investasi bertanggung jawab, yaitu dari 4 triliun USD pada 2006 menjadi 45 triliun USD pada 2014.

Dewan juri yang dipimpin mantan Menteri Lingkungan Hidup, Sonny Keraf melakukan seleksi ketat terhadap 25 perusahaan konstituen SRI-KEHATI untuk mendapatkan tiga perusahaan terbaik. Sebanyak 25 perusahaan yang berhaSil masuk dalam indeks SRI-KEHATI adalah perusahaan-perusahaan yang lolos dari tiga tahapan seleksi yaitu seleksi dari aspek bisnis inti, aspek finansial, dan aspek fundamental, dimana seleksi dilakuan dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Mei dan November.

Sony mengatakan penghargaan seperti SRI-KEHATI Award ini sangat penting dilakukan. Karena dapat menjadi kontrol masyarakat terhadap klaim perusahaan yang mengaku sebagai perusahaan hijau.

“Publik bisa melakukan assessment apakah benar mereka adalah perusahaan hijau atau hanya klaim saja,” katanya. Selanjutnya, beliau menambahkan bahwa sekarang adalah saatnya masyarakat dan pihak swasta untuk secara mandiri menjaga lingkungan hidup. “Saatnya untuk go beyond regulation,” tambahnya. Kegiatan menjaga lingkungan hidup tidak perlu harus menunggu regulasi, akan tetapi bisa segera dilakukan.

Indeks yang lahir pada Juni 2009 merupakan indeks yang pertama di ASEAN dan yang kedua di Asia berdasarkan data dari exchange and sustainable investment (www.world-exchanges.org) . Sejak peluncurannya, indeks ini telah teruji memliki performa yang konsisten dengan rata-rata sekitar 10 persen diatas indeks lainnya seperti indeks LQ45 dan JII.

Pada kesempatan tersebut, Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nurhaida, memberikan apresiasi terhadap adanya indeks SRI-KEHATI. “Perusahaan-perusahaan ini luar biasa, dan perusahaan yang sangat peduli lingkungan, dana akan berkembang,” katanya.

Nurhaida yang juga Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal menjelaskan pertumbuhan harga saham dari perusahaan yang masuk SRI-Kehati terbukti lebih tinggi dibandingkan indeks harga saham gabungan (IHSG) dari awal tahun sampai Desember 2014.

Pada rentang awal tahun hingga Desember 2014 pertumbuhan perusahaan di dalam IHSG ada pada angka 20,92 persen. Sedangkan perusahaan dalam indeks SRI-KEHATI pada rentang yang sama angka lebih tinggi di 26,72 persen. “Ini artinya publik menyukai perusahaan-perusahaan dalam indeks SRI-KEHATI,” tambahnya.

Indeks SRI-KEHATI yang merupakan inisiatif Yayasan KEHATI ini adalah sebuah tolak ukur investasi bagi investor khususnya pada perusahaan publik yang berkinerja baik dalam menjalankan usahanya. Mereka melakukan usahanya sesuai dengan prinsip berkelanjutan yang peduli terhadap lingkungan hidup, pengembangan masyarakat, hak asasi manusia, ketenagakerjaan, perilaku bisnis dan tata kelola perusahaan yang baik.

Dalam acara tersebut, Majalah Swa juga mengumumkan perusahaan yang mendapatkan “Indonesia Green Company Achievement” yaitu PT Garuda Indonesia, PT Gajah Tunggal, PT Nestle Indonesia, PT Indonesia Power dan PT Toyota Motor Manufacture Public.

Sumber : klik di sini

Share Button