Langkah-langkah Penyusunan Laporan Keuangan Lingkup Kementerian Kehutanan Tahun 2014

Dalam rangka meningkatkan kualitas laporan keuangan Kementerian Kehutanan Tahun 2014.

Selengkapanya dapat unduh ditautan berikut ini :
SE Nomor : SE.14/II-KEU/2014

Share Button

Langkah-Langkah Likuidasi Satuan Kerja Dana Dekonsentrasi Tahun 2015

Surat Edaran
Nomor : SE.13/II-KEU/2014

Sehubungan dengan pelaksanaan penggabungan Satuan Kerja (Satker) Dana Dekonsentrasi Tahun 2015 yang diintegrasikan dalam 1 (satu) DIPA dan perubahan kode Satker Badan/Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan/Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan menjadi dibawah koordinasi Eselon I Sekretariat Jenderal,maka untuk memastikan pelaksanaan likuidasi dilaksanakan secara tertib dan akuntabel guna menghasilkan Laporan Keuangan Likuidasi yang sesuai Standar Akuntasi Pemerintahan dan untuk pengamanan aset milik pemerintahan.

Selengkapnya dapat unduh ditautan berikut ini :
SE.13/II-KEU/2014

Share Button

Bird Tourism, Mendulang Uang sambil Melestarikan Alam

“Psstt, itu dia!” bisik Khaleb Yordan, seorang bird guide yang memimpin serombongan orang di tengah lebatnya hutan Taman Wisata Alam Carita, Banten. “Javan Banded Pitta!” ujarnya sambil menunjuk seekor burung berwarna-warni yang sedang asyik berburu cacing di tanah.

Rombongan kecil di belakangnya—turis-turis asing berteropong—sibuk mengarahkan kamera masing-masing. Suara jepretan kamera lansung memenuhi suasana hutan yang tadinya sunyi. Decak kagum pun mengalir dari mulut mereka saat berhasil mengambil gambar si Paok Pancawarna Jawa (Pitta guajana), burung endemik Jawa yang menjadi salah satu ‘buruan’ mereka hari itu.

Aktivitas seperti ini tidaklah asing bagi Khaleb. Sebagai seorang bird guide profesional, memang sudah tugasnya memandu para birdwatcher asing untuk mencari burung-burung cantik, langka, dan endemik yang ada di spot-spot pengamatan di Jakarta dan sekitarnya. Sudah hampir 4 tahun Khaleb menjalani profesi ini, dengan beberapa pelanggan tetap dari seluruh dunia.

Pekerjaan birding guide atau pemandu pengamatan burung memang bukanlah hal yang umum bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat belum terbiasa dengan kegiatan blusukan di hutan hanya untuk mencari beberapa jenis burung yang sulit dilihat. Pertanyaan lugu seperti “memangnya ada yang mau bayar?” pun sering didengar. Namun ternyata, bisnis bird tourism atau “pariwisata burung” merupakan bisnis yang menjanjikan di Indonesia—bahkan bisa menjadi penghubung yang kuat antara sisi ‘ekologi’ dan ‘ekonomi’ yang selalu berseteru satu sama lain!

Ya, polemik antara konservasi alam dan kepentingan ekonomi selalu menjadi pertarungan tanpa akhir. Sebagian masyarakat merasa kepentingan ekonomi jauh lebih penting ketimbang mengurusi hal-hal yang inprofitable, sehingga tidak jarang terjadi konflik antara konservasionis dengan pihak-pihak yang ingin mengeksploitasi sumber daya demi keuntungan instan.

Ekoturisme sudah lama digadang-gadang menjadi jembatan antara dua kepentingan ini, menawarkan solusi berprofit tinggi tanpa harus merusak lingkungan. Namun kurang handalnya pihak terkait dalam mengemasnya membuat bisnis ini kurang dilirik. Bird tourism pun muncul sebagai solusi dari masalah tersebut.

Bird tourism merupakan produk dari budaya pengamatan burung (birdwatching) yang populer di negara maju. Bermula dari hobi nyeleneh di abad ke-18, kegiatan ini bertransformasi menjadi budaya yang umum di kalangan masyarakat modern. Budaya ini pun semakin berkembang ketika istilah twitcher mulai berkembang, merujuk pada pengamat burung yang terobsesi untuk melihat seluruh jenis burung di dunia. Hal ini membuat kegiatan yang semula bersifat estetik menjadi lebih kompetitif, memancing orang-orang yang terlibat di dalamnya untuk berlomba-lomba mencari lebih banyak burung untuk dilihat.

Dengan 1.702 spesies burung dan 446 spesies endemik, Indonesia seperti surga bagi para twitcher (Data: Avibase 2014). Tidak heran ada banyak twitcher asing yang rela merogoh kantong mereka hanya untuk melihat burung-burung di Indonesia. Karena perbedaan lokasi, mereka membutuhkan pemandu profesional untuk menemukan burung-burung tersebut dalam waktu yang minim. Hal ini menjadi generator bagi para birdwatcher lokal untuk mencari nafkah dari hobi yang mereka jalani.

Khaleb merupakan contoh nyata dari fenomena ini. Bersama kakaknya, Boas Emmanuel, mereka merintis layanan birding guide atas nama Jakarta Birder. Berawal dari hobi mengamati burung, mereka mulai mendapat permintaan dari rekan-rekan birder dari seluruh dunia untuk mendampingi mereka. Empat tahun kemudian, nama Jakarta Birder menjadi cukup terkenal sebagai birding guide di Indonesia, melayani para pengamat burung dari Singapura, Malaysia, India dan negara lain. Hasilnya menggiurkan—seorang pemandu profesional bisa memasang tarif hingga ratusan ribu rupiah per hari, atau bahkan per jam!

m-7218-enz.www_.teara_.govt_.nz_

Aspek Ekonomi Birding Guide dan Tantangan Pengembangannya

Secara ekonomis, perputaran uang di industri ini juga bisa membuat kita terpana. Pada tahun 2012, CMS (Conservation of Migratory Species and Wild Animals) mencatat industri ini menghasilkan uang sebesar US $ 32 milyar setiap tahun di Amerika Serikat (sekitar 27% dari GDP di Indonesia!). Uang sebesar ini dihasilkan dari pajak, pembelian alat, jasa bird guiding, dan lain-lain. Perlu diingat bahwa angka ini berlaku di Amerika Serikat, negara beriklim sedang dengan jumlah spesies burung yang minim—bayangkan apa yang terjadi bila bisnis ini berkembang di Indonesia!

Tentu saja, bisnis ini bukan berarti bebas dari masalah. “Sering diribetin, dibilang mau penelitian, mentang-mentang bawa bule, bawa kamera dll. BKSDA juga suka nggak ngasih SIMAKSI padahal udah ngikutin prosedur. Pernah juga diminta surat ijin kamera, mentang-mentang gue bawa kamera gede, padahal bukan reporter atau apa. Nggak komersial!” keluh Khaleb. “Banyak orang-orang tersebut yang mikirnya langsung duit.”

Harga tiket taman nasional yang terlampau tinggi juga menjadi keluhan besar bagi pemandu pengamat burung. Sejak diberlakukannya PP no 12 tahun 2014, tiket masuk taman nasional di seluruh Indonesia melonjak hingga hingga 8 kali lipat. Misalnya saja di Taman Nasional Gunung Gede Pangrangro, salah satu lokasi birdwatching favorit bagi turis asing, harga tiket yang semula hanya Rp.20.000 melonjak hingga Rp.200.000/hari! Kenaikan harga ini dinilai tidak masuk akal, apalagi jika dibandingkan dengan minimnya fasilitas yang disediakan oleh pihak taman nasional.

Hal ini tentu menurunkan potensi Indonesia sebagai sentra bird tourism di dunia. Dengan tingkat endemisitas yang tinggi, Indonesia tidak akan kalah dengan negara lain yang sudah lebih dulu merintis industri ini, seperti Thailand, Singapura dan India. Tentu saja peran pemerintah dibutuhkan untuk mengembangkan industri ramah-lingkungan ini, khususnya di bidang peraturan tentang kawasan konservasi.

Di sisi lain, industri bird tourism juga bisa mendukung upaya pelestarian alam dan menguntungkan masyarakat yang terlibat. Dengan ramainya kunjungan wisata ke wilayah terpencil, masyarakat bisa mendapatkan keuntungan dengan menyediakan fasilitas bagi para turis, seperti penginapan, restoran, atau bahkan menjadi bird guide itu sendiri. Ketika masyarakat merasa diuntungkan, secara otomatis mereka akan berusaha melindungi lingkungan tempat tinggal tersebut.

Burung yang menjadi sumber penghidupan mereka akan tetap dijaga agar tetap lestari. Secara tidak lansung, masyarakat juga akan berusaha menjaga habitat burung tersebut, sehingga menguntungkan kedua pihak (hutan dan masyarakat) secara bersamaan. Hal ini telah diterapkan oleh Papua Bird Club, pengusaha bird tourism dari Papua yang melibatkan warga lokal dalam usaha mereka mendapatkan profit sekaligus melindungi burung di habitatnya.

Jika semua pihak mau mengerti satu sama lain, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi negara yang maju dan hijau sekaligus. Dengan menggunakan kekayaan alamnya secara bijak, Indonesia bisa mendapatkan keuntungan ekonomis tanpa harus mengorbankan masa depan. Tentu saja, bird tourism akan menjadi jembatan yang kokoh antara dua kepentingan ini, menyatukan sisi ekologis dan sisi ekonomis secara aman dan berkelanjutan.

sumber : klik disini

Share Button

Peneliti UGM : Pembukaan Hutan Untuk Lahan Sawit Harus Dihentikan

Pakar lingkungan dan juga pengajar di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Dr. Tjut Sugandawaty Djohan mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menghentikan pembukaan hutan untuk lahan industri perkebunan kelapa sawit dengan memperpanjang kebijakan moratorium izin kehutanan.

Menurutnya, hal itu dilakukan untuk melindungi keberadaan hutan hujan tropis yang tersisa hanya sekitar 33 persen atau 43 juta ha dari luas hutan yang mencapai 130 juta ha.

“Di Sumatera hutan hanya tinggal 30 persen. Itu pun hutan yang paling banyak berada di Aceh. Di Jawa, hutan sudah tinggal 3 persen. Kerusakan hutan ini akibat pembukaan lahan untuk kelapa sawit,” kata Tjut Sugandawaty yang ditemuidi Fakultas Biologi UGM, pada pertengahan Desember 2014.

Menurut Tjut Suganda, kerusakan hutan Indonesia sudah sangat massif dalam tiga puluh tahun terakhir. Salah satu sebabnya, makin banyaknya daerah yang membuka izin pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. Bahkan termasuk kawasan hutan lindung dan hutan konservasi tidak luput dari dampak izin pembukaan lahan kelapa sawit tersebut.

“Hutan taman nasional Tesso Nilo di Riau saja sekitar 60 persen luas hutannya sudah jadi kebun sawit. Ini sangat memperihatinkan, sampai-sampai Harrison Ford saja marah saat bertemu dengan Menteri Kehutanan (Zulkifli Hasan) waktu itu,” tambahnya.

Peneliti ekologi dan konservasi dari Fakultas Biologi UGM ini menegaskan tidak mudah mengembalikan lahan perkebunan kelapa sawit untuk menjadi kawasan hutan kembali. Satu-satunya jalan adalah menutup peluang penambahan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit baru. Menurutnya ini membutuhkan tindakan tegas menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya.

Dia mengapresiasi langkah Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan yang mengambil langkah tegas menyelamatkan sumber daya laut dengan melarang kapal-kapal asing mengambil ikan secara ilegal. Oleh karena itu, Menteri KLHK meniru langkah serupa dibidang kehutanan.

“Saya belum melihat ke arah itu, gebrakan Ibu Susi jelas dalam pengelolaan laut, tapi kebijakan di darat (hutan) belum ada. Sementara kerusakan hutan kita sangat luar biasa,” tukasnya.

Pada kesempatan yang sama, Prof Noel Holmgren, pengajar Theoritical Ecology dari Universitas Skovde Swedia, mengatakan pendekatan ecology modelling bisa digunakan untuk memprediksi fenomena yang terjadi di alam. Bahkan teknik modeling ini bisa untuk memperkirakan dampak ekologi di kemudian hari dari aktivitas yang dilakukan oleh manusia maupun hewan.

“Pendekatan ini bisa digunakan untuk memprediksi laju kerusakan alam sehingga bisa membantu pengambilan sebuah kebijakan,” kata Noel Holmgren.

Konversi Lahan dan Kedaulatan Pangan

Bondan Andriyanu, Kepala Departemen Kampanye Sawit Watch dalam rilisnya mengatakan bahwa rata-rata setiap tahunnya 500 ribu ha lahir kebun sawit baru di Indonesia, dari konversi lahan pangan. ‎ Menurut riset Sawit Watch pada 2012 perubahan penggunaan tanah hutan menjadi perkebunan sawit seluas 276.248 Ha. Dalam data resmi juga menyebutkan bahwa dalam satu menit, satu keluarga petani pangan menghilang.

Hari Octavian, Direktur Eksekutif Scale Up menjelaskan ekspansi perkebunan sawit di Indonesia mulai terasa dampaknya di Provinsi Riau. Data Scale Up mencatat ada 39 konflik lahan yang terjadi selama 2013. Hal ini terjadi karena masyarakat selalu kalah berkompetisi dengan perusahaan besar dalam penguasaan lahan perkebuan.

FAO menyebutkan bahwa keluarga petani (pertanian, kehutanan, perikanan tangkap dan budidaya, peternakan) merupakan penghasil pangan dunia. Dari 570 juta hektar lahan pertanian, 500 juta dimiliki oleh keluarga petani di seluruh dunia. Mereka menghasilkan lebih dari 57 persen produksi pangan di dunia. Data Sawit Watch, petani Indonesia dalam kurun 2003-2013 menghilang 5,07 juta rumah tangga, artinya dalam setiap menit 1 keluarga petani menghilang di Indonesia.

“Kebijkakan didalam pemerintahan Jokowi-JK hendak mencapai kedaulatan pangan lewat swasembada beras‎, gula dan lain-lain dalam waktu 3 hingga 4 tahun dirasa sangat pesimis dapat tercapai, bila konversi lahan pangan menjadi kebun kelapa sawit tidak dapat dihentikan,” kata Bondan Andriyanu.

Ia menambahkan, untuk menghindari tergerusnya lahan pangan akibat ekspansi perkebunan sawit maka salah satu cara dengan melindungi lahan-lahan pangan tersebut dengan menjadikannya lahan pertanian pangan berkelanjutan. Didalam UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, pemerintah dapat memberikan perlindungan lahan tersebut yang diiringi dengan pemberian insentif sehingga lahan pangan tersebut tidak terkonversi menjadi perkebunan sawit.

Riau menjadi propinsi yang memiliki luasan perkebunan sawit terbesar di Indonesia. ‎Luasan perkebunan sawit di Indonesia adalah 13.5 juta ha, dimana 2,9 juta ha ada di Riau (Sawit Watch, 2013). Luas ini akan terus bertambah sesuai dengan rencana pemerintah untuk memperluas hingga 28 juta pada tahun 2020, akibat dari permintaan pasar dunia yang semakin tinggi akan konsumsi minyak sawit (CPO) untuk digunakan dalam berbagai produk turunannya.

Bondan menambahkan, ironis sekali luasan perkebunan sawit terus bertambah dan industri olahannya tak berkembang, kemudian Indonesia mengimpor pangan dan berbagai jenis olahan berbasis sawit untuk konsumsi sehari-hari. Indonesia adalah negeri agraris dan kaya akan ragam pangan lokal, mengapa hanya fokus mengembangkan pada satu produk saja dan secara monokultur.

“Di tengah sibuknya pemerintahan Jokowi melakukan blusukan, maka perlu bersama-sama kita menitipkan kepada beliau dan timnya untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan melindungi lahan pangan dari ekspansi perkebunan sawit,” tambah Bondan.

Sumber : klik di sini

Share Button

Katak Baru dari Sulawesi Mengejutkan Dunia karena Bisa Melahirkan

Katak jenis baru dari Sulawesi mengejutkan dunia. Bila biasanya katak berkembang biak dengan cara bertelur, katak ini berkembang biak dengan melahirkan.

Katak itu ditemukan oleh ahli herpetologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Djoko Tjahjono Iskandar, serta rekannya, Ben J Evans, dari McMaster University di Kanada, dan Jimmy A McGuire dari Universityy of California, Berkeley.

Karena mampu melahirkan kecebong, katak baru ini dimasukkan dalam golongan hewan yang berkembang biak secara ovovivipar.

Ovovivipar berbeda dengan ovipar (bertelur) dan vivipar (melahirkan). Ovovivipar berarti embrio tetap berkembang di telur yang berada di dalam tubuh induk, tetapi keluar dari tubuh induk dalam kondisi sudah menetas.

Spesies katak baru ini dinamai Limnonectes larvaepartus, sesuai dengan sifatnya, mampu melahirkan larva (larvae: larva atau kecebong, partus: melahirkan).

Dalam publikasinya di jurnal PLOS ONE pada Rabu (31/12/2014) lalu, Djoko menyatakan bahwa jenis ini sudah dijumpai sejak dia melakukan survei keragaman katak di Sulawesi pada tahun 1996 lalu.

Namun, identitas katak ini sebagai spesies baru belum bisa ditetapkan sebab belum ada bukti perilaku melahirkan.

Perilaku melahirkan kemudian berhasil dilihat saat Djoko dan tim melakukan studi lapangan di Sulawesi tahun ini. Satu kali kesempatan, Djoko menyaksikan langsung katak melahirkan di genggaman tangan.

Dalam kesempatan lain, Djoko dan tim menjumpai adanya kecebong hidup dalam bagian sistem reproduksi bernama oviduk serta dalam tas plastik tempat tim mengoleksi katak.

Hingga kini, perilaku melahirkan ini masih misteri. Bagaimana bisa katak yang biasanya melakukan pembuahan eksternal (tidak ada penyatuan antara sel sperma dan sel telur dalam tubuh) bisa melahirkan?

Limnonectes larvaepartus disebut sebagai satu-satunya jenis katak yang mampu melahirkan kecebong dan satu dari 12 jenis katak yang mengalami evolusi fertilisasi internal.

Sebelumnya, terdapat katak Rheobatrachus yang dikenal “mengerami” telurnya di dalam lambung untuk kemudian memuntahkannya dalam bentuk kecebong. Namun, golongan katak itu sudah punah pada tahun 1980-an.

Sementara itu, di Afrika terdapat genus katak Nectophrynoides dan Nimbaphrynoides yang juga bisa melahirkan. Namun, keduanya melahirkan berudu (katak muda), bukan kecebong.

Limnonectes larvaepartus, ditemukan di wilayah Sulawesi Tengah, dinyatakan sebagai spesies endemik. Penyebarannya belum diketahui secara pasti sebab survei keragaman dan populasi katak di pulau itu hingga kini masih minim.

Katak itu biasanya hidup dalam rentang jarak 2-10 meter dari perairan. Secara fisik, katak unik karena memiliki tonjolan serupa taring dan warna emas di area punggung.

Sulawesi dipercaya merupakan rumah bagi sekitar 25 jenis katak bertaring. Di tengah eksploitasi hutan di Sulawesi, katak endemik ini perlu dilindungi. Kepunahan jenis ini dan jenis lain yang belum ditemukan mengancam bila perusakan lingkungan terus dilakukan.

sumber : klik di sini

Share Button

Daftar Binatang yang Sangat Terancam Punah

Seperti yang dilaporkan oleh Globalpost, maka tahun ini genap 100 tahun kematian merpati pengembara terakhir, spesies terakhir dari jenisnya yang berhasil bertahan hidup selama 14 tahun di penangkaran. Tahun lalu, Angalifu, badak putih Afrika yang berumur 44 tahun mati di San Diego Zoo, yang berarti hanya tersisa lima ekor badak putih di seluruh dunia yang semuanya hidup di penangkaran!

Dunia kehilangan puluhan spesies setiap hari dalam apa yang disebut para ilmuwan sebagai ‘kepunahan massal keenam’ dalam sejarah Bumi. Sebanyak 30%-50% dari semua spesies di dunia bergerak menuju kepunahan pada pertengahan abad ini, dan tak ada yang bisa disalahkan kecuali kita sendiri.

“Penghancuran Habitat, polusi atau penangkapan ikan yang berlebihan menghancurkan makhluk dan tanaman liar secara langsung, setidaknya membuat kehidupan mereka sangat rentan” kata Derek Tittensor, seorang ahli ekologi kelautan di World Conservation Monitoring Centre di Cambridge, Inggris. “Masalahnya dalam beberapa dekade mendatang, perubahan nyata seperti perubahan iklim akan semakin jelas menjadi ancaman lebih banyak spesies satwa”

Sekitar 190 negara bertemu bulan lalu di pertemuan iklim PBB di Lima, Peru untuk membahas tindakan yang diperlukan untuk memperlambat kenaikan emisi gas rumah kaca. Pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan yang tampaknya tidak akan banyak membantu dalam upaya dunia untuk melawan pemanasan global.

Perdagangan illegal satwa telah menjadi ancaman nyata bagi upaya konservasi satwa-satwa yang dilindungi. Perdagangan satwa liar adalah industri bernilai sekitar $10 miliar per tahun atau berada di urutan perdagangan illegal terbesar kelima di dunia setelah perdagangan narkoba. Permintaan satwa meningkat sebagai hewan peliharaan, hadiah, bahan pengobatan, makanan, fashion, dan produk lainnnya.

Tidak ada keraguan bahwa kita sedang menghadapi perjuangan yang berat melawan keserakahan manusia dan perilaku konsumsi yang tidak berkelanjutan. Namun, tentu saja kita tak boleh kalah dalam pertempuran ini. Mari sejenak berpikir, bagaimana kita akan menjelaskan kepada anak dan cucu kita nanti bahwa pada masa lalu (masa kita sekarang ini) pernah ada hewan-hewan luar biasa yang hidup nyata, seperti harimau, badak, orangutan, dan lain-lain, dan bagaimana kita membiarkan mereka punah? Kita masih mempunyai kesempatan melestarikan satwa-satwa yang berpotensi punah ini, dan kesempatan itu harus kita maksimalkan sekarang juga.

Berikut ini adalah beberapa satwa yang paling terancam punah di planet ini yang mungkin kita harus mengucapkan selamat tinggal pada mereka tahun ini.

Macan Tutul Amur. Satwa ini diburu secara massif untuk diambil kulitnya yang berbulu indah, Macan Tutul Amur (Panthera pardus orientalis) adalah salah satu kucing besar paling langka di dunia. Satwa yang ini ditemukan di sepanjang daerah perbatasan antara Rusia bagian tenggara dan timur laut China menghadapi perusakan habitat besar-besaran dan hilangnya hewan-hewan mangsanya, juga karena perburuan. Kini hanya sekitar 30 individu macan tutul Amur hidup di alam liar.

Gajah Sumatra. Inilah spesies gajah terkecil Asia, populasinya terus menurun secara mengejutkan, turun sekitar 80 % dalam kurun waktu kurang dari 25 tahun akibat deforestasi, hilangnya habitat dan konflik dengan manusia di pulau Sumatera. Kini hanya tersisa sekitar 2.400 hinga 2.800 individu gajah sumatera yang bertahan hidup di alam liar. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) jantan memiliki gading yang relatif kecil, namun pemburu tetap saja membunuh untuk diambil gadingnya dan menjualnya di pasar gelap yang menyebabkan rasio antara jantan dan betina sangat tidak seimbang untuk membuatnya mampu mempertahankan kelangsungan hidup spesies asli pulau Sumatera ini.

Badak Bercula Satu. Spesies badak bercula satu yang hidup di hutan tropis, badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) sejak masa kolonial hingga paruh abad lalu merupakan spesies yang paling diburu untuk diambil culanya yang berharga mahal. Dengan hanya menyisakan sekitar 58 individu yang berada di Taman Nasional Ujung Kulon di Jawa, spesies ini sangat rentan terhadap kepunahan karena bencana alam, perburuan, penyakit dan keragaman genetik yang rendah.

Penyu Belimbing. Inilah spesies penyu laut terbesar di dunia dan salah satu yang paling sering bermigrasi. Populasi penyu belimbing (Dermochelys coriacea) telah sangat menurun dalam beberapa tahun terakhir karena perburuan, terkena jaring nelayan tanpa sengaja, memakan sampah plastik, perburuan telurnya, hingga hilangnya habitat dan perluasan pembangunan kawasan pesisir yang merusak pantai tempat penyu bertelur.

Gorilla Daratan Rendah. Meskipun berburu dan membunuh spesies ini adalah ilegal, gorilla dataran rendah (Gorilla gorilla gorilla) ini terus dibunuh untuk diambil dagingnya yang dianggap lezat, sementara bayi-bayi mereka ditangkap dan disimpan sebagai hewan peliharaan. Virus Ebola yang mematikan juga telah menghancurkan populasi kera liar ini. Di hutan Minkébé di Gabon saja, virus ini telah membunuh lebih dari 90 persen populasi gorilla dan simpanse di kawasan itu.

Harimau Siberia. Juga dikenal sebagai harimau amur, harimau siberia (Panthera tigris altaica) adalah kucing terbesar di dunia. Satwa ini diburu untuk digunakan sebagai bahan baku pengobatan tradisional China. Perburuan, pertambangan, kebakaran hutan, penegakan hukum yang buruk, kerusakan hutan dan pembalakan liar terus mengancam keberadaan spesies ini. Diperkirakan populasinya kini hanya tersisa sekitar 400 hingga 500 individu di alam liar.

Vaquita. Vaquita (Phocoena sinus) adalah salah satu satwa laut yang benar-benar berada ambang kepunahan dengan populasi kurang dari 100 individu yang tersisa di dunia. Inilah satwa paling laut paling langka.

Ditemukan di Teluk California, satu dari setiap lima vaquita terjerat dan tenggelam oleh pukat yang dilempar untuk menangkap spesies lain yang juga terancam punah, totoaba yang insangnya berharga sangat mahal, sekitar $4.000/pon.

Saola. Dikenal sebagai unicorn Asia, saola (Pseudoryx nghetinhensis) sangat jarang terlihat di alam liar, dan satwa ini tidak ada di penangkaran. Populasi saola saat ini diperkirakan hanya tersisa dalam hitungan puluhan ekor saja. Saola terus diburu untuk memasok kebutuhan bahan baku obat tradisional di Cina dan dijadikan konsumsi di Vietnam dan Laos. Hewan ini juga dibunuh untuk diambil tanduknya untuk hiasan rumah di kedua negara tersebut. Saola dalam Bahasa lokal berarti “hewan yang sopan”, sangat jinak pada manusia, sehingga sangat mudah diburu. Hilangnya habitat dan keragaman genetik yang terus berkurang juga mengancam spesies yang memang sudah diambang kepunahan ini.

Gorilla Gunung. Gorilla gunung (Gorilla beringei beringei) ditemukan di pegunungan perbatasan Uganda, Rwanda dan Republik Demokratik Kongo, dan di Taman Nasional Bwindi yang tak boleh dimasuki di Uganda. Perburuan, perusakan habitat, penyakit dan produksi arang telah menghancurkan habitat gorilla dan hanya meninggalkan sekitar 880 individu yang berjuang untuk bertahan hidup di alam liar.

Lemur Bambu Besar. Ditemukan di bagian tenggara Madagascar, lemur bambu besar (Prolemur simus) adalah spesies lemur paling langka yang ditemukan di Madagascar. Populasinya kurang dari 60 individu di alam liar dan tidak lebih dari 150 individu di pusat-pusat penangkaran. Perubahan iklim, pembalakan liar, perburuan dan berkurangnya bambu secara drastis telah membuat satwa langka ini kemungkinan tidak bertahan lebih lama lagi di alam liar.

Orangutan Sumatera. Habitat orangutan sumatera (Pongo abelii) terus mengalami pengurangan dalam tingkat yang mengerikan karena kebakaran hutan, pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, pembalakan liar dan pembangunan pertanian lainnya. Hal ini sangat membuat spesies ini begitu terancam. Selain habitatnya yang dirusak, satwa ini juga diburu atau ditangkap hidup-hidup dan menyebabkan penurunan populasi secara drastis. Diperkirakan tak lebih dari 7.300 individu yang tersisa di alam liar.

Badak Hitam Afrika. Selama masa kolonial, badak hitam (Diceros bicornis) dibunuh hampir setiap hari untuk karena culanya yang bernilai tinggi di pasar gelap, atau diambil dagingnya untuk dikonsumsi, atau sekedar untuk olahraga. Spesies ini adalah salah satu kelompok mamalia tertua di dunia dan dianggap sebagai atraksi pariwisata terpenting di banyak negara Afrika.

Sayangnya, upaya konservasi yang gencar dilakukan menghadapi kendala yakni perubahan habitat dan peningkatan perburuan yang disebabkan masih tingginya tingkat kemiskinan masyarakat setempat yang diikuti dengan meningkatnya permintaan pasar gelap untuk cula badak dari Asia. Diperkirakan hanya 4.848 individu yang tersisa di seluruh dunia.

Lumba-Lumba Tak Bersirip Yangtze. Dikenal sebagai “panda air raksasa”, lumba-lumba yang bernama ilmiah Neophocaena phocaenoides ini adalah makhluk cerdas yang paling terkenal yang ditemukan di Sungai Yangtze, sungai terpanjang di Asia.

Karena penangkapan yang berlebihan, penurunan pasokan makanan, polusi dan perubahan kondisi sungai akibat pembangunan dam dan bendungan, populasi lumba-lumba ini terus menurun dan kini diperkirakan hanya tersisa 1.000 sampai 1.800 individu saja di alam liar. Sepupu dekat lumba-lumba ini, yakni lumba-lumba baiji, telah dinyatakan punah akibat aktivitas manusia.

Sumber : klik di sini

Share Button