Direvisi, Aturan Kehutanan Akan Semakin Kejam

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkomitmen merevisi aturan terkait pengelolaan hutan, termasuk aturan alih fungsi lahan hutan untuk usaha dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Sanksi aturan tersebut akan “diperkejam”. Aturan ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah tata kelola hutan serta mencegah kebakaran hutan.

“Kejam artinya benar-benar rigid dan tegas. Kalau melakukan pelanggaran, maka akan benar-benar ada sanksi-nya,” ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya kepada wartawan, Selasa (13/1/2014), seusai pertemuan dengan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin.

Hal ini disampaikan oleh Siti untuk merespons anggapan bahwa pihaknya tidak berani menindak korporat yang diduga melanggar aturan pengelolaan hutan.

Politisi Partai Nasdem ini mengakui bahwa saat ini ada aturan yang belum jelas. Salah satunya soal alih fungsi lahan hutan untuk usaha. Selama ini, pengaturan tersebut belum detail, apakah untuk usaha berskala besar atau kecil. Sementara itu, amdal dinilai hanya memuat aturan dan syarat, tetapi tidak memuat sanksi.

Mantan Sekretaris Jenderal DPD RI ini mengatakan, aturan yang diperketat dan diperjelas ini justru akan menjadi instrumen untuk memberi sanksi bagi para perusak lingkungan, baik perorangan maupun korporat. Sanksi mulai dari teguran hingga pemidanaan.

Tak hanya itu, Siti juga mengatakan, para pelanggar aturan kehutanan bisa saja dijerat undang-undang berlapis, seperti UU Tindak Pidana Korupsi, bila ada.

Selama ini, sejumlah korporat disorot terkait sejumlah kasus kebakaran hutan di sejumlah wilayah konsesi. Banyak konsesi yang berada di lahan gambut yang berpotensi memicu kebakaran ketika dilanda kekeringan.

Siti juga menyorot perihal kewajiban perusahaan untuk mengalokasikan 20 persen wilayah konsesi untuk masyarakat. Praktiknya, 20 persen wilayah itu sering kali berada di daerah lain yang jauh dari konsesi utamanya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Jambi Luncurkan Indeks Tata Kelola Hutan Tingkat Provinsi Pertama di Indonesia

Provinsi Jambi, meluncurkan Indeks Tata Kelola Hutan Tingkat Kabupaten yang pertama di Indonesia pada senin (22/12) di Kota Jambi. Laporan ini menyuguhkan analisa status tata kelola Provinsi Jambi terkini dan implikasi dari Pengurangan Emisi akibat Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) serta analisa tata kelola hutan pada sembilan kabupaten di Provinsi Jambi, yang meliputi lebih dari setengah area hutan dari provinsi tersebut.

Jambi merupakan satu dari sepuluh provinsi yang dikaji dalam Indeks Tata Kelola Hutan Nasional tahun 2012 – yang pertama di dunia – yang dikembangkan oleh PGA UNDP Indonesia dengan dukungan UNREDD Programme dan Konsorsium –SIAP II. Laporan ini disusun berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh satu panel ahli dari berbagai latar belakang keilmuan dan kelembagaan di Provinsi Jambi dan nasional.

Direktur UNDP Indonesia, Beate Trankmann, mengatakan bahwa temuan dari laporan tersebut diharapkan tidak hanya membantu pemerintah Provinsi Jambi namun juga provinsi-provinsi lain di Indonesia untuk meningkatkan tata kelola hutan, lahan dan REDD+ di daerah masing-masing.

“Peningkatan seperti itu penting untuk melindungi hutan tropis Indonesia yang luar biasa sebagai sumber kehidupan bagi masyarakatnya,” kata Trankmann.

Laporan ini menggunakan skala 1 sampai 100 – 1 merupakan angka terendah dan 100 adalah angka tertinggi – untuk mengkalkulasi keseluruhan nilai hutan, lahan dan tata kelola REDD+ pada tingkat kabupaten. Hasil rata-rata dari sembilan kabupaten yang dikaji adalah indeks 33.80 yang menunjukkan adanya beberapa kelemahan dalam kebijakan dan peraturan, mekanisme pelaksanaan, dan kepedulian pemangku kepentingan serta kapasitas untuk melindungi hutan-hutan di Provinsi Jambi.

“Singkatnya, ada cukup banyak ruang untuk perbaikan,” tambah Trankmann.

Laporan ini juga menegaskan penemuan terdahulu dan rekomendasi dari Indeks Tata Kelola Hutan Nasional yaitu 1) perlunya resolusi yang lebih cepat terhadap sengketa kepemilikan tanah dan hutan, 2) pentingnya manajemen yang adil akan sumber daya hutan, 3) perlunya transparansi dalam mengelola lisensi hutan dan alokasi lahan hutan kepada sektor swasta, dan 4) pentingnya meningkatkan fungsi pengawasan internal dan pengukuhan kapasitas hukum untuk memahami dan menuntut pelaku utama yang terlibat aktivitas deforestasi dan degradasi hutan.

Gubernur Jambi, Hasan Basri Agus mengatakan bahwa semua pihak yang terlibat termasuk komunitas bisnis, perlu bekerja lebih keras guna meningkatkan tata kelola hutan di Provinsi Jambi.

“Ini suatu keharusan karena kita perlu secara berkesinambungan meningkatkan tata kelola hutan di Provinsi Jambi secara terbuka. Lebih jauh lagi, kami ingin meyakinkan bahwa tata kelola ini bebas dari praktik-praktik korupsi,” kata Hasan Basri.

CEO WWF-Indonesia, Dr. Efransjah, mengatakan bahwa Konsorsium SIAP II mengapresiasi peluncuran Indeks Tata Kelola Hutan Provinsi Jambi sebagai acuan berbagai pihak untuk terus meningkatkan kualitas tata kelola hutan di Provinsi Jambi. Sebagai rumah dari satwa kharismatik dan salah satu satwa kunci Indonesia, harimau Sumatera, serta penopang kehidupan jutaan rakyatnya, hutan Jambi membutuhkan integritas pemerintah daerah yang didukung oleh sektor bisnis dan komponen masyarakat sipil untuk kelestariannya.

Sumber klik disini

Share Button

21 Perusahaan Baru Miliki Izin Prinsip di Teluk Balikpapan

Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Kota Balikpapan, saat ini terdapat 21 perusahaan baru yang telah memiliki izin prinsip untuk melakukan kegiatannya di Kawasan Teluk Balikpapan. Sebelumnya, tercatat telah ada 25 perusahaan yang menjalankan kegiatannya di wilayah tersebut sejak 2011.

Suryanto, Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Balikpapan, menyatakan keterangan tersebut di Kantor BLH, belum lama ini. Menurut Suyanto, 21 perusahaan baru yang telah memiliki izin prinsip untuk membangun di Kawasan Industri Kariangu, di Teluk Balikpapan itu, merupakan data perusahaan yang ia ketahui saat menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Balikpapan. “Pekerjaan yang dilakukan Bapeda dan BLH, tidak ada yang bertentangan. Semua berjalan beriringan,” ujarnya.

Mengenai kerusakan yang nantinya akan ditimbulkan oleh sejumlah perusahaan tersebut, BLH tentu tidak tinggal diam. “Untuk saat ini, saya masih melakukan konsolidasi dan semua informasi yang kami dapat akan ditindaklanjuti dengan melakukan kunjungan lapangan,” kata Suryanto.

Sementara itu, berdasarkan pantauan Himpunan Mahasiswa Pencinta Alam Politeknik Negeri Balikpapan (Himpa), sejumlah pohon mangrove di Teluk Balikpapan telah rusak akibat aktivitas perusahaan. Taufik, Wakil Ketua Himpala, menuturkan bahwa musnahnya mangrove di Teluk Balikpapan itu, disebabkan karena racun tanaman yang digunakan saat pembukaan lahan perusahaan atau juga karena ditebang. “Dalam dua hingga tiga bulan sedikitnya ada 200 hingga 300 pohon mangrove yang hilang,” kata Taufik.

Himpa sebagai salah satu anggota dari Forum Peduli Teluk Balikpapan, hingga saat ini telah melakukan kampanye pendidikan tentang Teluk Balikppan ke berbagai kalangan terutama ke sekolah-sekolah yang ada di Balikpapan. “Yang kami bisa lakukan yaitu kampanye pendidikan dan pemutaran film tentang pentingnya Teluk Balikpapan sejak 2013,” papar Taufik.

Teluk Balikpapan sendiri memiliki luas daerah aliran sungai (DAS) sekitar 211.456 hektar dan perairan seluas 16.000 hektar. Sebanyak 54 sub-DAS menginduk di wilayah teluk ini, termasuk salah satunya adalah DAS Sei Wain yang sudah menjadi hutan lindung – dikenal dengan Hutan Lindung Sungai Wain – dan dikelola oleh Pemerintah Kota Balikpapan. Sebanyak 31 pulau kecil berada dan menghiasasi wajah asri wilayah ini. Pulau-pulau ini sangat unik dan memungkinkan untuk wisata alam sehingga menjadi sumber pemasukan yang tiada habis bagi pemda.

Berdasarkan penelitian Stanislav Lhota, peneliti bekantan asal Ceko, keberadaan bekantan di Teluk Balikpapan sangatlah penting. Populasinya mencapai 1.400 ekor di Teluk Balikpapan yang mewakili 5% primata berbulu kuning di seluruh dunia. Tentunya, ada juga sekitar 10 jenis primata dan empat jenis mamalia laut termasuk pesut (Irrawaddy dolphin) yang kesemuanya terdapat di Teluk Balikpapan.

Namun, pengembangan Kawasan Industri Kariangau (KIK) seluas 5.130 hektar di kawasan teluk yang secara administratif berada di Kelurahan Kariangau, Balikpapan Barat, Kota Balikpapan ini, akan mengancam kelestarian ekosistem teluk tersebut dan mengundang bencana.

Sumber : klik di sini

Share Button

Kucing Emas Menggendong Anak Terpantau Kamera Trap

Seekor induk kucing emas (Catopuma temminckii) terpantau sedang menggendong anaknya yang masih kecil di mulut, seperti layaknya kucing rumah yang sedang memindah anak-anaknya. Momen tersebut berhasil diabadikan kamera trap di Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Sumatera.

Foto ini diunggah oleh Iding Achmad Haidir, peneliti small cats dari Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat, melalui media sosial Facebook pada Sabtu (10/02/2015) kemarin. Foto ini langsung mengundang decak kagum para netizen karena merupakan momen yang sangat jarang terpantau.

Iding menjelaskan bahwa foto tersebut didapat pada pertengahan tahun 2014 oleh Tim Penelitian Macan Dahan Sumatera. Penelitian ini sendiri merupakan kerjasama antara Balai Besar TNKS dengan WildCRU Oxford University, Clouded Leopard Project, Point Defiance Zoo & Aquarium, Fauna & Flora International (FFI) dan Rufford Fondation.

Latar belakang penelitian ini sendiri adalah untuk melihat kecenderungan perubahan setelah 10 tahun sejak kegiatan serupa yang dilaksanakan pada tahun 2004.

“Kami ingin melihat tren semua jenis kucing yang ada di TNKS setelah 10 tahun, bagaimana trend populasi, segregasi penggunaan habitat dan respon jenis-jenis kucing terhadap perubahan kawasan baik tutupan maupun perubahan lainnya,” jelas Iding.

Lebih lanjut, Iding menjelaskan bahwa kucing emas merupakan salah satu jenis kucing yang dapat dijumpai di TNKS, di samping 4 jenis kucing lainnya. Keempat jenis itu antara lain harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), macan dahan (Neofelis nebulosa), kucing batu (Pardofelis marmorata) dan kucing hutan (Prionailurus bengalensis) atau yang juga disebut macan akar oleh masyarakat setempat.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, kucing emas terpantau di seluruh studi area di kawasan yang masuk wilayah administratif Kabupaten Kerinci, Pesisir Selatan, Muko-Muko, Merangin, Bungo dan Solok Selatan. Dapat dikatakan bahwa kucing emas tersebar merata di seluruh kawasan TNKS.

“Kucing emas merupakan satwa yang bersifat generalis, yang berarti lebih adaptif terhadap perubahan yang ada seperti tutupan lahan,” jelasnya lebih lanjut.

Saling menghindari dengan jenis kucing lainnya

Salah satu hal yang menarik yang teramati saat melakukan analisa hasil kamera trap adalah adanya pemisahan relung atau ruang hidup (niche separation-red) antara kucing emas dengan macan dahan. Lokasi di mana dijumpai kucing emas lebih banyak, biasanya di tempat itu jarang dijumpai macan dahan, dan sebaliknya.

Namun, hal tersebut tidak selalu terjadi di lokasi yang satwa mangsanya melimpah. Lokasi yang banyak dijumpai rusa sambar, kijang, babi hutan dan hewan ungulata lainnya, sering dijumpai kedua jenis tersebut menggunakan lokasi yang sama.

“Bahkan, ada lokasi di mana dijumpai keberadaan kucing emas, macan dahan dan harimau sumatera sekaligus. Lokasi tersebut biasanya ditandai dengan melimpahnya satwa mangsa,” katanya.

Hal tersebut senada dengan pendapat Hariyo Wibisono, ahli harimau Sumatera dari Forum HarimauKita. Pemisahan baik ruang ataupun waktu selalu terjadi di dalam ekosistem. Biasanya, penyebabnya adalah penggunaan sumber daya, terutama kompetisi dalam mendapatkan makanan.

“Pemisahan antar spesies yang ada dapat berupa pemisahan penggunaan ruang ataupun penggunaan waktu. Dalam kompetisi perebutan makanan, hal ini umum terjadi,” jelasnya

Ancaman masih mengintai

International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2008 mengklasifikasikan keterancaman kucing emas sebagai near threathened (hampir terancam). Jika dibandingkan dengan kondisi 10 tahun yang lalu, status ini menurun dari vulnerable (rentan). Perburuan dan perdagangan ilegal serta deforestasi menjadi ancaman utama bagi kelestarian kucing ini.

Apalagi menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2007, laju deforestasi di berbagai kawasan di Asia Tenggara merupakan tercepat di dunia, lebih dari 10 persen dalam sepuluh tahun terakhir.

Di Indonesia sendiri, kucing emas masih sering terpantau diperjualbelikan melalui internet. Rusdiyan Ritonga, Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Balai KSDA Sumatera Barat, menyampaikan bahwa di Sumatera Barat terdeteksi kucing emas masih diperjualbelikan. Pada bulan November 2013 yang lalu, BKSDA Sumbar berhasil menggagalkan perdagangan kucing emas melalui internet.

“Informasi tersebut kami dapatkan dari internet. Kemudian petugas berhasil mengajak pelaku tersebut melakukan COD (Cash on Delivery). Sayangnya, saat hendak ditangkap, pelaku berinisial AG tersebut langsung kabur dan meninggalkan barang bukti yang masih hidup,” kata Rusdiyan.

BKSDA Sumbar kemudian segera melakukan pelepasliaran kucing emas yang berkelamin jantan dan berumur 2 tahun tersebut. “Kami segera melepasliarkan di hutan lindung Lubuk Minturun, Kecamatan Koto Tengah, sekitar 30 kilometer dari Padang,” jelas Rusdiyan lebih lanjut

Pemantauan Intensif Tengah Dilakukan

Iding menjelaskan bahwa saat ini TNKS bekerja sama dengan FFI tengah melakukan pemantauan intensif untuk mempelajari pola pergerakan berbagai jenis kucing dan juga satwa lainnya yang ada di TNKS. Kamera trap tersebut dipasang memagari kawasan hutan di lokasi penelitian, membentang sepanjang 11 kilometer di perbatasan kawasan dengan lebar 4 kilometer. Jarak antar kamera trap sendiri sekitar 500 meter.

Pemasangan kamera trap ini sekaligus juga sebagai pre-studi untuk dasar mitigasi konflik. Selama ini, upaya penanggulangan konflik seringkali dilakukan saat konflik sudah terjadi. Sedangkan upaya pencegahan agar konflik antara manusia dengan satwaliar belum optimal dilakukan. Dengan adanya studi ini, akan dapat diprediksi kapan satwaliar tersebut keluar kawasan dan memasuki lahan masyarakat.

“Ketika kita sudah mengetahui pola pergerakan satwanya, seperti kapan musim harimau keluar kawasan, juga jenis-jenis kucing dan satwa lainnya, maka kita akan dapat melakukan upaya penanggulangan secara efektif di lihat dari sisi ketepatan waktu,” jelas Iding lebih lanjut.

Hasil studi ini akan dapat memberikan manfaat besar baik bagi keselamatan satwa maupun bagi masyarakat sekitar kawasan. Berdasarkan data yang sudah dikumpulkan, kucing emas juga tercatat berkonflik dengan masyarakat terutama penyerangan terhadap ternak seperti kambing.

Konservasi Kucing di Sumatera Masih Harimau Sentris

Salah satu pekerjaan besar untuk melestarikan jenis-jenis kucing yang ada di Sumatera salah satunya adalah mempopulerkan keberadaan jenis kucing selain harimau. Hingga saat ini, perhatian terhadap harimau Sumatera sudah sangat bagus. Namun kucing-kucing kecil masih sangat perlu mendapat perhatian.

Iding menyampaikan bahwa profil-profil spesies kucing selain harimau perlu ditingkatkan lagi di mata pemerintah dan masyarakat. Dia berharap pemerintah dan juga LSM baik nasional maupun internasional meningkatkan perhatiannya terhadap jenis-jenis kucing selain harimau, di tengah atmosfer konservasi yang masih harimau sentris.

Lebih lanjut, disampaikannya bahwa dalam kegiatan penelitian yang dia lakukan, dia melibatkan para peneliti muda dari beberapa universitas di Sumatera, antara lain Universitas Jambi, Universitas Andalas dan Universitas Bengkulu. Hingga saat ini, sebanyak 4 mahasiswa telah bergabung dalam penelitian untuk kepentingan studi akhir mereka.

“Kami memiliki optimisme tinggi bahwa populasi kucing emas akan meningkat asal proteksi kawasan dilaksanakan secara konsisten serta kepedulian masyarakat terhadap jenis-jenis kucing selain harimau dapat meningkat,” tegasnya.

Sumber : Klik di sini

Share Button

Izin Lingkungan Didelegasikan ke BKPM

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mendelegasikan wewenang penerbitan izin lingkungan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Pasar Modal. Namun, kebijakan itu dinilai berisiko mengabaikan pertimbangan lingkungan.

Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 97 Tahun 2014. Peraturan itu tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan dan Nonperizinan Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Selain izin lingkungan, dalam lampiran, peraturan menteri itu memberikan kewenangan kepada BKPM untuk menerbitkan berbagai izin kehutanan. Izin itu mulai dari pemanfaatan hasil hutan kayu/nonkayu, pinjam pakai kawasan hutan, hingga izin penangkaran satwa.

Menurut Asisten Deputi Kajian Dampak Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ary Sudijanto, Rabu (7/1/2014), penerbitan Permen LHK itu merespons inisiatif Presiden Joko Widodo untuk mempermudah investasi di Indonesia. Selama ini investasi di Tanah Air terkesan dipersulit karena berbagai izin tersebar di sejumlah sektor atau kementerian.

”Ini langkah perbaikan, investor mengurus perizinan tak perlu ke mana-mana, cukup ke BKPM,” katanya. Pihaknya dan BKPM tengah membahas rincian operasionalnya secara intensif.

Tantangan implementasi peraturan itu adalah izin lingkungan sebagai instrumen agar investor menjalankan persyaratan atau rekomendasi kajian analisis dampak lingkungan yang disetujui masyarakat. Proses teknis kajian ilmiah dan persetujuan masyarakat tersebut butuh waktu yang kerap dianggap menghambat investasi.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia Henri Subagiyo mengatakan, layanan perizinan tak efektif jika Kementerian LHK hanya ”membuka loket” di BKPM. ”BKPM harus mewadahi bagaimana agar perizinan sektor LHK selaras dengan sektor lain sehingga perizinan tak tumpang tindih,” ujarnya.

Ia mencontohkan berbagai perizinan tambang ataupun perkebunan yang ada di hutan lindung, bahkan hutan konservasi. Itu bisa dicegah jika BKPM bisa mengintegrasikan data antar-
kementerian/sektor. ”Kami mendorong agar setiap perizinan akuntabel sehingga bisa diawasi,” katanya.

Sementara itu, pakar hukum lingkungan dari Universitas Tarumanegara, Jakarta, Deni Bram, mengatakan, pendelegasian kewenangan Menteri LHK kepada BKPM berisiko mengabaikan pertimbangan lingkungan. ”BKPM itu orientasinya bagaimana investasi sebanyak-banyaknya agar masuk,” ujarnya.

Deni menilai perizinan merupakan ”lampu hijau” bagi sesuatu yang dilarang untuk dilakukan. ”Dalam konteks izin lingkungan, apa BKPM bisa menyelami latar belakang izin itu dikeluarkan? Saya meragukan,” katanya menegaskan.

Perizinan lingkungan membawa konsekuensi command and control. Deni meragukan fungsi itu berjalan jika penerbitan izin ditangani BKPM dan pengawasan di Kementerian LHK.

Dalam peraturan menteri LHK, Menteri LHK akan menunjuk pejabatnya untuk mewakili Kementerian LHK di BKPM. Dalam memberikan izin, Kepala BKPM akan bertindak untuk dan atas nama Menteri LHK.

Sumber : Klik di sini

Share Button

Sembilan Ditjen untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, menyatakan bahwa penggabungan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan telah selesai. Sejumlah 9 direktorat jenderal dibentuk.

Sembilan direktorat jenderal itu adalah Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung, Pengelolaan Hutan dan Produk Lestari, Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3, Pengendalian Perubahan Iklim, Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, serta Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Secara konseptual, penggabungan sudah selesai dengan konsep kelembagaan sebanyak 9 lini,” kata Siti dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (8/1/2014). “Konsep itu telah final dan naik ke presiden pada 30 Desember 2014 lalu,” imbuhnya.

Secara khusus, Siti menyoroti kelembagaan pengendalian perubahan iklim. Menurutnya, kelembagaan harus kokoh dan tidak tumpang tindih. Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim direncanakan akan didukung oleh tim pakar untuk dapat mencakup aspek gerakan sosial kemasyarakatan di dalam dan luar negeri serta masalah pendanaan terkait perubahan iklim.

Sumber : Klik di sini

Share Button