Lembaga dan elemen masyarakat itu antara lain, dari Epistema Institute, HuMa, Walhi, KPA, AMAN, Silvagama, ICEL, RMI, Kontras, SetaM, Agra dan Spuba. Lalu, JPIK, LBH Semarang, Geram dan Lidah Tani.
Lewat pernyataan bersama Minggu(18/5/14), mereka menuntut Kemenhut membuka informasi penetapan kawasan hutan 2014. Juga melibatkan partisipasi dan persetujuan masyarakat terdampak penetapan kawasan hutan.
Jika tuntutan mereka tak dipenuhi Kemenhut, masyarakat dan LSM pendukung akan bersama-sama mengajukan surat pengaduan ke Komisi Informasi Pusat (KIP). Tujuannya, untuk memaksa Kemenhut membuka Berita Acara dan Peta Kawasan Hutan.
Abetnego Tarigan, direktur eksekutif Walhi Nasional, mengatakan, upaya ini karena praktik tak transparan penetapan kawasan ini akan mengulang pengelolaan hutan Orde Baru. Hasilnya, konflik dan kekerasan di berbagai tempat. Transparansi, juga penting guna mengantisipasi kepentingan–kepentingan pelaku usaha besar yang mengabaikan masyarakat adat.
Senada diungkapkan Iwan Nurdin, sekretaris jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Menurut dia, penetapan kawasan hutan bukanlah cara melegalkan kawasan hutan saja. Namun, harus membuka akses bagi penyelesaian konflik agraria di kawasan hutan, dan melegalkan kawasan-kawasan kelola rakyat.
Sumber berita selengkapnya : klik di sini