Menurut Princeton University, defenisi plagiarism atau yang sering disebut plagiat adalah bagian tulisan yang dicopy dari orang lain namun disebut seolah-olah itu adalah hasil anda sendiri, atau mengambil ide orang lain seolah-olah ide anda sendiri. Oleh karena itu, plagiarism adalah bentuk disintegritas (ketidakjujuran) tersebut merupakan musuh dunia pendidikan, termasuk riset.
”Plagiat adalah aib yang paling tinggi levelnya di dunia riset dan akademik,” kata Dr. Sutopo Purwo Nugroho, M.Si, APU, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB sekaligus Peneliti Utama di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam paparannya selaku narasumber pada Diskusi Ilmiah I Tahun 2014 yang diselenggarakan Sekretariat Badan Litbang Kehutanan, di Kampus Litbang Kehutanan, Bogor, Selasa (22/04).
Hal tersebut disampaikan Sutopo mengingat beratnya sanksi moral bagi plagiator, seperti tidak diakuinya kepakaran yang bisa berdampak pada institusi bahkan pimpinannya, terlebih kalau dipublikasikan media. Plagiat bahkan bisa berdampak pada jatuhnya jabatan politik, seperti yang dialami oleh Presiden Hongaria Pal Schmitt yang meletakkan jabatannya, Senin (2/4/2012) setelah gelar doktornya pada tahun 1992 dicabut karena adanya pernyataan bahwa Schmitt menjiplak sebagian dari disertasi setebal 200 halaman.
Di Indonesia, hal tersebut belum termasuk sanksi yang dikeluarkan institusi berdasarkan Permendiknas No. 17 Tahun 2010, seperti penurunan pangkat dan jabatan akademik/fungsional, pencabutan hak untuk diusulkan sebagai profesor/jenjang utama bagi yg memenuhi syarat, pemberhentian dari status dosen/peneliti/tendik, dan pembatalan ijazah yang diperoleh dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan serta dapat diberhentikan dari jabatan profesor/jenjang utama bagi yang menyandang sebutan profesor/jenjang utama.
Berdasarkan survei pada www.plagiarism.org tahun 2012 lalu, The Center for Academic Integrity menyebutkan hampir 80% mahasiswa mengakui kecurangan minimum sekali melakukan plagiat; The Psychological Record menyebutkan 36% mahasiswa telah mengakui menjiplak bahan tertulis; dan Education Week menyebutkan 74% siswa mengakui bahwa setidaknya sekali selama tahun ajaran lalu mereka telah terlibat “serius” dalam kecurangan.
“Hal-hal ini (sanksi, dampak dan kondisi tersebut-red) menjadi contoh dan alasan mengapa masalah plagiat penting untuk diantisipasi,” jelas Sutopo. Terlebih karena saat ini, ada banyak software, baik offline maupun online yang dapat digunakan untuk mengetahui sumber atau dari mana saja sebuah tulisan diambil.
Mengutip Princeton University, lebih lanjut Sutopo menyebutkan bahwa kita akan terhindar dari plagiarisme jika menyatakan secara jelas dan secara benar setiap saat kita menggunakan ide, pendapat dan teori orang lain; setiap fakta, data statistik, grafik, gambar, informasi, yang bukan merupakan common knowledge; memberi tanda “….” pada tulisan atau perkataan orang lain (kalimat langsung) dengan tetap menyebutkan sumber; dan melakukan paraphrase, menuliskan/mengucapkan ide orang lain dengan kalimat kita sendiri dengan tetap menyebutkan sumber.
Lebih lanjut, menurut Sutopo, ada beberapa alasan yang dapat menyebabkan terjadinya plagiarisme, yaitu faktor ketidaktahuan; mengetahui bahwa plagiarisme adalah tindak ilegal, tapi tidak tahu bagaimana cara menghindarinya; dan faktor tidak peduli karena mendapatkan keuntungan. Untuk dapat mengantisipasi hal-hal tersebut, Sutopo mengatakan peneliti perlu merujuk pada Etika Peneliti (LIPI, 2007) dan Permendiknas No. 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi yang juga berlaku buat peneliti.
“Saya berharap semoga setelah acara ini, peneliti ketika menulis publikasi tidak ada lagi faktor ketidaktahuan yang mengarah pada plagiat. Karena memang, sengaja atau tidak tetap disebut plagiat,” harap Sutopo di hadapan lebih dari 100 peserta diskusi yang terdiri dari peneliti, widyaiswara dan penyuluh kehutanan.
Harapan tersebut senada dengan apa yang disampaikan Ir. Tri Joko Mulyono, MM dalam arahannya saat membuka diskusi bahwa diperlukan pemahaman yang baik tentang etika penulisan agar proses penulisan ilmiah sesuai dengan kaidah penulisan dan etika yang berlaku mengingat dalam penulisan ilmiah, peneliti perlu mengacu pada tulisan ilmiah terkait lainnya.
“Oleh karena itulah, diskusi terkait etika penulisan ilmiah seperti ini saya anggap penting meskipun prakteknya sudah sering dilakukan, tetapi saya memandang perlu mengingatkan diri sendiri dan teman sejawat, terlebih “kecelakaan” plagiarism bisa terjadi meski tidak disengaja,” jelas Tri Joko.
“Tetapi sengaja atau tidak sengaja itu akan berdampak pada ketentuan pelanggaran yang sama. Tentunya kami (manajemen-red) tidak ingin ketidaksengajaan mengantarkan kita (institusi Litbang Kehutanan-red) pada kondisi plagiarism. Saya kira upaya prefentif seperti ini menjadi sangat penting,” tambah Tri Joko.
Di akhir sesi, selain menghimbau para peneliti lingkup Badan Litbang Kehutanan untuk kembali mencermati etika penulisan ilmiah yang ada, Sekbadan juga menyampaikan beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti, salah satunya manajemen akan memperluas ruang lingkup dari perangkat tim komisi etika yang ada saat ini sesuai kebutuhan.
“Saya berharap, tentunya peneliti akan terus menyimak dan memperhatikan kembali ketentuan-ketentuan tadi sehingga terhindar dari kasus plagiat,” kata Tri Joko menutup sesi Etika Penulisan Ilmiah yang dilanjutkan dengan sesi Penelitian Integratif Biomassa/Bioenergi. (RH)***
Sumber berita : klik di sini dan download dokumen Etika Penulisan Ilmiah, Sutopo Purwo Nugroho