Selama tahun 1999-2010, data BPS menunjukkan kontribusi sub sektor kehutanan terhadap PDB rata-rata per tahun adalah 0.94% atas dasar harga yang berlaku atau 1.01 % menurut harga konstan tahun 2000. Kecenderungan mengecilnya kontribusi sub sektor kehutanan ini disebabkan karena kebijakan penilaian sumberdaya sumberdaya hutan selama ini hanya menilai sisi tangible dan bersifat potensial saja (Kayu, produk kayu, rotan, getah), sementara ada nilai guna tak langsung dari hutan dalam mengurangi kerugian lingkungan yang tidak diperhitungkan, meskipun sudah ada payung hukumnya yaitu Permen KLH No. 15 tahun 2012 tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan; Permenhut No. P 58/MENHUT-II/2005 tentang penyusunan PDRB-Hijau sektor Kehutanan sebagai kegiatan pokok penyusunan rencana kehutanan, dan Peraturan Presiden No.7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2000-2009, dimana konsep PDRB-Hijau sudah eksplisit dijelaskan. Persoalan yang mendasar adalah, setelah dipahami bahwa kontribusi kehutanan yang selama ini digunakan adalah tidak tepat (memerlukan koreksi mendasar untuk justifikasi) tetapi sampai saat ini (masih) belum diimplementasikan secara konkrit, baik dalam scope regional, maupun nasional.
Hal tersebut mengemuka dalam workshop nasional Penguatan Kapasitas, Kemampuan dan Penguasaan Iptek dalam Penilaian Sumberdaya Hutan di Jakarta (11-12/3). Hadir sebagai pembicara adalah Prof. Thomas Djamaluddin, Kepala LAPAN; Dr. Basah Hernowo Direktur Kehutanan dan Sumberdaya Air; Prof. Nengah Surati Jaya, Fahutan IPB; Dr. Haruni Krisnawati, Badan Litbang Kehutanan; Prof. Yanto Santosa, Fahutan IPB, dan James L Hutagaol dari Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Utara.
Valuasi ekonomi sumberdaya hutan dapat memberikan strategi yang tepat (dari kajian akademik) untuk menentukan nilai dari dua sisi kepentingan yang berlawanan yaitu : (1) aspek konservasi, yang penentuan nilainya adalah dengan metoda pendekatan/proxi, dan (2) eksploitasi yang nilainya riil, kata Wahyu Andayani, Guru Besar Ekonomi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan UGM.
Mengutip (Hicks, 1946) Wahyu Andayani memaparkan kebijakan fiskal yang disusun secara periodik wajib memasukkan (memperhitungkan) biaya deplesi dan degradasi sumberdaya hutan/SDH (keduanya disebut sebagai depresiasi) dalam perhitungan neraca sumberdaya hutan nasional. Sebagai konsekuensinya adalah metoda konvensional yang saat ini digunakan untuk menemukan pendapatan nasional (PDB, dan PDRB-Coklat) harus dikoreksi (direvisi). Sehingga formula pendapatan bersih nasional/Net Domestic Product (sesuai dengan pembangunan berkelanjutan/berwawasan lingkungan) adalah merupakan hasil dari pengurangan antara pendapatan kotor/PDB dengan estimasi/proxi depresiasi yaitu menipisnya sumber daya modal yang dihasilkan manusia/man made capital dan modal alam/natural capital
Dalam kesempatan yang sama, Kepala LAPAN menyampaikan kebijakan UU No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan dan Inpres No. 6 Tahun 2012 tentang kewajiban LAPAN dalam menyediakan data satelit penginderaan jauh resolusi tinggi dengan lisensi Pemerintah Indonesia yang memungkinkan Lembaga-lembaga pemerintah termasuk Kementerian Kehutanan untuk mengakses citra satelit resolusi tinggi secara cuma-cuma sehingga penilaian sumberdaya hutan dapat lebih optimal.
“Ciri sumberdaya hutan yang dapat dilihat langsung dan renewable, menyebabkan sumberdaya ini menjadi tumpuan Indonesia dalam pembangunan. Akan tetapi jumlah sumberdaya hutan yang sesungguhnya berapa, ada dimana, dan bagaimana memanfaatkannya masih menjadi pertanyaan besar yang perlu dijawab dengan melakukan Forest Resource Assessment secara benar”, ungkap Basah Hernowo, Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air.
Project Manager AFoCO (ASEAN-Korea Forest Cooperation) Regional Component 2, I Wayan S Dharmawan menjelaskan workshop ini merupakan bagian penting untuk mengurai kesenjangan dan mengidentifikasi kebutuhan serta strategi untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan Indonesia dalam penilaian sumberdaya hutan sehingga implementasi PDB/PDRB Lestari sektor kehutanan dapat segera diwujudkan.
Dari workshop ini semua pihak berharap (1) perhitungan PDB/PDRB lestari, depresiasi SDH, koreksi terhadap rentabilitas ekonomi, penilaian jasa lingkungan, dan beberapa output (tangible dan intangible lain seperti keanekaragaman hayati, karbon, sumber daya air, dan tapak (soil) sudah waktunya diimplementasikan sehingga kontribusinya terhadap perekonomian nasional menjadi realistik, wajar, layak, rasional, serta aktual; (2) konsep dan metoda Forest Resource Assessment dapat lebih disederhanakan sehingga mudah dilakukan dilapangan serta menggunakan kombinasi antara proyeksi stock SDH dan inventarisasi berulang untuk mendapatkan stock SDH terkini; dan (3) mencakup seluruh kawasan hutan termasuk hutan di luar kawasan.
Sumber klik di sini, berita terkait klik di sini