Jejak Pulang – Balitek KSDA Gelar Training Jungle Survival Skill I
Balitek KSDA (Samboja, 05/08/2019)_”Indonesia mempunyai jenis ular dari wilayah barat (daratan Asia), dari wilayah timur (daratan Australia), serta ular endemik Indonesia sendiri di wilayah garis Wallacea. Sehingga pemahaman tentang satwa ini dan bagaimana penanganan kasus gigitan ular menjadi satu hal yang sangat penting untuk diketahui masyarakat pada umumnya, dan tenaga medis khususnya supaya meminimalisir korban jiwa,” demikian yang disampaikan Dr. dr. Tri Maharani, M.Si., Sp.EM. Beliau adalah salah satu narasumber acara training Jungle Survival Skill I di Aula Balitek KSDA pada Sabtu, 27 Juli 2019 lalu.
Selain Tri Maharani, training ini menghadirkan narasumber drh. Amir Ma’ruf, M.Hum, peneliti sekaligus dokter hewan Balitek KSDA yang menyampaikan materi Upaya Konservasi Reptil di Indonesia. Narasumber lain yaitu Burhan Tjaturadi, M.Sc., Peneliti Senior Herpetologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang menyampaikan materi Pengenalan Dunia Reptil.
Jungle Survival Skill I merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh Yayasan Jejak Pulang bekerjasama dengan Balitek KSDA. Mengangkat tema “Penanganan Hewan Liar Berbisa dan Kasus Gigitan Hewan Liar Berbisa”, kegiatan ini dilatarbelakangi oleh masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang penanganan gigitan ular berbisa. Kegiatan ini diikuti oleh 52 peserta dari berbagai instansi antara lain Balitek KSDA, Yayasan Jejak Pulang, BKSDA Kaltim, Puskesmas, Rumah Sakit, BOSF, ProNatura, PT Inhutani, PT Singlurus Pratama, mahasiswa pecinta alam serta masyarakat sekitar.
Menurut data yang dihimpun Tri Maharani, angka kejadian gigitan ular yang tercatat oleh Puskesmas maupun rumah sakit di seluruh Indonesia dalam kurun 2012-2018 mencapai 135.000 kasus. “Angka tersebut adalah laporan yang masuk ke kami, angka sebenarnya bisa lebih tinggi”, ungkap Tri Maharani yang merupakan Advisor Temporary WHO of Snake Bite sekaligus Coordinator and Founder RECS (Remote Envenomation Consultancy Services) Indonesia.
Tingginya angka kejadian gigitan ular tersebut disebabkan persebaran ular yang cukup luas, sehingga peluang perjumpaan dengan manusia sangat tinggi. “Ular bisa kita temui di mana saja, mulai dari hutan, belukar, sungai, perumahan sampai di laut”, kata Burhan Tjaturadi.
Burhan berbagi tips untuk menghindari gigitan ular, terutama bagi peneliti maupun teknisi yang sering bekerja di lapangan. Di antaranya selama berkegiatan di lapangan diharuskan menggunakan baju lapangan standar, seperti mengenakan topi, baju lengan panjang, celana panjang dan sepatu boot. Burhan juga berpesan, anggap semua ular berbisa dan berbahaya, sehingga sedapat mungkin menggunakan alat bantu untuk kontak dengan ular.
Sedangkan dalam hal sudah terkena gigitan ular, Tri Maharani menyampaikan cara pertolongan pertama yang bisa dilakukan yaitu dengan metode immobilization atau meminimalisir pergerakan bagian yang terkena gigitan. Hal ini akan meredam penyebaran racun ke seluruh tubuh. Immobilisasi dilakukan dengan menggunakan bantuan spalk/bidai. Metode lain yang ditunjukkan oleh Tri ialah PBI (Pressure Bandage Immobilization).
Dari data yang masuk di RECS Indonesia, 5 jenis ular menyebabkan korban jiwa terbanyak yaitu jenis ular King Cobra, Calloselasma (ular tanah), Trimeresurus (ular hijau), Bungarus (ular weling) dan Cobra. Saat ini Indonesia baru memiliki satu anti bisa ular (SABU) polivalen untuk tiga jenis bisa ular yaitu cobra, welang, dan ular tanah. Sehingga kebutuhan anti bisa untuk selain ketiga jenis ular tersebut harus impor dari Australia atau Thailand dengan harga ratusan ribu hingga mencapai puluhan juta rupiah. Pada akhir kegiatan, Tri Maharani juga menyerahkan Snake Bite First Aid Box untuk Balitek KSDA dan Yayasan Jejak Pulang.