Kasus-kasus kejahatan terhadap satwa liar yang berulang kali terjadi di Indonesia membuktikan betapa lemahnya penegakan hukum dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU 5/90).
Rasanya masih segar dalam ingatan ketika publik dibuat geram oleh kasus penyelundupan kakatua jambul kuning yang terjadi pada bulan Mei tahun lalu.
Pada kasus itu, burung-burung kakatua dibius hingga lemas kemudian dimasukkan ke dalam botol air mineral bekas, lalu diselundupkan ke dalam Kapal Tidar yang berangkat dari Papua menuju Jakarta.
Pada bulan yang sama, Aparat pemerintah Hong Kong menemukan boks berisi ratusan paruh enggang dan sisik trenggiling, juga kura-kura dan kadal yang diduga kuat berasal dari Indonesia.
Belum lagi kasus penyelundupan bayi orangutan ke Kuwait—yang untungnya berhasil digagalkan pihak bandara Kuwait. Kasus terbaru, melibatkan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo yang diketahui memiliki koleksi satwa langka yang diawetkan di rumahnya.
Wildlife Specialist WWF-Indonesia, Sunarto, mengungkapkan bahwa sebagian kalangan masyarakat Indonesia cenderung menganggap remeh UU konservasi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Program Tropical Forest Conservation Action for Sumatera-Yayasan Keanekaragaman Hayati, Samedi. “Itu karena penegakan hukum untuk kejahatan satwa di Indonesia masih lemah,” ujarnya.
Dalam UU tersebut, dikatakan bahwa pelaku pelanggaran mendapatkan hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda 100 juta rupiah. Artinya, hukuman yang diterima bisa saja jauh di bawah itu. Ancaman hukuman tersebut dinilai tidak membuat jera para pelaku dan tidak membuat gentar pihak-pihak lain yang berniat melakukan kejahatan tersebut di masa depan.
Narto mengatakan bahwa sudah saatnya UU No.5/90 direvisi. Ia menggarisbawahi beberapa poin seperti jenis spesies, wilayah konservasi dan hukuman.
“Dari segi hukuman sudah nggak relevan. Mungkin dulu waktu dibuat Tahun 1990, masih relevan, tapi dengan perubahan nilai rupiah sekarang, sudah nggak sesuai lagi,” tuturnya.
Sementara itu, Samedi mengatakan, “Sebagian UU 5/90 cukup efektif, tapi kita butuh yang lebih efektif dari itu. Perlu dilakukan perubahan terhadap sistem penegakan hukum.”
Ia menuturkan bahwa sebenarnya proses revisi UU 5/90 sudah dilakukan sejak tahun 2003, namun hingga kini, naskah revisi tersebut belum juga ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Jika ada political will dari berbagai pihak terutama di DPR dan Pemerintah untuk segera menangani hal ini, revisi UU konservasi bisa goal di tahun 2016. Jika tidak, itu berarti kita harus menunggu di tahun-tahun berikutnya,” pungkas Samedi.