Kesepakatan yang dicapai dalam KTT Perubahan Iklim di Paris pada akhir pekan hampir saja gagal tercapai gara-gara satu kata, yakni karena penggunaan “should” atau “shall“.
Beberapa jam sebelum kesepakatan diumumkan, seorang anggota delegasi dari Amerika Serikat melihat adanya perubahan dalam draf kesepakatan dari versi sebelumnya dengan versi akhir.
Di dalam draf sebelumnya, kata “should” digunakan. Namun, dalam versi paling akhir, kata yang digunakan adalah “shall“. Keduanya bermakna sama, “akan”, tetapi dalam bahasa Inggris memiliki implikasi yang berbeda.
“Should” bisa diartikan sebagai kewajiban moral, tetapi tidak memaksa sebuah negara untuk melakukan sesuatu, sementara kata “shall” berarti adanya kewajiban untuk melakukan satu tindakan.
Bila kata “shall” benar-benar dipergunakan dalam naskah final kesepakatan itu, implikasinya di Amerika Serikat akan memerlukan persetujuan dari kongres. Hal ini sudah disebutkan sebagai hal yang mustahil akan terjadi.
Bila kata tersebut tidak diubah, Amerika Serikat pun tidak bisa menandatanganinya. Dampaknya, China juga tidak akan ikut tanda tangan atas perjanjian yang AS tidak ikut serta.
Namun, memperbaiki kata tersebut bukanlah juga hal yang mudah. Beberapa negara melihat bahwa ini adalah perubahan serius yang memerlukan perundingan dimulai lagi dari awal.
Nikaragua yang semula menolak perjanjian melihat peluang untuk mendapatkan keuntungan. Dengan posisi ini, keadaan menjadi tegang karena kesepakatan akhir bisa tidak tercapai.
Yang terjadi kemudian adalah campur tangan tinggi dengan Presiden AS Barack Obama dan pemimpin Kuba Raul Castro menelepon delegasi Nikaragua meminta mereka untuk menyetujui.
ABC juga mendapat laporan bahwa China memainkan peran penting dalam melakukan lobi dengan beberapa negara guna menerima perubahan akhir tersebut.
Tekanan akhirnya berhasil, dengan kata “shall” diganti semua menjadi “should“, dan teks itu diserahkan kepada sidang dan diterima.