Pemerintah mengakui terjadi kesalahan tata kelola pada masa lalu membuat alam rusak hingga terjadi kebakaran hutan dan lahan berulang, termasuk tahun ini yang berdampak pada puluhan juta orang. Perbaikan tata kelola dilakukan terutama di lahan gambut. Pemerintah pun berencana merestorasi lahan gambut, seluas dua sampai tiga juta hektar dalam lima tahun ini.
“Jadi lima tahun ke depan, kita akan kembalikan sebagian besar hutan gambut yang rusak jadi lebih baik. Kita tak jamin kebakaran hutan habis tapi berkurang,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla, dalam diskusi ahli internasional soal tata kelola lahan gambut pasca kebakaran yang diadakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, UNDP dan Pemerintah Norwegia, di Jakarta, Jumat (13/11/15).
Menangani restorasi gambut ini, katanya, pemerintah akan membuat badan khusus untuk menyelesaikan tugas selama lima tahun. Indonesia memiliki laham gambut sekitar 30 juta hektar dan yang rusak harus direstorasi. Dalam lima tahun itu, ucap JK, pemerintah menargetkan khusus gambut sekitar dua atau tiga juta hektar harus direstorasi.
Untuk itu, perlu diadakan pertemuan ahli ini guna mendapatkan pandangan, pengetahuan, sistem dan praktik-praktik serta pengalaman terbaik dari para ahli agar tak salah langkah dan bermanfaat bagi semua. Dia mencontoh, rehabilitasi Aceh dari tsunami yang selesai dalam tiga tahun. “Kondisi jadi lebih baik dan kerangka cepat serta kerja sama semua pihak.”
Pertemuan ini, katanya, untuk mencari solusi dan metodologi terbaik berdasarkan pengalaman di berbagai negara yang ada lahan gambut. Dari sini, diharapkan ada hasil kerangka (teknis) kerja bukan hanya bahasan di atas kertas.
Untuk pelaksanaan, pemerintah tentu akan mengalokasikan anggaran tetapi juga perlu kerja sama dalam mendanai program ini.
“Pemerintah akan beri anggaran sesuai, ada dana REDD+, World Bank, COP. Harap terapkan bersama-sama. Kita akan minta korporasi bersama rehabilitasi lahan-lahan masing-masing agar tanggung jawab lingkungan jadi tanggung jawab bersama,” katanya.
Kesalahan tata kelola
Wapres mengatakan, selama ini sudah terjadi banyak kesalahan dalam tata kelola hutan. Setidaknya, kata JK, ada tiga kesalahan, pertama, pada tahun 1970-an, izin-izin penebangan hutan diberikan pemerintah ke berbagai perusahaan di dunia. “Hutan-hutan dinikmati banyak negara di dunia. Kursi-kursi di Jepang, Korea, Amerika, dan dunia sebagian dari hutan Indonesia. Karena berlebihan, hutan Indonesia gundul, timbullah bencana seperti ini.”
Kedua, keliru dalam membuat perencanaan sejuta hektar sawah hingga timbulkan masalah. Ketiga, banyak terjadi perkebunan salah memanfaatkan gambut dan hutan. Atas kesalahan dan kekeliruan ini, kata JK, harus ada restorasi yang dilakukan bersama-sama karena yang memanfaatkan juga bersama-sama.
“Terima kasih kepada UN dan negara-negara sahabat yang sejak lama ingin berpartisipasi. Seluruh NGO (organisasi masyarakat sipil) yang selalu memperingatkan, kita berterima kasih atas segala perhatian dan teguran yang kadang tak diperhatikan dan bikin dampak serius. Jadi bagaimana langkah kita (ke depan) setelah belajar masalah ini.”
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berharap, sebelum COP 21 di Paris, badan restorasi gambut sudah terbentuk. “Bisa di bawah Presiden, bisa juga di bawah koordinasi kementerian koordinator. Belum tahu.” Namun, katanya, pembentukan badan ini diatur dalam peraturan Presiden.
Restorasi, katanya, memerlukan anggaran besar. “Kalau pekerjaan fisik lapangan, misal kontruksi, software system dan lain-lain, drainase, blok kanal, revegetasi, itu yang dikatakan Wapres ada dukungan internasional.”
Beberapa negara, katanya, juga sudah menunjukkan keinginan membantu, salah satu Amerika Serikat yang berkomitmen mengalokasikan US$2,9 juta. “Tugas kami, kementerian menindaklanjuti dengan rencana yang baik,” katanya.
Untuk pencegahan kebakaran ke depan, pemerintah juga menyiapkan legal aspek berupa regulasi dan sistem. Terlebih, katanya, dari prediksi pada Februari 2016, minggu ketiga akan memasuki musim kering kembali dan berarti akan muncul lagi titik api. “Rekomendasi diskusi ini akan jadi masukan penting. Akan ada zonasi, akan tingkatkan early warning system, yang belum sinergi akan ditingkatkan, juga pemahaman daerah dan masyarakat,” kata Siti.
Luhut B Pandjaitan, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan juga bicara. Menurut dia, terjadi masalah kebakaran hutan dan lahan selama puluhan tahun karena penanganan tak terintegrasi.
Dengan pemberikan izin penguasaan lahan gambut besar pada tahun-tahun lalu, menjadi salah satu masalah. Bertahun-tahun, katanya, tak ada tindakan jelas dan tegas kepada pemilik perkebunan, maupun HTI. Belum lagi ada aturan rakyat boleh membakar. “Dikombinasi dengan El-Nino hingga timbulkan masalah besar. Penanganan sulit kalau tak terintegrasi.”
Saat ini, katanya, pemerintah berusaha bekerja dengan terintegrasi termasuk bekerja sama dengan perguruan-perguruan tinggi, seperti Universitas Gadjah Mada, dan universitas di daerah kebakaran seperti Palangkaraya, Riau. Salah satu kerjasama untuk memetakan lahan-lahan gambut yang harus dilindungi, seperti di kubah. “Berangkat dari itu, kita akan bisa meminimalkan dampak kebakaran. Kalau harap gakkebakaran tahun depan, gak mungkin,” katanya.
Endah Murningtyas, Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas juga menyatakan, di lapangan, Indonesia belum memiliki instrumen-instrumen yang mencukupi menyangkut rencana maupun pelaksanaan cepat pemadaman, pencegahan dan restorasi. “Yang penting di tingkat tapak. Karena kalau dicegah di tingkat tapak, tak akan meluas,” katanya.
Tak hanya itu. Juga ada soal kemampuan sumber daya manusia dan sarana maupun prasarana. “Seperti apa kapasitas yang harus ada di lapangan, di pemerintah, yang lakukan koordinasi dan komando hingga bisa sampaikan peringatan dini sebelum kebakaran meluas.”
Duta Besar Norwegia, Stig Traavik menilai, terlihat jelas komitmen Presiden Indonesia, untuk memperbaiki kondisi ini. Salah satu, Presiden memerintahkan menghentikan pemberian izin di lahan gambut. Pertemuan ini, katanya, guna menindaklanjuti komitmen itu.
Norwegia, akan terus mendukung Indonesia dalam memperbaiki tata kelola hutan, seperti yang telah dilakukan sejak beberapa tahun belakangan ini. “Kami menanti rencana yang akan dibuat, kami siap dukung selalu,” katanya.
Dia juga mengingatkan, jangan sampai upaya perlindungan gambut dilakukan tetapi di sisi lain tebang-tebang hutan terus berjalan.
Kebakaran hutan dan gambut, kata Traavik, membuat puluhan jutaan orang terdampak dan menimbulkan kerugian besar.
Dia menyadari, menyelesaikan masalah ini tak mudah, banyak tantangan dengan agenda yang begitu komplek. “Penting, perlu pemimpin yang kuat untuk tindak lanjut ini,” katanya.
Traavik juga menekankan, pentingnya transparansi dan kerja sama semua pihak dari pemerintah, organisasi masyarakat sipil, swasta dan masyarakat. “Banyak negara juga akan ikut mendukung memperbaiki keadaan ini, termasuk Norwegia.”