Center for International Forestry Research (CIFOR), menyatakan, negara Indonesia perlu memiliki resolusi konflik, dalam mengatasi konflik lahan antara masyarakat lokal (adat) dan perusahaan. Sebab, dengan pengembangan bisnis yang memanfaatkan lahan luas berpotensi besar bersinggungan bahkan merampas wilayah kelola warga.
“Itulah mengapa kami menganggap perlu konsep resolusi konflik, yang bisa mencegah atau menekan konflik terjadi,” kata Romain Pirard, Saintis Senior Center for International Forestry Research (CIFOR), saat The Forests Dialogue, dalam diskusi lapangan mengenai Understanding Deforestation-Free (UDF), di Pekanbaru, Sabtu (2/5/15).
Pirard mengatakan, HTI bakal berkembang dramatis memenuhi tuntutan akan serat, pangan, dan energi di masa depan. Data FAO, perluasan hutan tanaman terjadi besar-besaran mencapai lima juta hektar per tahun.
Dampak ini, katanya, tumpang tindih klaim kepemilikan lahan dengan masyarakat lokal/adat, hingga berpeluang konflik dengan perusahaan HTI, sampai berujung kriminalisasi.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga 2014, menunjukkan terdapat 10 juta hektar izin pemanfaatan HTI. Dari analisis, lahan yang dimanfaatkan baru 5,7 juta hektar. Salah satu penyebab pemanfaatan minim karena banyak tumpang tindih klaim kepemilikan lahan dengan masyarakat, yang tinggal di sekitar dan dalam kawasan hutan.
Optimalisasi pemanfaatan 10 juta hektar ini, katanya, diperkirakan bisa meningkatkan eskalasi konflik. “Jadi perlu resolusi konflik, karena potensi muncul kekerasan, ketidakadilan, kerugian ekonomi, keterbatasan pembangunan pada tingkat lokal, dan merosot kredibilitas negara dalam keadilan dan kapasitas penegakan hukum.”
Konflik agraria, katanya, sepanjang 2013, tercatat 369 kasus, melibatkan lahan 1,2 juta hektar. Di sektor kehutanan 31 konflik dengan luas lahan 0,5 juta hektar.
“Mediasi, mekanisme resolusi konflik di berbagai negara, termasuk Indonesia, namun penerapan belum menujukkan hasil memuaskan, ” katanya.
Dengan resolusi konflik, tidak hanya menghentikan kekerasan, namun solusi jangka panjang, sebagai upaya mengubah paradigma hubungan sosial, hingga muncul keharmonisan dan saling percaya para pihak.
Dia mencontohkan, penyelesaian konflik di Kelurahan Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, pada 2001 mengenai lahan APL menjadi hutan produksi.
Hasil penelitian CIFOR, tipologi konflik di Senyawang berupa klaim masyarakat atas hak tanah adat pada konsesi HTI PT Wira Karya Sakti (WKS), Sinarmas Forestry (SMF), yang menanam akasia dan mulai memasuki daur ketiga saat konflik memanas. Konflik ini memuncak setelah 2008.
Dewan Kehutanan Nasional, tercatat berperan dalam mendorong proses penyelesaian di sana, pada 2011-2013, berdasarkan permintaan masyarakat, Kementrian Kehutanan dan perusahaan. DKN memunculkan ide awal kemitraan sebagai upaya penyelesaian konflik.
Pemerintah Jambi juga mengeluarkan SK Gubernur sebagai dasar hukum pembentukan tim terpadu penyelesaian konflik di Senyerang. Tim ini menghasilkan rekomendasi kepada Kementerian Kehutanan (kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), untuk mengeluarkan kebijakan kemitraan dengan komposisi tamanan 90% karet dan 10% akasia.
Lalu penelitian dan analisis stratus arah mediasi di Jambi. Mediasi berlangsung selama dua dekade terakhir. Walaupun kasus bisa dikatakan sukses dalam mencapai kesepakatan, namun ketegangan masih dirasakan. Awal tahun ini, satu petani tewas dianiaya sekuriti WKS kala akan masuk kebun.
Johnny Lagawurin, Kepala Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Wilayah I Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Riau, menyatakan, hutan produksi, pasti terjadi perubahan kawasan karena hutan produktif menjadi peruntukan lain, atau dari hutan alam menjadi hutan tanaman.
Lalu, terlepas ada izin atau tidak, perusaahaan perkebunan sawit ada masuk dalam hutan produksi. Ada juga di wilayah adat. Disitulah, katanya, terjadi konflik dengan masyarakat adat yang turun temurun menjaga hutan.
Untuk mencegah konflik, kata Johnny, harus ada inisiatif pemerintah daerah memberikan masukan atau trobosan kebijakan yang tidak merusak hutan. Juga tidak memberikan izin perusahaan mengelola kawasan di hutan adat. “Ini dilakukan Pemerintah Indragiri Hilir, Riau, yang mengusulkan kawasan tidak jelas 36.000 hektar terdiri kawasan mangrove, pantai dan gambut Pulau Baso atau dikenal Pulau Bakong, menjadi taman hutan raya.”
“Ide ini kan sangat bagus. Jadi perusahaan sawit tidak masuk dalam konflik kepentingan dan perusakan kawasan hutan, masyarakat adat juga tidak terganggu. Apalagi kalau kawasan tidak jelas itu sampai disetujui pemerintah pusat menjadi Tahura, peyelamatan akan makin tinggi dan konflik bisa dicegah.”
Johnny sepakat dengan CIFOR soal resolusi konflik penting. “Ini akan membuat penyelesaian konflik di luar peradilan, menggunakan musyawarah mufakat, duduk sila, diskusi dengan kepala dingin tanpa kekerasan yang menyebabkan banyak kerugian. Bukan saja hutan hancur, tetapi masyarakat adat tidak damai hidup di sekitar hutan rusak. Mari kita fokus menjaga hutan, mengelola dengan baik dan benar.”
sumber: klik disini