Pakar lingkungan dan juga pengajar di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Dr. Tjut Sugandawaty Djohan mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menghentikan pembukaan hutan untuk lahan industri perkebunan kelapa sawit dengan memperpanjang kebijakan moratorium izin kehutanan.
Menurutnya, hal itu dilakukan untuk melindungi keberadaan hutan hujan tropis yang tersisa hanya sekitar 33 persen atau 43 juta ha dari luas hutan yang mencapai 130 juta ha.
“Di Sumatera hutan hanya tinggal 30 persen. Itu pun hutan yang paling banyak berada di Aceh. Di Jawa, hutan sudah tinggal 3 persen. Kerusakan hutan ini akibat pembukaan lahan untuk kelapa sawit,” kata Tjut Sugandawaty yang ditemuidi Fakultas Biologi UGM, pada pertengahan Desember 2014.
Menurut Tjut Suganda, kerusakan hutan Indonesia sudah sangat massif dalam tiga puluh tahun terakhir. Salah satu sebabnya, makin banyaknya daerah yang membuka izin pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. Bahkan termasuk kawasan hutan lindung dan hutan konservasi tidak luput dari dampak izin pembukaan lahan kelapa sawit tersebut.
“Hutan taman nasional Tesso Nilo di Riau saja sekitar 60 persen luas hutannya sudah jadi kebun sawit. Ini sangat memperihatinkan, sampai-sampai Harrison Ford saja marah saat bertemu dengan Menteri Kehutanan (Zulkifli Hasan) waktu itu,” tambahnya.
Peneliti ekologi dan konservasi dari Fakultas Biologi UGM ini menegaskan tidak mudah mengembalikan lahan perkebunan kelapa sawit untuk menjadi kawasan hutan kembali. Satu-satunya jalan adalah menutup peluang penambahan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit baru. Menurutnya ini membutuhkan tindakan tegas menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya.
Dia mengapresiasi langkah Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan yang mengambil langkah tegas menyelamatkan sumber daya laut dengan melarang kapal-kapal asing mengambil ikan secara ilegal. Oleh karena itu, Menteri KLHK meniru langkah serupa dibidang kehutanan.
“Saya belum melihat ke arah itu, gebrakan Ibu Susi jelas dalam pengelolaan laut, tapi kebijakan di darat (hutan) belum ada. Sementara kerusakan hutan kita sangat luar biasa,” tukasnya.
Pada kesempatan yang sama, Prof Noel Holmgren, pengajar Theoritical Ecology dari Universitas Skovde Swedia, mengatakan pendekatan ecology modelling bisa digunakan untuk memprediksi fenomena yang terjadi di alam. Bahkan teknik modeling ini bisa untuk memperkirakan dampak ekologi di kemudian hari dari aktivitas yang dilakukan oleh manusia maupun hewan.
“Pendekatan ini bisa digunakan untuk memprediksi laju kerusakan alam sehingga bisa membantu pengambilan sebuah kebijakan,” kata Noel Holmgren.
Konversi Lahan dan Kedaulatan Pangan
Bondan Andriyanu, Kepala Departemen Kampanye Sawit Watch dalam rilisnya mengatakan bahwa rata-rata setiap tahunnya 500 ribu ha lahir kebun sawit baru di Indonesia, dari konversi lahan pangan. Menurut riset Sawit Watch pada 2012 perubahan penggunaan tanah hutan menjadi perkebunan sawit seluas 276.248 Ha. Dalam data resmi juga menyebutkan bahwa dalam satu menit, satu keluarga petani pangan menghilang.
Hari Octavian, Direktur Eksekutif Scale Up menjelaskan ekspansi perkebunan sawit di Indonesia mulai terasa dampaknya di Provinsi Riau. Data Scale Up mencatat ada 39 konflik lahan yang terjadi selama 2013. Hal ini terjadi karena masyarakat selalu kalah berkompetisi dengan perusahaan besar dalam penguasaan lahan perkebuan.
FAO menyebutkan bahwa keluarga petani (pertanian, kehutanan, perikanan tangkap dan budidaya, peternakan) merupakan penghasil pangan dunia. Dari 570 juta hektar lahan pertanian, 500 juta dimiliki oleh keluarga petani di seluruh dunia. Mereka menghasilkan lebih dari 57 persen produksi pangan di dunia. Data Sawit Watch, petani Indonesia dalam kurun 2003-2013 menghilang 5,07 juta rumah tangga, artinya dalam setiap menit 1 keluarga petani menghilang di Indonesia.
“Kebijkakan didalam pemerintahan Jokowi-JK hendak mencapai kedaulatan pangan lewat swasembada beras, gula dan lain-lain dalam waktu 3 hingga 4 tahun dirasa sangat pesimis dapat tercapai, bila konversi lahan pangan menjadi kebun kelapa sawit tidak dapat dihentikan,” kata Bondan Andriyanu.
Ia menambahkan, untuk menghindari tergerusnya lahan pangan akibat ekspansi perkebunan sawit maka salah satu cara dengan melindungi lahan-lahan pangan tersebut dengan menjadikannya lahan pertanian pangan berkelanjutan. Didalam UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, pemerintah dapat memberikan perlindungan lahan tersebut yang diiringi dengan pemberian insentif sehingga lahan pangan tersebut tidak terkonversi menjadi perkebunan sawit.
Riau menjadi propinsi yang memiliki luasan perkebunan sawit terbesar di Indonesia. Luasan perkebunan sawit di Indonesia adalah 13.5 juta ha, dimana 2,9 juta ha ada di Riau (Sawit Watch, 2013). Luas ini akan terus bertambah sesuai dengan rencana pemerintah untuk memperluas hingga 28 juta pada tahun 2020, akibat dari permintaan pasar dunia yang semakin tinggi akan konsumsi minyak sawit (CPO) untuk digunakan dalam berbagai produk turunannya.
Bondan menambahkan, ironis sekali luasan perkebunan sawit terus bertambah dan industri olahannya tak berkembang, kemudian Indonesia mengimpor pangan dan berbagai jenis olahan berbasis sawit untuk konsumsi sehari-hari. Indonesia adalah negeri agraris dan kaya akan ragam pangan lokal, mengapa hanya fokus mengembangkan pada satu produk saja dan secara monokultur.
“Di tengah sibuknya pemerintahan Jokowi melakukan blusukan, maka perlu bersama-sama kita menitipkan kepada beliau dan timnya untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan melindungi lahan pangan dari ekspansi perkebunan sawit,” tambah Bondan.
Sumber : klik di sini