Peneliti Balitek KSDA Gagas Revisi Penilaian Rayon Wisata Alam

“Pada tahun 2014, tercatat sebanyak 293 ODTWA yang ada di kawasan konservasi di seluruh Indonesia, tidak ada satu pun yang masuk Rayon I, hanya 18 objek saja yang masuk Rayon II, dan selebihnya masuk Rayon III.” Demikian disampaikan Suryanto, S.Hut., M.Si, Peneliti Kebijakan Balitek KSDA di hadapan Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hidup Dirjen KSDAE dan para Kepala Balai Besar/Balai KSDA/Taman Nasional pada 13 Mei 2020 lalu.

Suryanto menyampaikan presentasi hasil kajian “Usulan Revisi Permenhut P.36/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Penetapan Rayon di Taman Nasional, Tahura, Taman Wisata Alam dan Taman Buru”. Kajian merupakan hasil kerja tim yang terdiri dari perwakilan Balitek KSDA, Puslitsosek, Subdit PLHK, dan assesor wisata nasional.

Kajian ini dilatarbelakangi oleh masih banyaknya ketidaksesuaian kelas rayon suatu wisata alam yang ada di lingkup KLHK dengan kondisi senyatanya di lapangan. Menurut Suryanto dan tim, penentuan kelas rayon yang kurang tepat mengakibatkan potensi penerimaan negara dari tarif wisata alam tidak optimal.

“Sebagai contoh, salah satu spot wisata alam di Taman Nasional yang sudah dikenal mendunia berada pada kelas Rayon III. Hal ini tentunya suatu kerugian bagi kita.” ujar Suryanto.

Berangkat dari hal tersebut, muncul gagasan untuk melakukan perbaikan kriteria indikator penetapan rayon sehingga dapat menilai suatu lokasi wisata alam secara objektif. Dari hasil kajian Permenhut P.36/2014, tim mengusulkan penyederhanaan kriteria dari 7 kriteria menjadi 4 kriteria saja. Tim juga menyatakan bahwa penilaian rayon yang diusulkan ini lebih humanis karena mengambil perspektif konsumen/pengunjung. Pendekatan kriteria yang diusulkan tersebut ialah 3A+, yaitu aksesibilitas (Accessibility), daya tarik (Attraction), kenyamanan (Amenity), dan info tambahan (Ancilary/Profile).

Setiap kriteria di atas dibagi menjadi beberapa indikator penilaian yang menggabungkan penilaian kuantitatif dan kualitatif sehingga mempermudah pengelola untuk melakukan self assessment terhadap wisata alam yang dikelolanya. Sebagai contoh, kriteria aksesibilitas menggunakan indikator jarak dipadukan dengan kondisi jalan. Contoh lainnya, kriteria kenyamanan (amenity) menggunakan indikator ketersediaan tempat menginap dipadukan dengan tarif inap.

“Output dari penilaian itu nantinya berupa angka yang akan menentukan kelas rayon suatu ODTWA (Objek Daya Tarik Wisata Alam),” kata Suryanto.

Dr. Nandang Prihadi, M.Sc, selaku Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengapresiasi positif hasil kajian tersebut. “Kita akan buat surat kepada seluruh balai agar setiap satker melakukan ujicoba penilaian objek wisata masing-masing. Masing-masing menugaskan dua orang staf yang paham tentang lokasinya sehingga diharapkan diperoleh nilai (kelas rayon-red) yang sesuai.” tegas Nandang yang disambut baik oleh para peserta.

Kepala Balitek KSDA, Dr. Ishak Yassir pada kesempatan tersebut juga menyampaikan apresiasi sekaligus ucapan terima kasih kepada pihak Direktorat PJLHK yang telah memfasilitasi acara ini. “Saya mewakili manajemen Balitek KSDA menyampaikan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada peneliti kami dan tim untuk memaparkan kajiannya kepada bapak ibu di lingkup Ditjen KSDAE. Harapan kami, apa yang telah kami lakukan tersebut dapat berkontribusi positif terhadap pengelolaan wisata alam lingkup KLHK,” kata Ishak.

Dari hasil ujicoba penilaian yang dilakukan oleh para pengelola, ke depan akan ditindaklanjuti oleh tim kajian guna penyempurnaan dan penajaman kriteria dan indikator penetapan rayon hingga menjadi draft usulan revisi Permenhut P.36/Menhut-II/2014.

Share Button

“DAMAI”, ANAK ORANG UTAN BARU DI ORANGUTAN RESEARCH CENTER (ORC)

Orangutan Research Center (ORC) mendapat anggota baru dengan hadirnya orang utan bernama “Damai”. Damai merupakan orang utan yang diselamatkan oleh Tim Yayasan Jejak Pulang (YJP) dan Tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim dari Polsek Bengalon, Kutai Timur pada tanggal 8 Mei 2020.

“Damai berkelamin jantan, umur sekitar 1,5 tahun, berat badan 5 kg, tinggi badan 70 cm, rambut tebal mengkilat, gigi putih dan bersih, pernafasan normal, dan tidak ditemukan adanya luka/jamur/ekstoparasit dengan suhu tubuh 37oC, namun ditemukan larva Strongyloides sp.”, kata drh. Rizki Widiyanti, dokter hewan YJP yang turut melakukan rescue. Saat ditemukan Damai berada di dalam lorong sel tahanan dengan kondisi tenang, tidak stress, namun bertindak agresif ingin menggigit ketika akan dipegang.

Dalam keterangannya, Ketua YJP Hery Estaman menerangkan bahwa Damai diserahkan oleh Aris Eko Bastiono, salah satu warga Desa Sepaso Sebongkok Ujung, kec. Bengalon, Kutai Timur, Kalimantan Timur, ke Polsek Bengalon. Aris yang berprofesi sebagai penjual bensin menemukan anak orang utan tersebut dibawa dalam karung oleh seorang pembeli bensin. Saat Aris menanyakan apa isi karung yang dibawa, pembeli bensin mengatakan bahwa isi karung tersebut adalah anak orang utan yang akan dilepaskan kembali. Karena kasihan orangutan masih bayi, Aris kemudian meminta anak orang utan tersebut dan kemudian diserahkan ke Polsek Bengalon.

Tim yang melakukan penyelamatan Damai adalah Hery Estaman, drh. Rizki Widiyanti, drh. Duwi Fatmawati, Alfred (YJP) dan Puji, Alex (BKSDA Kaltim).

“Damai saat ini berada di Camp Karantina orang utan untuk dilakukan observasi serta penanganan medis. Medical Check Up (MCU) juga akan dilakukan secepatnya untuk mengetahui lebih detail kondisi Damai. Jika Damai telah dinyatakan sehat, selanjutnya Damai akan diajarkan mengenali pakan di hutan, memanjat pohon oleh pengasuh seperti orang utan lainnya”, kata Kepala Balitek KSDA Ishak Yassir.

Untuk diketahui Orangutan Research Center (ORC) merupakan pusat rehabilitasi dan reintroduksi yang diinisiasi oleh pemerintah cq. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim dan Balitek KSDA serta didukung sepenuhnya oleh Yayasan Jejak Pulang. Jumlah total orang utan yang ada di ORC saat ini adalah 9 individu, yaitu: Gonda, Tegar, Cantik, Eska, Amalia, Robin, Kartini, Gerhana dan Damai.

Share Button

Dirgahayu FORDA, Bersiap Menghadapi “New Normal”

Badan Litbang dan Inovasi (BLI/FORDA) berusia 107 tahun.  Memasuki abad kedua peran BLI dalam bidang lingkungan hidup dan kehutanan, terutama di era pandemi Covid-19 ini, Dr. Agus Justianto, Kepala BLI berpesan, ”Dirgahayu FORDA, siapkan diri menghadapi new normal.”

New normal dimaknai sebagai kehidupan yang dijalankan seperti biasa ditambah dengan perilaku baru dalam bentuk protokoler kesehatan. Hal ini wajib dilakukan sejalan dengan belum ditemukan vaksin atau penangkal virus Covid-19.

“Tidak ada satu pun yang siap menghadapi pandemi ini. Perubahan arah manajemen institusi menyebabkan juga perubahan strategi komunikasi di instansi kita. Saat ini internal komunikasi institusi memegang peranan kunci untuk membangun ketahanan instansi dengan target, tujuan dan hasil yang baru. Rencana-rencana dan strategi awal tahun tinggallah rencana, sekarang mulai dengan rencana baru,” tegas Agus dalam pesan singkatnya kepada seluruh jajaran FORDA (17/5).

Pesan ini memberikan arahan tegas bahwa kegiatan riset dan pengembangan, serta manajemennya harus tetap berjalan. Protokoler kesehatan bukan halangan untuk terus berkarya memberikan yang terbaik untuk bangsa.

FORDA seharusnya sudah siap menghadapi new normal ini. Paradigma baru litbang yang diusung mulai pertengahan 2019, yakni paradigma masuk dalam virtual dan society era, diyakini akan memudahkan seluruh jajaran FORDA menghadapi new normal tersebut.

Menjalankan paradigma baru tersebut, FORDA menerapkan prinsip aktif, proaktif dan progresif. Ketiganya diharapkan mampu untuk menjawab berbagai tantangan yang semakin dinamis dan kompleks di era pandemi ini. Terutama untuk terus berjuang menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan utama kebijakan, regulasi dan aksi kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sejak didirikan pada 16 Mei 1913 oleh Pemerintah Hindia Belanda, sejarah telah mencatat bahwa FORDA telah memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam kemajuan pengelolaan hutan Indonesia. Di era sebelum kemerdekaan misal, perkembangan ilmu kehutanan Indonesia telah dituliskan dalam Tectona, majalah kehutanan pertama pada masa kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia yang terbit pada 1908-1955. Karya-karya ilmiah di dalamnya terkait kebijakan pengelolaan hutan dan konservasi alam di Indonesia banyak menjadi rujukan. Xylarium Bogoriense 1915 yang mendunia, juga dibangun pada era ini, termasuk Herbarium Botani Hutan yang dibangun pada 1917.

Pada era kemerdekaan tahun 1960an, dengan dimulainya pengusahaan hutan di Indonesia, FORDA telah berkontribusi menyempurnakan sistem silvikultur pengelolaan hutan alam produksi, dari  Tebang Pilih Indonesia (TPI) menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Pengenalan jenis pohon dan tabel volume pohon hasil FORDA juga digunakan dalam inventarisasi dan pendugaan volume tegakan hutan, menetapkan jatah volume tebangan tahunan (annual allowable cut), pendugaan volume hasil penjarangan, tegakan atau hasil tebangan akhir daur. Sebanyak 27 tabel volume pohon berhasil disusun dan dimanfaatkan dalam periode ini. Hasil riset industri kayu bahkan digunakan untuk menyusun pola pengembangan industri kayu nasional dan referensi bagi studi-studi kelayakan berbagai macam industri kehutanan.

Sementara pada era reformasi hingga usia satu abad, hasil-hasil litbang kehutanan juga berperan penting antara lain dalam Sistem Silvikultur Intensif (SILIN), Standar Nasioanal Indonesia (SNI), Reduce Emision from Deforestation and Forest Degradations (REDD) termasuk berkontribusi dalam mendorong implementasi mekanisme pembayaran berbasis kinerja (Result Based Payment), penetapan tingkat emisi acuan (Reference Emission Level), pengembangan Sistem Perhitungan Karbon Nasional Indonesia (Indonesian National Carbon Accounting System), restorasi lahan gambut, hasil hutan bukan kayu, bioenergi, pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), dan masih banyak lagi.

Meyakini bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi adalah tulang punggung kemajuan bangsa, FORDA meneruskan dan meningkatkan riset kehutanan dan lingkungan hidup yang telah dilakukan sejak lebih dari satu abad silam. Tidak hanya riset, kegiatan pengembangan juga terus dilakukan sehingga melahirkan inovasi-inovasi terbaru untuk mendukung hutan dan lingkungan berkelanjutan serta masyarakat sejahtera.*DP

Share Button

Balitek KSDA – Pertamina Hulu Mahakam Gelar Lokakarya Online Budidaya Kahoi

Balitek KSDA bersama dengan mitra kerja sama, PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM) menyelenggarakan kegiatan Lokakarya secara online dengan tajuk Program Budidaya Kahoi (Shorea balangeran) pada hari Rabu, 29 April 2020. Lokakarya ini bertujuan untuk berbagi informasi kepada PHM tentang budidaya dan pembangunan persemaian jenis Shorea balangeran. Kegiatan ini merupakan salah satu agenda kerja sama yang direncanakan oleh kedua pihak.

“Kami sangat mengharapkan ada feedback dan informasi dari Balitek KSDA terhadap kawasan perlindungan kehati yang sudah kami tetapkan di SPS (Senipah Peciko South Mahakam), sehingga ke depan dapat dikembangkan menjadi lebih baik lagi. Selain itu, lokasi tersebut juga menjadi habitat bekantan.” demikian disampaikan Robert Roy Antoni, Site Manager SPS PHM dalam sambutannya. PHM berharap pula bahwa rencana program budidaya jenis Shorea balangeran menjadi salah satu kontribusi mereka dalam konservasi jenis tumbuhan yang populasinya terus menurun saat ini di habitat alaminya.

Dua orang peneliti dan satu orang teknisi litkayasa Balitek KSDA yang menjadi pemateri pada acara ini yaitu Burhanuddin Adman, Ardiyanto Wahyu Nugroho dan Yustinus Iriyanto. Materi yang disampaikan oleh para pembicara antara lain Hasil Kajian Potensi Tumbuhan Alam di Kawasan Perlindungan Kehati SPS PHM; Karakteristik, Persebaran dan Potensi Ekonomi Shorea balangeran; dan Pembangunan Persemaian dan Budidaya Shorea balangeran.

Mengakhiri kegiatan lokakarya virtual ini Kepala Balitek KSDA Ishak Yassir menyampaikan apresiasi kepada PHM. “Terima kasih kepada PHM, kita bisa sama-sama saling belajar meski dengan kondisi virtual. Tentunya nanti perlu pendalaman materi di lapangan. Meski yang dibahas kali ini satu jenis pohon, namun secara garis besar pengetahuan ini dapat diaplikasikan untuk jenis pohon lainnya.”

Ishak juga menyampaikan masukan dan saran untuk perbaikan program PHM tersebut. “Saya juga berpesan kepada PHM agar upaya konservasi ini juga perlu melibatkan masyarakat sekitar sehingga kita mendapatkan dua nilai plus sekaligus. Bukan hanya alam saja yang mendapatkan manfaat, namun juga masyarakat sekitar turut diberdayakan.” imbuh Ishak.

Seusai paparan dan diskusi terkait materi yang telah disampaikan, Balitek KSDA dan PHM juga sepakat untuk menindaklanjuti hasil lokakarya ini menjadi sebuah aksi nyata di lapangan segera setelah kondisi pandemi COVID-19 berakhir.

Share Button