Lima Puluh Persen Jenis Obat Mengandung Senyawa Aktif dari Hutan Tropis

-Orasi Ilmiah Kepala Balitek KSDA pada Wisuda Akademi Farmasi-

Perkembangan industri obat sebagian besar berasal dari pengetahuan pengobatan tradisional. Studi Cifor tahun 2007 terhadap 150 jenis obat beresep di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 50%  nya mengandung senyawa aktif yang bersumber dari hutan tropis.

farData tersebut dipaparkan oleh Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (Balitek KSDA), Ahmad Gadang Pamungkas, dalam orasi ilmiah pada acara Wisuda Angkatan XIII Akademi Farmasi Samarinda di Hotel Bumi Senyiur Samarinda, Kamis (15/9/2016).

Lebih lanjut, Gadang menjelaskan bahwa perkembangan industri obat yang sangat pesat ternyata tidak membawa dampak yang baik bagi pengetahuan pengobatan tradisional dan kelestarian tumbuhan obat hutan tropis. “Industri obat didominasi oleh perusahaan multi nasional. Apresiasi terhadap pengetahuan lokal, termasuk dalam hal profit sharing sangat rendah. Dan setengah dari 20.000 jenis tumbuhan obat di hutan tropis terancam punah,” ungkapnya.

Dalam wisuda yang dihadiri pula oleh Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Kepala Dinas Provinsi Kalimantan Timur, serta perwakilan Kementerian Kesehatan tersebut, Gadang mengajak para wisudawan untuk mengambil peran dalam pengembangan industri obat Indonesia ke depan. “Pelayanan kesehatan sama pentingnya dengan penyediakan pelayan obat untuk yang sakit. Keinginan manusia untuk hidup sehat menjadi poin penting kita untuk ikut ambil peran dalam industri ini. Jangan biarkan pengetahuan dan kekayaan genetik kita dibawa keluar. Kita harus menjadi yang terdepan. Peluang itu terbuka pada segmen tumbuhan obat,” tegasnya.

Mengutip riset Aditam (2014), Gadang menyampaikan bahwa pasar herbal dunia pada tahun 2008 adalah sekitar US$ 60 milyar. Nilai pasar tersebut diperkirakan akan terus meningkat hingga US$ 150 milyar pada tahun 2020. Omzet penjualan produk herbal Indonesia baru mencapai US$ 100 juta per tahun atau hanya sebesar 0,22% pangsa dunia.

Menurut Gadang, untuk meningkatkan produk herbal Indonesia perlu membangun sinergi serta menyusun strategi yang mempertimbangkan aspek konservasi. Dalam perspektif ini, upaya penggalian dan pemanfaatan berkelanjutan tumbuhan obat tidak terlepas dari karakter dan status konservasi tumbuhan tersebut.

Kerumitan selalu muncul apabila jenis tumbuhan obat yang dikembangkan merupakan jenis yang berasosiasi erat dengan habitat hutan, endemik dan atau dilindungi. Contohnya adalah kasus yang terjadi pada pasak bumi dan bidara laut. Pengaruh kapital menyebabkan para pemburu  mengeksploitasi jenis tersebut secara berlebihan di hutan alam.

Penyebab lain adalah minimnya pengetahuan tentang teknik dan konsep panen yang ramah lingkungan, seperti yang terjadi pada Dragon Blood (Rotan Jerenang). Di habitat alaminya, tingkat regenerasi rotan jerenang menurun drastis.

Mengakhiri orasinya, Gadang mengingatkan para pihak perlunya kehati-hatian mempublikasikan temuan jenis tumbuhan obat baru. “Terutama jenis-jenis yang berpotensi diproduksi secara massal dengan teknologi yang tinggi.  Publisitas dalam hal ini perlu mempertimbangkan status ancaman di masa depan.  Apalagi bila jenis-jenis tersebut memiliki asosiasi kuat dengan habitat hutan,” pungkasnya.

Mengapresiasi orasi ilmiah tersebut, Supomo, Direktur Akademi Farmasi Samarinda menjelaskan bahwa Akademi Farmasi Samarinda akan bekerja sama dengan Balitek KSDA untuk melakukan penelitian, pengembangan, dan peningkatan kualitas pendidikan dalam bidang tumbuhan obat. Kerja sama tersebut diharapkan dapat memajukan tumbuhan obat Indonesia, terutama di Kalimantan Timur.***(Sur/Emilf.).

Share Button