Luar Biasa, Ribuan Bekantan Masih dijumpai di Delta Berau
Siapa menyangka, bekantan (Nasalis larvatus), primata endemik Borneo yang terancam punah ini masih dapat dijumpai hingga ribuan ekor di Delta Berau, Kalimantan Timur. Hal itu terungkap dari hasil survey yang dilakukan oleh Balitek KSDA dan LSM Kanopi (Konservasi Alam Lingkungan Tropikal Indonesia).
Menurut Mukhlisi, S.Hut., M.Si., tim peneliti bekantan Balitek KSDA, menyatakan bahwa sejauh ini populasi bekantan di Delta Berau diperkirakan lebih dari 1400 ekor. Beberapa pulau di Delta Berau diketahui memiliki konsentrasi populasi tinggi, seperti Pulau Besing dan Tanjung Perengat. Jumlah tersebut baru mencakup 30% dari luasan Delta Berau yang telah disurvey. “Sebetulnya masih banyak lokasi yang belum diketahui populasinya secara pasti”, lanjutnya.
“Sangat disayangkan jika melihat kenyataan bahwa populasi bekantan di Delta Berau dalam jumlah sangat besar namun justru kawasan tersebut tidak masuk ke dalam lokasi prioritas untuk konservasi bekantan. Dengan populasi sebesar itu maka populasi bekantan di Delta Berau merupakan populasi terbesar di Kalimantan Timur dan Utara”, kata Tri Atmoko, M.Si., peneliti satwa Balitek KSDA.
Delta Berau tidak masuk dalam 8 areal prioritas perlindungan bekantan di Kalimantan Timur dan Utara yang diidentifikasi oleh Erik Meijaard dan Vincent Nijman dan dipublikasikan di jurnal Biological Conservation tahun 2000. “Bahkan dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Bekantan 2013-2022 dan laporan Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) bekantan Indonesia tidak pernah menyinggung tentang bekantan di Delta Berau”, tegas Tri.
“Dengan temuan populasi yang sangat besar tersebut, pihaknya berharap agar Delta Berau mendapat perhatian lebih sebagai lokasi prioritas untuk konservasi bekantan”, ungkap Ibrahim, S.Hut., Direktur LSM Kanopi saat ditemui di kantornya Jl. Pulau Derawan Kota Tanjung Redeb, Selasa (3/8/2016).
Delta Berau sendiri terletak di antara muara Sungai Berau, sekitar 50 Km sebelah Timur Tanjung Redeb, Ibu Kota Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur. Kawasan tersebut membentang hingga pesisir pantai yang berhadapan langsung dengan Laut Sulawesi. Terdapat puluhan pulau di sekitar Delta Berau baik yang telah ditempati manusia ataupun belum dengan ciri khas vegetasi mangrove.
Menurut Tri Atmoko selaku koordinator tim, saat ini tim peneliti Balitek KSDA kembali melakukan identifikasi sebaran dan populasi bekantan di Delta Berau, untuk melengkapi data sebelumnya baik yang dilakukan oleh Balitek KSDA maupun LSM Kanopi.
“Selain okupansi lahan untuk tambak, ancaman terbesar dari populasi bekantan di Delta Berau juga disebabkan oleh perburuan liar”, tambah Ibrahim. Secara meyakinkan Ibrahim bahkan berani menyebutkan kalau masih ada sebagian etnis baik lokal dan pendatang kadang berburu bekantan hanya untuk sekedar mengkonsumsi dagingnya.
Sebagai satu-satunya LSM di Berau yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap bekantan, LSM Kanopi telah menginisiasi rehabilitasi habitat dan menjadikan bekantan sebagai obyek ekowisata di Kampung Batu-Batu. Ibrahim menegaskan, nilai lebih dari pengembangan ekowisata di kawasan ini karena berada pada jalur perlintasan bagi turis yang menuju kepulauan Derawan yang sudah terkenal hingga mancanegara.
“Dari 9 lokasi yang telah disurvey mulai dari Kalimantan Timur hingga Kalimantan Utara, Delta Berau sampai saat ini diketahui memiliki populasi paling tinggi”, kata Tri Atmoko. Balitek KSDA secara khususpun memiliki perhatian terhadap upaya pemetaan sebaran bekantan di Kalimantan. “Bukan hanya sebaran populasi, tapi keragaman genetik juga akan coba dipetakan dari tiap lokasi”, imbuhnya.
Hasil analisis keragaman genetik bekantan dari berbagai lokasi dan tipe habitat menjadi hal menarik dan ditunggu-tunggu, sebab kecuali di Sabah (Malaysia), sampai saat ini belum ada satupun publikasi ilmiah yang membahas tentang keragaman genetik bekantan dari wilayah Kalimantan.
“Dalam daftar merah IUCN, bekantan telah masuk kategori endangered. Keberadaan bekantan memiliki asosiasi kuat dengan badan air, untuk melindunginya diperlukan strategi khusus restorasi habitat dan populasi sesuai dengan karakteristik tiap lokasi”, pungkas Tri Atmoko.***MSI