“Baru-baru ini kita telah mendapatkan berita gembira tentang keberadaan Badak di Site Hutan Kabupaten Kutai Timur dan sekarang berita tentang Owa. Hal ini tentunya menggelitik kita sebagai seorang konservasionis. Dalam statusnya sebagai satwa yang memiliki resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam liar, salah seorang masyarakat yang peduli melaporkan keberadaannya di kota Samarinda. Kita harus bergerak cepat,”jelas Gadang Pamungkas, S.Hut, M,Si, Kepala Balitek KSDA Samboja, Kamis (24/03).
Owa Kelawat (Hylobates muelleri ) adalah satwa endemik Kalimantan, dikenal dengan nama lain Gibbon Kalimantan atau Gibbon Abu-abu Kalimantan. Masyarakat Dayak dan Banjar juga mengenalnya dengan nama Kelampiau atai Kalaweit. Satwa terkecil dalam famili Hylobatidae ini tergolong satwa yang dilindungi (appendix I Cites) dan masuk dalam daftar merah IUCN dalam kategory/kriteria Endangered A2cd ver 3.1.
“Owa Kelawat adalah satwa arboreal sejati. Seluruh aktifitas hidupnya dilakukan di atas pohon. Kakinya yang pendek bahkan hampir tidak pernah digunakan untuk berjalan. Untuk berpindah tempat, lengannya yang lebih panjang dominan digunakan, yaitu dengan cara bergelayut dan berayun dari cabang ke cabang lain atau ke pohon yang lainnya. Sehingga demikian, keberadaan pohon-pohon menjadi syarat penting kehidupan Owa di habitatnya,”jelas Teguh Muslim, peneliti Satwa di Balitek Samboja.
Informasi awal tentang keberadaan Owa Kelawat diperoleh dari salah seorang pemukim. Menindak lanjuti laporan tersebut, pada periode Februari-Maret 2016, Kepala Balitek KSDA menugaskan beberapa peneliti dan teknisinya untuk melakukan peneltian singkat di lokasi tersebut.
Langkah cepat tersebut memberikan hasil teridentifikasinya 5 individu Owa Kelawat di habitat yang dilaporkan. Lima ekor ini terdiri dari 2 pasang dewasa dan 1 individu remaja. Mereka bertahan hidup di kluster bertegakan dengan luas 3,6 ha dan dikelilingi oleh jalan dan pemukiman, pada titik koordinat S. 00028’52,6’’ dan E 117011’25,6’’.
Tutupan lahan berupa hutan sekunder dan bekas ladang dengan keberadaan beberapa pohon sebagai sumber pakan dan sarang. Jenis-jenis pohon pakan yang tersedia di antaranya cempedak (Artocarpus integer) 12 pohon berbuah, Rambutan (Nephellium lappacium) sebanyak 4 pohon berbuah dan Rambai (Baccaurea motleyana). Pakan alternatif lainnya yang tersedia di habitat amatan adalah dari jenis Belimbing (Baccarea sp), Kenidal (Bridelia sp.), Ficus dan Aren (Arenga pinnata). Sementara itu, pohon yang digunakan sebagai sarang adalah dari jenis Karet (Hevea brasiliensis), Sukun (Artocarpus sp.) dan Laban (Vitex sp).
“Berdasar amatan kami, potensi pohon yang tersedia cukup mendukung kebutuhan pakan 5 Owa di habitat tersebut. Kesehatan Owa yang diamati juga cukup baik, ditandai dengan pergerakannya yang sangat gesit saat berpindah. Yang menjadi kekuatiran kami adalah keberlangsungan hidupnya di waktu depan,”jelas Teguh Muslim.
“Habitatnya sempit dan dikelilingi oleh pemukiman yang sangat mudah diakses. Kondisi ini menimbulkan kekuatiran kita dari ancaman perburuan. Namun, kekuatiran utama kita adalah jika nantinya habitat ini tersentuh pembangunan baru. Jika waktu itu tiba, dapat dipastikan Owa-owa tersebut akan mati,”tutur Warsidi, seorang teknisi di Balitek KSDA.
Habitat satwa di kota Samarinda mengalami penyusutan dari waktu ke waktu. Termasuk habitat bagi Owa Kelawat, satwa yang memiliki karakter unik dengan suaranya yang khas bernada panjang dan berirama. Saat sekarang, hanya tersedia sangat sedikit ruang bertegakan pohon yang dapat menjadi tempat Owa Kelawat untuk bertahan hidup. Salah satunya seperti yang ditemukan di sekitar perumahan SKM Borneo, Kelurahan Mugirejo Jln. Damanhuri, Samarinda.
Rekomendasi yang dihasilkan dari kasus ini adalah perlunya translokasi Owa Kelewat untuk penyelamatan ke habitat baru yang lebih menjamin keberlangsungan hidup Owa Kelawat ini. Tentunya Balitek KSDA bersiap bila nanti Balai KSDA meminta bantuan. Pengalaman dan penguasaan para peneliti dalam teknik translokasi siap dioptimalkan.
Pelajaran penting dari kasus Owa ini adalah sebuah hipotesa baru bahwa kemungkinan adanya potensi satwa-satwa langka lainnya yang terjebak diperkotaan, baik itu di Samarinda, Balikpapan, Jayapura, Palembang atau bahkan kota besar lainnya, yang tentunya juga perlu untuk diselamatkan. Satu hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut oleh para peneliti kita,”tutup Gadang.***Flitch