Melihat Bekantan di Sungai Hitam

Belum 100 meter perahu menyusuri Sungai Hitam di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, terlihat sekawanan bekantan. Dari rerimbunan bakau dan nipah, kawanan satwa itu mengawasi rombongan wisatawan. Jepretan kamera pengunjung seolah tak mengganggu mereka.

Bekantan sebenarnya satwa pemalu. Namun, mungkin sudah terbiasa bertemu manusia selama bertahun-tahun, lalu jadi begitu. Tetapi kalau didekati lari,” ujar Yoyok, pengemudi kapal kayu yang membawa kami menyusur Sungai Hitam, beberapa minggu lalu.

Ketika mesin dimatikan dan perahu kayu yang muat 10 orang didayung mendekat ke rerimbunan, beberapa bekantan yang memelototi kami segera kabur. Menghilang secepat kilat, hanya menyisakan bunyi gemerisik ranting dan dedaunan.

Beberapa bekantan jantan dewasa, yang sepertinya pemimpin kawanan, bergeming. Tetap mengawasi sembari mengeluarkan suara-suara, primata itu mengirim semacam kode untuk kawanannya, mungkin memberi tahu siapa yang pagi itu berani datang mendekat.

Sedikit deg-degan, ketika perahu melaju di bawah dahan tempat bekantan-bekantan bertengger, hanya berjarak 4-5 meter.

”Kalau bekantan turun melompat ke perahu ini, bagaimana, ya?” tanya Sri Wibisono, salah satu wisatawan, sembari menatap terus ke arah atas.

Bekantan jantan dewasa berbobot 45-50 kilogram dan setinggi hanya 1 meter. Bekantan memiliki gigi taring tajam sepanjang 5-7 sentimeter.

Untunglah, Amiruddin, warga yang ikut mendampingi rombongan, menenangkan. Belum pernah ada cerita bekantan melompat ke perahu.

Ternyata benar, kami baik-baik saja. Perahu pun kembali melaju, diiringi suara mesin yang menderu. Tiba-tiba, ada kejutan lain, yakni beberapa biawak terlihat berjemur di dahan pohon. Kehadiran satwa-satwa itu sedikit tersamar jika dari jauh, karena biawak mahir menyatu dengan dahan.

Rombongan sejenak berhenti, terkesima oleh dua biawak yang panjang tubuhnya sekitar semeter. Biawak termasuk predator bekantan, terutama bayi bekantan. Setelah puas melihat beberapa biawak, perjalanan dilanjutkan. Pemandangan selanjutnya adalah kampung nelayan.

Kampung Padang, namanya. Jika beruntung, wisatawan dapat menjumpai nelayan yang baru saja pulang. Tangkapan mereka seperti udang galah dan aneka ikan segar.

Selepas kampung itu, tak seberapa lama, terhampar Selat Makasar, yang menjadi ujung Sungai Hitam. Puluhan perahu pinisi dengan tiang-tiang yang panjang melengkung bersandar rapi di tepian sungai, menunggu giliran melaut.

Perjalanan menyusur sungai selesai dan rombongan berbalik arah untuk pulang. Cukup 1,5 jam menyusur sungai sepanjang 2,5 kilometer itu. Tidak terlalu melelahkan. Menuju Sungai Hitam pun tidak terlalu jauh, hanya berjarak 50-an kilometer dari pusat Kota Balikpapan.

Satwa endemik

Bekantan yang punya nama Latin Nasalis larvatus adalah satwa endemi Kalimantan dan termasuk salah satu spesies yang terancam punah. Sungai Hitam menjadi salah satu habitat bekantan dan menariknya di kawasan inilah paling mudah melihat bekantan.

Karena terbiasa melihat manusia, dan kawasan ini dekat permukiman, bekantan di kawasan ini tidak agresif. Namun, bekantan tetap satwa liar yang mewaspadai manusia. Ini terbukti ketika perahu hendak mendekat, bekantan sekali-sekali menyeringai, memperlihatkan taringnya.

Adalah pengalaman mengasyikkan dapat menikmati tingkah polah satwa yang sering disebut monyet belanda, karena hidungnya mancung dan warna bulunya kemerahan, itu. Di hutan, sedikit suara dan kegaduhan sudah cukup membuat kawanan primata itu langsung kabur menghilang.

Amir Ma’ruf, peneliti satwa liar dari Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengutarakan, saat ini terdapat sekitar 140 bekantan di sepanjang sungai ini. Kawanan satwa itu terbagi dalam delapan kelompok.

”Bekantan-bekantan di Sungai Hitam bisa dibilang sehat. Ini tempat ideal satwa itu karena ada cukup tanaman yang bisa mereka makan, seperti rambai laut, yang termasuk bakau. Warga juga sudah tahu untuk tidak mengganggu bekantan,” ucap Amir.

Habitat bekantan ini aslinya bukan bernama Sungai Hitam, melainkan Sungai Kuala Samboja. Adapun Sungai Hitam merupakan salah satu anak sungai itu. Nama Sungai Hitam dimunculkan awal tahun 2000 untuk mempromosikan kawasan itu sebagai tempat wisata.

Di sisi lain, air di sungai selebar 10-20 meter itu, dulu memang berwarna hitam. Namun, bukan hitam yang sebenarnya. ”Jika dilihat dari kejauhan, air sungai tampak hitam. Namun kalau diciduk dan dilihat, airnya memang bening dan jernih,” ujar Amir.

Warna hitam itu berasal dari dedaunan yang membusuk, getah akar, dan vegetasi lain. Di sungai itu belum ada pencemaran. Amir masih ingat, tahun 2000, gampang memancing ikan kakap ataupun udang galah yang sungutnya sepanjang 50 sentimeter. Namun, kondisi sekarang berbeda.

Sungai ini ”dikepung” konsesi tambang batubara yang jelas berdampak mencemari. Sungai Hitam tidak sehitam dulu. Amir lalu mengilustrasikan warna hitam sungai tersebut dalam batasan level 1 hingga 10. Dulu, hitamnya sungai ini level 8-9, tetapi kini level 5-6. Air sungai ini sekarang lebih terlihat kecoklatan.

Mulai maraknya permukiman juga berimbas terhadap bekantan. Belum ditetapkannya Sungai Hitam sebagai kawasan konservasi, rentan terancam alih fungsi lahan. Hamparan bakau dan nipah di tepian sungai ini adalah kebun warga, yang sewaktu-waktu dapat dijual.

Anggota Staf Administrasi Hubungan Masyarakat dan Protokol Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Rianto, mengatakan, Sungai Hitam semestinya ditetapkan sebagai kawasan konservasi.

Contoh bagus diberikan Kota Balikpapan, yang mengawali langkah menetapkan Mangrove Center Balikpapan sebagai kawasan konservasi pada 2010.

Terlambat menyadari, maka terlambatlah menyelamatkan Sungai Hitam. Tak hanya bekantan yang terancam, tetapi juga satwa lain seperti burung kuntul, blekok, hingga kutilang.

Sumber berita

Share Button

Ajukan Banding Terhadap Putusan PT. BMH

Gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT. Bumi Mekar Hijau (PT. BMH) yang ditolak Pengadilan Negeri (PN) Palembang pada persidangan 30 Desember 2015 membuat KLHK mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Palembang, Sumatera Selatan. Agar tidak menelan pil pahit kembali, KLHK pun menyiapkan strategi jitu.

Sebagai langkah menguatkan memori banding, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar mengumpulkan 23 ahli hukum mulai dari pengacara hingga aktivis lingkungan. “Saya mengundang kawan-kawan guna mendapatkan masukan sekaligus persiapan. Terutama eksplorasi data untuk meyakinkan hakim tinggi nanti bahwa persolan ini merugikan rakyat,” kata Siti di Gedung Manggala Wanabakti Jakarta, Jumat (08/1/2016).

Dalam menyusun memori banding, KLHK akan membentuk tim kecil dan Siti terlibat langsung. “Ada catatan yang datanya bisa saya eksplor. Saya sudah baca semua dan akan mengarahkan seluruh potensi data dengan baik dan tepat,” terangnya.

Menurut Siti, selain eksplorasi data, fokus perhatian juga ditujukan untuk menjawab argumentasi hakim. “Catatannya adalah membuat hakim mengerti. Setahu saya, PT. BMH itu tiap tahun terbakar. Mula-mula 500 hektare, lalu 2 ribu hektare, naik 6 ribu hektare, hingga 20 ribu hektare. Hal seperti ini harus digambarkan beserta foto citra satelit.”

KLHK juga akan melakukan kroscek setiap saksi untuk memastikan apakah betul atau tidak kesimpulan yang dibuat majelis hakim. Ini akan memberikan titik terang kepada hakim banding di pengadilan tinggi. “Untuk dukungan selanjutnya mungkin perlu dipertimbangkan multidoors. Saya bersama Dirjen Penegakan Hukum akan terus melakukan pengamatan,” jelas Siti.

Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Andiko Sutan Mancayo mengatakan, gugatan KLHK harusnya beriringan dengan pidana sanksi administrasi. Tak cukup perdata. “Kalau mau banding sederhana, ada pengacara. Tapi lebih dari itu, secara logika apakah kebakaran disengaja atau tidak sehingga menimbulkan kerugian.”

Menurut Andika, jika kebakaran diidentifikasi sebagai kelalaian, harusnya ada pembuktian kesalahan. Berdasarkan dokumen, keterangan saksi ahli tidak ada yang secara gamblang menyebutkan kebakaran itu disengaja atau tidak. “Ada dua hal. Pembuktian kesalahannya sendiri dan perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Ini di luar logika hukum lingkungan, kalau tidak lalai berarti disengaja.”

Poin lain yang harus ditegaskan menurutnya adalah kerugian yang harus dideskripsikan lebih rinci oleh KLHK, selain tindakan administratif terkait perizinan. “KLHK jangan terkunci satu gugatan. Selain perdata, pidana berikut unsur pelanggaran perizinan harus dilakukan,” ujar Andiko.

Direktur Indonesia Centre for Environmental Law (ICEL) Hendri Subagio mengatakan, berdasarkan kajiannya, hakim seperti tidak melihat fakta menyeluruh. Pertimbangan hakim juga tak melihat adanya kesalahan, baik kebakaran disengaja ataupun kelalaian. “Majelis hakim sudah mengakui adanya kebakaran, ini harus dikoneksikan dengan PP Perlindungan Hutan, terlepas terbakar atau dibakar.”

Hendri pun menyoroti fakta yang terungkap dalam persidangan terakhir. “Kebakaran terjadi 2014, sementara sidang 2015. Kondisinya jelas berbeda. Fakta-fakta ini harus dibeberkan dalam proses persidangan dan ditambahkan dalam memori banding.”

Antisipasi

Koordinator Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad mengatakan, untuk memori banding, tafsir lingkungan hidup secara fisik perlu dituangkan secara detil. “Hitungan teknis seperti berapa besar emisi yang terlepas harus dilengkapi. Sehingga, majelis hakim di pengadilan banding dapat memahami kompleksitas masalah yang ditimbulkan akibat kebakaran di areal perusahaan hutan tanaman industri (HTI) tersebut.”

Chalid mengatakan, selama ini ada dengungan pengadilan merupakan rumah aman bagi penjahat lingkungan. Karena itu, harus ada pendekatan mendasar yang cepat dan revolusi untuk perbaikan praktik peradilan.

“Pasal 49 UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jelas menegaskan, perusahaan bertanggung jawab. Tapi, terkait perkebunan atau hak guna usaha (HGU) tidak ada satu pun pasal yang menyatakan pemegang HGU bertanggung jawab bila terjadi kebakaran.”

Menurut Chalid, penting adanya aturan yang mengatakan baik pemegang izin maupun pemegang HGU bertanggung jawab mutlak terhadap kawasannya yang bebas dari kebakaran. “Manakala terjadi kebakaran, itulah kejahatan. Pemerintah dapat mencabut izin, menjatuhkan sanksi, dan sebagainya.”

Nur Hidayati dari Walhi menuturkan, kejahatan lingkungan hidup sudah menjadiextraordinary crime. Di sisi lain, dalam banyak gugatan biasanya bersifat post mortem. Setelah kejadian baru melakukan sesuatu. Padahal, menurutnya, dalam prinsip perlindungan lingkungan hidup, ada prinsip kehati-hatian.

“Ke depan, kasus kebakaran hutan semakin canggih. KLHK harus mendorong adanya peradilan khusus lingkungan hidup. Seperti halnya penganganan kasus tindak korupsi. Depan begitu, kita bisa melakukan upaya antisipatif.”

Nur Hidayati berharap, gugatan di tingkat banding nanti, ditangani hakim bersertifikasi lingkungan. “Karena, lingkungan hidup itu dimensinya berbeda dengan gugatan biasa,” tandasnya.

Sumber berita

Share Button