Usulan revisi PP 6 tahun 2007 soal tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan serta pemanfaatan hutan makin menguat karena dinilai sudah tak sesuai perkembangan keadaan.
Aturan ini dipandang harus segera menyesuaikan dengan beragam produk hukum seperti putusan MK-45, MK-35 ,UU Pemerintahan Daerah, UU Desa dan peraturan perundangan lain. Revisi aturan ini masih tertahan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, mengatakan, perlu political will pemerintah untuk menyelesaikan benang kusut pengurusan hutan yang berlangsung puluhan tahun. “Ini akibat tiga doktrin kehutanan yang mendominasi kebijakan kehutanan Indonesia yaitu timber primacy, the long term dan absolute standard. Ketiganya mengesampingkan unsur dan kepentingan masyarakat sekitar hutan,” katanya dalam diskusi di Jakarta, awal pekan lalu.
Usulan revisi PP 6 tahun 2007, katanya, ada inisiatif dari Litbang KPK terkait nota kesepahaman bersama 12 kementerian/lembaga. Sekarang, katanya, diganti gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam dengan 24 gubernur. “Semula proses revisi diharapkan selesai 2014, lalu mundur sampai sekarang.”
Di KLHK, katanya, ada dua proses terpisah. Pertama, akhir jabatan Menteri Zulkifli Hasan, dengan koordinator staf ahli bidang kelembagaan. Pembahasan revisi sampai draf pertama. Kedua, setelah Menteri Siti Nurbaya, ada inisiatif dari Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Hadi Daryanto tetapi hanya fokus perhutanan sosial. “Tidak menyeluruh. Dua draf sedang disatukan KLHK tapi belum mendapatkan input komprehensif dari masyarakat sipil.”
Saat kajian Litbang KPK 2013, kata Hariadi, terungkap biaya transaksi perizinan dan ketidakadilan alokasi sumber daya hutan, seperti 97% hutan untuk usaha besar. “Kalau mau memperbaiki kebijakan gak bisa cuma level permen, harus PP. Sebenarnya perlu perubahan UU tapi kan harus ada Prolegnas,” katanya.
Terkait efisiensi perizinan, katanya, PP ini menjabarkan perizinan sangat detil , dibagi per komoditi hingga menimbulkan biaya tinggi.
Hariadi mengatakan, isi revisi juga harus melonggarkan akses masyarakat adat maupun lokal melalui fasilitasi kuat. Selama ini, perizinan bagi masyarakat lokal/adat begitu berat.
“Revisi juga harus menyelesaikan keterlanjuran konflik antara masyarakat dengan pemegang izin. Selama ini solusi pragmatis. Ada konflik dan ketimpangan, pemegang izin harus memberikan 20% lahan ke masyarakat. Di lapangan belum tentu masyarakat perlu 20%. Masing-masing ada situasi tersendiri. Ini harus dibereskan PP ini.”
Selain itu, harus ditekankan dalam revisi PP soal karakteristik otonomi khusus terutama Aceh dan Papua. Dua provinsi itu punya UU sendiri.
“Yang di Papua, terhenti karena masyarakat adat ada dimana-mana. Deal jadi person to person yang tidak diwadahi aturan manapun. Itu harus diselesaikan aturan seperti apa? Dari 34 HPH di Papua, beroperasi 17. Itu posisi bagaimana? Sementara masyarakat belum mendapatkan sistem perizinan khas Papua.”
Sistem yang ada baru soal hutan kemasyarakatan maupun hutan desa yang hanya cocok di Sumatera dan Jawa. Sedang masyarakat di Papua berbeda. “Mereka masih berburu dan meramu. Tak bisa hanya memakai pendekatan scientific forestry, harus mendekatkan kearifan lokal.”
Menurut dia, wilayah dengan otonomi khusus, pengelolaan hutan harus dengan peraturan sendiri. “Di Aceh bisa menggunakan qanun atau Perdasus di Papua.”
Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Andiko Sutan Mancayo mengatakan, dalam revisi seharusnya bisa lebih sederhana hingga mudah dipahami.
“Poin-poin yang harus diperhatikan soal penyederhanaan izin dan bagaimana posisi masyarakat dipermudah. Harus memasukkan hutan adat karena ada putusan MK-35. Juga menghentikan ekonomi biaya tinggi.”
Dengan begitu, aturan ini bisa membawa perbaikan dan mereduksi konflik. “Hingga PP ini nanti bisa menjadi alat perbaikan tata kelola,” kata pengacara senior AsM Law Office ini.
Revisi PP ini, katanya, harus sejalan dengan pengakuan hutan adat dan mempermudah perhutanan sosial. “Masyarakat adat sekarang dikasih izin pemanfaatan hasil hutan non kayu. Harusnya bisa terintegrasi. Satu izin tapi bisa mengelola yang lain. Tidak per komoditi. Hutan adat harusnya berhak mengelola macam-macam. Terkecuali ya mungkin tambang,” katanya.
Dalam revisi juga perlu ada kepastian usaha dan akuntabilitas perizinan. Jadi, katanya, kalau ada masalah, ada prosedur penyelesaian konflik.
Andiko mengatakan, PP itu harus sinkron dengan UU Otonomi Daerah yang baru. Politik perizinan juga harus jelas. “Pemerintah harus mengawal dan mengawasi.”
Senada dengan Nia Ramdhaniaty, Direktur Eksekutif Rimbawan Muda Indonesia (RMI). Dia mengatakan, revisi PP menjadi penting karena kebijakan ini acuan tata kelola dan pemanfaatan hutan oleh semua pihak. “Jika tidak tertata baik dan tak saling terintegrasi, bisa menimbulkan dampak tidak diinginkan.”
Revisi penting, katanya, mengingat terjadi biaya transaksi perizinan kehutanan tinggi dan konflik kepentingan dalam pengawasan hutan antara pemerintah dan pemegang izin. Juga terdapat ketidakjelasan batasan maksimum penggunaan lahan oleh pemegang izin usaha dan ketidakjelasan pengaturan bentuk pemanfaatan oleh masyarakat adat/lokal di semua fungsi kawasan. Kondisi ini, berpotensi menimbulkan konflik sosial.
Belum lagi soal ketidaksingkronan aturan. Dia mencontohkan, UU Nomor 23 tahun 2014 meletakkan kewenangan kehutanan di provinsi, PP ini penatabatasan kawasan hutan dan perizinan pengusahaan hutan termasuk HKm dan hutan desa di kabupaten. “Ini berpotensi mengganjal penatabatasan kawasan hutan dan pengurusan perhutanan sosial karena dua peraturan ini kontradiktif,” katanya.
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Hadi Daryanto kala dikonfirmasi mengatakan, revisi PP ini seharusnya selesai sejak 2015 tetapi kementerian memprioritaskan revisi PP 60 terlebih dahulu. Dia menargetkan, revisi selesai 2016.