Ketimpangan Publikasi Ilmiah Perubahan Iklim

Sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam “Perubahan Lingkungan Global” menyatakan, jika terdapat ketimpangan publikasi ilmiah mengenai perubahan iklim secara geografis.

Para peneliti dari Denmark dan Brasil menganalisis lebih dari 15.000 publikasi ilmiah tentang perubahan iklim yang diterbitkan antara tahun 1999 dan 2010, dan menemukan bahwa negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, Australia dan Swedia, serta dua negara berkembang BRICS – China dan India – menghasilkan sebagian besar publikasi ilmiah tentang perubahan iklim tersebut.

Sebaliknya, banyak negara berkembang di bagian lebih panas dunia dengan efek perubahan iklim yang lebih tinggi, menghasilkan sangat sedikit pengetahuan ilmiah terkait topik ini.

“Kami menemukan bahwa publikasi perubahan iklim cenderung dilakukan oleh negara kaya, dan negara yang kurang rentan terhadap emisi karbon yang tinggi, dengan lembaga-lembaga kuat dan kebebasan pers yang tinggi,” tulis para penulis.

Studi ini juga menemukan bahwa penelitian perubahan iklim yang fokus pada negara berkembang dan negara yang rentan, didominasi oleh penulis dan co-penulis yang berbasis di negara-negara maju, dan sering kekurangan penulis dengan basis lokal.

Misalnya, publikasi perubahan iklim yang berfokus pada negara-negara seperti Republik Kongo dan Korea Utara tidak memiliki penulis atau co-penulis dengan basis lokal. Di banyak negara Afrika juga, kurang dari 20 persen dari publikasi tentang perubahan iklim ditulis oleh penulis lokal. Di sisi lain, lebih dari 80 persen dari publikasi perubahan iklim berfokus pada negara-negara maju seperti AS, telah ditulis oleh penulis lokal

“Tanpa pengetahuan lokal yang dihasilkan, itu lebih menantang untuk menyediakan dan mengintegrasikan saran kontekstual yang relevan, dan ini meninggalkan celah kritis dalam perdebatan kebijakan iklim,” kata Maya Pasgaard dari University of Copenhagen, mengatakan dalam sebuah pernyataan. “Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena kita berhadapan dengan negara-negara yang mungkin mengalami perubahan iklim parah dan sensitif terhadap dampak merugikan tersebut.”

Peningkatan kolaborasi adalah kuncinya, untuk mengurangi dampak perubahan iklim di seluruh dunia.

“Kolaborasi itu lintas batas, tidak hanya sangat relevan secara ilmiah, tetapi juga menguntungkan bagi penulis, sebagai pertukaran pengetahuan budaya, sekaligus menjadi bagian yang terintegrasi dari kerjasama” kata Pasgaard dalam pernyataannya.

Sumber berita

Share Button

Siapakah Pemenang dan Pecundang dari Perubahan Iklim?

Iklim berubah. Itu fakta alam. Tapi iklim Bumi saat ini berubah begitu dramatis, mengubah daratan dan lautan sehingga mempengaruhi semua bentuk kehidupan.

“Akan selalu ada minoritas yang berhasil berkembang dalam kondisi baru yang relatif mendadak,” kata Thomas Lovejoy, ahli konservasi biologi George Mason University yang juga tergabung dalam tim National Geographic.

“Tapi sebagian besar lainnya akan sangat terpukul, kalau tidak hancur,” tambahnya.

Peningkatan suhu yang disebabkan oleh gas rumah kaca hanyalah awal dari perjalanan ini. Berikutnya akan datang cuaca ekstrim (termasuk kekeringan yang meluas), pergeseran pembibitan dan migrasi musim, dan mengubah ketersediaan pangan, pola penyakit baru, percepatan pencairan es dan kenaikan permukaan laut. Setiap perubahan  akan menyebabkan efek yang berlanjut dan meluas.

Ini bukanlah hal-hal yang akan terjadi di masa depan. Dampak dari iklim yang berubah sudah tampak jelas saat ini.

“Tak ada yang bisa kembali,” kata James Watson, pemimpin Global Climate Change Program of the Wildlife Conservation Society.

“Semuanya telah berubah. Alam liar dengan iklim yang relatif stabil selama 10.000 tahun terakhir didorong dan diuji tak seperti sebelumnya,” tutur Watson.

Pengalaman, model dan apa yang kita ketahui dapat memberikan kita gambaran jangka pendek yang lebih solid tentang siapa ‘pemenang’ dan ‘pecundang’. Spesies apa yang beradaptasi dengan baik terhadap perubahan iklim yang relatif cepat? Jawabannya adalah mereka para generalis yang dapat mentolerir berbagai iklim. Mereka yang memiliki gen beragam dan kecepatan reproduksi. Mereka yang dapat melakukan perjalanan ke habitat baru yang cocok. Kompetitif, seringkali spesies penginvasi. Gulma. Mereka adalah para pemenang.

Siapa pecundangnya? Merekalah para spesialis dengan kebutuhan iklim yang sempit. Mereka yang telah bertarung untuk bertahan hidup. Populasi kecil dan terfragmentasi, atau mereka yang dikelilingi lingkungan yang tidak mendukung. Hewan yang bersaing dengan manusia. Kelompok yang keragaman genetiknya kurang. Spesies elevasi tinggi, penghuni pulau, dan hewan-hewan yang bergantung hidup pada karang, serta mereka yang membutuhkan es untuk bertahan hidup.

Sumber berita

Share Button

Beri Izin dan Buka Lahan Gambut Bakal Kena Sanksi

Pemerintah menghentikan pemberian izin di lahan gambut. Perintah langsung keluar dari Presiden Joko Widodo, setelah melihat kebakaran lahan gambut parah baru lalu. Bukan hanya izin baru, izin-izin yang sudah terlanjur diberikan tetapi belum dibuka juga tak boleh dikelola. Kala ada perusahaan atau pemerintah yang masih nekat membuka maupun memberikan izin, bakal kena sanksi. Instrumen kebijakan soal ini tengah disiapkan. Begitu diungkapkan Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, Rabu (11/11/15).

Dia mengatakan, instrumen sanksi bagi pelanggar, yang nekat memberikan izin di lahan gambut tengah disiapkan. “Kalau nekat (beri izin) pasti ada instrumen kontrolnya. Sedang kita bangun,” katanya.

Saat ini, kata Siti, buka masa buat bermain-main dengan perizinan terutama di lahan gambut karena bisa mencelakakan rakyat. Gambut sudah rusak parah. Dalam situasi ini, katanya, sudah tidak ada pilihan lain kecuali memperbaiki kondisi gambut dan menyelamatkan rakyat.

Pada 5 November 2015, Menteri LHK sudah menerbitkan surat edaran kepada perusahaan-perusahaan pemegang izin HPH, HTI, restorasi eksosistem maupun perkebunan soal larangan pembukaan di lahan gambut.

Adapun poin-poin surat Siti Nurbaya yang ditembuskan ke berbagai kementerian dan pemerintah daerah ini antara lain, menegaskan tak ada lagi pembukaan lahan baru di gambut, pemerintah akan menetapkan zona lindung dan budidaya di lahan gambut. Lalu, di lahan gambut yang sudah penanaman, dikelola dengan teknologi ekohidro berbasis satuan hidrologis.

Terkait hal itu, Siti meminta perusahaan merevisi rencana kerja usaha, dan rencana kerja tahunan sesuai ketentuan. Pada areal kerja, kata surat itu, perusahaan juga harus meningkatkan pengamanan guna mengurangi potensi kebakaran lahan dan hutan serta mengambil langkah-langkah pencegahan maupun penanggulangan.

Siti mengatakan, lahan-lahan gambut yang sudah terlanjur berizin dan tak boleh dikelola untuk urusan konservasi, akan ada aturan lanjutan. “Pasti akan diatur. Apakah dengan peraturan pemerintah atau Kepres. Kita lihat. Ini yang sedang kita persiapkan.”

Begitu juga gambut zona lindung yang sudah terlanjur berizin akan diatur lebih lanjut. Berbagai referensi tata kelola sedang dicari, salah satu lewat diskusi para pakar gambut. “Zona lindung di gambut yang menyimpan air, namanya kubah. Itu sama sekali tak boleh diapa-apain. Kalau sudah ada izin, akan diatur teknisnya.”

Tak hanya itu. Gambut zona budidaya, yang berarti bisa bermanfaat ekonomi juga akan dibahas seperti apa tata kelolanya. “Nanti kita dengar referensi ilmu pengetahuannya. Jadi, kebijakan-kebijakan itu kita susun dengan pengetahuan yang pas. Kita punya kearifan lokal dan standar universal alam kelola ekosistem. Kita kombinasi.”

Menurut Siti, sebenarnya penghentian izin di lahan gambut, sudah dimulai lewat kebijakan setop sementara izin hutan dan lahan sejak 2011. Kebijakan itu diperpanjang setiap dua tahun. “Cuma itu kan bentuknya moratorium. Sekarang, Presiden bilang tak boleh lagi karena pengalaman sulit dengan kebakaran lalu.”

Kini, sudah memasuki musim hujan. Siti bilang, masa ini kesempatan untuk mengambil langkah cepat buat tata kelola gambut, mulai dari pencegahan.

“Langkah pencegahan itu, pasti mulai dengan regulasi, sistem, sosialisasi, penegakan hukum sampai rencana kontijensi. Jadi nanti kalau ada yang coba-coba (langgar) ya liat aja dokumennya.”

Setelah penyiapan regulasi, sampai sosialisasi, diikuti pemulihan. Pemulihan ini, katanya, diawali dengan inventori data lapangan seperti apa. “Di lapangan harus tahu persis kondisi seperti apa. Pemda harus melihat. Kita kerjakan bersama-sama.” Setelah itu, rehabilitasi. “Apakah rehabilitasi dilakukan negara atau partner, apakah dunia usaha. Bagaimana caranya, itu harus diatur,” ucap Siti.

Kemudian, restorasi gambut. Untuk restorasi ini, katanya, paling tidak akan melihat dalam tiga tahun. “Ini akan dipertajam lagi dari diskusi-diskusi. Kira-kira (dalam tiga tahun) dua jutalah yang harus direstorasi.”

Pertemuan ahli gambut dunia

Pada 13-14 November 2015, Kementerian Lingkungan Hidup bersama UNDP dan Pemerintah Norwegia, akan mengadakan diskusi ahli soal tata kelola gambut buat mengindetifikasi pola solusi jangka panjang. Pertemuan ini, kata Siti, sehubungan dengan krisis kebakaran sangat serius di lahan gambut.

Dalam diskusi internasional yang akan dibuka Wakil Presiden Jusuf Kalla ini akan mendengarkan paparan ahli dari berbagai negara. “Bagaimana perspektif mereka tentang gambut dan gambut Indonesia. Dan rekomendasi teknis apa yang akan diberikan. Termasuk perspektif ekonomi dan hubungan internasional seperti apa yang dapat dimanfaatkan,” ucap Siti.

Para ahli tak hanya diskusi. Mereka juga akan ke lapangan, melihat langsung kerusakan gambut dan yang baru terbakar. “Rencana Sumatera Selatan. Akan fly over.” Setelah ke lapangan, diskusi dilanjutkan lagi untuk mendapatkan rekomendasi dari para ahli.

Diskusi, katanya, dibagi dalam lima sesi dengan 24 pembicara, 11 dari ahli-ahli asing dan yang lain dari Indonesia. Antara lain, dari UNDP, Cifor, Wetland International, Hokaido University, Malaysia, German, Deltares. Dari pergurunan tinggi dalam negeri, antara lain Universitas Gadjah Mada, Universitas Riau, Universitas Pangkaraya, Universitas Indonesia, IPB dan lain-lain. Organisasi masyarakat sipil seperti Walhi dan asosiasi juga akan berbicara. “Berharap, ada masukan teknis dari sini, baik sisi lansekap, land use management, sistem tata air. Sampai perspektif ekonomi, bagaimana yang sudah diusahakan. Sampai mana bisa diusahakan, dan kepentingan-kepentingan lingkungan.”

UNDP Resident Coordinator, Douglas Broderick mengatakan, PBB perlu memberikan bantuan dan dukungan teknis pada pemerintah Indonesia, dalam mengatasi masalah asap dan perubahan iklim. Untuk itulah, katanya, para ahli akan berkumpul dan berdiskusi dari berbagai negara, membahas tata kelola gambut.

“Agar bisa membantu sistem teknisnya, tata kelola gambut, dan contoh-contoh terbaik dari negara lain serta pengalaman-pengalaman global.”

Sumber berita

Share Button

Mitigasi Kebakaran Hutan, Pemerintah Bentuk Badan Khusus

Pemerintah akan membentuk badan khusus guna menanggulangi bencana kebakaran hutan apabila kembali terjadi di masa yang akan datang.

Wacana tersebut dilontarkan Kepala Staff Presiden, Teten Masduki usai menghadiri rapat koordinasi mengenai kebakaran hutan di Kantor Menteri Perekonomian Darmin Nasution.

“Kita sedang memepersiapkan satu badan untuk menangani ini (kebakaran hutan). Mudah-mudahan dalam waktu singkat akan selesai,” ujar Teten di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kamis (12/11).

Pada kesempatan yang sama, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya mengatakan badan khusus ini nantinya dibentuk dengan payung hukum Peraturan Presiden dimana ketuanya ditunjuk langsung oleh Presiden.

Siti menjelaskan badan khusus ini sendiri akan lebih spesifik dalam melakukan koordinasi ketika terjadi kebakaran hutan.

Seiring dengan upaya tersebut, pun pemerintah tengah membahas perubahan peraturan mengenai larangan pembukaan lahan gambut melalui cara dibakar dan penerapan standar prosedur bagi perusahaan kelapa sawit dalam menangani kebakaran hutan sebelum membuka lahannya.

“Misalnya ini, ada standar ada ketentuan suatu perusahaan seluas sekian harus punya alat-alat pemadam, atau alat-alat pencegahan kebakaran. Nah kalau dia tidak memenuhi standar itu dia kena disinsentif,” ujar Siti.
Siapkan Disinsetif

Siti mengungkapkan, menyusul adanya ketentuan pihaknya akan menyiapkan disinsentif semisal denda hingga pencabutan izin operasional. Ini mengingat penanganan bencana kebakaran hutan harus mengalami perbaikan dan peningkatan.
Dengan transformasi yang dilakukan, kata Siti menjamin kebakaran hutan akan turun di masa yang akan datang.
“Kalau lihat Riau kemarin, kita tata dengan baik itu apinya yang sekarang cuma 42persen loh. Jadi sebetulnya bisa dilakukan, adalah interaksi atau hubungan daerah dan pusatnya baik. Artinya kalau sekarang transformasinya berjalan, kebakaran hutan bisa nol tahun depan,” katanya.
Ia pun menegaskan proses penegakan hukum terhadap beberapa perusahaan yang terlibat pun masih terus berjalan.
“Masih jalan investigasinya. Berapa perusahaan yang terlibat, semua yang arealnya terbakar kan kita investigasi. Jadi sambil berjalan, pokoknya gak boleh berhenti,” katanya.
Share Button

300 jenis tanaman obat di Jakarta

Meski menjadi ibukota Indonesia dengan lahan terbuka dan ruang terbuka hijau (RTH) yang sangat minim, Jakarta ternyata memiliki potensi keanekaragaman hayati, terutama tanaman obat yang tinggi. Tercatat ada lebih dari 80 jenis tanaman obat yang ada di wilayah Jakarta Selatan saja.

“Hasil penelitian yang dilakukan, untuk wilayah Jakarta Selatan saja terdapat sekitar 80 jenis tanaman obat. Seluruh DKI Jakarta saya optimis bisa hingga 200-300 jenis tanaman obat. Tanaman obat sangat multifungsi, ada yang bisa menjadi tanaman hias, rempah-rempah untuk memasak sekaligus menyembuhkan berbagai penyakit,” kata pakar keanekaragaman hayati tanaman obat dari Universitas Nasional, Prof.Dr. Ernawati Sinaga, M.S, Apt.

Akan tetapi dengan tingkat pembangunan dan begitu banyaknya penduduk di Jakarta, maka mungkin sudah banyak tanaman obat yang hilang. “Oleh karena itu, kami tertarik untuk mengetahui apakah masih ada tanaman obat di Jakarta. Penelitian baru di wilayah Jakarta Selatan saja sudah ada lebih dari 80 tanaman obat, seperti yang ditemukan di tanam kota, bantaran kali, hutan kota dan tanaman peneduh di pinggir jalan,” kata Ernawati yang dihubungi Mongabay, Kamis kemarin (12/11/2015).

Ia mencontohkan kembang sepatu yang daunnya apabila dihancurkan dapat digunakan untuk meredakan demam. Bunga melati dan mawar, lanjutnya, dapat digunakan sebagai kosmetik serta rempah-rempah seperti jahe, temulawak, dan lainnya selain dapat digunakan untuk memasak juga dapat berfungsi sebagai obat untuk batuk atau meningkatkan nafsu makan anak.

Oleh karena itu, dia mengatakan pihaknya akan menyelesaikan penelitian menginventarisasi tanaman obat di seluruh wilayah Jakarta, termasuk Kepulauan Seribu. “Setelah itu, kami akan meneliti ke kota lain. Kalau keanekaragaman tanaman obat banyak di satu tempat, artinya lingkungan itu masih cocok untuk tumbuhnya tanaman obat,” ucapnya.

Dia melihat pemerintah perlu kembali menggalakkan gerakan tanaman obat keluarga (toga) dengan mengajak masyarakat untuk gemar menanam di lingkungannya. Gerakan ini di kota Jakarta juga sebagai penghijauan.

Setelah selesai melakukan inventarisasi tanaman obat di Jakarta, mereka akan membuat laporan dan merekomendasikan kepada Pemprov DKI Jakarta, termasuk bagaimana desain tanaman obat di Jakarta seperti penanaman empon-empon di bantaran kali.

Menurutnya, pihak Pemprov DKI perlu membuat kelompok kecil untuk membuat masyarakat gemar menanam dan peduli lingkungan. Perguruan tinggi sesuai dengan tri dharma perguruan tinggi juga bisa dilibatkan untuk membuat panduannya.

“Kepedulian terhadap keanekaragaman hayati di perkotaan perlu ditingkatkan. Meski ruang terbuka hijau di perkotaan terbatas, masyarakat bisa berkontribusi dengan gemar menanam meskipun bermedia non-tanah atau pot,” katanya.

Ernawati mendorong masyarakat untuk dapat memanfaatkan lahan rumah untuk menjaga keanekaragaman hayati tanaman obat. ‘’Keanekaragaman hayati apabila dijaga dengan benar, dapat menjadi salah satu solusi untuk penyakit-penyakit yang ada di perkotaan dan membangun keharmonisan antara manusia dan alam. Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat, pemerintah harus membangun komunitas-komunitas kecil untuk seperti yang dilakukan di Jepang,’’ ungkapnya.

Dalam seminar tersebut, Deputi Gubernur DKI Jakarta, Sutanto Soehodo mengatakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah telah berwawasan lingkungan. Meski demikian, ia mengaku bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada saat ini memang belum ideal, karena baru mencapai 12-13 % dari angka ideal 30 % dari lahan yang ada. Untuk itu, saat ini pemerintah juga tengah giat untuk membeli lahan untuk dijadikan green space.

Sumber berita

Share Button

Restorasi 2-3 Juta Hektar Lahan Gambut Dalam Lima Tahun

Pemerintah mengakui terjadi kesalahan tata kelola pada masa lalu membuat alam rusak hingga terjadi kebakaran hutan dan lahan berulang, termasuk tahun ini yang berdampak pada puluhan juta orang. Perbaikan tata kelola dilakukan terutama di lahan gambut. Pemerintah pun berencana merestorasi lahan gambut, seluas dua sampai tiga juta hektar dalam lima tahun ini.

“Jadi lima tahun ke depan, kita akan kembalikan sebagian besar hutan gambut yang rusak jadi lebih baik. Kita tak jamin kebakaran hutan habis tapi berkurang,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla, dalam diskusi ahli internasional soal tata kelola lahan gambut pasca kebakaran yang diadakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, UNDP dan Pemerintah Norwegia, di Jakarta, Jumat (13/11/15).

Menangani restorasi gambut ini, katanya, pemerintah akan membuat badan khusus untuk menyelesaikan tugas selama lima tahun. Indonesia memiliki laham gambut sekitar 30 juta hektar dan yang rusak harus direstorasi. Dalam lima tahun itu, ucap JK, pemerintah menargetkan khusus gambut sekitar dua atau tiga juta hektar harus direstorasi.

Untuk itu, perlu diadakan pertemuan ahli ini guna mendapatkan pandangan, pengetahuan, sistem dan praktik-praktik serta pengalaman terbaik dari para ahli agar tak salah langkah dan bermanfaat bagi semua. Dia mencontoh, rehabilitasi Aceh dari tsunami yang selesai dalam tiga tahun. “Kondisi jadi lebih baik dan kerangka cepat serta kerja sama semua pihak.”

Pertemuan ini, katanya, untuk mencari solusi dan metodologi terbaik berdasarkan pengalaman di berbagai negara yang ada lahan gambut. Dari sini, diharapkan ada hasil kerangka (teknis) kerja bukan hanya bahasan di atas kertas.

Untuk pelaksanaan, pemerintah tentu akan mengalokasikan anggaran tetapi juga perlu kerja sama dalam mendanai program ini.

“Pemerintah akan beri anggaran sesuai, ada dana REDD+, World Bank, COP. Harap terapkan bersama-sama. Kita akan minta korporasi bersama rehabilitasi lahan-lahan masing-masing agar tanggung jawab lingkungan jadi tanggung jawab bersama,” katanya.

Kesalahan tata kelola

Wapres mengatakan, selama ini sudah terjadi banyak kesalahan dalam tata kelola hutan. Setidaknya, kata JK, ada tiga kesalahan, pertama, pada tahun 1970-an, izin-izin penebangan hutan diberikan pemerintah ke berbagai perusahaan di dunia. “Hutan-hutan dinikmati banyak negara di dunia. Kursi-kursi di Jepang, Korea, Amerika, dan dunia sebagian dari hutan Indonesia. Karena berlebihan, hutan Indonesia gundul, timbullah bencana seperti ini.”

Kedua, keliru dalam membuat perencanaan sejuta hektar sawah hingga timbulkan masalah. Ketiga, banyak terjadi perkebunan salah memanfaatkan gambut dan hutan. Atas kesalahan dan kekeliruan ini, kata JK,  harus ada restorasi yang dilakukan bersama-sama karena yang memanfaatkan juga bersama-sama.

“Terima kasih kepada UN dan negara-negara sahabat yang sejak lama ingin berpartisipasi. Seluruh NGO (organisasi masyarakat sipil) yang selalu memperingatkan, kita berterima kasih atas segala perhatian dan teguran yang kadang tak diperhatikan dan bikin dampak serius. Jadi bagaimana langkah kita (ke depan) setelah belajar masalah ini.”

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berharap, sebelum COP 21 di Paris, badan restorasi gambut sudah terbentuk. “Bisa di bawah Presiden, bisa juga di bawah koordinasi kementerian koordinator. Belum tahu.” Namun, katanya, pembentukan badan ini diatur dalam peraturan Presiden.

Restorasi, katanya, memerlukan anggaran besar. “Kalau pekerjaan fisik lapangan, misal kontruksi, software system dan lain-lain, drainase, blok kanal, revegetasi, itu yang dikatakan Wapres ada dukungan internasional.”

Beberapa negara, katanya, juga sudah menunjukkan keinginan membantu, salah satu Amerika Serikat yang berkomitmen mengalokasikan US$2,9 juta. “Tugas kami, kementerian menindaklanjuti dengan rencana yang baik,” katanya.

Untuk pencegahan kebakaran ke depan, pemerintah juga menyiapkan legal aspek berupa regulasi dan sistem. Terlebih, katanya, dari prediksi pada Februari 2016, minggu ketiga akan memasuki musim kering kembali dan berarti akan muncul lagi titik api. “Rekomendasi diskusi ini akan jadi masukan penting. Akan ada zonasi, akan tingkatkan early warning system, yang belum sinergi akan ditingkatkan, juga pemahaman daerah dan masyarakat,” kata Siti.

Tak terintegrasi

Luhut B Pandjaitan, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan juga bicara. Menurut dia, terjadi masalah kebakaran hutan dan lahan selama puluhan tahun karena penanganan tak terintegrasi.

Dengan pemberikan izin penguasaan lahan gambut besar pada tahun-tahun lalu, menjadi salah satu masalah. Bertahun-tahun, katanya, tak ada tindakan jelas dan tegas kepada pemilik perkebunan, maupun HTI. Belum lagi ada aturan rakyat boleh membakar. “Dikombinasi dengan El-Nino hingga timbulkan masalah besar. Penanganan sulit kalau tak terintegrasi.”

Saat ini, katanya, pemerintah berusaha bekerja dengan terintegrasi termasuk bekerja sama dengan perguruan-perguruan tinggi, seperti Universitas Gadjah Mada, dan universitas di daerah kebakaran seperti Palangkaraya, Riau. Salah satu kerjasama untuk memetakan lahan-lahan gambut yang harus dilindungi, seperti di kubah. “Berangkat dari itu, kita akan bisa meminimalkan dampak kebakaran. Kalau harap gakkebakaran tahun depan, gak mungkin,” katanya.

Endah Murningtyas, Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas juga menyatakan, di lapangan, Indonesia belum memiliki instrumen-instrumen yang mencukupi menyangkut rencana maupun pelaksanaan cepat pemadaman, pencegahan dan restorasi. “Yang penting di tingkat tapak. Karena kalau dicegah di tingkat tapak, tak akan meluas,” katanya.

Tak hanya itu. Juga ada soal kemampuan sumber daya manusia dan sarana maupun prasarana. “Seperti apa kapasitas yang harus ada di lapangan, di pemerintah, yang lakukan koordinasi dan komando hingga bisa sampaikan peringatan dini sebelum kebakaran meluas.”

Duta Besar Norwegia, Stig Traavik menilai, terlihat jelas komitmen Presiden Indonesia, untuk memperbaiki kondisi ini. Salah satu, Presiden memerintahkan menghentikan pemberian izin di lahan gambut. Pertemuan ini, katanya, guna menindaklanjuti komitmen itu.

Norwegia, akan terus mendukung Indonesia dalam memperbaiki tata kelola hutan, seperti yang telah dilakukan sejak beberapa tahun belakangan ini. “Kami menanti rencana yang akan dibuat, kami siap dukung selalu,” katanya.

Dia juga mengingatkan, jangan sampai upaya perlindungan gambut dilakukan tetapi di sisi lain tebang-tebang hutan terus berjalan.

Kebakaran hutan dan gambut, kata Traavik, membuat puluhan jutaan orang terdampak dan menimbulkan kerugian besar.

Dia menyadari, menyelesaikan masalah ini tak mudah, banyak tantangan dengan agenda yang begitu komplek. “Penting, perlu pemimpin yang kuat untuk tindak lanjut ini,” katanya.

Traavik juga menekankan, pentingnya transparansi dan kerja sama semua pihak dari pemerintah, organisasi masyarakat sipil, swasta dan masyarakat. “Banyak negara juga akan ikut mendukung memperbaiki keadaan ini, termasuk Norwegia.”

Sumber berita

Share Button