Ekowisata, Strategi Andalan Konservasi Rafflesia dan Amorphophallus

Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya – LIPI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemda Provinsi Bengkulu, dan Dewan Riset Daerah Bengkulu telah menyusun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Rafflesia arnoldii danAmorphophallus titanum 2015 – 2025. Pendeklarasiannya dilakukan pada International Symposium on Indonesian Giant Flowers – Rafflesia and Amorphophallus, 14-16 September 2015 di Bengkulu.

Dalam dokumen SRAK disebutkan, pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dengan pola kemitraan multipihak digunakan sebagai strategi konservasi. Langkah ini dibangun dengan memperhatikan kondisi habitat, populasi, ancaman kepunahan, dan hasil analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats).

Rafflesia arnoldii misalnya. Kondisi habitatnya saat ini mengalami penurunan kualitas karena habitatnya yang terdesak. Populasinya saat ini rendah dikarenakan lingkungan spesifik untuknya tumbuh dan berkembang biak sudah terganggu. Faktor lainnya, rusaknya pohon inang, gangguan jamur, dan cuaca terlalu basah merupakan ancaman langsung yang akan merusak bunga yang mengakibatkan hilangnya kesempatan regenerasi.

Untuk Amorphophallus titanum (suweg raksasa), kondisi habitatnya juga mengalami penurunan akibat aktivitas manusia seperti melakukan alih fungsi lahan. Sedangkan ancaman kepunahannya adalah kebakaran hutan, penggunaan herbisida di kebun masyarakat, penjualan umbi ilegal ke luar negeri, dan perburuan burung rangkong yang merupakan satwa pendistribusi biji A titanum.

Peneliti Rafflesia dan Amorphophallus dari Universitas Bengkulu Agus Susatya menuturkan, strategi pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dengan pola kemitraan multipihak harus dilakukan dengan pemahaman bahwa masyarakat merupakan bagian dari solusi. “Intinya, pemberdayaan masyarakat dengan ekowisata. Dalam pelaksanaannya, harus melibatkan pemerintah, perguruan tinggi, LSM, dan sektor swasta. Tanpa dukungan dan keterlibatan berbagai pihak, upaya konservasi ini akan sulit dilakukan,” ujar Agus, beberapa waktu lalu.

Sofi Mursidawati, Ketua Forum Komunikasi Riset dan Pengembangan Rafflesia danAmorphophallus, menuturkan Indonesia bisa belajar dari Malaysia dan Filipina yang lebih dahulu menjadikan ekowisata Rafflesia sebagai wisata unggulan. UntukAmorphophallus, Indonesia bisa melihat ke sejumlah negara di Eropa seperti Jerman, Belanda dan Inggris yang mampu menarik wisatawan melalui pelestarian bunga ini.

“Belum lama ini Amorphophallus titanum asal Sumatera di Kebun Raya Inggris berkembang. Informasi yang saya peroleh, sekitar 30 – 40 ribu orang datang untuk melihatnya. Artinya, upaya konservasi Rafflesia arnoldii dan Amorphophallus titanum yang merupakan puspa endemik Sumatera (Indonesia) dengan skema ekowisata bermanfaat secara ekonomi bagi masyarakat, pemerintah daerah, dan negara,” kata Sofi yang merupakan peneliti LIPI.

Pertama di Indonesia

Sofi menambahkan, Dokumen SRAK ini telah ditandatangani Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Dengan demikian, SRAK merupakan panduan resmi bagi pemerintah dan berbagai pihak untuk melindungi dan melestarikan bunga kebanggaan Indonesia ini.

“Khusus untuk flora, SRAK Rafflesia arnoldii dan Amorphophallus titanum merupakan  dokumen resmi pertama di Indonesia untuk konservasi flora. Selama ini, perhatian pemerintah dan NGO lebih terfokus pada konservasi fauna. Coba lihat, kalau ada gajah, harimau atau komodo mati, pasti pada ribut. Berbeda bila rafflesia atau amorphophallus yang mati, sepi-sepi saja.”

Bersinergi

Terpisah, Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Wiratno mengatakan, pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dengan pola kemitraan multipihak ini bisa disenergikan dengan program Perhutanan Sosial. Apalagi, sebagian kawasan hutan di Sumatera yang menjadi wilayah program Perhutanan Sosial merupakan habitat Rafflesia arnoldii dan Amorphophallus titanum, khususnya Bengkulu.

“Saya kira, gagasan mensinergikan kegiatan ini perlu dikonkritkan. Saya berharap, nantinya bisa didiskusikan lebih jauh gagasan ini Forum Komunikasi Riset yang dibentuk untuk mengawal pelaksanaan SRAK ini,” ujar Wiratno di sela-sela Konsultasi Publik Peta Arahan Areal Kelola Kawasan Perhutanan Sosial di Provinsi Riau, Jambi dan Bengkulu di Kota Bengkulu, belum lama ini.

Sumber berita

Share Button

KLH Ajak Warga Kembangkan Wilayah Pesisir

Direktur Kemitraan Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Widodo Sambodo mengajak komunitas masyarakat Balikpapan kembangkan wilayah pesisir menjadi wisata, Jumat (13/11/105).

Menurutnya kawasan pesisir perlu dikembangkan menjadi kawasan ekowisata, sehingga bisa berkontribusi bagi masyarakat sekitar dan Balikpapan sendiri.

Demi mewujudkan itu, pihaknya bekerjasama dengan Mangrove Center Graha Indah, Balikpapan mengadakan bimbingan teknis (bimtek) kepada komunitas masyarakat agar tertarik mengembangkan kawasan pesisir.

Bimtek yang bertajuk peningkatan peran masyarakat, penguatan jejaring, dan Kemitraan untuk Penyelamatan Kawasan Pesisir Pantai dan Pulau Kecil itu berlangsung tanggal 12-13 November di Hotel Platinum dan Mangrove Center Graha Indah.

Ketua pelaksana kegiatan, Agus Bei menjelaskan kegiatan tersebut sebenarnya menyasar seluruh komunitas pesisir yang ada di bumi Manuntung dengan tujuan menanamkan ketertarikan dan niat melestarikan kawasan pesisir.

“Konsep ini sebenarnya ingin menguatkan masyarakat agar bisa menerima akses manfaat dalam pelestarian hutan dan kawasan pesisir. Melihat potensi itu bisa tergerak untuk memelihara. Kalau mereka tidak merasakan manfaat, maka mereka tidak bergerak,” ucapnya kepada Tribun.

Dalam kegiatan tersebut, peserta dibekali pengetahuan bagaimana meningkatkan ekonomi masyarakat dengan cara mengelola ekowisata daerah pesisir. Ia mengungkapkan kegitan tersebut sebagai terobosan baru bersama Direktorat Kemitraan yang nantinya akan berkelanjutan.

“Karena ada proses membuat rencana strategis. Habis ini, sudah sampai mana progres mereka dalam mengelola kawasan pesisir. Misalnya bagaimana mereka mempercantik mangrove di pesisir? Nah itu akan kita tindaklanjuti,” ungkapnya.

Pelatihan yang diberikan antara lain memberikan teori dan pengalaman kepada peserta tentang pemeliharaan mangrove di pesisir agar bisa menghasilkan ekonomi wisata. Sekitar 80 peserta tetap, dan 100 lebih beserta undangan mengikuti kegiatan tersebut.

Sumber Berita

Share Button

Selamatkan Enggano!

Save Enggano“. Semangat itu mengemuka dalam ‘Simposium Enggano: Alam dan Manusianya” yang digelar di Bengkulu, Senin (16/11/2015).

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ary P Keim, mencetuskan semangat itu untuk mengingatkan bahwa Enggano yang luasnya hanya sekitar 4.000 kilometer persegi menghadapi ancaman besar.

Ancaman itu nyata. Ary mencontohkan kebakaran lahan masyarakat yang terjadi saat ia dan timnya kembali ke pulau yang tak pernah bersatu dengan Sumatera itu Oktober lalu.

“Ratusan hektar kebun masyarakat terbakar, terutama di Meok dan Banjarsari,” ungkap Ary. Kebakaran itu menurutnya punya faktor kesengajaan. Selain melanda kebun masyarakat, kebakaran juga terjadi di wilayah dataran rendah Enggano.

Kebakaran mengancam spesies-spesies endemik. LIPI mengungkap bahwa setidaknya terdapat 25 jenis flora dan fauna endemik di Enggano.

Ancaman juga datang dari praktik pembalakan liar yang dilakukan pada jenis kayu merbau (Instia bijuga), yang menurut riset memang sangat berkualitas.

Amir Hamidy, peneliti LIPI lain yang terlibat ekspedisi Enggano, mengkhawatirkan pembalakan akan makin marak seiring pengembangan infrastruktur di Enggano.

Di dataran rendah, ancaman datang dari praktik penambangan pasir. Upaya untuk memantau praktik penambangan pasir diperlukan supaya tak merusak ekosistem.

Penambangan pasir sempat berlangsung. Gubernur Bengkulu, Junaidi Hamsyah, mengungkapkan, pihaknya langsung menutup penambangan itu.

Ary menuturkan, ekosistem dataran rendah di Enggano memiliki mangrove yang masih terjaga baik. Pekerjaan rumah pemerintah pusat dan daerah adalah menjaganya.

“Tulang punggung Enggano itu ada di mangrove. Mati hidupnya Enggano ada di mangrove,” ujar Ary. Enggano yang kecil sulit terlindungi dari gerusan air laut bila ekosistem mangrove tak terjaga.

Pelestarian Bermanfaat

Menjaga Enggano tak berarti membuat pulau itu terus menerus tertinggal secara ekonomi. Alam yang lestari justru berpotensi mendatangkan uang.

Ary menuturkan, Enggano punya ekosistem unik dengan pemandangan indah, seperti laguna payau Blak Bau di Desa Meok. Itu bisa dikelola menjadi destinasi ekowisata yang menarik.

Mangrove yang sehat di Enggano menjadi tempat memijah dan hidup ikan karang, kepiting, dan udang galah. Pantai pasir putihnya juga menarik.

Ary menambahkan, keanekaragaman hayati Enggano pun berpotensi untuk dimanfaatkan. Pisang kepok Enggano dan jengkol yang kini telah menjadi produk utama bisa terus dikembangkan.

Di samping itu, Enggano perlu melirik melinjonya. Menurut Ary, melinjo (Gnetum gnemon) Enggano khas karena ukurannya yang besar.

“Satu keping emping bisa dibuat hanya dari satu buah,” katanya. Enggano bisa menjadi pusat produksi melinjo dan emping di Indonesia.

Enggano juga bisa mengembangkan budidaya kepiting, udang galah, pertanian rumput laut, dan perikanan terumbu karang dengan jalan terapung. “Enggano bisa menjadi pusat bisnis kelautan Bengkulu,” kata Ary.

LIPI melakukan ekspedisi penelitian ke Enggano pada 16 April – 5 Mei lalu. Ekspedisi mengungkap setidaknya 16 kandidat jenis baru, 25 jenis endemik, dan 7 catatan baru.

Sumber berita

Share Button

Asap dan Kejahatan Korporasi

Tragedi asap dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tahun ini telah jadi perhatian masyarakat yang sangat luas, baik di dalam maupun di luar negeri.

Publik makin paham akar masalah kabut asap yang setiap tahun menyambangi beberapa provinsi di Indonesia, khususnya Sumatera dan Kalimantan, yakni dari karut-marutnya pengelolaan sumber daya alam dengan pemberian izin begitu gencar kepada korporasi, dalam skala sangat besar. Termasuk titik api yang bersumber dari konsesi korporasi telah menjadi pengetahuan baru bagi publik.

Penyelenggara negara, dalam hal ini Presiden, pun mengakui ada kejahatan korporasi dalam kebakaran hutan dan lahan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, meskipun masih berupa inisial, juga telah mengumumkan korporasi yang teridentifikasi harus bertanggung jawab karena ada titik api di wilayah konsesinya atau melakukan pembakaran.

Dalam perkembangannya, konsolidasi kekuatan modal bergerak untuk memengaruhi wacana publik. Pelan-pelan, isu kejahatan korporasi digeser.

Pelaku pembakaran hutan lahan kembali diarahkan dan menyasar masyarakat lokal, khususnya masyarakat adat.

Titik konsesi juga diarahkan berada di perkebunan masyarakat. Padahal, bertahun-tahun titik api ditemukan di konsesi perkebunan monokultur skala besar, terutama di lahan gambut.

Dalam periode Januari-September 2015 terdapat 16.334 titik api (Lapan) atau 24.086 titik api (NASA FIRM) pada lima provinsi: Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau.

Analisis data dan fakta kebakaran hutan dan lahan di lima provinsi itu sampai di bulan September 2015, Walhi menemukan bahwa titik api berada di dalam konsesi perusahaan: Kalimantan Tengah (5.672), Kalimantan Barat (2.495), Riau (1.005), Sumatera Selatan (4.416), dan Jambi (2.842).

Tentu kita tak menutup mata bahwa ada lahan masyarakat yang terbakar. Namun, fakta menunjukkan, sebagian besar berada di wilayah konsesi perusahaan, bahkan perusahaan dari grup besar.

Fakta lain, masyarakat lokal tiap tahun sudah banyak yang menjadi tersangka dan dihukum.

Di Riau, misalnya, ada 40 orang yang dipidana. Pertanyaannya, jika sudah banyak anggota masyarakat yang ditangkap, mengapa kebakaran hutan dan lahan terus terjadi?

Dari sini terlihat bahwa penegakan hukum selama ini tak mampu menjangkau pelaku utama.

Pasal 69 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), khususnya dalam penjelasannya, dijadikan “kambing hitam” penyebab kebakaran hutan dan lahan, dan diwacanakan untuk dikaji ulang.

Tulisan ini tidak akan mengupas substansi dari Pasal 69, khususnya penjelasan pada Ayat 2, yang berbunyi “kearifan lokal yang dimaksud adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal dua hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.”

Tulisan ini untuk melihat latar belakang dari dinamika wacana yang berkembang dan kemudian upaya penggiringan wacana publik.

Pasal 69 ini “dikhawatirkan” karena dianggap menjadi basis legal bagi masyarakat untuk membakar hutan dan lahan dengan maksimal 2 hektar.

Penulis berpandangan, tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam pasal ini karena dalam penjelasannya tegas “memagar” dengan ketentuan yang ketat, yakni berbasis pada kearifan lokal dan yang ditanam adalah varietas lokal.

Satu pasal, dalam hal ini penjelasannya, dijadikan sebagai justifikasi bahwa penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah masyarakat adat dan atau masyarakat lokal.

Tentu saja patut dipertanyakan karena sesungguhnya pasal lain dalam UU ini yang menjadi peluang bagi penyelenggara negara untuk menggugat kejahatan korporasi justru tidak optimal diimplementasikan.

Dari sini kita dapat menduga ada skenario pengalihan isu dari kejahatan korporasi menjadi kejahatan individu dan itu pun masyarakat atau masyarakat lokal.

Tujuannya: melindungi korporasi sebagai pelaku utama, juga penghilangan jejak korporasi dari kejahatan yang dilakukan.

Pada kasus kejahatan lingkungan hidup, skenario pengalihan isu atau pengalihan tanggung jawab dilakukan secara sistematis.

Bagaimana memengaruhi opini publik dan berujung menggiring tanggung jawabnya: mengalihkan tanggung jawab hukum kepada masyarakat adat atau masyarakat lokal.

Dalam ekologi politik, kekuasaan, pengetahuan, dan wacana dilihat sebagai sebuah keterkaitan yang dapat memengaruhi situasi dan kondisi lingkungan hidup, termasuk kebijakan.

Kekuasaan tentu bukan hanya dilihat secara politik, juga kekuasaan secara ekonomi.

Dalam kasus kebakaran hutan dan lahan ini tentulah korporasi skala besar, yang bahkan mampu mengontrol kekuasaan politik.

Negara, dalam hal ini penyelenggara negara, mestinya konsisten membidik kejahatan korporasi dan fokus pada upaya penegakan hukum dengan menggunakan instrumen yang tersedia melimpah dalam UU No 32/2009 ketimbang mengotak-atik penjelasan Pasal 69 Ayat 2. Karena itu, merawat ingatan bagi publik menjadi penting untuk terus melawan kejahatan korporasi.

Sumber berita

Share Button

Kejaksaan Agung Siap Proses 120 Kasus Kebakaran Hutan

Kejaksaan Agung telah menerima 120 Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) perkara kebakaran hutan dan lahan dari institusi kepolisian di seluruh Indonesia hingga pertengahan November ini. Dari 120 SPDP, 4 di antaranya diberikan pada Kejagung oleh Markas Besar Polri.

“SPDP yang dterima kejaksaan sejauh ini ada 120. Itu menyebar dari kepolisian di daerah-daerah terjadinya kebakaran, seperti dari Sumatra Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. SPDP dari Mabes Polri ada 4 yang diserahkan,” ujar Jaksa Agung Muhammad Prasetyo di Kejagung, Jakarta, Jumat (13/11).

 

Dalam mengusut perkara karhutla, lembaga Adhyaksa diketahui harus menunggu rampungnya penyidikan yang dilakukan aparat kepolisian terlebih dahulu. Setelah penyidikan rampung, Kejaksaan dapat memainkan perannya dalam membuat tuntutan terhadap para tersangka pembakar hutan dan lahan.

Untuk menggugat tersangka pembakar hutan dan lahan nantinya, terbuka kemungkinan Kejaksaan akan ikut menuntut para pihak yang bersalah dengan hukum perdata. Kemungkinan itu muncul setelah Prasetyo telah bertemu dengan pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beberapa saat lalu.

 

“Sudah ada pertemuan antara Kejagung dengan pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kami sudah sepakat nantinya ketika ditangani kasus pidananya akan diikuti dengan gugatan perdata kalau ada kerugian,” kata Prasetyo.

Tuntutan perdata dilayangkan jika ada dampak tidak langsung dari sebuah tindak kejahatan. Dalam kasus kebakaran hutan, jika masyarakat merasa terganggu kesehatan dan aktivitas sehari-harinya, maka gugatan perdata dapat dilayangkan kepada tersangka yang membakar hutan terkait.

Sementara itu, tuntutan pidana dilayangkan jika ada tindak kejahatan yang langsung berdampak pada keadaan seseorang, lembaga, atau alam. Jika sebuah perusahaan terbukti membakar hutan dan tidak sesuai caranya dengan peraturan yang berlaku, maka ia dapat dituntut secara pidana oleh penegak hukum.

Sumber berita

Share Button

Seminar Balitek KSDA: Pengelolaan Habitat dan Ekosistem Satwaliar

“Pengelolaan satwaliar tidak boleh hanya berfokus kepada jenis satwaliar tertentu, tapi juga harus mencakup pengelolaan habitat satwa dan ekosistemnya,” kata Ahmad Gadang Pamungkas, S.Hut, M.Si, Kepala Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (Balitek KSDA) dalam laporannya mengawali Seminar Hasil-hasil Penelitian “Pengelolaan Satwaliar sebagai Upaya Pelestarian Sumber Daya Alam’’. Seminar yang diselenggarakan di Mirror ballroom Hotel Gran Senyiur Balikpapan, Kamis (5/11/15) itu dihadiri oleh sekitar 100 peserta baik dari peneliti, akademisi, pengambil kebijakan, pihak swasta dan LSM di Kalimantan.

Menurut Dr. Dwi Sudarto, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, dalam sambutannya menyatakan bahwa berbagai upaya pengelolaan dan pelestarian khususnya satwaliar secara arif dan bijaksana sangat diperlukan. Dengan dukungan berbagai penelitian yang telah dilakukan dan menggunakan hasil riset secara holistik, maka diharapkan pengelolaan satwaliar beserta habitat dan ekosistemnya dapat dilaksanakan dengan lebih baik. “Peristiwa kebakaran hutan dan lahan di berbagai wilayah di Indonesia mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi kita, baik secara ekonomi, sosial dan hilangnya berbagai keanekaragaman hayati yang ada”, lanjut Dwi.

Sesi pertama seminar diawali dengan pemaparan narasumber utama, yaitu Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, Guru Besar Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor dan Dr. Ir. Chandradewana Boer, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Presentasi dan diskusi dipandu oleh Prof. Ris. Dr. Ir. M. Bismark, membahas topik Status Keanekaragaman dan Pemanfaatan Satwaliar dan Strategi Pengelolaan dan Potensi Pemanfaatan Satwaliar di Kalimantan.

Dalam penyampaiannya, Prof. Alikodra menyatakan bahwa strategi konservasi keanekaragaman hayati, khususnya satwaliar perlu ditingkatkan dan diimplementasikan secara optimal. Kegiatan konservasi tidak hanya perlindungan dan pelestarian saja, namun, pemanfaatan secara bijak perlu ditingkatkan. “Tiga skenario pemanfaatan dalam mendukung manajemen konservasi adalah ekowisata, bioprospecting, dan perdagangan karbon”, ungkapnya.

Di sisi lain Dr. Chandra lebih menekankan bahwa pola konservasi keanekaragaman satwaliar perlu didukung dengan bantuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan seperti teknologi konservasi eksitu dengan penangkaran, konservasi insitu melalui pembinaan habitat dan populasi, teknologi rekayasa genetika, teknologi kultur jaringan, teknologi penangkaran, dan teknologi pengelolaan kawasan.

Sesi berikutnya Dr. Yaya Rayadin menyampaikan topik konservasi orangutan multi-fungsi landskap di Kalimantan Timur.  Sebaran orangutan di luar kawasan konservasi diantaranya berada di areal perkebunan kelapa sawit, pertambangan batubara, hutan tanaman industri dan permukiman. “Upaya pelestarian orangutan di areal perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan merancang dan menetapkan sebagian kawasan menjadi areal konservasi, selain itu dalam kondisi tertentu orangutan perlu direlokasi ke habitat yang lebih baik”, kata Yaya.

Relokasi orangutan tersebut dilakukan oleh satgas orangutan dengan Standard Operational Procedure (SOP) yang tepat dan dapat dimodifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan, sehingga relokasi dapat berjalan dengan baik. Hal ini terungkap dari presentasi yang disampaikan oleh drh. Amir Ma’ruf berjudul Standard Operational Procedure (SOP) translokasi orangutan.

Lebih lanjut hasil penelitian Mukhlisi, S.Hut, M.Si dkk. telah menghasilkan rumusan kriteria pembangunan koridor orangutan di daerah penyangga kawasan konservasi. “Habitat orangutan yang terfragmentasi perlu dikembalikan konektivitas lanskapnya dengan membangun koridor orangutan. Kriteria pembangunan koridor orangutan disusun untuk mengetahui kelayakan kantong habitat”, ungkap Mukhlisi.  Sesi yang dimoderatori Dr. Ir. Garsetiasih, M.P. tersebut diakhiri dengan penyampaian Dr. Ishak Yassir terkait peran satwaliar sebagai agen pemencar biji dan pengendali populasi serangga di lahan pasca tambang batubara).

Sesi terakhir yang dipandu oleh Ir. Niel Makinuddin, MA dipresentasikan makalah terkait Konservasi Bekantan, pengelolaan Labi-labi (Amyda cartilaginea), dan pemanfaatan satwaliar sebagai obyek pendidikan konservasi yang disampaikan oleh Tri Atmoko, Teguh Muslim, dan Ike Mediawati.

Dalam sesi ini disampaikan bahwa satwaliar mempunyai peran, fungsi dan manfaat yang penting baik secara ekologis maupun ekonomis bagi kehidupan manusia. “Bekantan mempunyai potensi ekonomi yang tinggi melalui pengembangan objek ekowisata,” tegas Tri Atmoko. Selain itu pemanfaatan secara lestari jenis labi-labi (Amyda cartilaginea) dapat dilakukan melalui pembangunan penangkaran, terang Teguh.

Dalam rangka meningkatkan kerjasama terkait penelitian dan pengembangan, Balitek KSDA, pada kesempatan ini juga dilakukan penandatanganan MoU kerjasama dengan Badan Lingkungan Hidup Kota Balikpapan.  Kerjasama terkait dengan penelitian dan pengembangan Kebun Raya Balikpapan dan Hutan Lindung Sungai Wain serta pengembangan Kawasan Wisata Pendidikan Lingkungan Hidup Balikpapan.  Penandatangan MoU dilakukan oleh  Bpk. Ahmad Gadang Pamungkas selaku Kepala Balitek KSDA, sedangkan BLH Kota Balikpapan diwakili oleh Ibu Anytha Eva Maria, selaku Kepala UPTD Kebun Raya Balikpapan.

Dengan penuh bangga, pada seminar ini Balitek KSDA juga melakukan launching buku IPTEK Kehutanan. Buku pertama berjudul “Keanekaragaman Hutan Rintis Wartono Kadri – Hutan Tropis Kalimantan di KHDTK Samboja” yang ditulis oleh Tri Atmoko, Ishak Yassir, Bina Swasta Sitepu, Mukhlisi, Septina Asih Widuri, Teguh Muslim, Ike Mediawati dan Amir Ma’ruf. Buku ini menampilkan karya foto yang atraktif hasil “jepretan” peneliti, teknisi dan karyawan Balitek KSDA yang mengabadikan keanekaragaman hayati di Hutan Rintis Wartono Kadri. Buku kedua berjudul “Jenis-jenis Pohon Endemik Kalimantan” karya terakhir Dr. Kade Sidiyasa sebelum tutup usia. Buku ini disajikan dalam bentuk chek list dan dilampiri beberapa foto jenis pohon endemik Kalimantan.***ADS

Share Button