Meski Presiden Joko Widodo secara tegas telah menyatakan komitmennya untuk ikut terlibat aktif dalam penurunan emisi, namun itu belum menjadi jaminan bahwa target tersebut bisa tercapai. Salah satu kendalanya, adalah karena belum ada pendanaan yang jelas untuk program tersebut.
Demikian diungkapkan Direktur Ekskekutif Kemitraan Monica Tanuhandaru di Hotel Oria, Jakarta, dalam pertemuan Dialog Pemerintah dengan Ormas Sipil Menuju COP 21 Paris, Senin (16/11/2015).
Menurut Monica, permasalahan inti yang sekarang sedang dihadapi adalah masalah pembiayaan. Jika komitmen penurunan emisi bisa terus berjalan, maka dibutuhkan dana yang jelas dan itu harus berjalan di semua lini.
“Bagaimana financing-nya, itu harus dibicarakan,” ungkap dia.
Dijelaskan dia, jika memang Pemerintah benar-benar serius untuk berkomitmen, maka masalah pembiayaan bisa dibicarakan mekanismenya secara detil. Bisa saja, mekanismenya itu ada di Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perbankan nasional, dan atau koperasi yang tersebar di daerah-daerah.
“Masalahnya, kebijakan politik uang di negara kita juga masih seperti itu saja. Kita semua sudah tahu sendiri. Sementara, produksi emisi juga terus berjalan dari waktu ke waktu. Itu yang menjadi khekawatiran kami,” tutur dia.
Salah satu kekhawatiran itu, kata Khalisah, adalah karena batu bara juga akan menjadi penyumbang emisi pada 2019. Jika itu dibiarkan, maka batu bara bisa menjadi salah satu penyumbang emisi terbanyak.
Peran Jokowi
Ketua Dewan Pengarah Penanganan Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja dalam kesempatan yang sama mengatakan, persoalan emisi saat ini memang menjadi perhatian serius di Indonesia. Keberangkatan Presiden Joko Widodo ke KTT G-20 yang digelar di Turki saat ini dan Konferensi Perubahan Iklim (COP 21) yang akan digelar akhir November ini di Paris, Perancis, diharapkan bisa menjadi momen untuk mereposisi Indonesia di dunia internasional.
“Ada beberapa isu penting yang ikut dalam COP 21 nanti. Isu-isu tersebut bisa menjaditrigger untuk Indonesia dalam mengawal isu perubahan iklim ini,” ucap Sarwono.
Adapun, isu yang dinilai penting untuk dibawa Indonesia ke pertemuan COP 21 nanti, adalah pengembangan REDD+ atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Pengurangan emsisi dari deforestasi dan degradasi hutan), dan mekanisme pendanaan perubahan iklim.
Selain itu, menurut dia, isu yang penting untuk dibawa ke COP 21 di Paris, adalahmonitoring, reporting, and verification (MRV), baik dalam pengertian koherensi terkait perhitungan emisi gas rumah kaca (GRK), maupun MRV dalam arti luas meliputi isugood governance dan komunikasi masal.
Isu terakhir yang harus dibawa ke COP 21 di Paris, menurut Sarwono, adalah isu tentang energi. Isu tersebut menjadi isu penting karena di Indonesia praktiknya sudah sangat luas. Itu semua ada dalam dokumen INDC (Intended National Determined Contribution) Indonesia.
“INDC Indonesia ini adalah dokumen komprehensif yang diusahakan lengkap sekaligus singkat dan mempunyai karakter berupa “policy brief”,” tandas dia.
Sementara itu Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar mengemukakan, walau Indonesia berstatus sebagai negara berkembang dan ekonominya belum sebagus negara maju, namun Indonesia harus berani untuk terus maju. Indonesia harus bisa terus mengawal isu perubahan iklim dan mengimplementasinya sesegera mungkin.
Agar bisa diterapkan di semua lini, isu perubahan iklim harus bisa dipahami oleh seluruh kalangan masyarakat tanpa kecuali. Jangan sampai, isu perubahan iklim hanya bisa dipahami oleh kalangan tertentu saja.
Untuk diketahui, Conference of Parties (COP) atau konferensi perubahan iklim ke-21 yang akan dilaksanakan di Paris, Perancis, 30 November – 12 Desember 2015 mendatang, merupakan momen dimana sebuah kesepakatan baru akan diluncurkan. Kesepakatan baru ini diharapkan dapat merangkul 196 negara yang tergabung dalamUnited Nations Framework on Climate Change Convention (UNFCCC) untuk bersama-sama berbagi upaya (sharing the effort) dalam berkontribusi pada pencapaian tujuan tertinggi konvensi, yaitu untuk mencegah kenaikan temperatur rata-rata dunia di atas 2 C. Perjanjian yang mengandung prinsip Applicable to All Parties ini diharapkan dapat diimplementasikan di tahun 2020 oleh seluruh pihak terkait.
Berbeda pada saat UNFCCC ditetapkan 1992, peta negara-negara di tahun 2015 ini banyak yang berubah. Tiongkok, India, Brasil, Afrika Selatan, dan Indonesia, dinilai sebagai negara-negara dengan ekonomi berkembang (emerging economy) dengan kemampuan ekonomi berbeda ketimbang negara yang berkembang lainnya. Negara-negara ini pun mengalami pertumbuhan emisi gas rumah kaca yang cukup pesat dalam 2 dekade terakhir dan menjadi emitter besar menyaingi sejumlah negara maju.