Selamatkan Enggano!

Save Enggano“. Semangat itu mengemuka dalam ‘Simposium Enggano: Alam dan Manusianya” yang digelar di Bengkulu, Senin (16/11/2015).

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ary P Keim, mencetuskan semangat itu untuk mengingatkan bahwa Enggano yang luasnya hanya sekitar 4.000 kilometer persegi menghadapi ancaman besar.

Ancaman itu nyata. Ary mencontohkan kebakaran lahan masyarakat yang terjadi saat ia dan timnya kembali ke pulau yang tak pernah bersatu dengan Sumatera itu Oktober lalu.

“Ratusan hektar kebun masyarakat terbakar, terutama di Meok dan Banjarsari,” ungkap Ary. Kebakaran itu menurutnya punya faktor kesengajaan. Selain melanda kebun masyarakat, kebakaran juga terjadi di wilayah dataran rendah Enggano.

Kebakaran mengancam spesies-spesies endemik. LIPI mengungkap bahwa setidaknya terdapat 25 jenis flora dan fauna endemik di Enggano.

Ancaman juga datang dari praktik pembalakan liar yang dilakukan pada jenis kayu merbau (Instia bijuga), yang menurut riset memang sangat berkualitas.

Amir Hamidy, peneliti LIPI lain yang terlibat ekspedisi Enggano, mengkhawatirkan pembalakan akan makin marak seiring pengembangan infrastruktur di Enggano.

Di dataran rendah, ancaman datang dari praktik penambangan pasir. Upaya untuk memantau praktik penambangan pasir diperlukan supaya tak merusak ekosistem.

Penambangan pasir sempat berlangsung. Gubernur Bengkulu, Junaidi Hamsyah, mengungkapkan, pihaknya langsung menutup penambangan itu.

Ary menuturkan, ekosistem dataran rendah di Enggano memiliki mangrove yang masih terjaga baik. Pekerjaan rumah pemerintah pusat dan daerah adalah menjaganya.

“Tulang punggung Enggano itu ada di mangrove. Mati hidupnya Enggano ada di mangrove,” ujar Ary. Enggano yang kecil sulit terlindungi dari gerusan air laut bila ekosistem mangrove tak terjaga.

Pelestarian Bermanfaat

Menjaga Enggano tak berarti membuat pulau itu terus menerus tertinggal secara ekonomi. Alam yang lestari justru berpotensi mendatangkan uang.

Ary menuturkan, Enggano punya ekosistem unik dengan pemandangan indah, seperti laguna payau Blak Bau di Desa Meok. Itu bisa dikelola menjadi destinasi ekowisata yang menarik.

Mangrove yang sehat di Enggano menjadi tempat memijah dan hidup ikan karang, kepiting, dan udang galah. Pantai pasir putihnya juga menarik.

Ary menambahkan, keanekaragaman hayati Enggano pun berpotensi untuk dimanfaatkan. Pisang kepok Enggano dan jengkol yang kini telah menjadi produk utama bisa terus dikembangkan.

Di samping itu, Enggano perlu melirik melinjonya. Menurut Ary, melinjo (Gnetum gnemon) Enggano khas karena ukurannya yang besar.

“Satu keping emping bisa dibuat hanya dari satu buah,” katanya. Enggano bisa menjadi pusat produksi melinjo dan emping di Indonesia.

Enggano juga bisa mengembangkan budidaya kepiting, udang galah, pertanian rumput laut, dan perikanan terumbu karang dengan jalan terapung. “Enggano bisa menjadi pusat bisnis kelautan Bengkulu,” kata Ary.

LIPI melakukan ekspedisi penelitian ke Enggano pada 16 April – 5 Mei lalu. Ekspedisi mengungkap setidaknya 16 kandidat jenis baru, 25 jenis endemik, dan 7 catatan baru.

Sumber berita

Share Button

Asap dan Kejahatan Korporasi

Tragedi asap dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tahun ini telah jadi perhatian masyarakat yang sangat luas, baik di dalam maupun di luar negeri.

Publik makin paham akar masalah kabut asap yang setiap tahun menyambangi beberapa provinsi di Indonesia, khususnya Sumatera dan Kalimantan, yakni dari karut-marutnya pengelolaan sumber daya alam dengan pemberian izin begitu gencar kepada korporasi, dalam skala sangat besar. Termasuk titik api yang bersumber dari konsesi korporasi telah menjadi pengetahuan baru bagi publik.

Penyelenggara negara, dalam hal ini Presiden, pun mengakui ada kejahatan korporasi dalam kebakaran hutan dan lahan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, meskipun masih berupa inisial, juga telah mengumumkan korporasi yang teridentifikasi harus bertanggung jawab karena ada titik api di wilayah konsesinya atau melakukan pembakaran.

Dalam perkembangannya, konsolidasi kekuatan modal bergerak untuk memengaruhi wacana publik. Pelan-pelan, isu kejahatan korporasi digeser.

Pelaku pembakaran hutan lahan kembali diarahkan dan menyasar masyarakat lokal, khususnya masyarakat adat.

Titik konsesi juga diarahkan berada di perkebunan masyarakat. Padahal, bertahun-tahun titik api ditemukan di konsesi perkebunan monokultur skala besar, terutama di lahan gambut.

Dalam periode Januari-September 2015 terdapat 16.334 titik api (Lapan) atau 24.086 titik api (NASA FIRM) pada lima provinsi: Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau.

Analisis data dan fakta kebakaran hutan dan lahan di lima provinsi itu sampai di bulan September 2015, Walhi menemukan bahwa titik api berada di dalam konsesi perusahaan: Kalimantan Tengah (5.672), Kalimantan Barat (2.495), Riau (1.005), Sumatera Selatan (4.416), dan Jambi (2.842).

Tentu kita tak menutup mata bahwa ada lahan masyarakat yang terbakar. Namun, fakta menunjukkan, sebagian besar berada di wilayah konsesi perusahaan, bahkan perusahaan dari grup besar.

Fakta lain, masyarakat lokal tiap tahun sudah banyak yang menjadi tersangka dan dihukum.

Di Riau, misalnya, ada 40 orang yang dipidana. Pertanyaannya, jika sudah banyak anggota masyarakat yang ditangkap, mengapa kebakaran hutan dan lahan terus terjadi?

Dari sini terlihat bahwa penegakan hukum selama ini tak mampu menjangkau pelaku utama.

Pasal 69 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), khususnya dalam penjelasannya, dijadikan “kambing hitam” penyebab kebakaran hutan dan lahan, dan diwacanakan untuk dikaji ulang.

Tulisan ini tidak akan mengupas substansi dari Pasal 69, khususnya penjelasan pada Ayat 2, yang berbunyi “kearifan lokal yang dimaksud adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal dua hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.”

Tulisan ini untuk melihat latar belakang dari dinamika wacana yang berkembang dan kemudian upaya penggiringan wacana publik.

Pasal 69 ini “dikhawatirkan” karena dianggap menjadi basis legal bagi masyarakat untuk membakar hutan dan lahan dengan maksimal 2 hektar.

Penulis berpandangan, tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam pasal ini karena dalam penjelasannya tegas “memagar” dengan ketentuan yang ketat, yakni berbasis pada kearifan lokal dan yang ditanam adalah varietas lokal.

Satu pasal, dalam hal ini penjelasannya, dijadikan sebagai justifikasi bahwa penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah masyarakat adat dan atau masyarakat lokal.

Tentu saja patut dipertanyakan karena sesungguhnya pasal lain dalam UU ini yang menjadi peluang bagi penyelenggara negara untuk menggugat kejahatan korporasi justru tidak optimal diimplementasikan.

Dari sini kita dapat menduga ada skenario pengalihan isu dari kejahatan korporasi menjadi kejahatan individu dan itu pun masyarakat atau masyarakat lokal.

Tujuannya: melindungi korporasi sebagai pelaku utama, juga penghilangan jejak korporasi dari kejahatan yang dilakukan.

Pada kasus kejahatan lingkungan hidup, skenario pengalihan isu atau pengalihan tanggung jawab dilakukan secara sistematis.

Bagaimana memengaruhi opini publik dan berujung menggiring tanggung jawabnya: mengalihkan tanggung jawab hukum kepada masyarakat adat atau masyarakat lokal.

Dalam ekologi politik, kekuasaan, pengetahuan, dan wacana dilihat sebagai sebuah keterkaitan yang dapat memengaruhi situasi dan kondisi lingkungan hidup, termasuk kebijakan.

Kekuasaan tentu bukan hanya dilihat secara politik, juga kekuasaan secara ekonomi.

Dalam kasus kebakaran hutan dan lahan ini tentulah korporasi skala besar, yang bahkan mampu mengontrol kekuasaan politik.

Negara, dalam hal ini penyelenggara negara, mestinya konsisten membidik kejahatan korporasi dan fokus pada upaya penegakan hukum dengan menggunakan instrumen yang tersedia melimpah dalam UU No 32/2009 ketimbang mengotak-atik penjelasan Pasal 69 Ayat 2. Karena itu, merawat ingatan bagi publik menjadi penting untuk terus melawan kejahatan korporasi.

Sumber berita

Share Button

Kejaksaan Agung Siap Proses 120 Kasus Kebakaran Hutan

Kejaksaan Agung telah menerima 120 Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) perkara kebakaran hutan dan lahan dari institusi kepolisian di seluruh Indonesia hingga pertengahan November ini. Dari 120 SPDP, 4 di antaranya diberikan pada Kejagung oleh Markas Besar Polri.

“SPDP yang dterima kejaksaan sejauh ini ada 120. Itu menyebar dari kepolisian di daerah-daerah terjadinya kebakaran, seperti dari Sumatra Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. SPDP dari Mabes Polri ada 4 yang diserahkan,” ujar Jaksa Agung Muhammad Prasetyo di Kejagung, Jakarta, Jumat (13/11).

 

Dalam mengusut perkara karhutla, lembaga Adhyaksa diketahui harus menunggu rampungnya penyidikan yang dilakukan aparat kepolisian terlebih dahulu. Setelah penyidikan rampung, Kejaksaan dapat memainkan perannya dalam membuat tuntutan terhadap para tersangka pembakar hutan dan lahan.

Untuk menggugat tersangka pembakar hutan dan lahan nantinya, terbuka kemungkinan Kejaksaan akan ikut menuntut para pihak yang bersalah dengan hukum perdata. Kemungkinan itu muncul setelah Prasetyo telah bertemu dengan pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beberapa saat lalu.

 

“Sudah ada pertemuan antara Kejagung dengan pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kami sudah sepakat nantinya ketika ditangani kasus pidananya akan diikuti dengan gugatan perdata kalau ada kerugian,” kata Prasetyo.

Tuntutan perdata dilayangkan jika ada dampak tidak langsung dari sebuah tindak kejahatan. Dalam kasus kebakaran hutan, jika masyarakat merasa terganggu kesehatan dan aktivitas sehari-harinya, maka gugatan perdata dapat dilayangkan kepada tersangka yang membakar hutan terkait.

Sementara itu, tuntutan pidana dilayangkan jika ada tindak kejahatan yang langsung berdampak pada keadaan seseorang, lembaga, atau alam. Jika sebuah perusahaan terbukti membakar hutan dan tidak sesuai caranya dengan peraturan yang berlaku, maka ia dapat dituntut secara pidana oleh penegak hukum.

Sumber berita

Share Button