Seminar Balitek KSDA: Pengelolaan Habitat dan Ekosistem Satwaliar

“Pengelolaan satwaliar tidak boleh hanya berfokus kepada jenis satwaliar tertentu, tapi juga harus mencakup pengelolaan habitat satwa dan ekosistemnya,” kata Ahmad Gadang Pamungkas, S.Hut, M.Si, Kepala Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (Balitek KSDA) dalam laporannya mengawali Seminar Hasil-hasil Penelitian “Pengelolaan Satwaliar sebagai Upaya Pelestarian Sumber Daya Alam’’. Seminar yang diselenggarakan di Mirror ballroom Hotel Gran Senyiur Balikpapan, Kamis (5/11/15) itu dihadiri oleh sekitar 100 peserta baik dari peneliti, akademisi, pengambil kebijakan, pihak swasta dan LSM di Kalimantan.

Menurut Dr. Dwi Sudarto, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, dalam sambutannya menyatakan bahwa berbagai upaya pengelolaan dan pelestarian khususnya satwaliar secara arif dan bijaksana sangat diperlukan. Dengan dukungan berbagai penelitian yang telah dilakukan dan menggunakan hasil riset secara holistik, maka diharapkan pengelolaan satwaliar beserta habitat dan ekosistemnya dapat dilaksanakan dengan lebih baik. “Peristiwa kebakaran hutan dan lahan di berbagai wilayah di Indonesia mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi kita, baik secara ekonomi, sosial dan hilangnya berbagai keanekaragaman hayati yang ada”, lanjut Dwi.

Sesi pertama seminar diawali dengan pemaparan narasumber utama, yaitu Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, Guru Besar Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor dan Dr. Ir. Chandradewana Boer, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Presentasi dan diskusi dipandu oleh Prof. Ris. Dr. Ir. M. Bismark, membahas topik Status Keanekaragaman dan Pemanfaatan Satwaliar dan Strategi Pengelolaan dan Potensi Pemanfaatan Satwaliar di Kalimantan.

Dalam penyampaiannya, Prof. Alikodra menyatakan bahwa strategi konservasi keanekaragaman hayati, khususnya satwaliar perlu ditingkatkan dan diimplementasikan secara optimal. Kegiatan konservasi tidak hanya perlindungan dan pelestarian saja, namun, pemanfaatan secara bijak perlu ditingkatkan. “Tiga skenario pemanfaatan dalam mendukung manajemen konservasi adalah ekowisata, bioprospecting, dan perdagangan karbon”, ungkapnya.

Di sisi lain Dr. Chandra lebih menekankan bahwa pola konservasi keanekaragaman satwaliar perlu didukung dengan bantuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan seperti teknologi konservasi eksitu dengan penangkaran, konservasi insitu melalui pembinaan habitat dan populasi, teknologi rekayasa genetika, teknologi kultur jaringan, teknologi penangkaran, dan teknologi pengelolaan kawasan.

Sesi berikutnya Dr. Yaya Rayadin menyampaikan topik konservasi orangutan multi-fungsi landskap di Kalimantan Timur.  Sebaran orangutan di luar kawasan konservasi diantaranya berada di areal perkebunan kelapa sawit, pertambangan batubara, hutan tanaman industri dan permukiman. “Upaya pelestarian orangutan di areal perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan merancang dan menetapkan sebagian kawasan menjadi areal konservasi, selain itu dalam kondisi tertentu orangutan perlu direlokasi ke habitat yang lebih baik”, kata Yaya.

Relokasi orangutan tersebut dilakukan oleh satgas orangutan dengan Standard Operational Procedure (SOP) yang tepat dan dapat dimodifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan, sehingga relokasi dapat berjalan dengan baik. Hal ini terungkap dari presentasi yang disampaikan oleh drh. Amir Ma’ruf berjudul Standard Operational Procedure (SOP) translokasi orangutan.

Lebih lanjut hasil penelitian Mukhlisi, S.Hut, M.Si dkk. telah menghasilkan rumusan kriteria pembangunan koridor orangutan di daerah penyangga kawasan konservasi. “Habitat orangutan yang terfragmentasi perlu dikembalikan konektivitas lanskapnya dengan membangun koridor orangutan. Kriteria pembangunan koridor orangutan disusun untuk mengetahui kelayakan kantong habitat”, ungkap Mukhlisi.  Sesi yang dimoderatori Dr. Ir. Garsetiasih, M.P. tersebut diakhiri dengan penyampaian Dr. Ishak Yassir terkait peran satwaliar sebagai agen pemencar biji dan pengendali populasi serangga di lahan pasca tambang batubara).

Sesi terakhir yang dipandu oleh Ir. Niel Makinuddin, MA dipresentasikan makalah terkait Konservasi Bekantan, pengelolaan Labi-labi (Amyda cartilaginea), dan pemanfaatan satwaliar sebagai obyek pendidikan konservasi yang disampaikan oleh Tri Atmoko, Teguh Muslim, dan Ike Mediawati.

Dalam sesi ini disampaikan bahwa satwaliar mempunyai peran, fungsi dan manfaat yang penting baik secara ekologis maupun ekonomis bagi kehidupan manusia. “Bekantan mempunyai potensi ekonomi yang tinggi melalui pengembangan objek ekowisata,” tegas Tri Atmoko. Selain itu pemanfaatan secara lestari jenis labi-labi (Amyda cartilaginea) dapat dilakukan melalui pembangunan penangkaran, terang Teguh.

Dalam rangka meningkatkan kerjasama terkait penelitian dan pengembangan, Balitek KSDA, pada kesempatan ini juga dilakukan penandatanganan MoU kerjasama dengan Badan Lingkungan Hidup Kota Balikpapan.  Kerjasama terkait dengan penelitian dan pengembangan Kebun Raya Balikpapan dan Hutan Lindung Sungai Wain serta pengembangan Kawasan Wisata Pendidikan Lingkungan Hidup Balikpapan.  Penandatangan MoU dilakukan oleh  Bpk. Ahmad Gadang Pamungkas selaku Kepala Balitek KSDA, sedangkan BLH Kota Balikpapan diwakili oleh Ibu Anytha Eva Maria, selaku Kepala UPTD Kebun Raya Balikpapan.

Dengan penuh bangga, pada seminar ini Balitek KSDA juga melakukan launching buku IPTEK Kehutanan. Buku pertama berjudul “Keanekaragaman Hutan Rintis Wartono Kadri – Hutan Tropis Kalimantan di KHDTK Samboja” yang ditulis oleh Tri Atmoko, Ishak Yassir, Bina Swasta Sitepu, Mukhlisi, Septina Asih Widuri, Teguh Muslim, Ike Mediawati dan Amir Ma’ruf. Buku ini menampilkan karya foto yang atraktif hasil “jepretan” peneliti, teknisi dan karyawan Balitek KSDA yang mengabadikan keanekaragaman hayati di Hutan Rintis Wartono Kadri. Buku kedua berjudul “Jenis-jenis Pohon Endemik Kalimantan” karya terakhir Dr. Kade Sidiyasa sebelum tutup usia. Buku ini disajikan dalam bentuk chek list dan dilampiri beberapa foto jenis pohon endemik Kalimantan.***ADS

Share Button

Ketimpangan Publikasi Ilmiah Perubahan Iklim

Sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam “Perubahan Lingkungan Global” menyatakan, jika terdapat ketimpangan publikasi ilmiah mengenai perubahan iklim secara geografis.

Para peneliti dari Denmark dan Brasil menganalisis lebih dari 15.000 publikasi ilmiah tentang perubahan iklim yang diterbitkan antara tahun 1999 dan 2010, dan menemukan bahwa negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, Australia dan Swedia, serta dua negara berkembang BRICS – China dan India – menghasilkan sebagian besar publikasi ilmiah tentang perubahan iklim tersebut.

Sebaliknya, banyak negara berkembang di bagian lebih panas dunia dengan efek perubahan iklim yang lebih tinggi, menghasilkan sangat sedikit pengetahuan ilmiah terkait topik ini.

“Kami menemukan bahwa publikasi perubahan iklim cenderung dilakukan oleh negara kaya, dan negara yang kurang rentan terhadap emisi karbon yang tinggi, dengan lembaga-lembaga kuat dan kebebasan pers yang tinggi,” tulis para penulis.

Studi ini juga menemukan bahwa penelitian perubahan iklim yang fokus pada negara berkembang dan negara yang rentan, didominasi oleh penulis dan co-penulis yang berbasis di negara-negara maju, dan sering kekurangan penulis dengan basis lokal.

Misalnya, publikasi perubahan iklim yang berfokus pada negara-negara seperti Republik Kongo dan Korea Utara tidak memiliki penulis atau co-penulis dengan basis lokal. Di banyak negara Afrika juga, kurang dari 20 persen dari publikasi tentang perubahan iklim ditulis oleh penulis lokal. Di sisi lain, lebih dari 80 persen dari publikasi perubahan iklim berfokus pada negara-negara maju seperti AS, telah ditulis oleh penulis lokal

“Tanpa pengetahuan lokal yang dihasilkan, itu lebih menantang untuk menyediakan dan mengintegrasikan saran kontekstual yang relevan, dan ini meninggalkan celah kritis dalam perdebatan kebijakan iklim,” kata Maya Pasgaard dari University of Copenhagen, mengatakan dalam sebuah pernyataan. “Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena kita berhadapan dengan negara-negara yang mungkin mengalami perubahan iklim parah dan sensitif terhadap dampak merugikan tersebut.”

Peningkatan kolaborasi adalah kuncinya, untuk mengurangi dampak perubahan iklim di seluruh dunia.

“Kolaborasi itu lintas batas, tidak hanya sangat relevan secara ilmiah, tetapi juga menguntungkan bagi penulis, sebagai pertukaran pengetahuan budaya, sekaligus menjadi bagian yang terintegrasi dari kerjasama” kata Pasgaard dalam pernyataannya.

Sumber berita

Share Button

Siapakah Pemenang dan Pecundang dari Perubahan Iklim?

Iklim berubah. Itu fakta alam. Tapi iklim Bumi saat ini berubah begitu dramatis, mengubah daratan dan lautan sehingga mempengaruhi semua bentuk kehidupan.

“Akan selalu ada minoritas yang berhasil berkembang dalam kondisi baru yang relatif mendadak,” kata Thomas Lovejoy, ahli konservasi biologi George Mason University yang juga tergabung dalam tim National Geographic.

“Tapi sebagian besar lainnya akan sangat terpukul, kalau tidak hancur,” tambahnya.

Peningkatan suhu yang disebabkan oleh gas rumah kaca hanyalah awal dari perjalanan ini. Berikutnya akan datang cuaca ekstrim (termasuk kekeringan yang meluas), pergeseran pembibitan dan migrasi musim, dan mengubah ketersediaan pangan, pola penyakit baru, percepatan pencairan es dan kenaikan permukaan laut. Setiap perubahan  akan menyebabkan efek yang berlanjut dan meluas.

Ini bukanlah hal-hal yang akan terjadi di masa depan. Dampak dari iklim yang berubah sudah tampak jelas saat ini.

“Tak ada yang bisa kembali,” kata James Watson, pemimpin Global Climate Change Program of the Wildlife Conservation Society.

“Semuanya telah berubah. Alam liar dengan iklim yang relatif stabil selama 10.000 tahun terakhir didorong dan diuji tak seperti sebelumnya,” tutur Watson.

Pengalaman, model dan apa yang kita ketahui dapat memberikan kita gambaran jangka pendek yang lebih solid tentang siapa ‘pemenang’ dan ‘pecundang’. Spesies apa yang beradaptasi dengan baik terhadap perubahan iklim yang relatif cepat? Jawabannya adalah mereka para generalis yang dapat mentolerir berbagai iklim. Mereka yang memiliki gen beragam dan kecepatan reproduksi. Mereka yang dapat melakukan perjalanan ke habitat baru yang cocok. Kompetitif, seringkali spesies penginvasi. Gulma. Mereka adalah para pemenang.

Siapa pecundangnya? Merekalah para spesialis dengan kebutuhan iklim yang sempit. Mereka yang telah bertarung untuk bertahan hidup. Populasi kecil dan terfragmentasi, atau mereka yang dikelilingi lingkungan yang tidak mendukung. Hewan yang bersaing dengan manusia. Kelompok yang keragaman genetiknya kurang. Spesies elevasi tinggi, penghuni pulau, dan hewan-hewan yang bergantung hidup pada karang, serta mereka yang membutuhkan es untuk bertahan hidup.

Sumber berita

Share Button

Beri Izin dan Buka Lahan Gambut Bakal Kena Sanksi

Pemerintah menghentikan pemberian izin di lahan gambut. Perintah langsung keluar dari Presiden Joko Widodo, setelah melihat kebakaran lahan gambut parah baru lalu. Bukan hanya izin baru, izin-izin yang sudah terlanjur diberikan tetapi belum dibuka juga tak boleh dikelola. Kala ada perusahaan atau pemerintah yang masih nekat membuka maupun memberikan izin, bakal kena sanksi. Instrumen kebijakan soal ini tengah disiapkan. Begitu diungkapkan Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, Rabu (11/11/15).

Dia mengatakan, instrumen sanksi bagi pelanggar, yang nekat memberikan izin di lahan gambut tengah disiapkan. “Kalau nekat (beri izin) pasti ada instrumen kontrolnya. Sedang kita bangun,” katanya.

Saat ini, kata Siti, buka masa buat bermain-main dengan perizinan terutama di lahan gambut karena bisa mencelakakan rakyat. Gambut sudah rusak parah. Dalam situasi ini, katanya, sudah tidak ada pilihan lain kecuali memperbaiki kondisi gambut dan menyelamatkan rakyat.

Pada 5 November 2015, Menteri LHK sudah menerbitkan surat edaran kepada perusahaan-perusahaan pemegang izin HPH, HTI, restorasi eksosistem maupun perkebunan soal larangan pembukaan di lahan gambut.

Adapun poin-poin surat Siti Nurbaya yang ditembuskan ke berbagai kementerian dan pemerintah daerah ini antara lain, menegaskan tak ada lagi pembukaan lahan baru di gambut, pemerintah akan menetapkan zona lindung dan budidaya di lahan gambut. Lalu, di lahan gambut yang sudah penanaman, dikelola dengan teknologi ekohidro berbasis satuan hidrologis.

Terkait hal itu, Siti meminta perusahaan merevisi rencana kerja usaha, dan rencana kerja tahunan sesuai ketentuan. Pada areal kerja, kata surat itu, perusahaan juga harus meningkatkan pengamanan guna mengurangi potensi kebakaran lahan dan hutan serta mengambil langkah-langkah pencegahan maupun penanggulangan.

Siti mengatakan, lahan-lahan gambut yang sudah terlanjur berizin dan tak boleh dikelola untuk urusan konservasi, akan ada aturan lanjutan. “Pasti akan diatur. Apakah dengan peraturan pemerintah atau Kepres. Kita lihat. Ini yang sedang kita persiapkan.”

Begitu juga gambut zona lindung yang sudah terlanjur berizin akan diatur lebih lanjut. Berbagai referensi tata kelola sedang dicari, salah satu lewat diskusi para pakar gambut. “Zona lindung di gambut yang menyimpan air, namanya kubah. Itu sama sekali tak boleh diapa-apain. Kalau sudah ada izin, akan diatur teknisnya.”

Tak hanya itu. Gambut zona budidaya, yang berarti bisa bermanfaat ekonomi juga akan dibahas seperti apa tata kelolanya. “Nanti kita dengar referensi ilmu pengetahuannya. Jadi, kebijakan-kebijakan itu kita susun dengan pengetahuan yang pas. Kita punya kearifan lokal dan standar universal alam kelola ekosistem. Kita kombinasi.”

Menurut Siti, sebenarnya penghentian izin di lahan gambut, sudah dimulai lewat kebijakan setop sementara izin hutan dan lahan sejak 2011. Kebijakan itu diperpanjang setiap dua tahun. “Cuma itu kan bentuknya moratorium. Sekarang, Presiden bilang tak boleh lagi karena pengalaman sulit dengan kebakaran lalu.”

Kini, sudah memasuki musim hujan. Siti bilang, masa ini kesempatan untuk mengambil langkah cepat buat tata kelola gambut, mulai dari pencegahan.

“Langkah pencegahan itu, pasti mulai dengan regulasi, sistem, sosialisasi, penegakan hukum sampai rencana kontijensi. Jadi nanti kalau ada yang coba-coba (langgar) ya liat aja dokumennya.”

Setelah penyiapan regulasi, sampai sosialisasi, diikuti pemulihan. Pemulihan ini, katanya, diawali dengan inventori data lapangan seperti apa. “Di lapangan harus tahu persis kondisi seperti apa. Pemda harus melihat. Kita kerjakan bersama-sama.” Setelah itu, rehabilitasi. “Apakah rehabilitasi dilakukan negara atau partner, apakah dunia usaha. Bagaimana caranya, itu harus diatur,” ucap Siti.

Kemudian, restorasi gambut. Untuk restorasi ini, katanya, paling tidak akan melihat dalam tiga tahun. “Ini akan dipertajam lagi dari diskusi-diskusi. Kira-kira (dalam tiga tahun) dua jutalah yang harus direstorasi.”

Pertemuan ahli gambut dunia

Pada 13-14 November 2015, Kementerian Lingkungan Hidup bersama UNDP dan Pemerintah Norwegia, akan mengadakan diskusi ahli soal tata kelola gambut buat mengindetifikasi pola solusi jangka panjang. Pertemuan ini, kata Siti, sehubungan dengan krisis kebakaran sangat serius di lahan gambut.

Dalam diskusi internasional yang akan dibuka Wakil Presiden Jusuf Kalla ini akan mendengarkan paparan ahli dari berbagai negara. “Bagaimana perspektif mereka tentang gambut dan gambut Indonesia. Dan rekomendasi teknis apa yang akan diberikan. Termasuk perspektif ekonomi dan hubungan internasional seperti apa yang dapat dimanfaatkan,” ucap Siti.

Para ahli tak hanya diskusi. Mereka juga akan ke lapangan, melihat langsung kerusakan gambut dan yang baru terbakar. “Rencana Sumatera Selatan. Akan fly over.” Setelah ke lapangan, diskusi dilanjutkan lagi untuk mendapatkan rekomendasi dari para ahli.

Diskusi, katanya, dibagi dalam lima sesi dengan 24 pembicara, 11 dari ahli-ahli asing dan yang lain dari Indonesia. Antara lain, dari UNDP, Cifor, Wetland International, Hokaido University, Malaysia, German, Deltares. Dari pergurunan tinggi dalam negeri, antara lain Universitas Gadjah Mada, Universitas Riau, Universitas Pangkaraya, Universitas Indonesia, IPB dan lain-lain. Organisasi masyarakat sipil seperti Walhi dan asosiasi juga akan berbicara. “Berharap, ada masukan teknis dari sini, baik sisi lansekap, land use management, sistem tata air. Sampai perspektif ekonomi, bagaimana yang sudah diusahakan. Sampai mana bisa diusahakan, dan kepentingan-kepentingan lingkungan.”

UNDP Resident Coordinator, Douglas Broderick mengatakan, PBB perlu memberikan bantuan dan dukungan teknis pada pemerintah Indonesia, dalam mengatasi masalah asap dan perubahan iklim. Untuk itulah, katanya, para ahli akan berkumpul dan berdiskusi dari berbagai negara, membahas tata kelola gambut.

“Agar bisa membantu sistem teknisnya, tata kelola gambut, dan contoh-contoh terbaik dari negara lain serta pengalaman-pengalaman global.”

Sumber berita

Share Button

Mitigasi Kebakaran Hutan, Pemerintah Bentuk Badan Khusus

Pemerintah akan membentuk badan khusus guna menanggulangi bencana kebakaran hutan apabila kembali terjadi di masa yang akan datang.

Wacana tersebut dilontarkan Kepala Staff Presiden, Teten Masduki usai menghadiri rapat koordinasi mengenai kebakaran hutan di Kantor Menteri Perekonomian Darmin Nasution.

“Kita sedang memepersiapkan satu badan untuk menangani ini (kebakaran hutan). Mudah-mudahan dalam waktu singkat akan selesai,” ujar Teten di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kamis (12/11).

Pada kesempatan yang sama, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya mengatakan badan khusus ini nantinya dibentuk dengan payung hukum Peraturan Presiden dimana ketuanya ditunjuk langsung oleh Presiden.

Siti menjelaskan badan khusus ini sendiri akan lebih spesifik dalam melakukan koordinasi ketika terjadi kebakaran hutan.

Seiring dengan upaya tersebut, pun pemerintah tengah membahas perubahan peraturan mengenai larangan pembukaan lahan gambut melalui cara dibakar dan penerapan standar prosedur bagi perusahaan kelapa sawit dalam menangani kebakaran hutan sebelum membuka lahannya.

“Misalnya ini, ada standar ada ketentuan suatu perusahaan seluas sekian harus punya alat-alat pemadam, atau alat-alat pencegahan kebakaran. Nah kalau dia tidak memenuhi standar itu dia kena disinsentif,” ujar Siti.
Siapkan Disinsetif

Siti mengungkapkan, menyusul adanya ketentuan pihaknya akan menyiapkan disinsentif semisal denda hingga pencabutan izin operasional. Ini mengingat penanganan bencana kebakaran hutan harus mengalami perbaikan dan peningkatan.
Dengan transformasi yang dilakukan, kata Siti menjamin kebakaran hutan akan turun di masa yang akan datang.
“Kalau lihat Riau kemarin, kita tata dengan baik itu apinya yang sekarang cuma 42persen loh. Jadi sebetulnya bisa dilakukan, adalah interaksi atau hubungan daerah dan pusatnya baik. Artinya kalau sekarang transformasinya berjalan, kebakaran hutan bisa nol tahun depan,” katanya.
Ia pun menegaskan proses penegakan hukum terhadap beberapa perusahaan yang terlibat pun masih terus berjalan.
“Masih jalan investigasinya. Berapa perusahaan yang terlibat, semua yang arealnya terbakar kan kita investigasi. Jadi sambil berjalan, pokoknya gak boleh berhenti,” katanya.
Share Button

300 jenis tanaman obat di Jakarta

Meski menjadi ibukota Indonesia dengan lahan terbuka dan ruang terbuka hijau (RTH) yang sangat minim, Jakarta ternyata memiliki potensi keanekaragaman hayati, terutama tanaman obat yang tinggi. Tercatat ada lebih dari 80 jenis tanaman obat yang ada di wilayah Jakarta Selatan saja.

“Hasil penelitian yang dilakukan, untuk wilayah Jakarta Selatan saja terdapat sekitar 80 jenis tanaman obat. Seluruh DKI Jakarta saya optimis bisa hingga 200-300 jenis tanaman obat. Tanaman obat sangat multifungsi, ada yang bisa menjadi tanaman hias, rempah-rempah untuk memasak sekaligus menyembuhkan berbagai penyakit,” kata pakar keanekaragaman hayati tanaman obat dari Universitas Nasional, Prof.Dr. Ernawati Sinaga, M.S, Apt.

Akan tetapi dengan tingkat pembangunan dan begitu banyaknya penduduk di Jakarta, maka mungkin sudah banyak tanaman obat yang hilang. “Oleh karena itu, kami tertarik untuk mengetahui apakah masih ada tanaman obat di Jakarta. Penelitian baru di wilayah Jakarta Selatan saja sudah ada lebih dari 80 tanaman obat, seperti yang ditemukan di tanam kota, bantaran kali, hutan kota dan tanaman peneduh di pinggir jalan,” kata Ernawati yang dihubungi Mongabay, Kamis kemarin (12/11/2015).

Ia mencontohkan kembang sepatu yang daunnya apabila dihancurkan dapat digunakan untuk meredakan demam. Bunga melati dan mawar, lanjutnya, dapat digunakan sebagai kosmetik serta rempah-rempah seperti jahe, temulawak, dan lainnya selain dapat digunakan untuk memasak juga dapat berfungsi sebagai obat untuk batuk atau meningkatkan nafsu makan anak.

Oleh karena itu, dia mengatakan pihaknya akan menyelesaikan penelitian menginventarisasi tanaman obat di seluruh wilayah Jakarta, termasuk Kepulauan Seribu. “Setelah itu, kami akan meneliti ke kota lain. Kalau keanekaragaman tanaman obat banyak di satu tempat, artinya lingkungan itu masih cocok untuk tumbuhnya tanaman obat,” ucapnya.

Dia melihat pemerintah perlu kembali menggalakkan gerakan tanaman obat keluarga (toga) dengan mengajak masyarakat untuk gemar menanam di lingkungannya. Gerakan ini di kota Jakarta juga sebagai penghijauan.

Setelah selesai melakukan inventarisasi tanaman obat di Jakarta, mereka akan membuat laporan dan merekomendasikan kepada Pemprov DKI Jakarta, termasuk bagaimana desain tanaman obat di Jakarta seperti penanaman empon-empon di bantaran kali.

Menurutnya, pihak Pemprov DKI perlu membuat kelompok kecil untuk membuat masyarakat gemar menanam dan peduli lingkungan. Perguruan tinggi sesuai dengan tri dharma perguruan tinggi juga bisa dilibatkan untuk membuat panduannya.

“Kepedulian terhadap keanekaragaman hayati di perkotaan perlu ditingkatkan. Meski ruang terbuka hijau di perkotaan terbatas, masyarakat bisa berkontribusi dengan gemar menanam meskipun bermedia non-tanah atau pot,” katanya.

Ernawati mendorong masyarakat untuk dapat memanfaatkan lahan rumah untuk menjaga keanekaragaman hayati tanaman obat. ‘’Keanekaragaman hayati apabila dijaga dengan benar, dapat menjadi salah satu solusi untuk penyakit-penyakit yang ada di perkotaan dan membangun keharmonisan antara manusia dan alam. Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat, pemerintah harus membangun komunitas-komunitas kecil untuk seperti yang dilakukan di Jepang,’’ ungkapnya.

Dalam seminar tersebut, Deputi Gubernur DKI Jakarta, Sutanto Soehodo mengatakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah telah berwawasan lingkungan. Meski demikian, ia mengaku bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada saat ini memang belum ideal, karena baru mencapai 12-13 % dari angka ideal 30 % dari lahan yang ada. Untuk itu, saat ini pemerintah juga tengah giat untuk membeli lahan untuk dijadikan green space.

Sumber berita

Share Button