Negara dalam Deforestasi

Deforestasi sudah SOS. Diperparah dengan ”penyakit menahun” kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan, kita seperti bukan bangsa pembelajar.

Problem yang menaik sejak awal Orde Baru itu selalu berulang dan kini makin memburuk. Kajian komprehensif Lembaga Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch pada 2001 menyimpulkan, tutupan hutan Indonesia yang pada 1950 masih 162 juta hektar telah menyusut drastis lebih dari separuhnya, yakni menjadi sekitar 98 juta hektar, pada akhir 1990-an.

Bersamanya, turut susut pula harta karun hayati Indonesia yang tiada tepermanai. Bayangkan, Indonesia, yang luas daratannya hanya 1,3 persen dari seluruh daratan dunia, diyakini memiliki 16 persen dari semua jenis burung, 10 persen dari semua jenis mamalia, dan 11 persen dari seluruh spesies tumbuhan di dunia. Posisinya yang menjembatani ekosistem Asia dan Australia—keunikan yang mencengangkan naturalis masyhur asal Britania Raya, Alfred Russel Wallace (1823-1913)—membuat keanekaragaman hayati dan nonhayati Indonesia tiada duanya.

Penistaan yang legal

Deforestasi menggerus kekayaan negeri ini dengan kecepatan jauh melampaui pertumbuhan kesejahteraan rakyatnya. Rerata pendapatan per kapita yang baru menyentuh 4.000 dollar AS per tahun jelas njomplang dengan modal sumber daya alam yang dikorbankan.

Seiring waktu, deforestasi mendahsyat. Sebagian legal karena memang sudah direncanakan. Sebagian lagi ilegal sebagai aksi reaktif individu atau kelompok. Yang ilegal hampir pasti ilegal, yang legal belum pasti legal.

Warga setempat, baik masyarakat adat maupun masyarakat tempatan, hampir seluruhnya pernah mengenyam pahit-getirnya penistaan. Penistaan terjadi justru tatkala pemerintah melegalkan perambahan hebat atas hutan yang kebanyakan hanya menguntungkan segelintir pelaku ekonomi. Wajah deforestasi makin babak belur.

Pemerintah, yang oleh UUD 1945 diamanati melakukan penjagaan terhadap kekayaan alam demi sebesar-besar kemakmuran rakyat, sayangnya secara umum bertindak inefektif, atau setidaknya inefisien. Di ranah kebijakan, kelembagaan, kapabilitas, implementasi, hingga relasi kontraktual dengan pelbagai pihak, banyak kebijakan sesaat yang jadi “ketelanjuran yang merugikan bangsa”. Semua berkontribusi dalam mengonstruksi basis berpikir kita mengenai narasi perubahan untuk menyelamatkan masa depan bangsa.

Kita perlu menghentikan proses deforestasi, melindungi tegakan dan keanekaragaman hayati di dalamnya, serta memperbaiki kerusakan yang telanjur terjadi. Secara simultan, kita manfaatkan lahan korban ketelanjuran itu guna menunjang pembangunan yang harus lebih adil, bermartabat, dan sesuai amanat konstitusi. Proses, kebijakan, implementasi, dan kendaliannya harus mengindahkan hal-hal itu secara komprehensif dan serempak.

Konsepnya sederhana: kurangi deforestasi, rawat tegakan yang masih utuh, kelola pengusahaan secara lestari, tambahkan aset hayati di lahan yang kadung rusak. Meski sederhana, tetap harus diimbangi analisis komprehensif dan pelibatan multipihak, termasuk para pihak yang sudah terikat secara kontraktual untuk melaksanakan pengelolaan lahan. Mayoritas dari pihak yang disebut terakhir itu adalah mereka, para pengusaha kelapa sawit, yang setelah gelombang besar pengusahaan kayu-pulp-kertas bertransformasi ke gelombang bisnis berikutnya melalui pemasifan deforestasi.

Pemerintah telah banyak menginisiasi sejumlah prakarsa atau kampanye, seperti penegakan hukum yang lebih serius, penetapan kebijakan (misal: moratorium izin baru), serta peningkatan disiplin data (misal: menggelindingkan ”bola salju” gerakan One Map dan Open Government). Ikhtiar-ikhtiar itu menggema di banyak ruang, seperti diplomasi internasional, wacana masyarakat adat dan penggerak lingkungan, riset akademik, hingga di rapat-rapat direksi perusahaan swasta.

Dari sisi para aktor raksasa bisnis berbasis lahan, niat kuat pemerintah ini mulai ditangkap. Apalagi, realitas pasar pun memberikan tekanan yang kongruen. Kombinasi keduanya melahirkan tekad yang dituangkan ke dalam, atau sebagai, komitmen Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP).

Dengan adanya IPOP, koridor kerja sama pemerintah-swasta dalam rangka mereduksi deforestasi telah mulai terbentuk. Namun, menjadi cukup mengejutkan saat ada pejabat yang mengatasnamakan pemerintah memublikasikan pernyataan resmi, yang intinya menolak komitmen IPOP, bahkan menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara (The Jakarta Post, 29/8/2015).

Negara yang menakhodai

Adagium “pemerintah mengatur, swasta menjalankan” selayaknya tetap diteguhi. Tak mudah mengimplementasikan IPOP. Pada satu sisi, perusahaan pembuat komitmen memiliki struktur yang tak kalah birokratis dibandingkan birokrasi pemerintah. Sebab, tingkat keleluasaan bertindak di sekujur hierarki operasionalnya beragam.

Di sisi lain, komitmen dapat memengaruhi tata kelola dan tata keuangan para pemasok, termasuk para pekebun kecil. Implementasi yang realistis memerlukan proses transisi agar tujuannya tercapai. Di sinilah, lewat struktur birokrasinya, peran pemerintah perlu lebih jelas, bijak, dan tegas dalam memoderasi.

Peran pemerintah itu kunci. Dia serupa wasit dan fasilitator. Sebagai wasit yang harus berdaya, pemerintah harus memahami serta menguasai kebutuhan dan proses transisi termaksud, bukannya jadi kepanjangan tangan perusahaan dan memaksakan kehendak mereka kepada pemangku kepentingan yang lebih lemah. Sebaliknya, pemerintah juga bukan jadi pendukung fanatik si lemah yang berakibat pada terguncangnya niat baik yang disepakati di tingkat tertinggi oleh keraguan-keraguan.

Pemerintah harus hadir sebagai pemerintah. Ya, pemerintah, yang sadar dalam memimpin dan memerintah masing-masing pihak untuk bergerak menuju cita-cita bersama serta sejahtera secara berkesinambungan dan berkeadilan. Membiarkan deforestasi tanpa pengereman maksimum yang memungkinkan kesejahteraan tumbuh adalah tindakan fatal bagi jangka menengah dan panjang.

Pemerintah harus cakap mengemudi di jalur yang tak mudah ini. Ia serupa nakhoda, bukan pemandu sorak. Ia juga bukan pemaksa berbedil kekuasaan, apalagi penonton yang dibayar.

Dalam ketelanjuran “untaian zamrud” yang beralih rupa jadi “untaian gerabah” (tanah yang dibakar kegundulan), andaikan hutan adalah pakaian, maka saat ini kita telah kepalang kehilangan kemeja. Bertolak dari nurani yang mukhlis, oleh karenanya janganlah lagi mempertaruhkan secara bodoh celana sebagai penutup terakhir aurat kita.

Negara harus hadir dan berwibawa. Lebih dari itu, negara harus tahu persis ke mana haluan bahtera Indonesia ini akan diarahkan ke tujuan “Tanah Harapan” sesuai mufakatan bersama: mewujudkan pertumbuhan berkeadilan yang lebih mengamankan masa depan.

Sumber : klik di sini dan di sini

Share Button

“26 Jam Menembus Kabut Asap di Jalur Trans Kalimantan”

Hari mulai gelap, tapi kabut asap terlihat semakin pekat. Waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 20.00 ketika berangkat memulai perjalanan dari Pontianak, Kalbar, menuju Palangkaraya, Kalteng, Minggu (25/10/2015).  Perjalanan dimulai dengan melintasi rute jalur jalan Trans Kalimantan. Jalan yang menghubungkan Kalimantan Barat dengan Kalimantan Tengah secara paralel, melewati sejumlah kabupaten. Sengaja memilih waktu perjalanan di malam hari, dengan harapan asap mulai berkurang.

Benar saja, diawal perjalanan dari Pontianak melewati Ambawang (Kabupaten Kubu Raya) hingga ke penyeberangan Sungai Kapuas di Desa Piasak, Kecamatan Tayan, Kabupaten Sanggau, perjalanan masih lancar, dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Kabut asap tipis tak terlalu berpengaruh dalam perjalanan dari Pontianak menuju Tayan. Namun, kondisi air sungai yang surut membuat akses turun dari bibir sungai menuju kapal ferry penyeberangan harus dilakukan dengan ekstra hati-hati.  Adrenalin terpacu ketika roda mobil diarahkan mengikuti panduan petugas saat melewati dua bilah titian yang terpisah selebar setengah meter, dengan kemiringan lebih dari 45 derajat. Meleset sedikit saja, upaya menuruni titian sepanjang 15 meter tersebut, sudah bisa dipastikan mobil akan tercebur ke Sungai Kapuas. “Musim kemarau memang seperti ini, bahkan biasanya lebih curam lagi” kata petugas yang memandu dan menarik retribusi ketika mobil berhasil mendarat diatas kapal ferry.

Malam semakin larut. Waktu di arloji saat itu sudah menunjukkan pukul 22.20. Kapal fery pun kemudian melanjutkan perjalanan menuju seberang, setelah muatan penuh oleh kendaraan. Beruntung kami sudah berada di atas ferry, karena, kata petugas jadwal malam itu yang terakhir. Berjalan perlahan, 15 menit kemudian kapal sudah merapat di seberang. Sesekali terdengar suara klakson untuk memberi isyarat kepada kapal-kapal lain yang akan melintas.

Jalur Trans Kalimantan belum seutuhnya terhubung. Masih tersisa proyek pembangunan jembatan Tayan yang melintasi sungai Kapuas. Rencananya, tahun depan jembatan tersebut sudah bisa digunakan dan dilalui kendaraan.

Kabut Semakin Pekat
Setibanya di seberang, perjalanan kembali dilanjutkan. Awalnya, kendaraan masih bisa melaju dengan kecepatan diatas 80 kilometer per jam. Namun, hanya berlangsung sekitar setengah jam. Asap semakin pekat, jarak pandang semakin berkurang. Bahkan, sesekali jarak pandang hanya sebatas jangkauan lampu dekat mobil. Tak lebih dari tiga meter. Mobil pun tak bisa melaju. Perjalanan hanya mengandalkan rambu garis putih dan rambu mata kucing yang terdapat di sepanjang perjalanan.

Hingga memasuki Kecamatan Sandai di Kabupaten Ketapang, kami beristirahat sebentar di pinggir jalan. Mengistirahatkan badan dan mendinginkan mesin kendaraan. Perbekalan pun dikeluarkan, sebuah kompor gas lapangan lengkap dengan satu set nesting siap untuk merebus air. Lima menit kemudian, kopi pun siap untuk diseduh dan dinikmati, lumayan untuk menawarkan rasa kantuk.

Waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 01.45 dinihari. Artinya hari sudah berganti. Kabut terlihat sangat pekat saat kami beristirahat. Kendaraan yang melewati jalur tersebut tidak ada satu pun yang melaju. Semua berjalan perlahan melintasi jalan yang sepi. Pukul 02.00 tepat, perjalanan kami lanjutkan. Berjalan perlahan menuju perbatasan Kalbar-Kalteng menyusuri ruas jalan yang sunyi.

Bermalam di pinggir jalan
Melewati Kecamatan Nanga Tayap menuju perbatasan propinsi, kami kembali berhenti. Pilihan berhenti tepat di depan sebuah kios terbuka berukuran sekitar 2×2,5 meter milik warga yang berada di pinggir jalan, namun jauh dari pemukiman. Keputusan untuk berhenti saat itu karena jarak pandang yang masih terbatas. Mata pun sudah ngantuk dan badan terasa lelah, sedangkan waktu sudah menunjukkan pukul 04.30. Perlu waktu untuk istirahat.

Saya saat itu bersama Agri Aditya, seorang aktivis lingkungan, memutuskan untuk tidur di kios beralaskan matras dan koran. Sedangkan rekan perjalanan kami satu lagi, Jessica Wuysang, seorang jurnalis foto, beristirahat di dalam mobil. Tepat pukul 06.30 pagi, secara bersamaan dering alarm dari telepon seluler berbunyi dan membangunkan kami. Meski masih terasa kantuk, namun kami harus tetap melanjutkan perjalanan. Perbekalan kembali dikeluarkan. Kopi panas dan makanan ringan menemani untuk sarapan pagi itu.

Perjalanan kami lanjutkan kembali tepat pukul 07.00, Senin (26/10/2015) pagi. 30 menit kemudian kami sudah tiba di perbatasan. Sebuah gerbang besar dengan ornamen khas Dayak menjadi penanda batas masing-masing wilayah propinsi. Sekitar 10 menit kami berhenti diperbatasan untuk melihat aktivitas warga dan mendokumentasikan gambar. Perjalanan kembali dilanjutkan menuju kota Nanga Bulik, ibukota Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.

Menunggu Pasokan BBM
Pejalanan dari perbatasan menuju Nanga Bulik ditempuh sekitar tiga jam. Perkebunan kelapa sawit menjadi pemandangan sepanjang perjalanan. Kabut asap pun menyelimuti sepanjang perjalanan. Nyaris tidak ada jeda. Indikator digital bahan bakar kendaraan hanya tersisa satu balok saat tiba di Nanga Bulik. Tiba di sebuah stasiun pengisian bahan bakar (SPBU), terlihat antrian kendaraan terparkir hingga keluar pagar. Rupanya kendaraan tersebut sengaja diparkir sambil menunggu mobil tangki pengangkut BBM.

Kami memutuskan keluar dari antrian dan mencari rumah makan terdekat. Sekitar pukul 10.15 kami beristirahat di sebuah rumah makan, sambil menungu pasokan BBM tiba. “Biasanya jam 11 siang baru datang mobil tangki nya. BBM dikirim dari Pangkalan Bun, selalu ada setiap hari, dan selalu habis dengan cepat,” ujar pemilik warung tempat kami berhenti. Benar saja, sekitar pukul 11.20 kami kembali ke SPBU. Antrean semakin panjang. Sebuah mobil tangki terlihat baru saja melakukan aktivitas bongkar muat bahan bakar. Beruntung, 15 menit kemudian kami mendapat giliran untuk mengisi bahan bakar. Perjalanan pun kembali dilanjutkan menuju arah kota Sampit.

Asap dan aroma terbakar
Sepanjang perjalanan asap menyelimuti. Mulai dari asap tipis, hingga pekat. Pukul 16.30 kami kembali berhenti dipinggir jalan, sekitar 40 kilometer sebelum memasuki Kota Sampit. Perbekalan pun kembali dikeluarkan untuk ke tiga kalinya. Kondisi asap saat kami berhenti semakin pekat. Jarak pandang hanya berkisar 70-100 meter. Terlihat semua kendaraan yang melintas menyalankan lampu untuk menghindari kecelakaan.

Pukul 17.00 kami melanjutkan perjalanan. Hari mulai gelap saat kami memasuki kota Sampit. Kabut asap terasa pekat menyelimuti kota itu.  Tak lebih dari 15 menit berhenti di bundaran Kota Sampit, perjalanan kembali dilanjutkan. Mobil bergerak perlahan. Kondisi lalu lintas lumayan padat. Sesekali kendaraan harus mengikuti konvoi iringan kendaraan besar seperti truk pengangkut buah sawit dan tangki pengangkut CPO.

Hujan Deras di Palangkaraya
Tepat pukul 22.00, kami tiba di Kota Palangkaraya. Di luar dugaan, hujan deras menyambut kedatangan kami di Bumi Tambun Bungai tersebut. Sebelumnya, sekitar pukul 19.30, hujan juga sempat turun. Namun tak berlangsung lama. Hujan kemudian turun lagi saat kami tiba. Sekitar 10 menit, hujan mulai reda. Selang waktu satu jam kemudian, hujan deras kembali mengguyur, bahkan hingga pukul 24.00.

Perjalanan selama selama 26 jam dari Pontianak menuju Palangkaraya berjalan dengan lancar. Secara umum, waktu tempuh bisa lebih cepat tanpa berhenti. Kondisi jalan juga sangat baik. Aspal hitam terlihat di sepanjang perjalanan. Hanya sesekali menemukan jalan yang bergelombang dan sedang dalam perbaikan. Selebihnya, jalan Trans Kalimantan mulus.

Sumber : klik di sini

Share Button

Kipas “Penyaring Asap”

Kipas pemurni udara dikemas sederhana. Alat ini terbuat dari kipas angin biasa yang mudah didapat. Bedanya, terdapat beberapa lapis penyaring udara yang ditempel di kipas untuk memurnikan udara yang dihembuskan kipas.  Pusat Pengendali dan Pembangunan Ekoregional Kalimantan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (P3E KLHK) mengembangkan alat ini sejak pekan lalu.

Kemampuan penyaringnya konon mampu menangkap partikel kecil seperti asap tembakau, debu, serbuk sari, bulu, asap, jamur, dan beragam jenis polutan di udara. Filter ini juga diyakini bisa menangkap bahan kimia, tembakau, asap, hingga bau. “Penyaringnya bisa menurunkan secara drastik konsentrasi partikutat PM 2.5 sampai PM 10 dalam satu jam. Setelah pemakaian delapan jam kondisi udara akan lebih baik,” kata Kepala bidang Evaluasi dan Tindak Lanjut P3E Kalimantan, Sasmita Nugraha, Senin (26/10/2015).

Sasmita mengungkapkan, rencana pemurni udara ini muncul setelah kedatangan tim P3E ke Kalteng. Udara di Kalteng pekat dan tampak kuning kecoklatan yang membuat mata terasa perih dan pedas.  P3E KLHK kemudian berinisiatif mengembangkan kipas pemurni ini. Seorang pendaki yang kerap menciptakan perkakas bagi para petualang, Rahman ‘Baba’ Adi, menyarankan sebuah penyaring udara bikinan sendiri.

Penyaring udara ini terinspirasi alat sejenis yang sudah berkembang di China. Udara hasil saringan itu diyakini adalah oksigen yang lebih bersih dan baik untuk dihirup manusia.  “Kami bikin empat buah dulu dan akan kami uji coba (di Kalteng). Baru kemudian akan kami perbanyak,” kata Sasmita. “Ini pekerjaan amal bagi dia. Karena itu dia gratiskan pembuatannya. Alatnya kita yang belikan,” kata Sasmita.

Sasmita mengatakan harga alat ini sangat terjangkau warga. “Kami buat empat kipas yang akan diujicoba di luasan ruang 13,5 meter persegi. Kebutuhannya empat kipas itu sekitar Rp 5 juta,” kata Sasmita. “Kita tidak bisa menunggu lagi. Kita mesti membuatnya. Kami ke sana (Kalteng) menemui kondisi anak-anak yang sangat menyedihkan,” kata Sasmita.

Sumber : klik di sini

Share Button

Penyebab Kebakaran Hutan

Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, mengatakan, salah satu penyebab kebakaran hutan adalah pemerintah daerah yang terlalu berniat mengambil keuntungan di bidang perizinan usaha.

Akibatnya, banyak perusahaan yang tidak memenuhi syarat tetapi tetap mengelola lahan hutan dan perkebunan.

“Dalam hal asap, siapa yang memberi izin? Gubernur Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, memberi izin, kenapa? Karena mereka mengejar pendapatan daerah, sehingga ada ketentuan daerah yang melegalkan pembakaran hutan,” ujar Tamrin dalam rilis survei Populi Center di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Senin (26/10/2015).

Menurut Tamrin, jika memang masalahnya karena pendapatan asli daerah mengalami kekurangan, berarti pemerintah pusat harus menutupi itu sehingga pemda tidak mencari pendapatan sendiri.

Tamrin mengatakan, diperlukan kesepahaman antara pemerintah pusat dan daerah. Misalnya, program-program nasional yang ditentukan kementerian untuk lingkungan hidup dan agraria dapat dijalankan dan diikuti oleh pemerintah daerah.

Dengan demikian, pemda tidak dapat memberikan izin dengan sembarangan.

“Jalan keluar yang bisa dilakukan adalah dengan membuat aturan melalui undang-undang sampai peraturan pemerintah yang mengatur tentang hubungan pusat dan daerah yang sudah terputus sehingga pemda mengikuti program yang ditetapkan pemerintah melalui kementerian,” kata Tamrin.

Sumber : klik di sini

Share Button

Selamatkan Penyu dari Kepunahan!

Keberadaan penyu di dunia saat ini sudah semakin langka. Tidak saja spesiesnya yang terus menyusut, populasi penyu dari spesies yang tersisa juga dewasa ini terus berkurang jumlahnya. Sebelum tersisa hanya 7 spesies saat ini, jumlah spesies penyu di dunia mencapai 30. Penyusutan itu terjadi karena perubahan zaman dan berbagai faktor lainnya.

Marine Species Conservation Coordinator WWF Indonesia Dwi Suprapti menjelaskan, penyusutan jumlah spesies penyu yang sekarang terjadi menjadi fenomena menyedihkan dan harus dicegah agar tidak berkurang lagi.

“Tugas itu menjadi tanggung jawab kita bersama. Terutama, karena Indonesia menjadi rumah bagi 6 penyu dari total 7 spesies yang tersisa di dunia ini. Ini pekerjaan rumah yang berat,” ungkap Dwi Suprapti di Jakarta, Kamis (22/10/2015).

Dia mengungkapkan, 6 (enam) spesies penyu yang ada di Indonesia adalah penyu hijau (chelonia mydas), penyu sisik (eretmochelys imbricata), penyu lekang (lepidochelys olivacea), penyu belimbing (dermochelys coriacea), penyu tempayan (caretta caretta), dan penyu pipih (natator depressus).

Dari 6 spesies tersebut, Dwi menyebutkan, saat ini 3 spesies statusnya sangat memprihatinkan. Terutama, spesies penyu sisik dan penyu hijau. Kedua penyu tersebut saat ini sudah bersatus hampir punah. Sementara, penyu belimbing kondisinya tak jauh berbeda, namun sudah lebih baik dari kedua saudaranya tersebut.

Penyebab utama terus menyusutnya populasi penyu di dunia, dan khususnya di Indonesia, adalah karena terjadinya alih fungsi lahan di pesisir pantai dan juga perubahan gaya hidup di masyarakat yang mendorong berlangsungnya perburuan terhadap penyu-penyu yang statusnya adalah satwa langka.

“Ini memang memprihatinkan. Kita harus bisa menyelamatkan penyu dari ancaman kepunahan. Mereka juga makhluk hidup yang harus diberi kesempatan untuk hidup,” tandas dia.

“Penyu belimbing itu populasinya sekarang sudah di bawah 2000-an ekor. Itu berbeda dengan beberapa dekade lalu yang massih diatas 8.000 an ekor. Kami berupaya untuk menjaga populasi yang ada sekarang,” papar dia.

Semakin langkanya penyu belimbing yang merupakan spesies penyu terbesar saat ini, menurut Dwi, diakibatkan karena masih terjadinya perburuan telur penyu oleh masyarakat sekitar pesisir pantai dan atau terjadinya ketidaksengajaan tertangkap oleh alat tangkap kapal.

“Penyu belimbing itu kan tidak memiliki karapas dan dia bernafas dengan paru-paru. Jadi setiap lima jam harus naik ke permukaan untuk bernafas. Namun, jika dia terperangkap dalam alat tangkap seperti jaring, maka dia terancam tidak bisa bernafas lagi karena terjebak di dalam air,” cetus dia.

Sulawesi Utara

Terus menyusutnya populasi penyu juga diakui oleh Simon Purser, Wildlife Rescue Center dari Tasikoki, lembaga yang fokus menyelamatkan populasi penyu di dunia. Menurut dia, salah satu penyebab terus menyusutnya penyu, karena perilaku manusia yang sembarangan membuang sampah ke laut.

“Meski sumbangan sampah hanya 5 persen saja untuk total penyebab penyusutan populasi, namun sampah memang berpengaruh banyak. Dengan menelan sampah, terutama sampah plastik, maka ancaman hidup penyu semakin nyata,” jelas dia.

Ihwal berpengaruhnya sampah dalam penyebab penyusutan penyu, menurut Simon, karena penyu itu makanan utamanya adalah ubur-ubur. Sifat hewan laut tersebut yang ringan di dalam air saat bergerak, selintas wujudnya seperti plastik.

“Karenanya, kalau ada plastik yang mengapung di laut, karena terbawa gelombang atau ombak, maka gerakannya seperti ubur-ubur. Dan itu biasanya langsung dimakan oleh penyu,” tandas dia.

Oleh itu, baik Simon maupun Dwi sama-sama sepakat dan menghimbau kepada masyarakat dunia dan khususnya di Indonesia, untuk bisa menjaga perilaku hidup keseharian untuk tidak membuang sampah sembarangan. Selain itu, keduanya juga meminta masyarakat untuk menjaga penyu karena sudah berstatus satwa langka.

Sedangkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna), memasukkan semua jenis penyu dalam appendix I, yang artinya dilarang perdagangkan untuk tujuan komersial.

Di Indonesia, semua jenis penyu dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, yang berarti perdagangan penyu dalam keadaan hidup, mati maupun bagian tubuhnya dilarang. Menurut UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,  pelaku perdagangan (penjual dan pembeli) satwa dilindungi seperti penyu itu bisa dikenakan hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp100 juta. Pemanfaatan jenis satwa dilindungi hanya diperbolehkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan dan penyelamatan jenis satwa yang bersangkutan.

Papua Barat Jadi Provinsi Konservasi

Keseriusan Provinsi Papua Barat terhadap konservasi semakin nyata dengan ditetapkan provinsi tersebut sebagai provinsi konservasi pada 19 Oktober lalu atau bertepatan dengan ulang tahun ke 16 provinsi Papua Barat.

Dengan menjadi provinsi konservasi, menurut Gubernur Abrahama O. Atuturi, pihaknya bersama masyarakat akan berkomitmen untuk menjaga dan melestarikan sumber daya alam. Selain itu, untuk memperkuat status, Pokja Provinsi Konservasi saat ini sedang menyusun Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Ranperdasus) sebagai dasar pengimplementasiannya di Provinsi Papua Barat.

“Deklarasi Provinsi Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi ini adalah momentum kita bersama untuk selalu menjaga dan mengelola sumber daya alam Papua Barat secara bijak, lestari, dan berkelanjutan, sehingga senantiasa terpelihara untuk kehidupan kita pada saat ini maupun generasi nanti,” kata Abraham.

Di Papua Barat, WWF Indonesia – Program Papua saat ini bekerja di dua lokasi, yaitu di Kabupaten Teluk Wondama yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih dan di Abun, Kabupaten Tambrauw. Selain itu, WWF Indonesia juga tergabung dalam program konservasi Bentang Laut Kepala Burung (Bird Head Seascape) bersama Conservation International (CI) dan The Nature Conservacy (TNC).

Papua Barat memiliki wilayah Bentang Laut Kepala Burung yang kaya akan keanekaragaman hayati laut dan 90% luas kawasan Papua Barat merupakan kawasan hutan alam.

Sumber : klik di sini

Share Button

Tiga Hal Atasi Kebakaran Hutan

Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad meminta Presiden Joko Widodo melakukan terobosan hukum.  Hal itu untuk mengatasi persoalan kebakaran hutan dan lahan secara permanen. Chalid mengatakan, setidaknya ada tiga hal yang dapat dilaksanakan Presiden.

Pertama, mendorong kepala-kepala daerah untuk menerbitkan peraturan yang tegas jika ada lahan yang terbakar. “Misalnya gini, mau sengaja dibakar, mau dia (perusahaan) lalai, mau dia salah atau tidak, tapi jika lahan itu kebakaran, perusahaan itu yang bertanggung jawab,” ujar Chalid dalam diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (24/10/2015).  Peraturan daerah semacam ini, sebut Chalid, membuat penegak hukum tidak perlu repot-repot mencari siapa pelaku pembakar dan bagaimana hutan dan lahan tersebut dapat terbakar.

Kedua, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau lembaga bentukan baru, wajib memulihkan lahan gambut yang habis terkena kebakaran. Pemerintah juga menerbitkan peraturan bahwa tidak boleh ada lagi izin pembukaan lahan.

Ketiga, lanjut Chalid, pemerintah juga harus mengevaluasi izin pembukaan lahan di seluruh Indonesia. Bekukan lahan yang belum dilakukan land clearing agar di kemudian hari tidak terjadi kebakaran.  “Sudah saatnya pemerintah melaksanakan terobosan-terobosan. 18 tahun sudah kita seperti ini terus. Sampai sekarang enggak habis-habis kita diskusi soal asap,” ujar dia.

Sumber : klik di sini

Share Button