Rumah Baru Untuk Sang Bekantan

Ben seekor Bekantan jantan yang berhasil dievakuasi dari kebakaran hutan di bantaran Sungai Rutas, Kabupaten Tapin pada 22 September lalu akhirnya dinyatakan siap dilepasliarkan kembali pada siang hari ini pukul 14.00 (8/10). Pulau Bakut sebuah kawasan konservasi yang dikelola oleh PT. Pertamina ini akan menjadi habitat baru bagi Ben dan bekantan-bekantan lain yang berhasil diselamatkan.

Bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Selatan, PT. Pertamina dan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) sepakat untuk memulihkan kembali populasi dari satwa endemik yang statusnya kian terancam punah. “Kami tergerak untuk memberikan habitat baru bagi mereka dengan cara memindahkannya ke sini (Pulau Bakut) sesuai arahan BKSDA. Dalam lima tahun ke depan, pulau ini akan menjadi lokasi penyelamatan bekantan dan tentunya tempat mereka berkembang biak,” jelas Andar Titi Lestari, Senior Supervisor External Relation PT. Pertamina Regional Kalimantan.

Selama lima tahun ke depan program penyelamatan bekantan akan dilakukan dengan melindungi habitat seluas 18,7 hektar ini. Bakut merupakan salah satu dari lima pulau di Kalimantan Selatan yang ditetapkan sebagai Pusat Konservasi Bekantan. Terdapat 48 ekor Bekantan yang terbagi dalam empat kelompok telah menghuni pulau ini.

Ben adalah bekantan berusia dua tahun yang beruntung, karena saat api melahap habitat lamanya di Sungai Rutas, ke-empat kawannya tewas terbakar. Ia ditemukan oleh tim SBI dalam kondisi depresi dan wajah penuh luka bakar. Rehabilitasi selama dua minggu dilakukan hingga kini ia dinyatakan sehat dan siap bertemu dengan empat kelompok bekantan yang sudah lebih dulu menghuni Pulau Bakut.

Sebelumnya, penyelamatan bekantan yang merupakan salah satu implementasi dari program Pertamina Sobat Bumi ini telah berlangsung sejak bulan Juni lalu dan berhasil merehabilitasi hingga melepasliarkan kembali Kevin, Atak, Diang, Bagio, Lestari, dan Titik yang kini masih dirawat secara intensif.

“Kami berharap masyarakat dapat bersinergi untuk mewujudkan target 10% peningkatan populasi Bekantan untuk lima tahun ke depan. Secara sederhana bantu kami menciptakan lingkungan yang bersih dengan tidak membuang sampah sembarangan dari jembatan Barito,” tegas Amalia Rezeki, Ketua Sahabat Bekantan Indonesia.

Sumber : klik di sini

Share Button

KPK Perkirakan Kerugian Negara di Sektor Kehutanan Hampir Rp900 Triliun

Kajian teranyar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan, kerugian negara dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan kayu komersial yang tak tercatat, mencapai nilai fantantis hampir Rp900 triliun dalam periode 2003-2014.

Kajian KPK menemukan, produksi tercatat jauh lebih rendah daripada volume kayu panen dari hutan alam Indonesia. Total produksi kayu sebenarnya selama 2003-2014 mencapai 630,1-772,8 juta meter kubik. Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) periode itu 143,7 juta meter kubik, mengindikasikan hanya mencatat 19–23% dari total produksi kayu selama periode kajian. Sebagian besar, 77–81% tak tercatat.

Dari produksi ini, 60,6 juta meter kubik dipungut dari pemegang izin HPH melalui sistem tebang pilih. Sedangkan 83,0 juta meter kubik hasil pembukaan lahan untuk pengembangan hutan tanaman industri (HTI), perkebunan sawit dan karet, dan pertambangan.

Keadaan inipun berdampak pada pendapatan yang diterima negara. Periode 2003-2014, pemerintah memungut  PNBP selisih US$3,23 miliar (sekitar Rp31 triliun) dari dana reboisasi (DR) dan komponen hutan alam provisi sumber daya hutan (PSDH). Seharusnya, penerimaan agregat pemerintah sekitar US$ 9,73-Rp12,25 miliar (Rp93,9-Rp118 triliun) dari DR and PSDH selama periode itu.

“Angka ini menunjukkan total kerugian negara akibat pemungutan penerimaan DR and PSDH kurang maksimal mencapai Rp62,8-Rp86,9 triliun, rata- rata Rp5,24-Rp7,24 triliun per tahun selama 12 tahun periode kajian,” kata Wakil Ketua KPK Zulkarnain, dalam keterangan kepada media, Jumat (9/10/15). Pada hari itu, KPK mengadakan pertemuan bersama KHLK dan Kementerian Keuangan, membahas temuan ini.

KPK , katanya, memandang penting kajian ini untuk menghentikan kerugian negara di sektor kehutanan, memeriksa sistem yang memungkinkan kerugian, dan mengkoordinasikan upaya memperbaiki sistem serta meningkatkan penerimaan.

“Biaya pemeliharaan hutan sangat besar. Kalau PNBP tidak dikelola baik, tidak akan membawa perbaikan bagi kesejahteraan rakyat. Dengan ada kajian ini, bersama instansi terkait, kita bisa memperbaiki hingga sistem lebih baik dan akuntabel. Potensi kehilangan keuangan negara bisa diminimalisasi.”

Menurut hukum Indonesia, kayu tidak tercatat menjadi aset negara yang dicuri, dan uang hasil penjualan kayu ini dapat dianggap kerugian negara dan hasil kejahatan (proceeds of a crime).

Kajian KPK menyebutkan, agregat kerugian negara dari nilai komersial domestik produksi kayu tidak tercatat periode sama, mencapai US$60,7–US$81,4 miliar (Rp598,-Rp799,3 triliun), atau US$5,0- US$6,8 miliar (Rp49,8- Rp66,6 triliun) per tahun.

Nilai kerugian tahunan meningkat tajam periode kajian dari nilai terendah US$1,4- Rp1,9 miliar (Rp12,1-Rp16,8 triliun) pada 2003, sampai nilai tertinggi US$ 7,7-US$ 9,9 miliar (Rp80,7-Rp104,3 triliun) pada 2013.

Peningkatan drastis ini didorong perluasan pembukaan lahan komersial begitu cepat dan kenaikan harga kayu bulat cukup signifikan di pasar domestik dan internasional.

Data ITTO, harga domestik kayu meranti di Indonesia naik dari US$77 per meter kubik pada 2003 menjadi US$244 per meter kubik pada 2013.

Hasil kajian ini,  juga memperlihatkan kelemahan-kelemahan dalam sistem administrasi PNBP kehutanan, seperti data dan informasi, pengendalian internal tidak memadai dalam memastikan akuntabilitas tata usaha kayu dan pemungutan PNBP. Juga mekanisme akuntabilitas eksternal tidak memadai mencegah kerugian negara, efektivitas penegakan hukum kehutanan terbatas dan tarif royalti sektor kehutanan ditetapkan pada tingkat memfasilitasi pengambilan rente ekonomi sangat terbatas oleh pemerintah hingga memberikan insentif implisit bagi pengelolaan hutan tidak lestari.

Bambang Hendroyono, Sekjen KLHK  mengatakan, KLHK sejalan dengan kajian KPK. “Pemungutan PNBP belum optimal.  Hingga kami melakukan terobosan paralel agar bisa dipungut seluruh tanpa ada hilang.”

KLHK, katanya, menjalin kerjasama dengan KPK sejak 2010. Kementerian ini merasakan manfaat dan melakukan beberapa perbaikan terutama tata kelola. “Kami sepakat selalu memfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan KPK.”

Dalam kaitan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam, KPK akan bekerjasama dengan KLHK, Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan instansi lain dalam menyikapi kelemahan ini.  Bersama lembaga-lembaga ini, KPK tengah merumuskan rencana aksi untuk memperkuat penatausahaan produksi kayu dan meningkatkan PNBP sektor kehutanan.

Ada beberapa rencana aksi, antara lain, pertama, audit komprehensif PNBP kehutanan dilakukan BPK. Kedua, seluruh produksi kayu dari hutan kelola negara tercatat pada Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SI-PUHH) di website KLHK online dan terbuka bagi publik. Sistem ini meliputi dokumen resmi dari inventarisasi, perencanaan, hasil produksi, pembayaran PNBP, dan laporan konsumsi kayu oleh industri pengolahan kayu.

Ketiga, peralatan monitoring berbasis spasial untuk memverifikasi inventaris hutan pada semua areal pembukaan lahan sebelum panen. Keempat, koordinasi rutin antara KLHK dan Kementerian Keuangan guna merencanakan target PNBP.

Pada 2009, Human Rights Watch (HRW) juga pernah merilis laporan soal kerugian Indonesia dari sektor kehutanan setiap tahun mencapai US$2 miliar. Kerugian ini disebabkan beberapa faktor seperti, pembalakan liar, subsidi siluman, termasuk penetapan harga kayu dan nilai tukar mata uang yang dipatok lebih rendah untuk menghindari pajak.

Dari hasil riset HRW menemukan, periode  2003-2006, lebih setengah kayu tebangan Indonesia dari pembalakan liar dan luput pajak.  Juga dari subsidi siluman, dengan sengaja pemerintah mematok harga kayu dan nilai tukar lebih rendah dari harga riil. Lalu, eksportir menghindari pajak yang dikenal dengan harga transfer hingga makin memperbesar kerugian.

Laporan HRW itu menyebutkan, pada 2006, pemerintah Indonesia mengalami kerugian lebih US$2 miliar dari pajak tak terpungut karena pembalakan liar US$1,3 miliar, manipulasi royalti hutan agar lebih rendah dari seharusnya US$563 juta, dan praktik transfer harga ilegal US$138 juta. Secara keseluruhan periode 2003-2006, perilaku itu merugikan negara sekitar US$6 miliar.

Sumber : klik di sini

Share Button

Langkah Mundur Tata Kelola Hutan

“Kalau saya dengar isu DE (deklarasi ekspor) mau paten, itu satu langkah kemunduran. Ibarat sudah ngerjakan soal SMA, lalu kembali lagi ke kerjaan SD.” Begitu respon perajin Jepara, Febti Estiningsih, kala mendegar rencana perubahan aturan ekspor produk mebel kayu dan kerajinan tak perlu menggunakan dokumen V-Legal.

Dia menceritakan, masa awal mendapatkan dokumen itu. Pada 2012, kala mendengar, produk kerajinan dan mebel wajib memiliki sertifikasi kayu, Febti berusaha mencari tahu. Pada 2012, diapun mengurus proses mendapatkan sertifikat verifikasi legalitas kayu (SVLK). “Ada yang bilang, buat apa kok repot-repot. Saya ingin bisnis saya berkembang. Saya baru mau upgrade perusahaan dengan harapan sistem ini bisa angkat usaha,” katanya di Jakarta, Senin (5/10/15).

Pada 2013, dokumen SVLK pun dia pegang. Perajin Jepara pemilik CV Tita International inipun lega sekaligus bangga. Percaya diri makin besar. Diapun dengan penuh percaya diri memasang iklan perusahaan dengan memberikan keterangan, pemilik V-Legal.

Pelahan para pembeli datang. “Saya temukan buyer-buyer. Padahal perusahaan saya kecil. Saya berani pasang papan iklan, dengan V-legal. Ada buyer Jepang nyasar gara-gara plang saya. Mereka bilang, pemerintah punya aturan itu bisa nilai positif buat mereka,” ucap Febti.

Kini, dia bisa merasakan hasil dari menggunakan dokumen V-Legal ini. Tiap bulan, setidaknya dia ekspor dua kontainer produk. Dia khawatir kala mendengar kabar pemerintah ingin menurunkan derajat dengan menghapus kewajiban sertifikasi kayu untuk bisnis mebel kayu dan kerajinan. “Pemerintah sudah lakukan satu langkah lebih maju buat atur tata tertib aset negara yaitu hutan. Saya eksportir Jepara dari awal 2012, berani putuskan buat laksnakan SVLK karena itu mandatory.”

Dengan kewajiban ini, para pembeli yang sudah lari ke luar Jepara kembali lagi percaya pada perusahaan-perusahaan yang patuhi aturan. Memang, katanya, di Jepara, pebisnis menyikapi pro kontra terhadap aturan ini. Namun, dia menilai, SVLK ini jauh lebih baik dibandingkan harus menurunkan derajat.

Tak jauh beda diungkapkan Eva Krisdiana, pedagang kayu UD. TNS Berkah Ilahi, Jepara. Dia merasakan banyak manfaat dari memiliki SVLK. “Kita bisa tahu sumber kayu yang dipakai dan kayu ekspor dengan jelas. Asal usul kayu saya jelas. Manajemen keluar masuk kayu juga jelas,” kata perempuan yang juga Ketua Kelompok TPT, KUB Cipta Maju Jaya Wood ini.

Manajemen usahapun jadi teratur. Dengan SVLK, mereka mengelola usaha menjadi lebih profesional walaupun perusahaan kecil, setahun di bawah 2.000 meter kubik. “Sebelumnya, misal gak kenal kayu dari mana, gak catet kayu. Ada orang utang pun dicatet di tembok. Bahkan nota itu dikilokan sama istrinya. Gak pernah tahu kayu berapa.  Jadi, kita lihat SVLK bantu perusahaan kecil implementasikan manajemen baik.”

Selain itu, dengan SVLK, memberikan dampak positif dengan peningkatan pembeli. “Walau perusahan kecil, kami jelas. Ada legalitas, perizinan ada, penjualan kayu jelas.”

Dulu, katanya, tempat penampungan kayu banyak tak berizin. Hanya tempat penampungan terdaftar (TPT) dia yang berizin. “Pokoknya asal beli kayu. Gak tau kayu dari mana.” Dengan ada SVLK, katanya, sosialisasi ke pedagang berjalan. Awalnya tak tahu aturan, kini mengenal SVLK. “Orang yang sebelumnya tertidurnya, dibangunkan.”

Menurut dia, aturan SVLK ini, soal urusan jangka panjang, masa depan hutan-hutan negeri ini. “Ketika kita atur kayu-kayu kita, buat 20 sampai 30 tahun, buat anak cucu kita.”

Eva mengenang kala 1998, bisnis keluarga dia sempat bangkrut, karena mereka tak mau menjual kayu ilegal. “Kalau kembali ke hati nurani, saya dan mama sempetsedih. Ketika pulang kampung, setiap kali pulang hutan gede-gede. Setelah ada illegal logging, bersih. Cuma liat tahah gersang.”

Dia khawatir, kala verifikasi legalitas kayu ini diabaikan alias tak perlu lagi di bisnis mebel kayu dan kerajinan maka tragedi masa lalu bakal terulang. “Kalau ini sampai digagalkan, saya terus terang sedih. Saya tiap hari ikut sosialisasi, hanya untuk yakinkan, beli kayu harus bener. Jangan karena motif uang, beli kayu tak jelas,” katanya.

Alasan instruksi Presiden

Ya, upaya memperbaiki tata kelola hutan lewat SVLK ini memang sedang terancam kalau pemerintah lewat Kementerian Perdagangan mengesahkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) soal ekspor produk industri kehutanan, yang tak wajib SVLK bagi industri mebel kayu dan kerajinan (15 HS Code).

“Sekarang terkait Instruksi Presiden, lakukan deregulasi dan debirokratisasi, maka kita akan terbitkan Permendag baru dalam satu dua hari ini, dengan mencabut Permendag No 97 tahun 2014 dan Permendag 66 tahun 2015,” kata  Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan, Kementerian Perdagangan, Nurlaila Nur Muhammad kepada Mongabay, Senin (5/10/15).

Pada 2014, katanya, ada kesepakatan tiga kementerian, yakni, Kementerian Perdagangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Perindustrian soal batas waktu penggunaan DE sampai 31 Deember 2015.

Dengan semangat deregulasi itu, maka Permendag soal kebijakan ekspor produk industri kehutanan yang baru akan menghilangkan verifikasi ganda. SVLK pada industri mebel kayu dan kerajinan dinilai tak perlu hingga dihapuskan dari kewajiban pebisnis, hanya bersifat sukarela. Bagi Kemendag, verifikasi cukup dilakukan pada industri hulu.

“Kewajiban SVLK, ada 15 HS Code, itu terkait produk industri mebel kayu dan kerajinan, itu tak lagi wajib SVLK, sifatnya voluntary atau sukarela.  Begitu juga rotan. Itu tak wajib SVLK,” katanya.

Pada prinsipnya, ucap Nurlaila, pemerintah ingin SVLK hanya hulu, tak perlu pada industri hilir. Namun, katanya, untuk beberapa produk hilir seperti kertas dan pulp juga kayu itu tetap wajib karena industri siap ber-SVLK. “Yang bebas SVLK hanya HS Code 15,  itu produk industri mebel kayu dan kerajinan.”

Poin penting lain dari kebijakan ekspor industri perkayuan ini, menghapus ketentuan surat persetejuan ekspor (SPE) kayu ulin. “Sekarang tak perlu lagi. Hapus. Kayu ulin kalau mau ekspor, yang diverifikasi hanya dengan SVLK.”

Langkah Kemendag ini menuai kekhawatiran banyak pihak. Organisasi masyarakat sipil yang selama ini bekerja di lapangan dan melihat banyak praktik buruk pada industri kehutanan pun berang. Mereka menilai, kebijakan ini jelas-jelas langkah mundur perbaikan tata kelola hutan di Indonesia.

“Kalau ada teriakan-teriakan keberatan, apakah mereka tak bisa buktikan kalau kayu-kayu mereka dari sumber legal?” kata Ian Hilman, dari Eyes On The Forest.

Dari hasil pantauan di lapangan, masih ada perusahaan legal tetapi sumber kayu tak legal. Jadi, masih banyak ruang terbuka dari hulu kayu tak legal, di hilir menjadi legal. Jadi, katanya, guna memastikan kayu-kayu diperoleh legal, dari hulu sampai hilir harus terjamin. “Karena banyak celah, kenapa harus SVLK melangkah mundur?”

Ian mengatakan, SVLK tak berbicara untuk kebutuhan ekspor kayu Indonesia namun semangat negeri ini dalam memperbaiki tata kelola kehutanan. Jadi, ekspor maupun tidak, dengan SVLK ini ada upaya Indonesia agar industri beroperasi industri beroperasi legal.

Syahrul F dari Auriga angkat bicara. Menurut dia, SVLK itu bukan melulu soal tata niaga, paling utama tata kelola hutan. Kemunculan kebijakan tak sejalan dengan SVLK itu, katanya,  menunjukkan ketidakharmonisan pemerintah. “Itu jadi persoalan yang lemahkan perlindungan hutan yang sudah lama diperjuangkan. SVLK ini tempuh jalan panjang. Proses 10 tahun. Sampai saat ini, masih proses.  Justru malah ada aturan yang tak akomodir SVLK.”

Dia ingin membuka mata pemerintah dengan kebakaran hutan dan lahan yang saat ini terjadi, itu memperlihatkan tata kelola hutan tak baik. Baru saja ada upaya perbaikan tata kelola hutan, malah dipatahkan dengan kebijakan ekspor. “SVK ini buat bikin kelola hutan tertib. Justru ketika ada upaya perbaikan kok malah lahir kebijakan tak mendukung,” katanya.

Perkuat aturan SVLK

Demi memperbaiki tata kelolal hutan, seharusnya, SVLK malah diperkuat. SVLK, katanya,  tak cukup diatur peraturan menteri karena kurang mengikat. “Pemerintah harus menguatkan dengan peraturan pemerintah. Selain memperkuat juga diintegrasikan ke lini semua pemerintahan. Bahkan di pemda, SVLK ini belum familiar. Ini harus perhatian bersama.”

Zainuri Hasyim, dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan menilai, ada kesalahan pandang atas instrumen  SVLK ini. “Ini kesalahan cara pandang kala SVLK jadi instrumen ekspor. Padahal,  ini sistem jaminan kelestarian legalitas kayu dan produk. Jika ada Kemendag lihat ini sebagai intrumen ekspor, salah pandang. Kepatuhan komitmen ini yang harus didukung Kemendag lewat aturan yang mereka terbitkan.”

Senada dengan Syahrul, Zainuripun meminta level aturan SVLK memang harus ditingkatkan. Karena, dengan fakta ini terlihat koordinasi antarkementerian tak harmonis.

Menurut dia, jika yang dikeluhkan soal kesulitan SVLK, banyak pihak, termasuk pemerintah sudah membantu memberikan kemudahan sertifikasi dengan berbagai program, sampai insentif biaya.

Citra Hartati, dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) sangat khawatir dengan perkembangan revisi Permendag ini.  “Jangan sampai ini jadi langkah mundur. Untuk memperkuat itu kami minta ada aturan lebih tinggi, jangan sampai cuma Permenhut,” katanya.

Pemerintah Indonesia, kata Citra, seharusnya bangga karena mempunyai sistem ini. Negara lain saja, ingin belajar. “SVLK itu sebenarnya kebanggaan. Itu sama dengan harga diri bangsa. Yang dulu dicap pelaku illegal logging. Sekarang sudah ada sistem.”

Serupa dikatakan Timer Manurung juga dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan. Bagi dia, perlu ada perubahan cara melihat, termasuk dari kalangan pengusaha yang mau menggagalkan SVLK. “Justru SVLK ini pastikan kayu tetap ada. Karena kalau dibuka semua akan habis sepetti 1998.”

Dalam penerapan SVLK ini, tak usah memandang karena ada kerja sama dengan Eropa maupun negara lain, tetapi demi kepentingan dan kebaikan Indonesia. “Bukan karena kita ditekan Eropa, bukan beratkan pengusaha. Ini agar pengusaha berbisnis janga panjang. Kalau ada yang bilang SVLK memberatkan, saya mau tanya, semangatnya apa? Kemudahan sudah dikasih.”

Bagi pemerintah, seharusnya, SVLK ini menjadi instrumen utuh buat tata kelola, dari pendataan sampai perencanaan. “Di tambang hampir 30% gak ada NPWP. Industri kayu juga. Kalau gak ada SVLK, pemerintah itu gak akan tahu. SVLK itu bantu negara. Pemerintah jadi tambah data. Ubahlah cara pandang itu.”

Dari data, terlihat hanya sedikit nilai ekspor kayu dari bukan pengguna SVLK. “Jangan karena orang liar, maka kita mau ikut-ikutan liar. Kita lihat kepentingan negara kita. Negara hadir itu seperti itu,” ucap Manurung.

Nilai ekspor dalam beberapa tahun belakangan setelah menggunakan V-Legal malah mengalami peningkatan. Pada 2013, nilai ekspor industri perkayuan US$6,067,388,152, 2014 naik menjadi US$6,602,595,732 dan 2015, baru sampai September sudah US$8,034,792,378. Kala dilihat perbandingan antara nilai ekspor menggunakan DE (15 HS Code) sampai September 2015 sebesar US$162,340,187.48 (2%), V-Legal (15 HS Code) US$1,421,809,541,99 (17,70%). Nilai ekspor yang menggunakan dokumen V-Legal US$8,034,792,278,38.

Kalaupun mau berbicara SVLK buat kepentingan ekspor, seharusnya Indonesia bangga karena menjadi pionir.  Tiongkok, yang disebut-sebut sebagai negara pasar kayu tak perlu bersertifikat itu sebentar lagi juga berubah. “China mau negoisasi dengan Uni Eropa. Burma bentar lagi bangun skema dengan Inggris.” Uni Eropa, termasuk Inggris adalah pasar yang mengharuskan produk kayu dengan lacak balak jelas.

“Dunia itu kecil, kalau gak ada sistem kita gak akan compete. Ini juga kepentingan pengusaha kita.”

Seharusnya, kata Manurung, peerintah berpikir lebih maju, bahwa SVLK bukan hanya soal ekspor juga pasar dalam negeri. “Misal proyek-proyek pemda, bangunan pemerintah pakai produk ber-SVLK. Instrumen ini dikuatkan.”

M Ichwan, dari PPLH Mangkubbumi juga pemantau kehutanan dari Jawa Timur mengatakan, setelah cermati draf revisi Permendag, kalau berlanjut  akan menciderai sistem yang dibangun multipihak bersama 10 lalu. Kala ada SVLK saja, masih banyak kayu-kayu lalu lalang tanpa dokumen V-Legal, apalagi ada peluang tak mengharuskan itu.  “Kami di Jatim, tolak keras, kalau memang draf Permendag ini dilanjutkan. Ini dari dalam sistem yang merusak sistem.”

Dia mencontohkan di Jatim, sebagai jadi salah satu provinsi pintu ekspor kayu ke Uni Eropa dan negara lain. Ada tiga pelabuhan di Gersik, Tanjungperak dan Pasuruan dengan pasokan kayu dari Papua, Kalimantan dan Sulawesi.

“Sekitar 90% suplai kayu di Jatim dari Papua. Dan 85% kayu merbau. Pantauan kami, Januari sampai September ini, hampir 75% kayu bulat atau olahan masuk ke pelabuhan tanpa ada V-Legal sesuai mandat permen. Artinya, bisa dipastikan kayu-kayu  itu tak bisa dijamin dari aspek legalitas,” katanya.

Bahkan, pemantauan dua minggu lalu, mereka mendapatkan kayu-kayu log besar di pelabuhan Gersik, tak bertanda V-legal. Bahkan, sudah ke petugas di dinas kabupaten maupun kota menanyakan dokumen V-Legal juga tak ada.  Dia prihatin juga, kala provinsi ternyata masih tak paham dokumen V-Legal.

Menurut dia, sejak ada larangan ekspor kayu bulat, modus ‘pencucian kayu’ yang masuk ke Jatim, berganti ke kayu olahan.

Sumber : klik di sini

Share Button

Deklarasi Ekspor Abaikan SVLK, Nasib Hutan…..

Perintah Presiden Joko Widodo kepada jajarannya agar memberikan kemudahan bagi pebisnis maupun investor, tampaknya ditanggapi kebablasan tanpa memikirkan dampak buruk yang bakal muncul ke depan. Satu contoh, revisi Peraturan Menteri Perdagangan tentang industri kehutanan yang sedang disusun seakan mengabaikan sertifikasi verifikasi legal kayu (SVLK).

Draf aturan itu, antara lain menyatakan, industri kecil menengah bisa ekspor produk cukup menggunakan deklarasi ekspor (DE). Sebelumnya, DE bisa dipakai oleh IKM selama belum memiliki sertifikat verifikasi legalitas kayu (SVLK) sampai Desember 2015. Namun, dalam revisi itu tak menyebutkan batas waktu dengan kata lain tak perlu pakai SVLK karena cukup menggunakan DE. Jika berlaku, aturan ini dinilai bakal memarakkan kembali illegal logging dan hutan makin terancam.

“Ini jadi persoalan Permendag 66 mengacuhkan itu. DE tak dinyatakan ujung sampai 31 Desember 2015. Artinya berlaku seterusnya. Artinya SVLK tak ada gunanya. Ini kurang pas. Kita tak beri reward pada yang patuh dan yang tak taat hukum malah dapat reward,” kata  Ida Bagus Putera Prathama, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jumat akhir pekan lalu.  Untuk itu, KLHK meminta, pembahasan kembali Permendag ini.

Kemendag seakan menganggap SVLK menghambat ekspor. Padahal, jika melihat data ekspor produk kayu malah mengalami peningkatan sejak pemberlakuan SVLK.

Putera memaparkan,  nilai ekspor dalam beberapa tahun belakangan setelah menggunakan V-Legal malah mengalami peningkatan. Pada 2013, nilai ekspor industri perkayuan US$6,067,388,152, 2014 naik menjadi US$6,602,595,732 dan 2015, baru sampai September sudah US$8,034,792,378. Kala dilihat perbandingan antara nilai ekspor menggunakan DE (15 HS Code) sampai September 2015 sebesar US$162,340,187.48 (2%), V-Legal (15 HS Code) US$1,421,809,541,99 (17,70%). Nilai ekspor yang menggunakan dokumen V-Legal US$8,034,792,278,38.

“Dari hasil pemanfaatan hanya 2% yang pakai DE. IKM yang sudah SVLK, sebagian sudah berproses dari 700-an IKM. Januari 2016 yakin IKM bisa semua dapat SVLK. Apa yang perlu kemudahan? Kan udah gak masalah?”

Tak jauh beda Agusjusnianto, Staf Ahli Bidang Sumber Daya Alam KHLK. Menurut dia, tak beralasan jika SVLK dikatakan menghambar ekspor jika melihat nilai ekspor yang malah meningkat kala penerapan dokumen ini.

Soal IKM yang disebut-sebut sulit menjadapatkan SVLK, sebenarnya sudah mendapatkan fasilitasi. Dia menyebutkan, IKM terdaftar 804 unit, pakai DE 352 unit. IKM sedang dan sudah peroleh SVLK sampai kini 278 unit. Sebenarnya,  dari 352 IKM, hanya 74 unit belum ber-SVLK. “Artinya, kita yakin sampai 31 Desember atas fasilitasi KLHK, semua ini bisa mendapatkan. Dari sisi kita, tak ada masalah dengan negosiasi karena sudah menjanjikan semua IKM pengguna DE bersertifikat SVLK.”

Namun, masalah menjadi melebar kala revisi Permendag ini, Kemendag menghilangkan  eksportir terdaftar produk industri kehutanan (Etpik). “Ini jadi berantakan semua. Yang tadinya kita target dan keluarkan anggaran besar, dengan konsep ini jadi tak berarti.”

Dalam draf revisi itu, ekspor produk kehutanan sudah bisa dilakukan oleh perusahaan (industri) kehutanan yang miliki tanda daftar industri atau izin usaha industri dan perusahaan perdagangan bidang ekspor produk industri kehutanan yang memiliki SIUP dan TDP. “Ini sangat-sangat mudah, sudah dipangkas, mudah banged. Bisa dibayangkan…”

Diamini Putera. Dengan deregulasi itu, hanya dengan ada SIUP dan izin industri IKM bisa ekspor. “Ini jadi perdebatan kita. Ini jadi melebar dengan deregulasi yang mereka keluarkan. Filternya gimana? Ini harus dipikirkan ulang. Konteks beda.  Sampai akhir pembicaraan, belum ada titik temu.”  Untuk itu, katanya, Senin (5/10/15), KLHK dan Kemendag akan kembali rapat dengan mengajak asosiasi pengusaha.

Smita Notosusanto, Direktur Program dari Multistakeholder Forestry Programme mengatakan, Kemendag mungkin tidak menyadari tren pasar internasional, yang makin meningkat permintaan kayu dari hasil hutan kelola lestari.

“Gampang saja, mau berangkatkan orang untuk ekspor, tapi apa pasar mau terima? Lama-lama kita juga tak akan dapat segmen pasar dan pendapatan yang diharapkan Kemendag,” katanya.

Dia merasa rancu juga kalau SVLK dibilang menghambat ekspor. “Ini justru naikkan ekspor kayu. Uni Eropa saja 28 negara, yang haruskan negara anggota impor kayu yang dikelola lestari. Kita juga ada perjanjain dengan Australia dan lain-lain. Pasar lain juga banyak tuntut kayu lestari. Kalau tinggalkan ini, kita akan balik lagi ke negara penyelundup kayu ilegal.”

Putera menambahkan, UE itu sebagai awal saja. Realitas perkembangan di pasar global menuntut produk-produk kayu lestari.  Selain itu, katanya, jika berbicara pengaruh, negara juga perlu citra.

“Mengapa SVLK sangat didukung Kementerian Luar Negeri, karena bagi Kemenlu bantu duduk tegak ketika bernegoisasi dengan negara lain. Kemenlu sangat dukung. Selain itu, citra produk suatu negara jelas sangat besar mempengaruhi konsumen Kalau SVLK diabaikan, bisa jeblok. Ini kok udah diujung, nol lagi.”

Asosiasi: SVLK menguntungkan

Lisman Sumarjani, Direktur Asosiasi Industri Mebel Indonesia (Asmindo) mengatakan, menggunakan dokuman SVLK itu menguntungkan. Dia berbagi pengalaman kala pergi ke pameran Singapura.  Di sana, katanya, berkumpul asosiasi mebel se ASEAN. “Indonesia dapat presentasi dari Uni Eropa, soal kayu yang wajib lestari. Malaysia ketakutan. Vietnam panik. Mereka merasa harus mulai ini. Hemat saya, SVLK itu keuntungan,” katanya.

Dia menjelaskan, eksportir itu ada yang rutin, misal setahun berapa ratus kontainer dan ada yang sesekali mendapat order.  Bagi eksportir rutin, bukan cuma SVLK, apapun  permintaan pasar mereka penuhi. “Mau pasar minta ISO 9000, minta FSC semua dipenuhi. Gak masalah.”

Yang menjadi masalah, katanya, sebagian IKM itu ekspor kadang-kadang, misal, setahun hanya empat kontainer. “Tentu sulit perusahaan-perusahaan seperti ini mudah penuhi berbagai persyaratan. Ada karakter pengusaha seperti itu. Sebagian anggota kita juga gitu.”

Dia sudah menjelaskan kepada anggota Asmindo, bahwa dengan DE itu  hanya memastikan kayu keluar dari pelabuhan Indonesia. “Jadi, saya bilang, pastikan mau ekspor ke mana? Jangan dipikir kalau ada DE bisa ekspor ke mana-mana.”

Pasar seperti Amerika, Uni Eropa, sudah menuntut produk-produk kayu lestari. Juga Jepang dan Australia. “China itu bukan tujuan ekspor utama. Mereka itu eksportir.  Sekarang kalau kita mau ekspor, kita harus penuhi (syarat-syarat). Kalau anggota-anggota kami yang rutin, itu semua sertifikat ada.”

Kemunduran tata kelola hutan

M Kosar dari Forest Watch Indonesia selaku pemantau independen SVLK pun menanggapi.  Dia menilai, revisi Permendag ini sebagai kemunduran tata kelola hutan di Indonesia.  “Kami menyesalkan, sampai saat ini alasana-alasan klasik terkait peningkatan ekspor produk-produk sumber daya alam termasuk kayu masih terjadi saat ini.”

Dia mengatakan, SVLK itu produk bersama para stakeholder  dari pemerintah, pengusaha sampai kalangan organisasi masyarakat sipil. Namun, dia khawartir dengan pengabaian terhadap SVLK ini. “Mari kembali ke perbaikan tata kelola waktu 2002 didengung-dengungkan. Saat itu terjadi penabangan liar masif. Di titik itu sebetulnya sistem ini mulai dbangun.”

SVLK, katanya, juga  bukan untuk kepentingan memenuhi keinginan orang di luar Indonesia. Sistem ini, kata Kosar, sudah disiapkan dari awal demi perbaikan tata kelola agar hutan tak mengalami kehancuran lebih parah. “Mestinya Kemendag lebih menyadari SVLK ini tak hanya bicara kayu dan produk itu bisa ekspor. Tetapi SVLK ini juga soal tata kelola kehutanan. Di mana sistem perizinan yang dulu dipersoalkan dan sekarang berubah ke arah lebih baik. Jadi, bukan hanya persoalan perdagangan kayu tertapi perbaikan tata kelola.”

Meskipun, katanya, sudah ada SVLK juga masih terjadi praktik-praktik ilegal, tetapi sudah mulai ditekan. “Kami sangat kecewa karena sampai saat ini Kemendag nyatakan, sumber daya hutan hutan jadi alasan ekspor harus ditingkatkan dan aturan dilemahkan.”

Senada dikatakan Christian Purba, Direktur FWI. Menurut dia, rencana melanjutkan DE merupakan bentuk melenggangkan cara cara klasik untuk ekspor tanpa mempertimbangkan keabsahan dari produk kayu. “Ini juga menunjukkan, kebijakan pemerintah tidak sinkron dan malah kontraproduktif,” katanya.

Kejadian ini, katanya,  juga menunjukkan koordinasi lintas sektoral pemerintah minim. “DE merupakan bentuk kemudahan tanpa mempertimbangkan kehancuran sumber daya hutan kita yang terus menjadi sasaran eksploitasi.

SVLK dibangun sebenarnya diharapkan menjadi instrumen yang bisa menghentikan perdagangan-perdagangan kayu ilegal. Terpenting, muara dari SVLK adalah instrumen untuk perbaikan tata kelola.”

Dia mengatakan, revisi Permendag 65/2015 ini,  jelas jelas mencederai komitmen Indonesia untuk pembenahan tata kelola hutan. “Karena SVLK akan menjadi pintu masuk.

Dengan kebijakan ini akan menyulitkan untuk memastikan kayu-kayu ekspor memiliki kejelasan sumber kayu. Jika  DE tanpa batas waktu, kemungkinan besar akan memuluskan praktik-praktik pencucian kayu dan volume  tentu akan tambah banyak.”

Menurut Bob, panggilan akrabnya, kalau dikatakan SVLK menghambat ekspor IKM tentu tidak. Mengapa? Karena saat ini sudah banyak anggota Asmindo mendapatkan SVLK.

Jadi, katanya, Permendag ini harus direvisi dengan pemberlakuan DE sampai akhir tahun ini. “Itu artinya seluruh IKM dan industri harus mengikuti skema SVLK  yang berlaku awal tahun depan.”

Dia menekankan lagi, kalaupun saat ini DE berlaku  itu hanya kebijakan transisi. “Sampai SVLK akan diberlakukan semua Januari 2016.”

Untuk itu, katanya, masalah yang harus dibenahi saat ini koordinasi antarkementerian. “Gampang diucapkan tetapi sangat susah dipraktikkan. Atau pilihan lain bagaimana kebijakan SVLK juga diperkuat hingga bisa mengatur kementerian-kementerian lain di luar KLHK? Ini akan menghindari kejadian seperti DE, di satu sisi akan dihapus tetapi di kementerian lain dilanjutkan tanpa batas waktu.”

sumber : klik di sini

Share Button