Intended Nationally Determined Contribution (INDC) INDONESIA

Seperti diberitakan dalam media, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) didampingi oleh Utusan Khusus Presiden dan Ketua Dewan Pengarah Pengendalian Perubahan lklim telah menyerahkan draft final Intended Nationally Determined Contribution (INDC) Indonesia ke Presiden Joko Widodo pada tanggal 31 Agustus 2015
Selengkapnya dapat dilihat pada link berikut ini :
 Sumber : dephut.go.id
Share Button

Dialog Perubahan Iklim Terkait Dokumen INDC Indonesia Jelang COP 21

Dialog Perubahan Iklim tentang penjelasan mengenai Dokumen INDC Indonesia digelar, Rabu (2/9) di Taman Hutan Gedung Manggala Wanabakti Kementerian LHK. Hadir sebagai pembicara Menteri LHK Siti Nurbaya, Utusan Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim Rachmat Witoelar, Ketua Dewan Pengarah Penanganan Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja. Sedangkan Pendiri Yayasan Perspektif Baru (YPB) Wimar Witoelar sebagai fasilitator.

Dalam diskusi tersebut dijelaskan mengenai dokumen Intended Nationally Determined Contribution (INDC) Indonesia yang merupakan kontribusi yang diniatkan dan ditetapkan Indonesia dalam menargetkan pembangunan masa depan rendah karbon dengan fokus pada sektor pangan, energi, dan sumber daya air, serta memperhatikan karakter Indonesia sebagai negara kepulauan. INDC Indonesia memiliki kekhasan dengan menjadikan masyarakat adat sebagai faktor penting dalam upaya mengatasi perubahan iklim.

Dokumen INDC tersebut disusun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) bersama Dewan Pengarah Penanganan Perubahan Iklim dengan melibatkan seluruh kementerian yang terkait dan para stakeholders.

Dokumen INDC telah diterima oleh Presiden Jokowi pada Senin 31 Agustus 2015,saat menerima Menteri LHK Siti Nurbaya, Utusan Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim Rachmat Witoelar, dan Ketua Dewan Pengarah Penanganan Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja.
Presiden menginginkan Indonesia sebagai negara kepulauan itu memiliki karakter, kekhasan. Karena itu, message apa yang akan disampaikan di dalam forum itu supaya kita tidak hanya sekedar mengikuti apa yang menjadi kemauan dunia”.

Menurut Menteri LHK Siti Nurbaya, Indonesia mempunyai peranan yang sangat penting dalam penanganan isu perubahan iklim global karena posisi geografis dan hamparan hutan tropis. “Indonesia memandang upaya-upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim berbasis lahan dan berbasis lautan sebagai satu strategi terpadu menuju ketahanan nasional di bidang pangan, energi, dan sumber daya air sesuai prinsip Wawasan Nusantara,” kata Siti Nurbaya.

Sarwono Kusumaatmadja mengatakan “INDC Indonesia telah diterima dan didukung sepenuhnya oleh presiden Joko Widodo. Hal yang ditonjolkan adalah Indonesia menjadikan adaptasi perubahan iklim sebagai isu kunci yang mendesak untuk ditangani. “Sasaran adaptasi Indonesia adalah memelihara ekonomi nasional yang kuat, menjamin ketahanan pangan, melindungi kesejahteraan rakyat, dan sektor yang terpapar dampak perubahan iklim,” kata Sarwono.

Menurut Rachmat Witoelar, pengajuan INDC oleh masing-masing negara sangat penting dalam konferensi perubahan iklim atau COP 21 Paris. Berdasarkan INDC tersebut akan diambil suatu kesepakatan global yang harus dilaksanakan secara konsekuen oleh masing-masing negara. “Ini untuk menjawab tantangan agar suhu dunia tidak meningkat melebihi dua derajat,” kata Rachmat.

Wimar Witoelar mengatakan perubahan iklim tidak bisa dihindari pasti akan terjadi, setiap negara harus mempersiapkan langkah, memperkecil dampaknya, bahkan mencuri langkahnya untuk meningkatkan kehidupan. Untuk ini Dewan Pengarah Penanganan Perubahan Iklim yang dipimpun Sarwono Kusumaatmadja melakukan dialog intensif selama beberapa minggu yang kemudian telah diserahkan kepada Presiden Jokowi. INDC ini akan menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yg memiliki kekhasan sendiri sebagai negara kepulauan, multi ragam budaya dengan tulang punggung masyarakat adat yg kuat semua ini membangun resiliance iklim terutama dalam bidang pangan, air, energi. Diharapkan pada COP21 di paris, Indonesia akan tampil berkarakter dan menyumbangkan gagasan khusus untuk membangun penyelamatan bumi dari becana perubahan iklim
Konferensi internasional mengenai perubahan iklim di bawah naungan PBB atau The Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang dikenal dengan sebutan COP akan digelar di Paris, Perancis pada 30 November – 11 Desember 2015.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengatakan “Indonesia akan menyerahkan INDC ke Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada pekan kedua September 2015. Penyerahan INDC tersebut sebagai langkah Indonesia ikut serta dalam upaya global mengatasi perubahan iklim dalam pertemuan COP 21 di Paris”, kata Siti.

COP tersebut akan diikuti 195 negara anggota dan dipandang sebagai salah satu peluang terakhir dari kesepakatan global untuk memerangi perubahan iklim dengan mengarah pada kesepakatan universal dan mengikat untuk menjaga pemanasan global tidak melebih 2 °C.

sumber : forda-mof.org

Share Button

BLI Komit Terhadap Kegiatan Litbang Restorasi Ekosistem

Dr. Henry Bastaman, Kepala Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI-KLHK) berkomitmen untuk serius dan konsisten melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan restorasi ekosistem. Hal ini disampaikan pada saat memberikan sambutan pada acara Seminar Internasional “Memperkuat pengelolaan dan Implementasi Kebijakan Restorasi Ekosistem di Indonesia: Pembelajaran dari Lapang dan Negara Lain” di ICC Bogor, Senin (31/08).

“Selama ini, Badan Litbang dan Inovasi selalau memberi perhatian serius dan secara konsisten melakukan kegiatan litbang restorasi hutan baik pada hutan produksi maupun kawasan konservasi”, kata Henry.

Henry menyatakan bahwa telah banyak hasil litbang yang telah dihasilkan oleh Pusat Litbang hutan, salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) BLI-KLHK (dahulu bernama Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi/Puskonser) maupun UPT BLI lainnya yang ada di daerah. Diantaranya berupa input kebijakan, naskah akademik dan draf peraturan di bidang pengelolaan dan silvikultur restorasi ekosistem, strategi dan kriteria penentuan lokasi strategis restorasi ekosistem, serta beberapa kegiatan alih teknologi bidang persemaian jenis pohon lokal serta inokulasi gaharu.

“Kami juga telah menjalin kerjasama litbang konservasi hidupan liar dan habitatnya dengan yayasan Burung Indonesia. Dan juga kerjasama teknis di bidang restorasi ekosistem dengan PT. Restorasi Ekosistem Indonesia,”kata Henry.

Henry sadar bahwa ke depan masih banyak tantangan dan permasalahan yang komplek terutama terkait pengelolaan IUPHHK-RE. Oleh karena itu, Henry berharap bahwa kegiatan litbang restorasi ekosistem dan kerjasama dengan pengelola diharapkan terus berlanjut.

Terkait IUPHHK-RE, Ir. Bambang Hendroyono, MM, Sekretaris Jenderal KLHK menyatakan bahwa sejak tahun 2004 KLHK telah mengeluarkan kebijakan pengelolaan hutan produksi (HP) melalui IUPHHK-RE. Harapannya bahwa HP dapat dikelola untuk pemanfaatan berbagai hasil hutan (kayu, HHBK, jasa lingkungan dan ekowisata), asalkan keseimbangan hayati dan ekosistemnya telah tercapai.

“Hingga saat ini, lebih dari 550 ribu hektar hutan produksi telah dikelola melalui IUPHHK-RE. Pemerintah juga telah mengalokasikan 1,7 juta hektar kawasan hutan produksi untuk restorasi ekosistem, “kata Bambang.

Prof. Herry Suhardiyanto, Rektor IPB berharap bahwa kebijakan terkait restorasi ekosistem dapat memacu pembentukan model pengelolaan pengelolaan hutan ke depan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, riset, pengabdian kepada masyarakat dan pengembangan bisnis.

“Untuk mewujudkan hal tersebut masih diperlukan dukungan publik dan para pihak untuk menjamin keberhasilan dan mengawal implementasi kebijakan restorasi ekosistem tersebut,”kata Herry.

Mendukung hal tersebut, Prof. Ani Mardiastuti, Ketua Dewan Burung Indonesia menyatakan bahwa saat ini Burung Indonesia telah melakukan mainstreaming restorasi ekosistem ke berbagai pihak, baik ke akademisi, lembaga riset pemerintah, NGO, jurnalis lingkungan dan para pemegang izin.

Ani berharap dengan adanya seminar internasional ini akan terjalin diskusi dan sharing informasi mengenai implementasi pengelolaan restorasi ekosistem di lapangan baik dari Indonesia maupun negara lain guna menjawab tantangan yang muncul dan memberikan rekomendasi untuk penguatan kebijakan dan pengelolaan restorasi ekosistem di Indonesia.

Seminar internasional bertemakan restorasi ekosistem ini merupakan seminar pertama kali di Indonesia atas kerja sama BLI-KLHK, IPB, Burung Indonesia, dan dukungan dari United States Forest Service (USAID).

Sumber : forda-mof.org

Share Button

Sulitnya Merebut Hutan Leuser yang Kini Dikuasai Perambah

Desa Skoci dan Barak Induk, di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, merupakan bagian Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) selama 16 tahun dikuasai perambah yang mengubah hutan menjadi perkebunan sawit.

Balai Besar TNGL kesulitan. Penindakan diwarnai perlawanan, oleh backing perambah sejumlah oknum aparat penegak hukum dari jajaran Kodam I/BB dan Polda Sumut. Mereka acapkali menghadang petugas polisi kehutanan saat menangkap dan mengamankan para perambah bersama barang bukti. Tak sedikit pula perlawanan terbuka para perambah, saat penangkapan.

Terakhir, Juni 2015, petugas BBTNGL dihadang ratusan perambah menggunakan senjata tajam. Mereka meminta rekan mereka dilepaskan. Pada Selasa malam (2/8/15), oknum TNI dari Kodam dan Provos dari Polres menghentikan petugas dan meminta melepas jaringan perambah TNGL beserta barang bukti.  Situasi memanas. Petugas BBTNGL menggunakan senjata api lengkap, berhasil mempertahankan tangkapan. Oknum aparat balik kanan alias usaha gagal.

Awal Agustus 2015, saya ke daerah ini. Menurut kabar, para perambah, tidak sungkan-sungkan mengusir dan menggunakan kekerasan.

Menuju ke lokasi ini, harus melewati perkebunan sawit cukup luas. Di sekitar terdapat rumah-rumah penduduk di dekat hutan TNGL. Pekerjaan mereka berkebun, bertani. Ada juga di pabrik, tidak merambah hutan. Begitu tiba di Skoci, tampak luasan perkebunan sawit, karet, palawija, coklat dan berbagai tanaman lain. Semua ditanam di TNGL. Hutan hancur, lahan terbuka,. Tampak gubuk-gubuk berjejeran.

Tampak pula bangunan permanen sudah hancur. Ternyata itu, bekas Kantor BBTNGL, yang dibakar para perambah, kala melawan saat polisi kehutanan operasi penangkapan pelaku illegal logging.

Sapto Aji Prabowo, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Stabat, BBTNGL, mengatakan, pendudukan TNGL di Skoci dan Barak Induk, mulai 1999. Kawasan ini dirambah pengungsi eks Aceh, berkembang hingga ke Brak Induk. Mereka menghancurkan kawasan, hingga kerusakan hutan cukup luas.

Berdasarkan pemantauan citra satelit BBTNGL) total kawasan berubah fungsi menjadi sawit dan karet, lebih 9.000 hektar. Kawasan lain mulai ada illegal logging, dengan luasan sekitar 30.000 hektar lebih.

BBTNGL, sebenarnya mencoba berbagai upaya, mulai prefentif, hingga refresif, bahkan relokasi korban eks konflik Aceh, mulai ke Dumai, translokasi ke Batang Toru, Mahato, dan Muara Bedak pada 2011. Namun belum menyelesaikan masalah, malah datang ke kawasan menunggangi isu korban eks Aceh, untuk menguasai lahan.

Walau ada penegakan hukum mereka tak jera. Ribuan kubik kayu ditebang, diolah lalu diangkut menggunakan truk untuk dijual. “Ini dianggap sangat menyalahi aturan. Perlu ada kebijakan lebih tinggiagar tak terus terjadi,” katanya.

Hal mengerikan lagi, saat ini TNGL ditanami sawit milik dua perusahaan yang mendapatkan izin dari BPN Sumut. Dua perusahaan mendapatkan sertifikat HGU BPN Sumut.

Setidaknya, kata Sapto,  ada 34 hektar perkebunan sawit milik PT PIR ADB, masuk kawasan, dan PT Bandar Meriah, dari 520 hektar izin setidaknya 80 hektar masuk TNGL.“Ini aneh, di TNGL, ditanami sawit milik dua perusahaan.”

 

BBTNGL, penyidikan, namun terhambat karena alasan sangat normatif, dari BPN, yang diminta mengukur kawasan perusahaan, malah menghambat meminta cek lapangan keseluruhan seluas 528 hektar, yang mungkin menelan biaya ratusan juta rupiah. BPN menyatakan biaya pengukuran cukup besar.

Dalam penyidikan, Balai bekerjasama dengan Polda Sumut dan meminta bantuan BPN, namun terhenti. Mungkin jika level lebih tinggi lagi dari Polda Sumut menangani seperti dari Mabes Polri dan BPN Pusat, masalah ini bisa selesai.

Walau terhambat sikap lembaga pemerintah yang tidak mendukung, sikap tegas dibuktikan pada 2011 dan 2012. Balai  mengambil tindakan tegas merebut kawasan Skoci dan Barak Induk.

Ketika Balai bersama TNI akan dilakukan penghancuran kebun sawit dan karet seluas 1.500 hektar, mendapat perlawanan.

Ujungnya, Februari 2012, terjadi perlawanan dari perambah Kelompok 52. Mengantisipasi korban jiwa, TNI dan Polri menarik mundur pasukan, begitu juga BBTNGL. Praktis sejak saat itu tidak lagi bisa masuk ke sana. Ketika akan penindakan, akan ada perlawanan menggunakan senjata tajam, tombak, panah beracun, dan senjata lain.

“Sebenarnya tidak takut, jika memaksakan menertibkan para perambah dan terjadi perlawanan, akan ada jatuh korban. Nanti dibilang BBTNGL melanggar HAM, padahal menegakkan aturan.”

Untuk itu, katanya, perlu upaya komprehensif agar segera merestorasi kawasan rusak seperti dilakukan di sejumlah lokasi lain di Cinta Raja, Bukit Mas, dan Halaban. Hingga TNGL, bisa keluar dari status Indengers List World Heritage Site.

Bukan perkara mudah

Apa tanggapan Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyikapi masalah ini? Siti mengatakan, untuk Leuser, harus berhati-hati dalam menyikapi. Banyak pertimbangan, salah satu karena mendapat atensi luar biasa dari dunia internasional, khusus di Aceh soal hutan, ada ketentuan-ketentun tersendiri dengan Undang-Undang Pemerintah Aceh. Belum lagi dinamika masyarakat di Sumut dan Aceh, cukup tinggi.

Namun,  katanya, hukum harus tetap ditegakkan. Beberapa waktu ini, KHLK luar biasa kerja keras menata soal perhutanan sosial, perizinan dan setelah selesai. Jadi, sejak bulan ini dia meminta kerja keras di penegakan hukum.

Di Sumut, konflik lahan terus tinggi, khusus perkebunan sawit. Selama ini, ada persoalan puluhan ribu desa ada di dalam dan sekitar hutan, hingga pengelolaan kerja hutan sosial, bisa hutan tanaman rakyat, hutan kerjasama konservasi antara rakyat dengan negara,  hutan desa, dan hutan kemasyarakatan.

Namun, katanya, akan ada penertiban bagi yang tinggal di sekitar kawasan, agar tidak melanggar seperti kasus di TNGL ini.

Siti mengatakan, dari pengamatan dia masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan tidak melakukan perusakan malah menjaga. Bagi pendatang yang masuk kawasan hutan, dan merusak, tidak bisa dibiarkan, harus ada tindakan tegas.

“Memang sejak dahulu kala, masyarakat adat tinggal di sekitar hutan, menjaga hutan, dan sejahtera mengelola tanpa merusak. Ini harus dilindungi dari para perambah yang masuk dan memanfaatkan mereka untuk tindak pidana. Yang begini harus ditindak.”

Di Barak Induk dan Skoci, bersama Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam), tengah membahas serius. “Mudah-mudahan segera ada sikap secepatnya, karena  ada pertimbangan dan kebijakan harus diambil.”

Sumber : klik di sini

Share Button

30 Hektar Lahan Konservasi Samboja Lestari Terbakar. Bagaimana Nasib Orangutan?

Fenomena El Nilo yang terjadi di Indonesia saat ini, sangat berdampak pada kebakaran lahan di Kalimantan Timur. Termasuk, kebakaran yang terjadi pada 30 hektar kawasan konservasi orangutan Borneo Orangutan Survival Foundatin (BOSF) Samboja Lestari.

Lahan seluas 30 hektar milik BOSF yang berada di Jalan Balikpapan-Handil Km. 44, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Kukar, Senin (31/8/15) terbakar. Meski diduga kebakaran terjadi karena El Nino, namun penyelidikan terus dilakukan guna mengetahui kepastiannya.

Akibat kebakaran tersebut, kawasan yang baru akan terbentuk hutan, yang terdiri dari kayu meranti hangus. Bahkan, kebakaran itu hanya berjarak sekitar 300 meter dari kandang orangutan yang baru dalam proses pembanguan.

Koordinator Komunikasi BOSF Samboja Lestari, Suwardi mengatakan awal kebakaran terjadi Senin subuh, sekitar pukul 03.00 Wita. Api sempat dipadamkan dengan 46 personil dari BOSF Samboja Lestari.

“Orangutan itu tidak tahu kalau ada bencana kebakaran, kecuali kalau individu orangutan berada di pohon dan melihat asap atau api di kejahuan, baru mereka mengerti. Untungnya, kebakaran masih jauh dari kandang utama, sehingga kami dapat meminimalisir keadaan,” kata Suwardi

Namun, Senin siang sekitar pukul 11.00 Wita, api kembali berkobar. Para personil BOSF kembali terjun ke lokasi untuk melakukan pemadaman secara tradisional, yakni memukulkan ranting pohon dan menggunakan alat penyemprot tanaman.

“Api kembali muncul pukul 11.00 Wita. Sekitar 46 personil kami kembali terjun ke lapangan untuk melakukan pemadaman yang bisa diminimalisir sekitar pukul 17.20 Wita,” papar Suwardi.

Staf Komunikasi BOSF, Cantika Adinda, menuturkan titik api ada di beberapa lokasi. Dia dan rekan-rekannya kesulitan memadamkan api sekaligus. Cara manual memukul api menggunakan ranting kayu harus mereka lakukan agar api tidak mendekati bangunan rehabilitasi orangutan.

“Ada beberapa lokasi, ketika kami fokus memadamkan api dekat Jalan Lepiosula, api malah membesar di lahan dekat Jalan Elang. Jalanan masuk ke lokasi kebakaran juga sulit, kami bolak-balik harus mengangkut air. Alat yang tersedia hanya dua penyiram tanaman dan ranting,” ujarnya

Saat kejadian kebakaran, pihak BOSF sudah menghubungi tim pemadam kebakaran di Balikpapan yang berlokasi di Km 23. Merasa bukan area wilayahnya tim pemadam Balikpapan meminta pihak BOSF menghubungi pemadam di Kutai Kartanegara (Kukar).

“Kami sudah menghubungi tim pemadam Balikpapan, namun mereka tidak berkenan datang. Kami diminta menghubungi tim pemadam Kukar. Daripada menunggu, kami lakukan semampunya,” jelas Adinda.

Selasa (1/9/15) pagi, anggota Koramil Samboja dan Pemadam kebakaran Kutai Kartanegara tiba di lokasi untuk meminalisir kebakaran yang menghanguskan 30 hektar lahan itu.

Tidak ada orangutan yang dievakuasi. Peristiwa ini tidak mempengaruhi kondisi fisik maupun mental orangutan yang dirawat di BOSF. Hal yang turut membuat pengelola sedih adalah pohon meranti yang sudah ditanam sejak 2001 hangus dan sebagian kering.

“Meranti sudah kami tanam sejak 2001, setiap tahun, pertumbuhannya hanya 0,5 centimeter. Selama 15 tahun lebih kami merawat dan memperhatikan. Kebakaran ini ibarat orang yang akan panen dan tiba-tiba musnah, sakit rasanya,” ungkap Adinda.

Akibat kebakaran ini, banyak satwa liar yang kehilangan habitatnya. “Di sekitar wilayah BOSF hidup satwa liar seperti kijang, macan dahan, beruk, landak, trenggiling, dan ular piton. Mereka menjadikan tempat sekitar rehabilitasi sebagai habitatnya. Kini sudah terbakar, entah bagaimana nasibnya,” urai Suwardi.

Sumber : klik di sini

Share Button

Sekretaris Jenderal KLHK akan Berupaya untuk Hidupkan Litbang

Ir. Bambang Hendroyono, MM., Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Sekjen KLHK) berniat dan berupaya untuk hidupkan Badan Litbang dan Inovasi (BLI) di KLHK. Hal ini disampaikan pada saat mengunjungi Kampus BLI, Gunung Batu, Bogor (Senin, 31/08).

“Dari awal saya konsen dengan litbang. Saya rasakan ada hambatan. Dengan jadi Sekjen harus selesaikan. Kita hidupkanlah litbang, biro teknis dan hukum, “kata Bambang.

Bambang menyadari bahwa peranan BLI di KLH belum optimal dan banyak Eselon I  yang belum menggunakan hasil kajian maupun telaah BLI. Bahkan selama ini, kebijakan yang dibuat di Kementerian Kehutanan (sebelum melebur dengan Kementerian Lingkungan Hidup) banyak yang tidak melalui atau hasil kajian dari litbang. Sehingga dalam pelaksanaanya tidak berhasil bahkan gagal di tengah jalan.

“kita belum membangun sistem bagaimana sebuah inovasi untuk kebijakan. Kebijakan tidak bisa lepas dari inovasi. Inovasi keluarnya dari litbang. Kita harus membangun keluarnya kebijakan betul-betul dari Research and Development  (R n D). Seperti pada perusahaan-perusahaan swasta, mereka sangat menggunakan hasil R and D,”kata Bambang.

Oleh karena itu, Bambang menghimbau bahwa segala hal yang terjadi selama ini tidak akan terulang kembali. Dimana kebijakan yang diambil tidak lagi dilakukan secara mendadak tetapi melalui telaahan atau kajian litbang.

“Harus ada perintis. Kalau bukan sekarang kapan lagi untuk mencapai hasil yang baik. Harus ada generasi yang create ke depan. Jangan lagi ada yang mendadak,”kata Bambang.

Selain itu, Bambang menyayangkan bahwa selama ini Eselon 1 di KLHK banyak menggunakan pakar dari luar, bukan dari BLI. Padahal diketahui bersama bahwa di BLI telah banyak menghasilkan pakar-pakar yang handal.

“Kita bisanya minta kepakaran macam-macam. Kenapa tidak memakai litbang sendiri. Kita boleh menggunakan pakar dari luar, kalau di litbang tidak ada. Kita harus jual profesornya,”tegas Bambang.

Bambang sadar bahwa untuk mencapai hal itu adalah tidak mudah. Namun demikian, Bambang berharap bahwa BLI harus mulai bangkit. BLI harus mulai introspeksi, kendala atau hambatan apa yang dihadapi selama ini. Selain itu, BLI harus mulai percaya diri. Hasil litbang jangan hanya disimpan saja di litbang saja tetapi mulai diujicobakan di lahan yang lebih luas.

“Sekarang harus begitu, hasil-hasil litbang yang sudah yakin berhasil dilapangan, terapkan di KPH. Bahkan kalau perlu paksa saja KPH itu. Jangan sendiri-sendiri,”kata Bambang.

Pada akhir kunjungan tersebut, Bambang menantang BLI untuk berperan serta mendorong pemerintah untuk membangun hutan tanaman, terutama jenis-jenis tanaman energi yang telah diteliti oleh BLI.

“Litbang dorong pemerintah untuk kelola atau menanam sendiri pada areal sendiri. Litbang yang tentukan lahannya,” kata Bambang yang berharap bahwa hasilnya nanti menjadi salah satu keberhasilan KLHK dalam mendukung nawacita Presiden Jokowi.

Dialog ini diawali dengan paparan profil BLI oleh Sekretaris Badan Litbang dan Inovasi, Ir. Tri Joko Mulyono, MM., dan dialog diikuti oleh Prof.Riset dan pejabat struktural lingkup BLI di Bogor

Sumber : forda-mof.org

Share Button