Semangat Botawa Memadukan Hutan Desa dan Hutan Adat

Dahulu, rakyat yang mengelola hutan, namun secara hukum, belum jelas legalitasnya. Seiring berjalannya waktu, perkembangan berkaitan dengan kondisi sosial politik negara, kawasan hutan tersebut dianggap tidak ada yang “punya”, karena dalam sistem legalnya, memang tidak ada hak milik. Kemudian akhirnya, hutan-hutan tersebut ditetapkan menjadi kawasan hutan negara agar masyrakat dapat mengelolanya. Namun sayangnya, pengelolaan hutan-hutan ini menjadi lebih tersentralistik dan pada akhirnya menimbulkan banyak masalah yang serius.

Seiring berjalannya waktu, pemerintah memikirkan cara bagaimana rakyat dapat mengelola hutan secara hukum formal yang jelas legalitasnya. Kini, rakyat dapat mengelola hutan melalui perhutanan sosial antara lain dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Tamanan Rakyat. Hutan Desa adalah hutan yang dikelola oleh warga desa dalam bentuk organisasi Lembaga Desa untuk kesejahteraan warga desa. Di Papua, khusunya di Kabupaten Waropen, seluruh tanahnya dikuasai sebagai hak ulayat (komunal), maka dari itu masyarakat menyebutnya Hutan Adat.

Pembenahan terus dilakukan oleh negara dengan melibatkan komunikasi aktif dengan masyarakat adat yang bermukim di sekitar hutan. Salah satu langkah serius yagn sekarang dilaksanakan pemerintah adalah perhutanan sosial untuk memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Melalui perhutanan sosial, diharapkan masyarakat sejahtera dengan hutan lestari. Perhutanan sosial berusaha memadukan program pembangunan pedesaan dengan memberi jaminan hak masyarakat setempat untuk mengelola sumber daya alam lokal.

“Dulu, kita hanya mengenal investor dengan skala investasi besar untuk mengelola hutan engara. Kini, negara menargetkan 2,7 juta hektar hutan yang dikelola masyarakat dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, dan hutan adat,” ujar Kepala Sub. Direktorat Penyiapan Hutan, Erna Rosdiana.

Masyarakat adat Waropen menyambut baik tawaran program pengelolaan hutan desa dalam rapat Fasilitasi Permohonan/Penyiapan Areal Hak Pengelolaan Hutan Adat pada 6-10 September lalu.

Warga adat Waropen berpendapat bentuk pengelolaan hutan desa selaras dengan hutan adat. Hutan desa dianggap memenuhi keinginan masyarakat adat, pemilik hat ulayat di Waropen untuk mengelola hutan adat mereka. Maka, empat suku di Waropen yang meliputi Suku Safoni, Suku Demisa, Suku Ghoria, dan Suku Nubuai, masing-masing akan mengelola 750 hektar dalam bentuk hutan desa.

“Masyarakat Waropen di Kampung Botawa telah sepakat untuk mengelola empat hutan desa seluas 3.000 hektar, meliputi kawasan hutan produksi. Lokasinya di sebelah kanan jalan bandara udara Petrus Simunapendi. Masyarakat Kampung Botawa akan mengembangkan usaha sesuai fungsi kawasan hutan produksi,” jelas Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Waropen, Karsudi. Usaha hutan yang akan dilaksanakan masyarakat botawa, yakni pengembangan hasil hutan kayu, hasil hutan bakau, dan jasa lingkungan air. Masyarakat juga mengharapkan adanya peningkatan kapasitas dan pendampingan dalam kegiatan magang dan studi banding ke wilayah yang telah berhasil mengelola hutan adat.

Dengan masuknya hutan desa Botawa, target perhutanan sosial di Papua kurang lebih sebesar 822.000 hektar dan akan terus bertambah memastikan hak-hak masyarakat lokal terhadap sumber daya hutan di sekitarnya. Hal ini diharapkan dapat mensejahterakan rakyat dan menguatkan perekonomian.

Sumber : klik di sini

Share Button

Indonesia Akhirnya Punya Nilai Emisi Rujukan untuk Kehutanan

Indonesia akhirnya punya nilai rujukan emisi gas rumah kaca untuk sektor deforestasi dan degradasi hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Jumat (18/9/2015) meluncurkan dokumen National Forest Emission Level (FREL) for Deforestation and Forest Degradation.

Nilai FREL akan menjadi dasar penilaian keberhasilan Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dari kehutanan. Dokumen FREL merupakan salah satu dokumen yang akan diajukan Indonesia dalam COP 21 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang akan diselenggarakan di Paris pada akhir November 2015.

“Perhitungan untuk FREL belum memasukkan emisi dari kebakaran hutan,” kata Nur Masripatin, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK di Jakarta hari ini. Emisi dari sektor kebakaran hutan bekum dimasukkan sebab perhitungannya hingga kini masih sulit.

Data FREL kali ini mengungkap bahwa sejak 1990 – 2013, Indonesia telah mengemisikan karbin senilai 0.593 giga ton karbon dioksida ekuivaleb (GtCO2e). Angka itu merujuk total emisi dari deforestasi, degradasi hutan, serta dekomposisi di area gambut yang berhutan.

Tahun 2020, dalam dokumen FREL, Indonesia diproyeksikan mengemisikan 0.593 GtCO2e dari sektor deforestasi dan degradasi hutan. Kirsfianti L Ginoga, Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca KLHK mengatakan, “Level emisi dalam FREL akan menjadi rujukan keberhasilan Indonesia mengurangi emisi. Emisi Indonesia tahun 2020 tidak boleh lebih dari 0.593 GtCO2e.”

Rata-rata deforestasi Indonesia tahun 1990 – 2012 adalah 918.678 hektar sementara rata-rata degradasi hutannya adalah 507.486 hektar. Agar emisi berkurang, deforestasi dan degradasi hutan tak boleh melebihi angka rata-rata tersebut. Meski begitu, bukan berarti deforestasi dan degradasi hutan di bawah “batas nilai merah” itu diperbolehkan begitu saja.

FREL diluncurkan hari ini bersama dokumen lainnya, Biennial Update Report (BUR), laporan dua tahunan kemajuan Indonesia dalam memerangi perubahan iklim. BUR memuat prediksi emisi dari kebakaran hutan serta area gambut yang tidak berhutan yang punya tingkat ketidakpastian lebih tinggi.

FREL dan BUR merupakan dokumen yang mesti dimiliki Indonesia selain Intended Nationally Determined Contrbution (INDC), memuat komitmen Indonesia dalam memenuhi gas rumah kaca. FREL dan INDC dibutuhkan untuk “menjual” program penurunan emisi Indonesia sehingga dbisa didanai.

COP 21 Di Paris beberapa bulan lagi menjadi momen penting yang menentukan masa depan dunia menangkal dampak perubahan iklim. Dalam pertemuan mendatang, ditargetkan negara-negara bisa membuat kesepakatan kontribusi masing-masing untuk mengurangi emisi karbon.

Sumber : klik di sini

Share Button

Darurat Asap, Ramai-ramai Usul Revisi UU Lingkungan

Sejak adanya darurat asap di sejumlah provinsi, sejumlah kalangan mulai menyuarakan revisi Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Terutama pada Pasal 69 ayat 2 yang memperbolehkan pembakaran lahan dengan luas maksimal 2 hektare.

Anggota Komisi IV DPR Andi Akmal Pasludin menyatakan, pasal itu perlu direvisi, sebab pembakaran hutan sudah semakin tidak terkontrol.

“Kami dorong ada revisi karena undang-undang itu permisif ada pembakaran lahan dan hutan. Dua hektar kalau yang bakar 200 orang, bagaimana?” tandasnya bernada tanya dalam diskusi ‘Asap dan Sengsara’ di Jakarta, Sabtu (19/9).

Usul yang sama disampaikan Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto.

Diakuinya, UU itu dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menggerakkan masyarakat membakar lahan. Alasan kearifan lokal sesuai UU itu, saat ini sudah dimanfaatkan pihak lain.

“Mungkin 15 hingga 20 tahun lalu masyarakat masih menjaga kearifan lokal dengan melakukan pembakaran secara terisolasi. Tetapi hari-hari ini bukan lagi itu. Sekarang sudah motif komersial,” katanya.

Jika tidak direvisi, dikhawatirkan justru masyarakat yang akan dikambinghitamkan menjadi tertuduh utama. Padahal, ada pemodal lain yang memanfaatkan aturan itu melalui masyarakat setempat.

Sumber : klik di sini

Share Button

Kebakaran Lahan dan Hutan, BIN Dilibatkan.. Untuk Apa?

Pemerintah berupaya menunjukkan keseriusan menjerat pelaku pembakaran lahan dan hutan (karlahut). Setelah meminta Polri melakukan penegakan hukum lebih tegas, kini juga Kementerian Kehutanan juga meminta BIN menurunkan personel untuk menelusuri aktor intelektual yang yang membayar masyarakat untuk membakar lahan dan hutan.

Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Raffles Brotestes Panjaitan.

“Kami kemarin sudah berkomunikasi dengan BIN untuk melakukan investigasi di daerah-daerah titik api,” ujar Raffles di, Jakarta, Sabtu (19/9).

Raffles mengatakan, seharusnya personel BIN juga ditempatkan di daerah-daerah tersebut untuk melacak pelaku pembakaran. Pasalnya, kata Raffles, kepolisian terkadang kewalahan mencari pelaku dan barang bukti dalam kasus karlahut.

“Mereka kadang bakarnya cuma dengan obat nyamuk saja dan ditinggal saja begitu. Kalau terbakar ya obat nyamuknya juga habis di lokasi tidak ketahuan,” imbuhnya.

Raffles mengakui, selama ini pelaku pembakaran yang ditangkap hanya yang mendapat tugas di lapangan. Sedangkan dalang sekaligus pemodalnya sulit dideteksi. Karena itulah, Dia sangat mengharapkan bantuan BIN untuk membantu polisi dan Kemenhut dalam melacak pelaku.

Sumber : klik di sini

Share Button

TEGAS: Lahan Terbakar Diambil Negara

Pemerintah berupaya menunjukkan komitmen dalam menyikapi persoalan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan. Ini terlihat dari kebijakan  mengambil alih kembali area yang terbakar dengan luas di atas 20 hektar untuk direstorasi.

Ini disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH) Siti Nurbaya dalam konferensi pers di Posko Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) Kementerian LHK, kawasan Senayan, Jakarta, Jumat (18/9).

Menurut Siti, perintah Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas Karhutla sudah jelas, segera lakukan tindakan tegas, tidak boleh ragu-ragu menangani sanksi administrasi.

Instruksi inilah yang dijabarkannya bersama Kementerian Pertanian dan Kementerian ATR/Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sehingga penerapan sanksi ini akan berlaku baik bagi area-aera konsensi, pelepasan kawasan serta perizinan yang diterbitkan BPN.

“Penekanannya yang terbakar diambil alih negara. Akan langsung diambil alih terlepas dari salah satu tidak salah,” kata Menteri Siti.

Kebijakan ini akan diberlakukan dalam kasus karhutla yang saat ini terjadi di Sumatera di Kalimantan sebagai proses sanksi administrasi. Selain pengambil alihan kembali area terbakar oleh negara, lahan-lahan tersebut juga akan dikeluarkan dari perizinan induknya, baik yang ada di Kementerian LHK, BPN maupun perizinan yang jadi kewenangan kepala daerah.

Dalam proses itu juga akan dilakukan klasifikasi sanksi untuk korporasi maupun badan hukum berupa pelanggaran ringan, moderat dan berat. Sejalan dengan itu dipertimbangkan untuk memblacklist jajaran direksi, komisaris hingga pemilik sahamnya. Juga mengevaluasi semua perizinan secara struktural dan penanganan bersama pejabat fungsional lintas kementerian.

Terkait kategori dan kriteria sanksi administrasi, Kementerian LHK juga telah menyiapkan skema bahwa sanksi ringan untuk lahan kebakaran dibawah 100 hektar diberi teguran tertulis, diberi waktu memenuhi kekurangan, rehabilitasi area eks kebakaran, eks area kebakaran diambil alih negara.

“Entitas yang lahannya kebakaran juga harus melakukan permintaan maaf kepada publik. Sanksi ringan ini secara selektif dapat ditingkatkan menjadi sanksi moderat kalau dalam kurun waktu diberikan tidak kelihatan punya niat,” tegas Siti.

Hal serupa juga berlaku bagi sanksi moderat (area terbakar di 100-500 hektar) dan sanksi berat (area terbakar diatas 500 hektar). “Untuk sanksi berat izin lingkungan dicabut, kita berikan kesempatan gubernur, bupati mencabut izin lingkungannya, kalau tidak menteri yang cabut. Sanksi berat juga masuk ranah pidana dan perdata,” imbuhnya.

Dalam penjelasannya, Menteri Siti juga memaparkan kondisi terkini Karhutla dan penanganannya di Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan analisis wilayah, luas area terbakar menurut laporan posko UPT dan analisis citra satelit (ada perbedaan).

Laporan posko UPT mendata 5.492,82 ha lahan terbakar di Sumatera dan 2.519,42 di Kalimantan. Total Sumatera-Kalimantan 8.00324 ha.

Sementara hasil citra satelit terdapat sebaran kebakaran yang lebih luas, yakni 52.985 hektar si Sumatera dan 138.008 di Kalimantan. Total Sumatera-Kalimantan versi citra satelit 191.993 hektar.

Secara global juga disampaikan data luasan area kebakaran di masing-masing provinsi, di Sumatera Utara 1.836 ha dengan jumlah entitas konsesi 3, Riau seluas 43.190 dengan jumlah entitas 32, Sumsel 68.948 dengan 27 entitas serta data-data kebakaran di Kalimantan. Secara keseluruhan total area yang terbakar berdasarkan klasifikasinya adalah area pemanfaatan 90 entitas, pelepasan kawasan 49 entitas dan bidang tanah/BPN 147 entitas.

“Jadi, PR dari kementerian ini untuk meneliti sampai kepada sanksi administrasi ada 139 plus 147 entitas. Ini harus diperiksa semua oleh PPLH (Pejabat pengawas Lingkungan Hidup dibantu Polhut dan tim,” jelas mantan Sekjen DPD RI itu.

Dari data yang ada, saat ini Kementerian LHK sedang menyelidiki puluhan entitas konsesi di Riau yang terindikasi terlibat pembakaran lahan diluar PT LIH yang sudah ada tersangkanya di Bareskrim Polri. Yakni PT SPM, PT SPA, PT SRL (IV), PT HSL, PT SRL, PT AA, PT RRL, PT SSL, PT RPT, PT RUJ, PT DRT, PT RAP, PT MMJ, PT SS, PT SDA, PT P (SG), PT SG, PT EI, Kop, PT PU, PT GMS, PT PSA, PT SG, PT AIP, PT P (AB).

“Ini entitas konsesi yang diindikasikan melakukan pembakaran, jadi target pemeriksaan,” tegas Menteri Siti Nurbaya di kantornya.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Budi Gunadi yang hadir dalam kesempatan itu juga menegaskan komitmen untuk bersama-sama Kementerian LHK, BPN melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan perkebunan yang areanya ditemukan kebakaran.

“Terkait upaya yang dilakukan sejalan dengan Kementerian LHK, kami juga melakukan beberapa hal, dalam penegakan hukum kami memiliki berbagai regulasi aturan yang bisa memberikan sanksi sangat berat,” tegas Budi.

Kementerian Pertanian, tambahnya, akan bekerjasama dengan Kementerian LHK dalam menerapkan sanksi administrasi. Saat ini pihaknya juga melakukan berhasil diidentifikasi dalam karhutla di lahan perkebunan. “Tentu pada waktunya kalau sudah jelas akan kami sampaikan,” ujarnya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Miris, Beruang Madu yang Dilindungi Undang-undang Jadi Korban Pembantaian

Di hari raya kurban, hewan dilindungi menjadi korban kekejaman. Di media sosial, pemilik akun Facebook Ronal Chrostopher Ronal memamerkan beruang madu hasil buruan.

“Tngkapan hri ini,” demikian posting Ronal bersamaan dengan mengunggah foto beruang madu hasil buruannya. Lewat foto, Ronal memamerkan beruang madu itu tengah dibedah bagian perutnya.

Beruang madu adalah hewan yang dilindungi menurut PP No 7 tahun 1999 dan UU No 5 tahun 1990. Aksi perburuan dan pembunuhan beruang madu jelas bertentangan dengan aturan tersebut.

Menurut UU  No 5 tahun 1990, barang siapa yang sengaja menangkap, melukai, dan membunuh hewan yang dilindungi UU terancam hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 100.000.000.

Beruang madu biasa diburu untuk dimanfaatkan empedunya. Dipercaya, empedu hewan itu bisa menyembuhkan ragam penyakit walau tak terbukti secara ilmiah.

Posting Ronal telah dibagikan oleh lebih dari 500 orang. Orang mengutuk aksi pembunuhan itu, mengajak lebih banyak orang membagikan sehingga viral, dan menuntut pemerintah menindak pelaku.

Berdasarkan keterangan pada akun Facebook, Ronal adalah pegawai di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Tenggarong, Kalimantan Timur.

Sumber : klik di sini

Share Button