Penampakan Asap di Kalimantan dari Luar Angkasa

Kebakaran hutan yang menyisakan asap tak cuma dirasakan efek buruknya di Pulau Kalimantan dan sekitarnya. Dari hasil gambar yang dihasilkan oleh satelit Aqua milik NASA atau Badan Antariksa Amerika Serikat terlihat cukup pekat dari antariksa. The Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) dari satelit Aqua NASA menangkap gambar yang benar berwarna putih terlihat membubung tinggi. Gambar ini sendiri terekam pada tanggal 10 September 2015

Penampakan asap di Kalimantan dan sekitarnya dari Satelit Aqua NASA (Dok.Aqua.NASA)

 

 

 

 

 

 

 

 

Dari gambar itu juga terlihat titik-titik asal api yang menghasilkan asap begitu pekat dan penyebarannya hingga radius yang sangat jauh dari titik tersebut.
Berdasarkan perhitungan proyek Global Fire Emissions Database diketahui bahwa kebakaran hutan di Indonesia tahun ini telah melepaskan 600 juta ton karbondioksida, sampai 22 September lalu. Angka ini setara dengan jumlah emisi karbon yang dilepaskan Jerman selama setahun.Fenomena El Nino tahun ini diyakini sama kuatnya dengan 1997. “Kita sedang menuju situasi yang sama buruknya,” kata Robert Field, ilmuwan di Columbia University yang bermarkas di Goddard Institute for Space Studies, NASA, dalam keterangan resmi di situs resmi NASA.

“Situasi di Singapura dan daerah di tenggara Sumatera sedang mendekati situasi tahun 1997, dengan jarak pandang kurang dari 1 kilometer, rata-rata per pekan. Di Kalimantan ada laporan bahwa jarak pandang kurang dari 50 meter,” kata Field lagi.

Kebakaran hutan RI dilihat dari citra resolusi tinggi satelit Terra NASA. (Dok. NASA)

Data kedalaman optik Aerosol, yang dikumpulkan oleh Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) di satelit Terra milik NASA, diketahui bahwa level partikelnya sudah sama dengan tahun 2006.Ilmuwan dari Vrije Universiteit Amsterdam Guido van der Werf telah memonitor kebakaran hutan di Indonesia dengan MODIS. Dia mengatakan, “Ada lebih banyak api dan apinya lebih besar juga tahun ini,” katanya. “Kita sudah setengah jalan menuju musim api.”

Sumber : klik di sini

Share Button

Inilah Hitungan Kerugian Dampak Perubahan Iklim

Perubahan iklim memang ada dan nyata dampaknya. Mencairnya es di Kutub Utara, yang selama ini begitu dikhawatirkan akibat perubahan iklim, merupakan salah satu kondisi yang sangat mempengaruhi kehidupan makhluk hidup di bumi, tak terkecuali kehidupan satwa.

Suhu di Kutub Utara juga dilaporkan telah menghangat dua kali lebih cepat dari rata-rata global. Karena suhu yang hangat tersebut menyebabkan pula lapisan permafrost mencair dan melepaskan karbon dioksida dan gas metana. Lapisan permafrost merupakan lapisan tanah yang membeku secara permanen karena suhu rata-rata tahunan lapisan tanah yang kisarannya dibawah 0 derajat Celcius.

 

Yang mengejutkan, dari sebuah pemodelan yang dilakukan, jumlah kerugian keuangan yang diderita akibat perubahan iklim ini sungguh luar biasa.

Diperkirakan, pada 2200 nanti, dampak ekonomi yang ditimbulkan dari emisi atmosfer tambahan ini akan mencapai angka $ 43 triliun. Jumlah tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh peneliti dari University of Cambridge dan the National Snow and Ice Data Center at the University of Colorado Boulder, dalam sebuah makalah yang diterbitkan September ini di jurnal Nature Climate Change.

Untuk menghitung jumlah kerugian dari emisi Laut Arktik yang berada di Kutub Utara ini, para peneliti menggunakan skenario yang dikembangkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change, yang memprediksi emisi yang disebabkan oleh manusia hingga tahun 2100.

Berdasarkan dari salah satu model skenario itulah para peneliti menghitung potensi kerugian global akibat emisi tersebut dua abad dari sekarang. Sebut saja kerugian di sektor pertanian, meningkatnya biaya kesehatan, hingga membengkaknya tagihan listrik akibat AC yang terus menyala dikarenakan suhu yang makin panas.

 

Bahkan, dengan asumsi bahwa manusia mampu menurunkan emisi hingga tahun 2100 pun, para peneliti tetap memperkirakan total kerugian akibat perubahan iklim sekitar $ 326 triliun menjelang 2200.

Namun, ketika emisi permafrost dimasukkan, angkanya naik drastis menjadi $ 369 triliun. Jumlah ini sangat mengerikan, karena sebanding dengan PDB seluruh negara di dunia pada 2014 ini yang dikalikan lima.

Permafrost di kutub utara mulai mencair karena pemanasan iklim dan melepaskan karbon dari bahan organik yang tersimpan di dalamnya – sekitar 1.700 gigaton-yang tentunya makin menambah emisi atmosfer akibat aktifitas manusia. Terutama, penggunaan bahan bakar fosil.

“Mengurangi emisi bahan bakar fosil dan menghentikan perubahan iklim bukanlah dua pilihan yang mudah untuk dipilih salah satu” jelas Kevin Schaefer dari the National Snow and Ice Data Center at the University of Colorado Boulder.

Menurut Schaefer, dimanapun ketika diskusi tentang perubahan iklim dilakukan, akan terjadi friksi antara mengejar keuntungan ekonomi di satu sisi, dan membuat kebijakan akan perubahan iklim di sisi lain. “Inilah yang membuat kerugian finansial akibat emisi menjadi begitu besar,” ujarnya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Studi Menunjukkan Perdagangan Burung Endemik Indonesia Terus Terjadi

Sebuah studi komprehensif berjudul “Market for Extinction: An inventory of Jakarta’s bird markets,” yang dikeluarkan oleh TRAFFIC pada 25 September 2015, menunjukkan bahwa perdagangan burung ilegal terutama burung endemik Indonesia di pasar burung di Jakarta masih tinggi. Studi ini sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling banyak memiliki jumlah burung terancam punah di Asia.

Kondisi burung liar di Indonesia, berdasarkan data Burung Indonesia 2014, Indonesia merupakan rumah bagi 1.666 jenis burung, 426 burung endemik, dan 136 yang terancan punah.

Penelitian yang dilakukan di tiga lokasi pasar burung di Jakarta yaitu Pramuka, Jatinegara, dan Barito,  selama tiga hari tersebut mencatat sekitar 19 ribu individu yang berasal dari 206 jenis terus diperjualbelikan. Sekitar 98 persen dari seluruh burung yang berhasil diamati tersebut merupakan jenis burung endemik Indonesia atau yang tidak ditemukan di negara lain yang diduga memang ditangkap langsung dari habitatnya.

Ada delapan jenis yang banyak dilego di pasar tersebut. Jalak bali (Leucopsar rothschildi) yang berdasarkan Daftar Merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) masuk dalam kategori Kritis (Critically Endangered/CR) ada di dalamnya. Bukan rahasia umum, bila burung dengan dominasi bulu putih ini memang ditangkap untuk memenuhi permintaan dunia sebagai satwa peliharaan. Begitu juga dengan jalak putih (Sturnus melanopterus) yang meski sudah berstatus Kritis tetap diperjualbelikan juga. Padahal, jenis ini hanya ada di Jawa, Bali, dan Lombok.

Berikutnya, ada poksai kuda (Garrulax rufifrons), burung berukuran sekitar 27 cm endemik Jawa Tengah dan Jawa Barat. Keberadaannya yang kian terancam dan hanya ditemukan di ketinggian antara 1.000 – 2.400 m di atas permukaan laut membuatnya masuk kriteria Genting (Endangered/EN).

Sementara, lima jenis lainnya yang turut diperdagangkan adalah gelatik jawa (Padda oryzivora), poksai sumatera (Garrulax bicolor), nuri bayan (Electus roratus), cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), dan bubut jawa (Centropus nigrorufus). Keseluruhan, jenis tersebut berlebel Rentan atau Vulnerable/VU.

Sebagai catatan, gelatik jawa dahulunya merupakan burung endemik yang hanya ada di Jawa, Bali, dan Pulau Kangean (utara Bali). Kini, populasinya menurun akibat penangkapan untuk perdagangan. Meski begitu, jangan heran bila Java Sparrow ini bisa dilihat di tempat berbeda. Ini dikarenakan burung dari suku Estrildidae ini telah terintroduksi dan menyebar luas ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagian Maluku, hingga Asia Tenggara dan Australia.

Sedangkan bubut jawa, populasinya di alam liar saat ini diperkirakan hanya 2.500 hingga 10.000 individu dewasa saja. Burung yang masuk dalam keluarga Cucilidae ini makin sulit di lihat karena habitatnya berupa ekosistem bakau terus terganggu selain penangkapan untuk perdagangan juga.

Serene Chng, co-author dan Programme Officer TRAFFIC Asia Tenggara, menuturkan melihat tingginya volume perdagangan burung terancam punah di tiga pasar burung tersebut, pihaknya khawatir akan terjadi dampak yang lebih buruk lagi terhadap keberadaan populasi burung liar di alam. “Penangkapan dan perdagangan tak terkendali merupakan ancaman nyata dan akan menyebabkan keseimbangan ekosistem alam terganggu.”

Menurut Serene, meski peraturan hukum di Indonesia memperbolehkan adanya perdagangan satwa yang tidak dilindungi, namun pemerintah telah menetapkan kuota nol (atau tidak boleh ditangkap sama sekali dari alam) untuk burung-burung khas Indonesia sejak 2002. “Ini menunjukkan, penangkapan atau perdagangan burung khas Indonesia, baik yang dilindungi ataupun tidak merupakan perbuatan melanggar hukum. Pasar burung Pramuka sendiri merupakan pasar burung terbesar di Indonesia yang menjual burung 10 kali lipat lebih banyak ketimbang pasar burung Barito dan Jatinegara.”

 

Budaya memelihara

Memelihara burung merupakan budaya, terutama di Jawa, yang hingga kini masih terlihat. Dalam tradisi ini, seseorang akan dianggap hidup sempurna bila memiliki lima hal yang disyaratkan yaitu rumah (wisma), istri (garwa), keris (curiga), kuda tunggangan (turangga), dan kukila (burung). Memelihar burung dianggap dapat menghubungkan manusia dengan alam semesta, membawa keberuntungan, dan kedamaian dalam kehidupan rumah tangga.

Chris R. Shepard, Direktur Regional untuk TRAFFIC Asia Tenggara, menuturkan, terkait hasil studi ini TRAFFIC merekomendasikan agar para pedagang atau penjual jenis burung dilindungi yang tertangkap tangan agar dihukum sepantasnya.

Chris menekankan, selama pasar burung masih ada maka perdagangan ilegal burung liar terlebih jenis endemik Indonesia akan terus terjadi. “Kami berharap, pemerintahan sekarang memberikan perhatian penuh dan meningkatkan perhatian terhadap upaya konservasi guna memberantas perdagangan burung liar yang terus terjadi.”

TRAFFIC, lembaga yang bekerja untuk memastikan perdagangan tumbuhan dan satwa liar tidak mengancam konservasi alam, juga menyarankan agar undang-undang konservasi Indonesia segera direvisi dengan memasukkan beberapa jenis burung khas Indonesia yang belum terdata dalam jenis yang dilindungi. Juga, memasukkan jenis burung yang memang bukan khas Indonesia tetapi terus ditangkap dan diperdagangkan.

UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta sebagaimana yang dimaksud memang telah didengungkan para pegiat lingkungan di Indonesia untuk segera direvisi. Dalam berbagai kasus, aturan hukum yang telah berusia 25 tahun ini, dianggap tidak efektif dan belum memberikan vonis minimal sehingga pelaku acapkali dihukum dalam hitungan bulan dan denda yang ringan.

Sumber : klik di sini

Share Button

Akibat Kebakaran Lahan, Bekantan Pun Menderita

Dengan hati-hati, drh Triasmoro dan dua rekannya mengobati bekantan kecil itu. Tangan dan kakinya yang melepuh diolesi obat antiseptik. Anak bekantan itu pun disuntik vitamin.

Tim dokter hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Tapin Kalimantan Selatan langsung bergerak, Senin (28/9) siang, ketika mendengar ada bekantan yang terluka di Desa Sungai Rutas.

“Tangan dan kakinya melepuh seperti kena api,” kata Triasmoro.

Penemu monyet berhidung panjang itu, Rosyad, mengatakan dirinya menemukan bekantan pada Sabtu (26/9) sore sekitar pukul 17.00 Wita setelah pulang dari lokasi pertaniannya.

Warga Sungai Rutas itu melihat ada lima ekor bekantan di atas tumbuhan purun, terkepung bara dan asap. Empat ekor bisa menyelamatkan diri dan kabur.

“Saya sempat heran, anggota kawanan lainnya mampu berlari, cuma satu yang tidak. Setelah saya tangkap, ternyata kaki dan tangannya melepuh seperti kena api,” kata Rosyad.

Kebakaran hutan menyebabkan bekantan kelaparan.

“Sudah lapar, kaki dan tangannya melepuh kena api. Ditambah lagi asap. Makanya bekantan kecil itu lemah,” jelas Rosyad.

Bekantan itu pun dibawa ke rumah tokoh masyarakat setempat, Herman, Senin (28/9) siang. Warga berdatangan untuk melihat hewan langka yang dilindungi tersebut.

Sumber : klik di sini

Share Button

Di Mana Penegakan Hukum? 19.000 Burung Diperdagangkan secara Ilegal di Jakarta

Sekitar 19.000 jenis burung diperdagangkan secara ilegal dan terang-terangan di Jakarta, di tempat di mana pemerintah bisa melakukan pengawasan dengan jauh lebih mudah. Fakta tersebut terungkap dari asil studi TRAFFIC yang dilakukan pada pertengahan 2014 lalu dan baru saja dirilis hasilnya pada Jumat (25/9/2015).

TRAFFIC meneliti tiga pasar burung di Jakarta, taitu Pramuka, Jatinegara, dan Barito. Mereka mendata jenis dan jumlah burung yang diperdagangkan beserta harganya. Terungkap, ada 19.036 ekor burung yang diperdagangkan di tiga pasar burung di Jakarta. Sementara, total jumlah spesies yang dijual mencapai 206 jenis!

Untuk masing-masing pasar, di Pramuka ada sekitar 186 jenis yang diperdagangkan, sedangkan untuk Jatinegara dan Barito masing-masing 106 jenis dan 65 jenis.  Sebanyak 98 persen atau 184 jenis burung yang diperdagangkan adalah burung asli Indonesia. Dari jumlah itu, 22 diantaranya dilindungi menurut Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999.  8 jenis masuk Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN). Dua diantaranya masuk kategori “Critically Endagered, yaitu Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) dan Jalak Sayap Hitam (Acridotheres melanopterus).

Jenis lain yang masuk Daftar Merah IUCN adalah Poksay Kuda, Gelatik Jawa, Poksay Sumatra, Nuri Bayan, Cucakrawa, dan Bubut Jawa. Nilai ekonomi dari burung yang diperdagangkan memang sangat tinggi. Burung branjangan (Mirafra Javanica) yang tercatat sebagai paling populer punya nilai 63.150,21 dollar AS. Total nilai 10 burung paling populer yang diperdagangkan, mencakup diantaranya jalak suren (Gracupica contra) dan jalak kerbau (Acridotheres javanicus), mencapai sekitar 335.000 dollar AS.

Banyaknya jumlah burung dan adanya jenis dilindungi yang diperdagangkan sangat memprihatinkan. Serene Chong, Programme Officer TRAFFIC Asia Tenggara yang terlibat riset mengatakan, “Ini merupakan bencana untuk burung-burung di Indonesia.” Chris R Shepard, Direktur TRAFFIC, dalam pernyataan di webnya mengatakan, “Kami mendesak pemerintahan baru Indonesia, yang telah melakukan langkah-langkah untuk menguatkan usaha-usaha konservasi, untuk bertindak lebih lanjut dan lebih tegas dalam mengatasi ancaman ini.”

Sumber : klik di sini

Share Button